Perjanjian Iblis


Polandia, tahun 1847. Musim gugur datang tanpa warna.

Kabut tebal turun setiap pagi, menutupi jalan-jalan tanah desa kecil bernama Brzeziny. Embun yang membeku di batang gandum kering tampak seperti tetesan kaca rapuh, mudah pecah bila disentuh. Pohon-pohon pinus yang mengelilingi desa berdiri kaku seperti penjaga bisu, batang-batangnya hitam oleh kelembapan dan lumut tua. Angin berhembus tajam, membawa aroma tanah busuk bercampur jerami yang gagal menjadi roti.

Desa ini tidak asing dengan penderitaan, tapi tahun itu berbeda. Mereka menyebutnya rok głodu—tahun lapar. Ladang yang dulu memberi harapan kini hanya melahirkan debu. Gandum yang ditabur tidak pernah tumbuh tinggi; yang berhasil hidup pun busuk sebelum matang. Kentang, makanan pokok rakyat jelata, membusuk di dalam tanah, diserang hama yang seolah dikirim dari neraka. Anak-anak berperut kembung berjalan dengan mata sayu, wajah pucat seperti lilin yang hampir padam.

Di tengah penderitaan itu, berdiri dua petani dengan hati yang sama-sama digerus waktu, namun berbeda dalam cara menghadapi kenyataan: Stanisław Kowalski dan Jakub Nowak.

Stanisław adalah lelaki dengan bahu bidang dan tangan keras, terbiasa mencangkul tanah sejak ia bisa berdiri. Namun kini tangannya gemetar setiap kali meraba tanah ladangnya. Matanya menyimpan api yang sulit dipadamkan—api dari ambisi dan marah. Bagi Stanisław, tanah bukan hanya sumber hidup, tapi juga medan perang. Jika tanah menolak memberi, maka ia akan menuntutnya.

Setiap pagi, ia berdiri di tengah ladang yang kering, menatap kosong ke arah gumpalan awan.
“Lihat ini,” geramnya pada istrinya, Katarzyna, suatu pagi. “Tanah ini mengkhianati kita. Aku bekerja siang dan malam, tapi yang tumbuh hanyalah tikus dan cacing. Tuhan tidur, atau barangkali Ia sudah lupa kita ada.”

Katarzyna hanya menunduk, tidak berani menjawab. Ia tahu amarah suaminya bisa menyambar siapa saja. Namun jauh di dalam dirinya, ia juga merasakan hal yang sama—ketidakadilan yang mencekik.

Berbeda dengan Stanisław, Jakub adalah lelaki berperawakan kurus dengan tatapan tenang, meski kelelahan jelas terukir di wajahnya. Ia tinggal di rumah kayu kecil bersama istrinya, Maria, dan tiga anaknya. Di tengah kelaparan, Jakub masih berusaha berdoa setiap malam di gereja kayu desa.

Di altar yang sederhana, ia berlutut. Jemarinya gemetar bukan hanya karena dingin, tapi karena perutnya kosong. “Tuhan,” bisiknya, “jangan biarkan anak-anakku mati kelaparan. Jika Kau tak memberi panen, setidaknya beri kami kekuatan untuk bertahan.”

Namun jawabannya hanya sunyi, sunyi yang bahkan lebih menusuk daripada jeritan lapar.

Kedua lelaki itu sering bertemu di jalan desa, sama-sama membawa gerobak kosong. Percakapan mereka tak pernah lama.

“Berdoa saja takkan menumbuhkan gandum, Jakub,” sindir Stanisław dengan tawa getir.
“Dan mengutuk langit pun tak membuat tanah subur,” jawab Jakub dengan lemah namun tegas.

Mereka berjalan dengan arah yang berbeda: satu ke gereja, satu ke hutan.

Brzeziny sendiri seolah menjadi panggung penderitaan. Setiap sudutnya memantulkan rasa putus asa: anak-anak duduk di tangga rumah dengan wajah pucat dan bibir membiru; orang tua terbaring di ranjang jerami, batuk-batuk kering, terlalu lemah untuk bangun; lonceng gereja berdentang setiap sore, bukan sebagai panggilan doa, tapi penanda ada satu lagi yang mati kelaparan.

Di tepi desa, kuburan makin penuh. Salib kayu sederhana berbaris rapat, beberapa miring, seolah tidak sanggup menopang beban duka yang kian berat. Orang-orang mulai berbisik tentang hal-hal gelap. Tentang roh-roh yang menuntut, tentang iblis yang berjalan di antara mereka. Di malam hari, kabut tebal sering membuat bayangan terlihat lebih panjang dan bentuknya tak wajar. Beberapa mengaku mendengar tawa asing di hutan pinus.

Suatu malam, Stanisław kembali dari ladangnya. Angin membawa suara aneh—seperti bisikan di telinga, meski tidak ada seorang pun di sekitarnya. Ia berhenti, menoleh, tapi hanya kabut yang menari di jalan.

“Kenapa kau terus berjuang, jika tanah sudah mati?” suara itu berbisik.

Stanisław menggenggam sabitnya erat-erat. “Siapa di sana?”

Tidak ada jawaban. Hanya suara burung hantu dari jauh. Namun dalam hatinya, sebuah benih kegelisahan tumbuh.

Di sisi lain desa, Jakub tetap setia ke gereja. Malam itu, ia datang seorang diri. Lilin-lilin hampir habis, hanya menyisakan api kecil yang berjuang melawan kegelapan. Pastor desa sudah lama kelelahan; doa-doanya pun terdengar lebih seperti keluhan.

Jakub memejamkan mata, mencoba mengusir rasa takut. Namun di balik kelopak matanya, ia hanya melihat bayangan kelam: istrinya menangis, anaknya merintih lapar. Sesuatu dalam dirinya berteriak: Untuk apa semua doa ini, jika langit tetap bisu?

Pada malam yang sama, dua lelaki itu keluar dari rumah mereka—Stanisław menuju hutan pinus, Jakub menuju gereja. Kabut menelan jalanan desa, membuat langkah mereka terasa seperti melangkah di dalam mimpi buruk.

Stanisław membawa amarah, Jakub membawa keputusasaan. Dua perasaan berbeda, tapi sama-sama membuka pintu bagi sesuatu yang kelak datang dari kegelapan.

Di kejauhan, di antara pepohonan pinus yang menjulang, sepasang mata merah samar-samar terbuka. Mengamati, menunggu, dan tersenyum.

Brzeziny, sebuah desa yang hidup di ambang maut. Di antara ladang yang mati dan doa yang tak berjawab, dua jiwa manusia bersiap menghadapi tawaran yang akan mengikat takdir mereka selamanya. Dan kabut terus turun, menutup desa dalam selimut dingin, seolah langit sendiri ingin menyembunyikan apa yang sebentar lagi akan terjadi.

 

Matahari terbit pucat di langit Polandia, tahun 1847. Sinarnya redup, tersaring kabut yang menggantung rendah di atas tanah desa Brzeziny. Burung gagak berputar di udara, suaranya parau, seolah menertawakan manusia yang memaksa menanam kehidupan di tanah yang sudah mati.

Stanisław Kowalski berdiri di ladangnya sejak subuh, kedua tangannya terkepal. Di hadapannya, tanah yang baru digarap semalam retak kembali, membentuk garis-garis kering seperti urat tua. Benih yang ia tanam sudah hilang, entah dimakan tikus, atau membusuk sebelum sempat hidup. Hanya beberapa batang gandum tumbuh lemah, kurus, daunnya menguning sebelum waktunya.

Ia meraih salah satu batang itu, mencabutnya kasar. Batangnya patah, akar kecilnya rapuh seperti benang busuk. Stanisław melemparnya ke tanah dan menginjaknya. “Sampah,” desisnya. “Tanah ini sampah. Dunia ini sampah.”

Katarzyna berdiri di belakangnya, membawa anak bungsu mereka di gendongan kain. Anak itu menangis lirih, suara seraknya lebih mirip rintihan daripada tangisan bayi. Katarzyna menunduk, takut menatap suaminya. Ia tahu amarah yang menggelegak dalam dada Stanisław bisa berubah menjadi kekerasan yang buta.

“Cobalah sabar,” katanya akhirnya, dengan suara hampir tak terdengar.

“Sabar?” Stanisław berbalik, matanya merah karena kurang tidur. “Aku sudah sabar sejak musim semi. Aku menabur benih, aku membajak. Dan lihat apa yang kita dapat? Tidak ada! Hanya mulut yang harus diberi makan, dan perut kosong yang terus menjerit. Apakah kau ingin aku diam, sementara anak-anak kita mati perlahan?”

Katarzyna memeluk erat bayinya, seakan tubuh kecil itu bisa melindungi dirinya sendiri dari dentuman suara suaminya. Ia tidak menjawab lagi.

Di sisi lain desa, Jakub Nowak berjalan pulang dari ladangnya dengan bahu merosot. Keranjang anyaman di punggungnya kosong. Ia bahkan tak membawa satu kentang pun. Maria, istrinya, menunggu di pintu rumah. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, matanya cekung. Dua anak mereka duduk di lantai tanah, mengisap potongan kayu kering seakan itu permen.

“Bagaimana?” suara Maria nyaris tanpa harapan.

Jakub hanya menggeleng pelan. Ia menurunkan keranjangnya yang kosong, duduk di bangku kayu, dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Bahunya bergetar, tapi tak ada air mata keluar. Ia sudah terlalu kering untuk menangis.

“Besok aku akan coba lagi,” katanya akhirnya.

“Coba apa?” Maria balas dengan getir. “Tanah sudah mati, Jakub. Tidak ada yang bisa tumbuh di sana. Kita seakan menanam benih di kuburan.”

“Kalau begitu, kita akan terus mencoba, sampai… sampai…”

“—sampai apa? Sampai anak-anak kita terkubur di kuburan itu?”

Jakub terdiam. Anak sulungnya, seorang gadis berumur sembilan tahun, mendekat dan memeluknya. “Ayah,” katanya lirih, “aku tidak apa-apa kalau tidak makan hari ini.” Senyumnya tipis, tapi matanya kosong. Senyum itu terasa lebih menyakitkan daripada ratapan.

Di desa, kegagalan panen bukan hanya milik Stanisław dan Jakub. Semua keluarga merasakannya. Para perempuan menukar perhiasan murah mereka dengan roti kering di pasar kota, tapi harganya naik tiga kali lipat. Seorang lelaki tua, yang dulu dikenal sebagai pemilik ladang paling luas, kini berjalan keliling desa meminta segenggam tepung. Ia ditolak mentah-mentah, karena setiap orang sibuk mempertahankan sisa yang mereka miliki.

Malam hari, suara batuk terdengar dari rumah-rumah kayu. Bau kayu basah terbakar bercampur dengan aroma obat-obatan murah dari ramuan hutan. Anak-anak berbaring lemah, tubuh mereka demam, tapi perutnya tetap kosong.

Pastor desa, seorang pria kurus dengan jubah lusuh, mencoba menenangkan jemaatnya di gereja. “Tuhan sedang menguji kita,” katanya. “Seperti Ayub diuji dengan penderitaan, demikian juga kita diuji sekarang. Bertahanlah, dan kita akan diselamatkan.”

Namun di antara kursi-kursi kayu yang penuh dengan tubuh lelah, banyak yang menundukkan kepala bukan karena iman, tapi karena putus asa. Beberapa bahkan tak lagi datang ke gereja, memilih mencari jawaban di luar doa.

Stanisław mulai kehilangan kesabarannya. Malam itu, ia berjalan ke tengah ladangnya sendirian, membawa botol arak setengah kosong. Ia meneguknya, lalu menatap langit yang tak berbintang. “Kalau Tuhan memang ada, mengapa Ia membiarkan kita mati perlahan? Kalau Kau mendengar, jawab aku!” teriaknya, suaranya menggema di hening kabut.

Hanya suara angin menjawab. Angin yang dingin, yang membuat tulangnya ngilu.

Ia menjatuhkan diri ke tanah, tertawa pahit. “Aku lebih baik menjual jiwaku daripada terus hidup seperti ini. Setidaknya keluargaku akan kenyang. Apa gunanya jiwa kalau tubuhku hancur?”

Kata-kata itu melayang ke udara, tenggelam dalam kabut. Ia tidak tahu bahwa ada telinga yang mendengarnya.

Jakub, pada saat yang sama, duduk di bangku gereja. Lilin-lilin kecil menyala, bayangannya menari di dinding kayu. Ia menggenggam salib di tangannya erat-erat. Namun bahkan salib itu terasa dingin, tak memberi kehangatan sedikit pun.

Ia menunduk, suaranya serak. “Aku percaya pada-Mu, Tuhan. Tapi lihatlah anakku. Mereka lapar, mereka menangis. Apa iman harus menelan tubuh kami satu per satu sebelum Kau turun tangan? Apakah Kau hanya diam, sementara iblis berkeliaran bebas?”

Di ruang sunyi itu, jawaban yang datang hanyalah gemeretak kayu. Seakan gereja itu sendiri retak, tak lagi sanggup menampung doa yang sia-sia.

Hari-hari berikutnya, desa semakin hancur. Beberapa keluarga mulai menjual tanah mereka kepada orang-orang kaya dari kota, hanya untuk membeli roti yang cukup bertahan seminggu. Yang lain pergi meninggalkan desa, mencari kerja di kota besar, meski sebagian besar tidak pernah kembali.

Di antara semua itu, Stanisław dan Jakub tetap tinggal. Satu dengan amarah yang mendidih, satu dengan doa yang membeku. Tapi keduanya tahu, tanah mereka tidak lagi memberi apa pun.

Suatu sore, mereka bertemu di jalan. Wajah mereka sama-sama pucat, mata cekung, langkah berat. Stanisław menatap Jakub dengan senyum sinis.

“Bagaimana, doamu sudah menumbuhkan gandum?” tanyanya.

Jakub menunduk. “Setidaknya doa memberiku kekuatan untuk menunggu.”

“Menunggu apa? Kematian?” Stanisław meludah ke tanah. “Kau bodoh, Jakub. Dunia ini bukan untuk orang yang menunggu. Dunia ini milik orang yang berani mengambil apa yang ia mau, meski harus melawan Tuhan sekalipun.”

Jakub mengangkat kepalanya, menatap Stanisław dengan mata lelah tapi jernih. “Dan setelah itu? Setelah kau melawan Tuhan, apa yang tersisa? Apa kau pikir iblis akan memberimu kedamaian?”

Kata-kata itu membuat Stanisław terdiam sesaat. Namun hanya sesaat. Ia berbalik dan berjalan pergi, bahunya tegang, suaranya lirih tapi jelas: “Kalau iblis benar-benar bisa memberiku gandum, biarlah ia datang. Aku akan menyambutnya.”

Jakub berdiri di jalan yang sepi, tubuhnya menggigil bukan karena dingin, tapi karena firasat buruk yang merambat ke dalam hatinya.

Desa itu semakin tenggelam dalam penderitaan. Tanahnya kering, ladangnya mati. Doa dan kerja keras tak lagi cukup. Dan di balik kabut, sesuatu menunggu, mendengarkan setiap keluhan, setiap sumpah, setiap doa yang tak berjawab.

Langkah-langkah manusia yang putus asa sudah mengundang sesuatu yang kelam. Dan malam semakin dekat.

 

Kabut turun lebih pekat dari biasanya malam itu. Udara hutan pinus di pinggir Brzeziny terasa seperti tirai dingin yang merambati kulit. Pohon-pohon menjulang tinggi, batangnya hitam seperti tiang penjara, dan suara angin yang menggerakkan dedaunan terdengar bagai bisikan yang tak mau berhenti.

Stanisław berjalan dengan langkah berat di jalan setapak. Botol arak sudah habis, dan kepalanya pening. Ia tidak benar-benar tahu ke mana tujuannya, hanya mengikuti bisikan samar dalam hatinya: pergilah ke hutan… ke sana… mungkin ada jawaban…

Jakub menyusul dari belakang. Ia memanggil dengan suara lirih namun keras kepala, “Stanisław! Berhentilah. Malam sudah terlalu gelap. Kau akan tersesat.”

“Aku sudah tersesat sejak lama,” jawab Stanisław tanpa menoleh. “Apa peduli kalau aku hilang di hutan? Setidaknya di sini aku tidak harus melihat anak-anakku kelaparan.”

Jakub mempercepat langkahnya. Ia menahan bahu sahabatnya itu. “Kau tidak sendirian. Aku juga menderita. Kita semua. Tapi jangan pergi ke tempat yang lebih gelap dari penderitaan kita sendiri.”

Stanisław hendak membalas, namun tiba-tiba hutan seakan membeku. Angin berhenti, dedaunan tak lagi bergoyang. Bahkan suara burung malam lenyap begitu saja. Keheningan mendadak itu membuat mereka berdua saling berpandangan dengan tegang.

Lalu, dari celah kabut, muncullah sosok.

Boruta.

Ia melangkah pelan, seolah kabut membuka jalan baginya. Tubuhnya tinggi, bahunya lebar, jubah hitam panjangnya seperti menyatu dengan kegelapan. Rambutnya hitam pekat, tapi wajahnya pucat, hampir tampak bersinar samar dalam gelap. Sepasang matanya merah redup, bukan menyala seperti api, melainkan berdenyut bagai bara yang masih hidup.

Namun yang paling menakutkan bukanlah rupa fisiknya, melainkan ketenangan yang ia bawa. Seakan-akan hutan, malam, bahkan rasa takut itu sendiri tunduk padanya.

“Siapa… siapa kau?” Jakub bersuara serak, suaranya gemetar.

Boruta tersenyum tipis. Senyum itu bukan kehangatan, melainkan pisau yang disamarkan jadi bunga. “Aku hanya seorang pengembara,” katanya. Suaranya dalam, penuh gema aneh, seperti keluar dari banyak mulut sekaligus. “Seorang pengembara yang mendengar ratapan manusia. Aku mendengar doa kalian yang tak terjawab. Aku mendengar sumpah kalian yang tenggelam dalam tanah mati. Maka, aku datang.”

Stanisław terpaku. Ada sesuatu yang aneh—rasa takut dan rasa harap bercampur di dadanya.

Boruta mendekat, langkahnya tidak menimbulkan suara sama sekali. Ia berhenti hanya beberapa langkah di depan mereka, lalu mengangkat tangannya yang panjang dan pucat. “Mari buat perjanjian.”

Kata-kata itu terdengar sederhana, manis, seperti janji seorang saudara tua. Namun justru kesederhanaan itulah yang membuatnya berbahaya.

Jakub mundur satu langkah. “Tidak,” katanya cepat. “Pergi kau, siapa pun dirimu. Kami tidak akan mendengarkan. Ini tanah Tuhan, bukan tanahmu.”

Boruta menoleh padanya dengan ekspresi seolah tersinggung, tapi justru ia tertawa lirih. Tawa itu dalam, seperti suara batang pohon patah. “Tanah Tuhan? Katakan itu lagi, petani miskin. Kau mengaku tanah ini milik Tuhan, tapi apa yang diberikan-Nya padamu? Perut kosong? Anak-anak kurus? Istri yang menangis setiap malam?”

Jakub terdiam. Kata-kata itu menembus tepat ke luka terdalamnya. Tapi ia menahan diri, menggenggam salib kayu kecil yang tergantung di lehernya.

Boruta beralih menatap Stanisław. Tatapan merahnya seperti bara yang membakar. “Dan kau, Stanisław. Aku mendengar sumpahmu di ladang. Aku mendengar teriakanmu pada langit. Aku datang karena kau memanggilku, entah kau sadari atau tidak.”

Stanisław gemetar. Kakinya ingin mundur, tapi tubuhnya justru diam terpaku. “Apa… apa yang kau tawarkan?” tanyanya akhirnya, suaranya lebih seperti bisikan.

Boruta tersenyum lagi. “Kau ingin gandum? Aku bisa memberimu ladang yang subur, panen melimpah, tanah yang tak pernah kering. Kau ingin keluargamu kenyang? Aku bisa membuat itu terjadi. Kau ingin kekuatan? Aku bisa memberimu lebih dari sekadar roti. Kau hanya perlu satu hal…” Ia mencondongkan tubuhnya, berbisik: “Berikan aku tanda persetujuanmu pada sebuah perjanjian.”

“Jangan!” Jakub berseru, suaranya pecah oleh rasa takut dan keberanian sekaligus. Ia menatap Stanisław dengan mata yang hampir berlinang. “Kau tidak mengerti. Dia bukan pengembara. Dia iblis. Apa pun yang ia tawarkan, harganya lebih mahal dari nyawamu. Ingatlah anak-anakmu, Stanisław. Kau akan memberi mereka roti, ya, tapi dari tangan siapa? Dari tangan yang penuh darah!”

Boruta mendengus, wajahnya berubah dingin. “Kau terlalu banyak bicara, Jakub. Kau bahkan tidak bisa memberi remah roti untuk keluargamu, tapi kau menolak tangan yang menolong. Itu bukan iman. Itu kebodohan.”

Jakub berani menatap matanya, meski tubuhnya bergetar. “Lebih baik aku mati lapar daripada makan dari tanganmu.”

Sejenak, hutan kembali hening. Boruta tidak marah. Justru ia tertawa kecil, puas. “Ah, manusia. Begitu keras kepala, begitu indah dalam kebodohannya.” Ia menoleh kembali pada Stanisław. “Kau berbeda. Aku bisa melihatnya. Kau punya api dalam dirimu. Api yang bisa menyelamatkan keluargamu, api yang bisa membakar dunia kecilmu yang busuk. Kau hanya perlu melangkah.”

Stanisław menunduk, napasnya berat. Kata-kata Jakub bergaung di telinganya, tapi begitu pula bisikan Boruta. Hatinya robek dua: satu bagian ingin percaya pada iman, satu bagian ingin menyerah pada tawaran. Ia teringat wajah anak-anaknya, pucat, menangis. Ia teringat tangisan Katarzyna, yang tak pernah keras, hanya lirih, seolah menahan seluruh dunia di dadanya.

Jika Boruta benar-benar bisa menolong… apakah itu salah?

Boruta melihat keraguan itu, dan ia tersenyum puas. “Kau tidak perlu menjawab sekarang. Aku akan menunggumu. Setiap malam, aku ada di sini.”

Dengan itu, ia mundur selangkah, lalu menghilang begitu saja ke dalam kabut. Seolah tubuhnya larut dengan malam, dan hanya meninggalkan suara terakhir yang bergaung di telinga mereka.

“Mari buat perjanjian.”

Stanisław terhuyung, jatuh berlutut. Tubuhnya gemetar, wajahnya basah entah oleh keringat atau air mata. Jakub meraih bahunya, menunduk dekat telinganya. “Jangan dengarkan dia. Jangan biarkan kata-katanya masuk ke dalammu. Kau masih bisa menolak.”

Namun Stanisław hanya menatap kosong ke tanah. Kata-kata Boruta menggema di kepalanya, lebih keras daripada doa mana pun yang pernah ia panjatkan.

 

Malam itu, kabut kembali turun ke hutan pinus. Stanisław datang seorang diri, meninggalkan rumah tanpa sepatah kata pun pada istrinya. Katarzyna melihatnya pergi dengan mata penuh curiga dan takut, namun ia terlalu lelah untuk bertanya. Dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang salah, tapi ia tidak berani menyelaminya.

Stanisław membawa obor kecil, cahaya api bergetar diterpa angin. Setiap langkah membuat daun kering retak, namun selain itu hutan terasa mati, seperti dunia menahan napas menunggu keputusan.

Dan benar, di antara pepohonan yang menjulang, sosok itu menanti. Boruta, berdiri dengan jubah hitamnya yang bergoyang pelan meski tidak ada angin. Matanya merah redup, dan senyum tipisnya seakan sudah tahu jawaban yang akan keluar dari bibir Stanisław.

“Aku tahu kau akan datang,” ucap Boruta tenang.

Stanisław menunduk, wajahnya tegang. “Jika aku setuju… apa yang harus kulakukan?”

Boruta mengangkat tangannya, dan selembar perkamen hitam muncul begitu saja, seolah dilahirkan dari udara. Tulisan-tulisan merah membara tergores di atasnya, bahasa asing yang tidak dimengerti, tapi maknanya menekan ke dalam jiwa: perjanjian hidup dan mati.

“Cukup tandatangani dengan darahmu,” kata Boruta, menyerahkan sebilah belati tipis berkilau. “Satu goresan kecil. Dan seluruh nasibmu akan berubah. Kau akan memiliki panen gandum yang berkilau seperti emas, ladang yang tidak mengenal gagal. Kau akan kaya, dihormati, disegani. Keluargamu tidak akan pernah lapar lagi.”

Stanisław menggenggam belati itu. Tangannya bergetar. Ingatan melintas: anak-anaknya yang terbaring lemah, perut kembung karena kelaparan; wajah Katarzyna yang pucat, tangannya kurus karena lebih sering menyerahkan makanan terakhir untuk anak-anak.

Air mata mengalir di wajahnya. “Tuhan… maafkan aku,” bisiknya. Lalu tanpa ragu lagi, ia menggoreskan belati ke telapak tangannya. Darah menetes, merah pekat, jatuh ke perkamen itu.

Tulisan merah menyala semakin terang, lalu meresap ke dalam kulit perkamen hingga lenyap. Boruta tersenyum, puas. Ia meraih tangan Stanisław, mencium luka kecil itu, dan dalam sekejap rasa sakit menghilang.

“Sudah selesai,” katanya lembut. “Mulai malam ini, ladangmu akan bernyanyi. Kau akan tahu arti kata berlimpah.”

Keesokan paginya, Stanisław terbangun oleh cahaya aneh yang masuk dari jendela rumahnya. Ia berlari ke luar, dan terperanjat.

Ladangnya yang semalam hanyalah tanah mati, kini berubah menjadi hamparan gandum emas. Bukan sekadar kuning, melainkan berkilau bagai sinar matahari yang terjebak dalam setiap batang. Angin berhembus, dan ladang itu bergelombang indah, memantulkan cahaya hingga mata silau.

Katarzyna keluar dengan terengah, menutup mulutnya tak percaya. Anak-anak berlari ke tengah ladang, tertawa, suara mereka kembali hidup. Mereka mencabut sebatang gandum, menggigit bijinya, dan mata mereka melebar: manis, hangat, seakan memakan roti segar yang baru keluar dari tungku.

Stanisław berdiri di tengah ladang, lututnya lemas. Ia tahu itu nyata. Boruta telah menepati janjinya.

Dalam beberapa hari saja, panen dimulai. Gandum itu tidak hanya melimpah, tapi juga tahan lama, tidak busuk, tidak hancur digiling. Roti yang dibuat dari gandum itu harum menyebar ke seluruh desa. Orang-orang datang, mencium aroma roti dari rumah Stanisław, dan mereka berkerumun, memandang dengan campuran kagum, iri, dan curiga.

“Bagaimana bisa?” tanya seorang tetua desa dengan nada penuh heran. “Ladang kita semua mati, tapi tanahmu, Stanisław… seolah diberkati malaikat.”

Stanisław tersenyum tipis, menahan rahasia kelam yang ia pikul. “Mungkin Tuhan masih mengingatku,” jawabnya datar.

Namun bisik-bisik mulai menyebar. “Tidak mungkin ini berkat Tuhan… ada sesuatu yang aneh…” Tapi mulut yang sama juga tak bisa menahan air liur ketika menerima sepotong roti hangat dari keluarga Stanisław. Dalam kelaparan, iman mudah goyah.

Stanisław pun menjadi pusat perhatian. Ia diundang ke rumah kepala desa, diminta berbagi rahasia. Ia diberi penghormatan, bahkan ditawari tanah tambahan untuk digarap.

Sementara itu, di rumah kecilnya, Jakub hanya bisa menyaksikan dari jauh. Ia berdiri di jalan desa, melihat anak-anak Stanisław makan dengan lahap, tubuh mereka kembali berisi. Sementara anak-anaknya sendiri semakin kurus, mata mereka cekung, kulit mereka pucat seperti kain putih.

Maria, istrinya, menangis lirih saat ia pulang dengan tangan kosong. “Mengapa kita tidak bisa seperti mereka, Jakub? Apakah doa-doamu tidak didengar? Atau kau hanya terlalu keras kepala menolak bantuan yang bisa menyelamatkan kita?”

Jakub terdiam. Kata-kata istrinya seperti duri menusuk dalam. Ia ingin berkata bahwa ia tidak bisa menjual jiwanya, bahwa apa yang dilakukan Stanisław bukan jalan yang benar. Tapi ketika ia melihat anak-anaknya meringkuk di sudut, perut mereka keroncongan, imannya sendiri mulai goyah.

Malam itu, Jakub berlutut di gereja kecil desa, memohon lebih keras dari sebelumnya. Tapi hanya sunyi yang menjawab. Lilin di altar padam tertiup angin, dan ia merasa bahkan cahaya Tuhan pun pergi meninggalkannya.

Hari-hari berikutnya, kontras itu semakin mencolok.

Rumah Stanisław penuh dengan suara pesta kecil, tawa, dan wangi roti. Ia bahkan mulai menjual gandumnya ke desa-desa lain, menukar hasilnya dengan kuda, pakaian, bahkan perhiasan untuk istrinya. Orang-orang menatapnya dengan iri, tapi juga dengan rasa hormat yang dipaksakan.

Sementara itu, rumah Jakub semakin muram. Anak-anaknya sering pingsan karena lapar. Maria makin sering menangis diam-diam. Jakub sendiri mulai kehilangan kata-kata, bahkan untuk berdoa.

Ia berdiri di ladang kosongnya, tanah yang retak bagai kulit mati. Ia menatap tanah itu, lalu ke arah ladang Stanisław yang berkilau seperti emas di kejauhan. Hatinyalah yang kini retak, lebih parah dari tanah itu sendiri.

Di hutan pinus, Boruta tertawa lirih, suaranya bergaung di antara pohon-pohon. Ia tahu permainan baru saja dimulai. Dua manusia telah menunjukkan wajah sejati mereka: yang satu menyerahkan jiwa demi kemakmuran, yang lain merana dalam kemiskinan, hatinya digerogoti penyesalan.

Dan malam demi malam, ia menunggu, karena ia tahu: bahkan yang menolak, pada akhirnya bisa terjerat.

 

Malam-malam di rumah Stanisław kini tak lagi tenang. Sejak ladangnya berkilau, tidur menjadi hal yang mustahil baginya.

Setiap kali ia memejamkan mata, mimpi buruk datang tanpa henti. Ia melihat dirinya berjalan di ladangnya yang subur, tapi gandum-gandum itu bergerak sendiri, melilit kakinya seperti ular. Bulir-bulirnya pecah, meneteskan darah segar yang membasahi tanah. Dari balik batang gandum, terdengar tawa lirih—tawa Boruta, panjang dan menusuk telinga.

Ketika ia berlari, ia melihat Katarzyna dan anak-anaknya duduk di meja makan, tersenyum sambil menyantap roti hangat. Namun setiap kali ia mendekat, wajah mereka berubah. Mulut mereka melebar tak wajar, penuh darah, mata mereka hitam kosong. Mereka mengunyah daging, bukan roti. Dan di ujung meja, duduk Boruta, mengangkat gelas berisi cairan merah.

“Untuk perjanjian kita,” katanya, sebelum meneguk isi gelas.

Stanisław terbangun dengan teriakan, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Katarzyna sering terjaga karena itu, memandang suaminya dengan bingung. “Apa yang terjadi padamu?” tanyanya sekali.

“Tidak… tidak ada,” jawabnya cepat, wajahnya pucat. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Bagaimana menjelaskan bahwa setiap malam ia makan bersama iblis dalam mimpi?

Siang hari, bayangan itu tetap menghantui. Ketika ia berjalan di ladang, bulir gandum yang berkilau tampak seakan menatapnya. Angin yang berhembus terdengar seperti bisikan.
“Milikku… milikku… milikku…”

Ia berhenti, memegang kepalanya. “Diam!” teriaknya, tapi suara itu hanya semakin keras.

Orang-orang desa yang melihatnya berbisik di belakang. “Stanisław berubah… wajahnya makin suram.”
Namun di depan mereka, ia tetap tersenyum. Ia tahu ia tidak bisa menunjukkan kelemahannya.

Pada suatu malam, ia bermimpi lagi—kali ini lebih mengerikan. Ia berjalan di kuburan desa, tapi salib-salib kayu berubah menjadi batang gandum emas. Dari bawah tanah, tangan-tangan kurus mencuat, meraih bulir gandum itu sambil merintih lapar.

Stanisław mencoba menolong, tapi semakin ia menarik tangan-tangan itu, semakin dalam ia sendiri terseret ke dalam tanah. Ia menjerit, dan saat ia hampir tenggelam, Boruta muncul, menatapnya dengan tatapan penuh kepuasan.

“Kau ingin panen gandum? Lihatlah hasilnya,” kata Boruta. Di belakangnya, lidah api menjilat langit, dan jeritan manusia memenuhi udara.

Stanisław terbangun, kali ini muntah di sisi ranjang. Katarzyna berlari panik, mencoba menenangkan, tapi ia hanya terduduk di lantai, menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Semakin hari, ia makin terobsesi menjaga ladangnya. Ia hampir tidak pernah meninggalkan sawah itu, seolah takut sesuatu akan merenggutnya. Ia berjaga hingga larut malam, bahkan membawa sabit ke kamar tidur. Katarzyna mulai resah, anak-anaknya ketakutan melihat perubahan ayah mereka.

Namun Stanisław tidak bisa berhenti. Ia tahu ada harga yang harus dibayar, tapi ia tak lagi bisa kembali.

Boruta sering datang, bukan dalam wujud penuh, melainkan dalam bayangan, dalam bisikan di telinga saat malam sunyi.

“Jangan takut, Stanisław. Kau tidak kehilangan apa pun. Kau hanya mendapat lebih. Kau kuat sekarang, kaya, dihormati. Kau tidak akan kembali menjadi petani miskin yang hina.”

Stanisław menutup telinganya, berjongkok di lantai rumah, tapi suara itu tetap ada, merayap ke dalam pikirannya.

“Apa kau ingin anak-anakmu kembali kelaparan? Apa kau ingin melihat istrimu menangis lagi? Kau tahu jawabannya. Maka diamlah, dan nikmati hadiahmu.”

Tapi hadiah itu terasa semakin pahit.

Ia melihat desa berubah. Orang-orang yang dulu menghormatinya kini menatap dengan iri. Beberapa berani mencuri gandum dari ladangnya, dan ketika Stanisław menangkap mereka, amarahnya meledak tak terkendali. Ia memukul seorang pemuda desa hingga berdarah-darah, matanya merah bagai orang gila.

Kabar itu menyebar. “Stanisław kerasukan,” bisik mereka. “Ia bukan lagi manusia biasa.”

Katarzyna menangis malam itu. “Apa yang terjadi padamu? Kau bukan lagi lelaki yang kukenal. Aku lebih takut melihatmu sekarang daripada takut pada lapar.”

Stanisław terdiam, hatinya tercabik. Ia ingin berkata bahwa semua ini demi keluarganya. Tapi di dalam dirinya, ia tahu: ia tidak lagi melakukan ini hanya demi mereka, melainkan demi dirinya sendiri. Demi rasa takut kehilangan kemakmuran yang kini mencengkeramnya.

Malam berikutnya, ia tidak bisa tidur. Ia berjalan ke ladang, bulan pucat menerangi gandum emas yang bergoyang pelan. Di kejauhan, ia melihat sosok berdiri. Boruta.

“Kenapa kau menghantui aku?” teriak Stanisław dengan suara putus asa.

Boruta tersenyum, wajahnya samar diterangi cahaya bulan. “Aku tidak menghantui. Aku hanya menagih. Kau sudah menandatangani kontrak, Stanisław. Kekayaan ini bukan gratis. Kau tahu itu.”

Stanisław jatuh berlutut, menangis. “Aku tidak bisa hidup seperti ini. Aku tidak bisa tidur, aku tidak bisa makan, aku bahkan tidak bisa memeluk istriku tanpa takut melihat wajahnya berubah di mataku. Ambil kembali semua ini!”

Boruta mendekat, menatapnya dalam-dalam. “Oh, Stanisław… betapa cepatnya manusia menyesali pilihannya. Kau ingin roti, aku beri ladang gandum emas. Kau ingin keluargamu kenyang, aku beri mereka kenyang. Tapi sekarang kau menangis, seolah aku yang bersalah.”

Ia tertawa pelan, suaranya membuat ladang berguncang. “Kau harus tahu, manusia lebih buruk dariku. Aku hanya menawarkan. Kau yang memilih. Dan sekarang kau ingin lari? Tidak, Stanisław. Kau sudah milikku.”

Bayangan Boruta memanjang, menelan tanah di sekitarnya. Stanisław terhuyung mundur, dadanya sesak. Ia sadar: tak ada jalan kembali.

Di kejauhan, Jakub menyaksikan dari tepi ladang. Ia melihat sahabatnya berteriak ke udara kosong, menangis seperti orang gila. Ia ingin menolong, tapi tubuhnya terpaku. Dalam hati kecilnya, ia tahu: inilah harga dari kemakmuran yang salah jalan.

Dan malam itu, di bawah bulan pucat, Stanisław duduk di tengah ladangnya, menggenggam kepalanya, terjepit di antara rasa takut kehilangan dan ikatan yang tak bisa diputus. Gandum berkilau bagai emas, tapi di matanya, itu hanyalah rantai.

 

Langit musim gugur tampak muram di atas desa. Daun-daun gugur berterbangan, menutup jalanan tanah yang becek. Dinginnya angin menembus pakaian tipis, membuat tubuh-tubuh kurus para petani bergetar.

Jakub berjalan tertatih menuju gereja kayu di tepi desa. Bajunya compang-camping, wajahnya tirus, matanya cekung. Sejak musim panen terakhir, ladangnya hanya menghasilkan separuh dari yang ia butuhkan. Anaknya sering menangis lapar di malam hari, sementara istrinya hanya bisa menenangkan dengan janji kosong: “Besok mungkin ada makanan.”

Hari itu, Jakub tidak tahan lagi. Ia masuk ke dalam gereja kecil itu, berlutut di depan altar yang sederhana. Lilin-lilin menyala redup, asap dupa tipis menari di udara. Salib kayu tergantung di dinding, wajah Kristus terpaku dengan luka.

Jakub memeluk wajahnya dengan kedua tangan, lalu menangis terisak. “Tuhan, mengapa aku begitu bodoh? Mengapa aku menolak tawaran itu? Andai aku setuju malam itu… mungkin keluargaku tidak lapar sekarang. Mungkin aku tidak harus melihat istriku menangis setiap malam.”

Air matanya menetes ke lantai kayu gereja. Suaranya pecah, bergetar di ruang hening.
“Aku mencoba setia pada-Mu, aku mencoba percaya… tapi apa balasannya? Aku hanya melihat anakku makin kurus, ladangku makin kering. Sementara Stanisław, yang menyerahkan jiwanya pada iblis, kini hidup bergelimang gandum emas. Katakan padaku, Tuhan… apakah aku yang salah?”

Tangisannya makin keras, sampai seorang biarawan tua datang, meletakkan tangan di bahunya.
“Anakku, jangan meragukan Tuhan,” kata sang biarawan lirih.

Jakub menoleh, matanya merah. “Bagaimana aku bisa percaya, Bapa? Bagaimana aku bisa percaya jika mereka yang memilih kejahatan justru hidup makmur, sementara kami yang mencoba setia malah sengsara?”

Biarawan itu terdiam. Ia tidak punya jawaban. Dan dalam keheningan itulah, Jakub semakin hancur.

Di luar gereja, ada yang mengamati.

Boruta berdiri di bawah pohon pinus, tubuhnya samar di balik kabut. Matanya menyala merah redup, tapi wajahnya penuh senyum geli. Ia mendengarkan setiap kata ratapan Jakub, setiap kalimat putus asa.

“Oh, betapa mudahnya manusia meratap,” gumamnya. “Dia tidak menandatangani kontrak denganku, tapi lihatlah… ia sudah hampir menyerahkan imannya hanya dengan mengeluh. Sungguh menyenangkan. Aku bahkan tidak perlu bekerja keras.”

Boruta menoleh ke ladang-ladang di kejauhan, tempat para petani lain sibuk dengan kehidupan masing-masing. Dari sana, ia melihat sesuatu yang membuatnya tertawa kecil.

Dua petani sedang bertengkar hebat. Yang satu menuduh tetangganya mencuri sekantong gandum dari lumbung. Suara mereka meninggi, saling memaki. Dalam sekejap, adu mulut itu berubah menjadi perkelahian. Tinju menghantam wajah, cangkul terayun, dan darah menetes di tanah yang dingin.

Boruta menggeleng pelan, terkekeh. “Ah, manusia… kalian bahkan tidak perlu iblis untuk menghancurkan diri sendiri. Aku hanya menawarkan ladang yang subur, tapi lihatlah kalian: rela mengkhianati tetangga sendiri demi sekarung gandum busuk.”

Ia melangkah perlahan, mendekati mereka tanpa terlihat. Bisikan tipis keluar dari bibirnya, hampir seperti hembusan angin.

“Ambil hakmu… jangan biarkan dia mencurinya darimu… balas, jangan kalah…”

Petani yang marah itu semakin kalap, matanya merah penuh kebencian. Ia mengayunkan cangkulnya lebih keras, hingga kepala tetangganya retak. Tubuh korban jatuh tergelak, darah mengalir deras.

Boruta tertawa kecil, suaranya serupa gemerisik daun. “Begitulah… betapa lucunya manusia. Aku hanya perlu menyentuh sedikit, sisanya mereka lakukan sendiri. Lebih kejam dari iblis, lebih haus dari api neraka.”

Malam itu, Jakub masih berlutut di gereja. Tubuhnya gemetar, doa-doanya tak terjawab. Ia mendongak ke salib, suaranya serak. “Jika Kau mendengarku, beri aku tanda. Atau… atau mungkin aku harus mencari Boruta. Mungkin ia satu-satunya yang bisa menolongku.”

Boruta, yang berdiri tak jauh dari jendela gereja, tersenyum puas. “Akhirnya,” bisiknya. “Tak perlu kupaksa. Mereka datang padaku sendiri.”

Ia melangkah mundur, membiarkan bayangannya larut dalam kabut. Tapi matanya berkilat—ada rencana lain yang sudah ia siapkan.

Keesokan harinya, kabar tentang pembunuhan antar petani menyebar ke seluruh desa. Orang-orang ketakutan, tapi juga saling curiga. Persaudaraan yang dulu erat kini mulai retak. Semua orang memandang satu sama lain dengan rasa iri, takut, dan marah.

Boruta berdiri di tepi hutan, menyaksikan semua itu.

“Betapa indahnya,” katanya pelan. “Aku hanya menawarkan satu kontrak pada satu orang, tapi seluruh desa mulai retak. Bahkan Jakub, si saleh itu, sudah mulai meragukan Tuhannya. Sungguh, manusia lebih pintar menghancurkan dirinya sendiri daripada aku yang berabad-abad jadi iblis.”

Ia menatap ke arah gereja sekali lagi, lalu tersenyum penuh misteri. “Mari lihat siapa yang lebih dulu menyerah… Stanisław yang terikat padaku, atau Jakub yang berusaha melawan. Pada akhirnya, mereka sama saja: rapuh, lapar, dan haus.”

Malam turun perlahan. Angin hutan pinus berdesir membawa bisikan samar. Di gereja kecil itu, Jakub masih berlutut, air matanya kering, tubuhnya lunglai. Dan di kejauhan, Boruta menatapnya dengan sabar, seperti pemangsa menunggu mangsanya kelelahan.

Di balik senyum liciknya, ada kekaguman jujur yang muncul sekejap.

“Kadang, aku tak perlu melakukan apa pun. Manusia sendiri yang menunjukkan bahwa mereka bisa lebih buruk dari iblis.”

 

Kabut turun tebal malam itu, menyelimusti Desa Brzeziny hingga hampir tak ada cahaya yang mampu menembusnya. Suara serigala dari kejauhan terdengar samar, bercampur dengan desir angin yang membuat ranting-ranting pinus berderit menyeramkan.

Di tepi desa, kuburan tua terbentang, dipenuhi batu nisan lumut yang miring dan salib kayu yang rapuh. Lilin-lilin kecil yang ditinggalkan keluarga untuk mendoakan leluhur padam ditiup angin. Tempat itu jarang dikunjungi, kecuali oleh mereka yang membawa duka.

Malam itu, dua sosok berjalan ke arah yang sama tanpa saling mengetahui.

Stanisław datang dengan langkah gontai. Wajahnya pucat, tubuhnya tidak sebesar sebelumnya meski lumbung penuh gandum. Sudah berminggu-minggu ia diganggu mimpi buruk—bayangan api neraka, tangan-tangan hitam yang menarik kakinya, tawa Boruta yang memekakkan telinga. Tubuhnya kini mulai melemah, batuk darah setiap malam, seakan jiwanya terkikis perlahan.

Ia datang ke kuburan bukan untuk mendoakan leluhur, melainkan mencari tempat sepi untuk menangis. “Apalah gunanya ladang yang subur,” gumamnya, “jika aku tak lagi punya jiwa. Apa gunanya kemakmuran, bila tidurku dipenuhi jeritan neraka?”

Pada waktu yang sama, Jakub berjalan dari arah lain. Ia menggendong tubuh kecil anak bungsunya, Marek, yang dingin tak bernyawa. Bocah itu meninggal sore tadi, perutnya kempis, matanya terpejam tanpa pernah lagi terbuka. Jakub dan istrinya sudah mencoba segalanya: sup tipis dari akar-akar liar, roti kering yang dibagi menjadi serpihan kecil. Tapi tubuh Marek terlalu lemah.

Jakub terisak, suaranya pecah. “Anakku… mengapa kau harus pergi? Mengapa ayahmu terlalu miskin untuk menyelamatkanmu?” Air matanya jatuh membasahi wajah pucat sang bocah.

Ia menggali tanah dengan sekop berkarat di bawah sinar bulan redup, tepat di samping nisan lama. Suara sekop menghantam tanah beku terdengar lirih, seakan bumi enggan menerima jasad mungil itu.

Dan di situlah, kedua pria itu bertemu.

Stanisław menoleh ketika mendengar isak tangis Jakub. Untuk sesaat, mereka saling tatap dalam kabut. Dua wajah yang berbeda jalan, namun sama-sama hancur.

“Jakub…” suara Stanisław parau. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Jakub tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap tubuh kecil anaknya, lalu menoleh dengan mata basah. “Aku mengubur anakku. Ia mati karena lapar.”

Stanisław terdiam. Kata-kata itu menusuk hatinya lebih dalam dari tawa Boruta. Ia melangkah mendekat, tubuhnya gemetar. “Aku… aku punya lumbung penuh gandum. Aku bisa saja menolongmu… tapi aku terlalu sibuk menjaga kekayaanku. Aku terlalu takut kehilangan.”

Jakub menunduk, menggenggam tanah di tangannya. “Dan aku… terlalu keras kepala. Malam itu di hutan, aku menolak tawaran Boruta. Aku pikir aku sedang setia pada Tuhan. Tapi kini anakku mati. Apa gunanya kesetiaan, jika keluargaku terkubur?”

Keduanya terdiam, hanya angin malam yang melolong. Kuburan itu menjadi saksi dua hati yang sama-sama menyesal, meski dengan jalan berbeda.

Stanisław jatuh berlutut, batuk darah yang membasahi tanah. “Aku menukar jiwaku demi ladang yang subur, tapi kini tubuhku busuk, jiwaku ditarik ke neraka. Aku iri padamu, Jakub. Kau mungkin miskin, tapi jiwamu masih bersih.”

Jakub menoleh dengan tatapan kosong. “Bersih? Katakan itu pada anakku yang mati karena kebersihan jiwa ayahnya. Aku iri padamu, Stanisław. Kau setidaknya bisa memberi makan keluargamu, meski harus menggadaikan jiwa.”

Kedua pria itu sama-sama menunduk, tertelan penyesalan masing-masing. Tidak ada pemenang. Tidak ada yang benar.

Dari balik bayangan nisan tua, sepasang mata merah menyala memperhatikan mereka. Boruta berdiri diam, wajahnya teduh tapi senyumnya sinis. Ia mendengar setiap kata, setiap keluhan, dan setiap pengakuan.

“Oh, betapa indahnya,” bisiknya. “Dua manusia, dua pilihan berbeda, namun keduanya hancur. Aku hanya menunjukkan jalan, tapi mereka sendiri yang melangkah menuju jurang.”

Ia melangkah keluar dari kegelapan, namun tetap samar dalam kabut. Dua petani itu tidak menyadari kehadirannya. Boruta hanya tersenyum puas, lalu menoleh ke gereja kecil di kejauhan.

Tepat saat itu, lonceng gereja berdentang. Suaranya berat, panjang, menyerupai ratapan. Gong… gong… gong…

Suara itu menggema ke seluruh desa, memberi tahu semua orang bahwa ada jiwa yang baru saja pergi.

Stanisław berbaring di tanah, tubuhnya menggigil hebat. Jakub memeluk tubuh anaknya yang kaku, terisak tanpa suara. Dan Boruta hanya tertawa kecil, suaranya lebih dingin dari angin malam.

“Pada akhirnya,” gumamnya, “kedua jalan sama saja. Gelap.”

 

Kabut masih menggantung di atas Desa Brzeziny. Malam itu, setelah lonceng gereja selesai berdentang, suasana desa tenggelam dalam hening yang berat. Tidak ada suara tawa, tidak ada doa. Hanya kelelahan, lapar, dan bayangan kematian yang merayap di tiap rumah.

Boruta berjalan perlahan ke ladang, langkahnya nyaris tak menimbulkan jejak di tanah beku. Gandum-gandum kering berdiri kaku, seolah ikut menyaksikan penderitaan manusia. Ia berhenti di tengah kabut, menatap ke arah beberapa petani yang masih terjaga, duduk di dekat api kecil sambil berdebat lirih tentang nasib mereka.

Mata Boruta berkilat merah, tapi wajahnya tenang, hampir penuh kasih. Ia mendengar keluh kesah mereka: lapar, iri, dendam, ketakutan. Semua rasa itu mengalir seperti musik indah di telinganya.

Boruta tersenyum tipis. Ia tahu tak perlu terburu-buru. Manusia selalu membawa benih kehancurannya sendiri. Ia hanya perlu mengingatkan, membuka pintu, lalu membiarkan mereka melangkah dengan kaki sendiri.

Para petani itu terdiam, saling pandang dengan wajah pucat. Tak ada yang benar-benar melihat Boruta, tapi mereka merasakan sesuatu yang menusuk ke dalam hati mereka. Bisikan itu terdengar akrab, seakan datang dari dalam diri mereka sendiri.

Dengan suara rendah, nyaris menyerupai bisikan angin, ia melontarkan kata-kata yang sudah ribuan kali ia ucapkan sepanjang sejarah manusia.

“Mari buat perjanjian.”

Share:

Dolly



Surabaya, 2012.

Aku selalu percaya bahwa hidup ini bukan hanya tentang pilihan, tapi tentang seberapa keras kamu bisa bertahan ketika tak ada pilihan lain. Namaku Tara. Aku lahir di Surabaya, orang sering bilang aku cantik. Wajahku oval, kulitku sawo matang bersih, dengan mata bulat yang katanya memancarkan sesuatu yang hangat—meski aku sendiri lebih sering merasa kosong. Tubuhku proporsional, tinggi rata-rata perempuan kota, tidak terlalu kurus dan tidak pula gemuk, seimbang seperti tubuh yang sering dipuja-puja dalam iklan murahan. Dan sejak umur belasan aku sudah belajar menahan lapar, menelan getir, dan pura-pura tegar di depan adikku yang jauh lebih kecil.

Andai hidup hanya menilai dari wajah dan tubuh, mungkin nasibku akan berbeda. Tapi kenyataannya, paras cantik tak pernah mampu menebus biaya rumah sakit, dan tubuh sehat tak berarti apa-apa ketika di rumah, adikku terbaring lemah melawan sakit yang tak bisa ia pilih. Aku cantik, kata orang. Tapi di dalam diriku, aku hanyalah perempuan muda berumur 25 tahun yang kalah oleh keadaan, terseret ke arus yang tidak pernah kuimpikan.

Kos-kosanku ada di sebuah gang sempit dekat Jalan Jarak. Gang itu selalu bising, entah oleh suara anak-anak main bola plastik yang memantul di tembok kusam, atau teriakan tukang lontong balap yang suaranya bersaing dengan dengungan motor lewat. Malam hari bau sate klopo bercampur asap rokok mengambang di udara, menusuk hidung, seakan-akan kota ini hidup dari aroma minyak gosong dan keringat.

Aku tinggal di sebuah kamar sempit berukuran 3m² x 4m², dindingnya berlapis cat biru yang sudah terkelupas, atapnya bolong di beberapa sisi sehingga ketika hujan air sering menetes ke lantai. Ranjangku hanya dipan kayu dengan kasur tipis yang sudah melesak ke dalam. Di pojok kamar ada rak plastik berisi pakaian seadanya, dan sebuah foto lama ibu yang selalu kutaruh di sana. Ibu meninggal beberapa tahun lalu, tepat setelah melahirkan adikku, Raka.

Ayah? Jangan tanya. Ia kabur setelah Raka lahir, katanya tak kuat menanggung beban. Bagiku, itu hanya alasan pengecut. Sejak itu aku belajar bahwa orang dewasa bisa saja berhenti bertanggung jawab tanpa rasa malu.

Aku bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran kecil dekat Wonokromo. Restoran sederhana, menjual rawon dan nasi campur, dengan meja kayu panjang dan bangku plastik yang sering lengket kalau kena keringat. Gajiku Rp 700.000,- sebulan, cukup untuk bayar kos, beli beras, dan sedikit lauk seadanya. Kadang-kadang aku menambal penghasilan dengan mencuci piring tambahan, atau mengambil jatah lembur kalau ada acara hajatan besar.

Semua berjalan biasa saja, sampai suatu siang aku duduk di ruang tunggu RSUD Dr. Soetomo. Raka yang baru berumur sepuluh tahun terbaring pucat, wajahnya tirus, bibirnya kering. Dokter menyebut satu kata yang membuat lututku lemas: leukemia.

Aku menatap dokter itu seperti orang bebal. Aku bahkan tak tahu persis apa artinya, hanya tahu bahwa itu penyakit berbahaya. Dokter menjelaskan dengan suara datar, tentang sel darah putih yang berkembang tak terkendali, tentang kemoterapi yang harus segera dilakukan, tentang transfusi darah, obat-obatan, biaya besar.

Biaya. Kata itu menancap seperti paku.

Aku ingat saat itu hanya bisa mengangguk-angguk, seolah aku mengerti, padahal pikiranku kosong. Waktu aku keluar dari ruang periksa, aku menahan tangis. Di luar, angin Surabaya yang panas tak bisa mengeringkan air mataku. Aku melihat Raka tersenyum kecil padaku, meski tubuhnya lemah. Anak itu selalu berusaha terlihat kuat di hadapanku.

“Mbak, aku pengen cepet sembuh biar bisa main bola lagi.”

(“Mbak, aku ingin cepat sembuh supaya bisa main bola lagi.”)

Aku hanya mengangguk dan mengelus kepalanya, padahal hatiku koyak.

Semakin hari, semakin jelas bahwa gajiku tak akan cukup. Biaya kemoterapi, transfusi darah, obat-obatan—semuanya menumpuk. Aku mencoba pinjam ke saudara jauh, tapi mereka juga pas-pasan. Aku coba ke koperasi, hanya diberi sedikit pinjaman yang tak seberapa. Malam-malamku penuh hitungan tak masuk akal, lembaran catatan yang kubolak-balik dengan pensil tumpul, berakhir dengan air mata.

Sampai akhirnya Mira datang.

Mira adalah sahabatku sejak SMP. Ia sudah lama menghilang dari lingkar pergaulanku, kabarnya bekerja di Dolly, kawasan yang sudah lama terkenal di Surabaya. Aku jarang bertanya detail, tapi semua orang tahu Dolly bukan sekadar nama gang. Dolly adalah dunia lain—lampu-lampu neon yang menyala sepanjang malam, musik dangdut yang memekakkan telinga, derap sepatu hak tinggi di jalan sempit, dan perempuan-perempuan dengan senyum palsu yang bisa dibeli.

Malam itu Mira menemuiku di warung kopi pinggir gang. Ia duduk sambil menyeruput es teh, mengenakan blus merah menyala dan rok ketat, wajahnya dipoles riasan tebal. Senyumnya lebar, tapi matanya menyimpan kelelahan yang hanya bisa kulihat karena aku mengenalnya sejak lama.

Mira: “Kowe saiki kerja nang ngendi, Ta?”

(“Kamu sekarang kerja di mana, Ta?”)

Aku: “Wonokromo. Pelayan warung.”

(“Di Wonokromo. Jadi pelayan warung.”)

Mira: “Duwe piro gajimu?”

(“Berapa gajimu?”)

Aku: “Paling… pitung atusan.”

(“Paling… tujuh ratusan ribu.”)

Mira mendengus.

Mira: “Pitung atusan? Halah, Ta. Seminggu wae aku iso entuk luwih saka kuwi.”

(“Tujuh ratus ribu? Halah, Ta. Seminggu saja aku bisa dapat lebih dari itu.”)

Aku diam.

Mira mencondongkan tubuh, suaranya menurun, lebih serius.

Mira: “Kowe wani? Nek wani, duitmu iso nggo nambani adikmu cepet, Ta.”
(“Kamu berani? Kalau berani, uangmu bisa dipakai untuk mengobati adikmu lebih cepat, Ta.”)

Aku tertegun. Aku tahu apa maksudnya. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini. Dadaku mendadak sesak.

Aku: “Mira… aku ora iso. Aku jijik mikirne wae.”

(“Mira… aku tidak bisa. Aku jijik memikirkan saja.”)

Mira memandangku dalam-dalam, lalu menyalakan sebatang rokok. Asapnya mengepul di antara kami.
Mira: “Jijik? Aku yo rasane koyok ngono pisanan, Ta. Tapi saiki aku ngerti, iki mung kerjaan. Awakmu mung sarana. Ati? Ati kudu dipetok. Nek kowe mikir terus nganggo ati, kowe gak iso urip.”
(“Jijik? Aku juga rasanya begitu pertama kali, Ta. Tapi sekarang aku tahu, ini hanya pekerjaan. Tubuhmu cuma sarana. Hati? Hati harus dipenjara. Kalau kamu terus pakai hati untuk mikir, kamu tidak akan bisa hidup.”)

Aku menggenggam gelas kopi, menunduk. Bayangan wajah pucat Raka kembali muncul. Senyumnya. Matanya yang selalu berusaha tegar. Aku memejamkan mata.

Aku: “Tapi… Ra… aku ora ngerti nek aku kuwat opo ora.”

(“Tapi… Ra… aku tidak tahu apakah aku kuat atau tidak.”)

Mira menepuk tanganku.

Mira: “Kuwat, Ta. Percaya aku. Nek kowe tenanan, aku iso nuntun kowe. Ora gampang, tapi duitmu iso kanggo nambani adikmu. Kowe kan mung pengen kuwi, ta?”

(“Kuat, Ta. Percaya aku. Kalau kamu sungguh-sungguh, aku bisa tuntun kamu. Tidak mudah, tapi uangmu bisa untuk mengobati adikmu. Kamu kan cuma ingin itu, kan?”)

Aku menatap Mira. Wajahnya yang dulu polos kini terasa asing. Tapi kata-katanya menusuk tepat ke pusat hatiku. Aku ingin Raka sembuh. Aku ingin ia punya kesempatan main bola lagi, tertawa, sekolah, hidup normal.

Malam itu aku pulang ke kos dengan kepala penuh suara-suara bertentangan. Aku memandang foto ibu di rak plastik. Aku membayangkan apa yang akan beliau katakan jika melihatku sekarang. Mungkin beliau akan kecewa. Tapi lebih kecewa lagi jika aku membiarkan Raka meninggal tanpa berusaha lebih keras.

Aku menangis lama sekali malam itu. Dan ketika fajar menyingsing, aku sudah membuat keputusan.

Aku akan masuk ke dunia yang membuatku ngeri, dunia yang bahkan tak berani kusebut namanya lantang. Aku akan mengorbankan diriku sendiri, menukar kehormatanku, demi Raka.

Karena terkadang, dalam hidup, kita dipaksa memilih bukan antara baik dan buruk, tapi antara buruk dan lebih buruk.

Dan aku memilih yang pertama.

 

Lampu neon berkelap-kelip menyalakan gang Dolly seperti pesta kecil yang tak pernah selesai. Warung remang berdendang dangdut koplo; suara biduan perempuan bergaun ketat serak-serak basah, diiringi ketukan kendang dan tawa para lelaki mabuk. Aroma parfum murahan bercampur dengan alkohol murah, menempel di udara yang pengap. Becak-becak ngetem di mulut gang, menunggu penumpang yang setengah sadar, atau lelaki yang sudah kehabisan tenaga setelah malam panjang.

Aku berjalan pelan, tubuhku kaku, jantungku berpacu tak karuan. Mira menggandeng tanganku.
“Kowe ojo grogi, Ta. Nek wis ketemu karo pelanggan, sing penting kowe iso nggawe awake dhewe koyo boneka. Hati-mu mateni, awakmu sing dolanan,” bisiknya.

(Kamu jangan grogi, Ta. Kalau sudah ketemu pelanggan, yang penting kamu bisa membuat dirimu seperti boneka. Matikan hatimu, tubuhmu yang dimainkan.)

Aku hanya mengangguk. Kata-kata itu menghantam dadaku. Boneka. Ya, mungkin memang aku akan menjadi boneka malam ini.

Kamar kos yang disewa Mira untuk kami bekerja sempit, bau rokok menempel di sprei. Belum sempat aku menghela napas, seorang pria tua masuk. Tubuhnya tambun, kulitnya penuh keriput, keringat bercampur parfum menyengat. Nafasnya berat, gerakannya tergesa.

Dia langsung meraihku, tanpa banyak bicara. Tangan kasarnya menekan pundakku, napasnya memburu, dan tubuhku diperlakukan seperti barang yang sudah dibayar. Aku terdiam, mataku kosong menatap langit-langit. Aku ingin tubuhku berada di tempat lain, jauh dari kamar pengap itu.

Detik demi detik terasa seperti jam. Aku menggigit bibir, menahan rasa jijik yang mengalir bersama setiap sentuhannya. Dalam kepalaku, hanya ada satu hal: wajah Raka. Tubuh kurus adikku, selang infus di tangannya, matanya yang selalu berusaha tersenyum meski sakit.

“Cepet wae rampung… cepet wae,” bisikku dalam hati.

(Cepat saja selesai… cepat saja.)

Ketika akhirnya pria itu terlelap sebentar, lalu bangun dan bergegas pergi, ia meninggalkan beberapa lembar uang lusuh di meja. Pintu menutup, dan aku terduduk lemas di ranjang. Air mataku jatuh tanpa suara.

Aku menatap uang itu. “Inikah harga kehormatanku?” tanyaku pada diriku sendiri.

Malam kedua, Mira tidak ada. Aku sendirian ketika seorang pria muda datang. Parasnya teduh, mungkin usianya baru tiga puluhan. Pakaiannya rapi, wangi parfumnya lebih mahal daripada pria-pria yang biasa kulihat di gang.

Dia duduk di kursi, tidak mendekat ke ranjang. “Aku cuma butuh ngobrol, boleh?” katanya.

Aku mengangguk. Dalam hati aku bersyukur, setidaknya tubuhku tak harus kembali jadi boneka.

Dia bercerita panjang lebar. Tentang istrinya yang suka mengeluh, soal dapur yang tak pernah cukup, tentang anak-anaknya yang cerewet—bertengkar karena hal sepele, mainan, PR sekolah, atau hanya karena berebut channel TV.

“Aku capek, Mbak. Rasanya rumah bukan lagi tempat pulang. Aku kadang pengin kabur aja,” ucapnya, matanya menerawang.

Aku mendengarkan, hanya sesekali menyahut: “Hmm,” atau “Iyo, aku ngerti…”

(Ya, aku mengerti…)

Setiap kata yang keluar dari bibirnya membuatku sadar, betapa aneh hidup ini. Dia punya keluarga, punya rumah, punya anak. Meski banyak keluhan, tapi ia masih punya sesuatu yang bahkan tak pernah kupunya. Aku hanya punya Raka—dan detik demi detik, aku takut kehilangan dia.

Sebelum pergi, pria itu merogoh dompetnya, mengeluarkan uang lebih banyak dari tarif yang disepakati. Dia menaruhnya di meja. “Kamu dengerin aku aja udah cukup. Aku jarang bisa cerita sama orang lain. Terima kasih.”

Aku tercekat. Ingin bertanya kenapa dia memilih curhat pada seorang perempuan bayaran seperti aku, tapi lidahku kelu.

Saat pintu tertutup, aku memeluk lututku di ranjang. Aku mulai belajar tertawa dalam hati. Beginilah cara bertahan. Matikan perasaan. Anggap ini hanya pekerjaan.

Dan malam-malam berikutnya, aku semakin lihai. Aku bisa berpura-pura tertawa, bisa menangis sesuai pesanan, bahkan bisa tersenyum ketika hatiku berdarah. Aku menertawakan luka, menjadikannya bagian dari rutinitas.

Namun, jauh di dalam diriku, masih ada suara kecil berbisik: Tara, sampai kapan kamu bisa begini?

 

Gang Dolly malam itu lebih riuh dari biasanya. Lampu neon merah jambu menyala terang, seolah ingin menutupi luka-luka yang berserakan di jalanan. Musik dangdut dari warung ujung gang lebih kencang, suara biduan perempuan bercampur tawa para lelaki. Aroma sate klopo dari gerobak depan kos Mira berpadu dengan parfum murahan yang menempel di udara.

Aku duduk di ranjang, menunggu. Sudah beberapa malam ini pelanggan datang silih berganti, tapi hatiku semakin mati rasa. Setiap malam aku memikirkan Raka yang semakin kurus di ranjang rumah sakit, infus menancap di tangannya. Kemoterapi membuat rambutnya rontok, tapi dia tetap berusaha tersenyum saat aku datang membawa buah atau buku cerita.

“Ta, iki pelanggan anyar. Ganteng, rapi. Kayak bos besar. Kowe ati-ati, lho,” bisik Mira sambil menunjuk lelaki yang baru masuk.

(Ta, ini pelanggan baru. Ganteng, rapi. Seperti bos besar. Kamu hati-hati, ya.)

Aku menoleh. Lelaki itu berjalan dengan percaya diri, sepatu mengilap, kemeja putih mahal dengan manset mengkilap. Parfum mahalnya langsung menusuk hidungku—bukan wangi murahan seperti yang biasa kubaui. Rambutnya disisir rapi, wajahnya licin penuh senyum.

“Selamat malam, cantik,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. “Aku Arman. Boleh kenalan?”

Aku tersenyum seadanya. “Aku Tara.”

Arman duduk di kursi, menatapku dengan mata penuh kilau. “Cantik bener kamu. Gak nyangka nemu yang kayak kamu di sini.”

Aku hanya tersenyum tipis. Dalam hati aku sudah tahu pola ini: rayuan manis, lalu tubuh. Tapi Arman tampak berbeda. Dia tidak langsung menyerangku. Dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya: brosur-brosur mengkilap dengan gambar botol suplemen, kosmetik, dan alat kesehatan berwarna keemasan.

“Kamu pernah denger nama ini? Ini produk kesehatan terbaru, booming di Jakarta. Suplemen yang bisa nyembuhin macam-macam penyakit. Aku top leader-nya di Surabaya,” katanya sambil membolak-balik brosur.

Aku mengernyit. “Aku… enggak tahu, Mas.”

Arman tertawa kecil. “Wajar. Tapi ini kesempatan. Aku udah punya jaringan ribuan orang. Mereka sekarang udah keliling dunia. Lihat nih…” Dia menunjukkan ponselnya: foto-foto liburan ke Singapura, Dubai, Hong Kong. Dia bahkan memperlihatkan foto dirinya berdiri di depan Marina Bay Sands.

Aku menatap layar itu dengan mata berbinar. Seandainya aku bisa begitu… keluar dari tempat ini. Raka bisa sembuh, aku bisa kerja normal lagi.

Arman mendekat. “Kamu tahu nggak, Tara? Kamu punya aura yang beda. Aku bisa bantu kamu keluar dari Dolly. Kamu nggak perlu selamanya kayak gini. Cuma butuh modal awal kecil, nanti tinggal jalankan jaringan. Dalam tiga bulan, uang kamu balik dua kali lipat. Kalau kamu mau, aku bantu langsung daftarin malam ini.”

Aku terdiam. Kata-katanya menusuk seperti janji manis yang selama ini hanya kubayangkan. “Beneran, Mas? Bisa cepat?”

“Bener, Sayang,” Arman mendekat lebih lagi, tangannya menyentuh rambutku. “Kamu harus percaya. Aku udah bantu banyak orang.”

Aku menghela napas. Wajah Raka muncul lagi di kepalaku. Dia butuh biaya kemoterapi lanjutan, dokter bilang obatnya makin mahal. Uang tabunganku masih belum cukup. Kalau aku bisa cepat balik modal… aku bisa keluar dari Dolly. Raka bisa sembuh.

Aku mengangguk pelan. “Aku… aku pikirin dulu, Mas.”

Arman tersenyum lebar. “Oke. Tapi sekarang kita nikmatin dulu malamnya, ya?”

Dia meraihku, menarikku ke pelukannya. Bibirnya menyentuh leherku, tangannya menjelajahi tubuhku. Aku menggigit bibir, mencoba mati rasa seperti yang selalu kulakukan. Di sela desahan, dia berbisik-bisik lagi tentang sukses, tentang jaringan, tentang liburan ke luar negeri—seolah semua itu mudah dicapai.

Aku memejamkan mata. Rasanya seperti sedang tidur sambil mendengarkan dongeng. Dongeng tentang dunia yang indah, tapi aku tetap berada di ranjang pengap ini.

Ketika selesai, Arman bangkit, merapikan pakaiannya. Dia mengeluarkan brosur lebih banyak, menaruhnya di meja. “Ini ya, kamu baca-baca. Aku percaya kamu punya potensi. Kalau udah siap, kabari aku. Aku bikinin akunmu langsung.”

Dia menyelipkan kartu nama ke tanganku, lalu pergi sambil melambai. Parfum mahalnya masih tertinggal di udara.

Beberapa hari kemudian aku menghubungi Arman. Aku sudah memutuskan. Uang tabunganku—hasil lembur malam demi malam, hasil tubuhku—akan kuserahkan untuk “paket awal” MLM Arman.

“Pintar kamu, Tara,” katanya lewat telepon. “Aku pastiin kamu sukses.”

Aku mentransfer seluruh uangku ke rekening yang dia berikan. Hatiku berdebar. Ini untuk Raka. Ini tiketku keluar.

Hari-hari berikutnya, aku menunggu kabar Arman. Tapi teleponnya mati. Nomor WA-nya tidak aktif. Brosur-brosur yang dulu tampak mewah kini terlihat seperti kertas murahan.

Aku mencoba menghubungi beberapa nama di brosur itu. Nomor mereka palsu.

Aku duduk di kamar kos, memandangi uang tabunganku yang hilang. Dadaku sesak. Aku berteriak. Aku memukul-mukul dinding. “Bodoh, Tara! Bodoh!”

Air mataku tumpah. Aku teringat Raka di rumah sakit. Uang yang harusnya buat obat Raka malah lenyap gara-gara kebodohanku.

Aku menangis sejadi-jadinya, tubuhku gemetar. Sejenak aku berpikir untuk mengakhiri hidupku. Apa gunanya semua ini? Setiap malam aku menyerahkan tubuhku untuk uang, dan ketika ada harapan, harapan itu malah menipuku.

Aku terbaring di lantai kamar kos, memeluk brosur MLM yang basah oleh air mata. Rasanya aku ingin lenyap saja.

Di luar kamar, Dolly tetap hidup. Lampu neon berkedip-kedip, musik dangdut masih mengalun, lelaki-lelaki masih tertawa. Dunia terus berputar, seakan-akan luka di dalam kamar ini tak pernah ada.

Aku memejamkan mata, menarik napas panjang. Aku harus tetap hidup. Demi Raka. Meski aku telah jatuh, aku harus bangun lagi.

Tapi di sudut hatiku, ada yang retak. Ada bagian diriku yang sudah mati bersama uang yang lenyap itu.

 

Telepon genggam Tara bergetar keras dini hari itu. Layar menampilkan nomor tak dikenal. Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol hijau.

“Mbakyu Tara, kulo saking RSUD dr. Soetomo…” suara di seberang terdengar serius, menekan kata demi kata. “Kondisi adik panjenengan, Raka, makin memburuk. Kami butuh persetujuan segera untuk tindakan operasi. Tanpa itu, nyawanya terancam.”

Darah Tara seakan surut ke kaki. Matanya berkunang. Ia menatap dinding kamar kos yang kusam, seolah mencari pegangan. “O… operasi?” suaranya pecah.

“Iya, Bu. Biayanya cukup besar. Kalau bisa segera datang ke rumah sakit, kita bisa bahas detailnya.”

Telepon terputus, menyisakan keheningan mencekam. Tubuh Tara lunglai jatuh ke kasur tipis. Ingatannya langsung menjerit soal uang tabungannya. Hampir 30 juta rupiah hasil menahan lapar, bekerja malam, menelan hinaan—semua itu raib, dibawa kabur pelanggan flamboyan yang mengaku bernama Arman Prakoso. Uang yang harusnya untuk obat Raka, untuk harapan kecil mereka, kini hanya tinggal kertas brosur MLM yang sudah kusam di sudut kamar.

Tara menekuk lutut, memeluknya erat. Tangisnya pecah. “Gusti… kenapa aku sebodoh ini?” bisiknya parau. Ia ingin marah pada dirinya sendiri, pada dunia, pada semua orang yang mempermainkan hidupnya.

Namun waktu tak menunggu. Dengan kaki lemas, ia menyeret tubuhnya menuju rumah sakit.

Lorong RSUD Dr. Soetomo dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk. Lampu neon putih pucat menggantung di atas, menambah suasana dingin dan mencekam. Tara berjalan tergesa, wajahnya sembab, rambut kusut tak terurus.

Di ruang tunggu, ia mendengar suara yang tak asing. Suara lembut, agak dalam, penuh kesabaran.

“Tara?”

Tara menoleh. Degup jantungnya seakan berhenti sejenak. Di hadapannya berdiri pria muda yang dulu hanya jadi pelanggan “aneh”—yang tidak menyentuhnya sama sekali, melainkan memilih curhat panjang lebar. Ia ingat betul pria itu menolak menyentuh tubuhnya, hanya duduk memandang kosong sambil bercerita.

Kini ia berdiri dengan kemeja sederhana, wajahnya pucat namun berwibawa. Senyumnya samar, matanya penuh empati.

“Mas… Ardian?” suara Tara tercekat.

Ardian Wiratmaja mengangguk pelan. “Iya. Tak sangka ketemu kamu di sini.”

Tara ingin menunduk, menyembunyikan dirinya. Namun air matanya justru mengalir deras. “Mas… aku… aku ditipu…”

Ardian menuntunnya duduk di kursi panjang rumah sakit. Dengan sabar ia mendengarkan Tara memuntahkan semuanya—tentang pelanggan flamboyan dengan parfum menyengat, tentang brosur MLM yang menjanjikan kaya mendadak, tentang tabungan puluhan juta yang hilang begitu saja. Tentang Raka, adiknya yang kini di ambang maut.

“Aku goblok, Mas… Aku kerja tiap malam, rela diinjak-injak, biar Raka bisa sembuh. Tapi malah tak kasihkan semua uang itu ke penipu. Raka… Raka bisa mati gara-gara aku…” Tara menutup wajah dengan kedua tangannya, bahunya terguncang hebat.

Ardian hanya diam. Sesekali tangannya menyentuh bahu Tara, menyalurkan kehangatan yang jarang sekali Tara rasakan dari siapapun. Lalu ia berkata pelan, tenang, namun tegas:

“Ta, kamu sudah berjuang sejauh ini. Jangan salahkan dirimu terus. Penipu itu yang salah, bukan kamu. Sekarang yang penting nyawa adikmu. Uang bisa dicari lagi. Kesempatan hidup nggak bisa.”

Tara mengangkat wajahnya, mata bengkak, tak percaya dengan ketenangan lelaki di hadapannya.

“Aku… nggak punya siapa-siapa, Mas. Cuma kamu yang mau dengerin aku kayak gini…”

Ardian menghela napas panjang. Ia lalu berdiri, berjalan ke meja administrasi. Setelah beberapa menit berbicara dengan petugas, ia kembali.

“Operasi bisa jalan. Biayanya aku yang tanggung,” katanya ringan, seolah itu hal kecil.

Tara membeku. “M-Mas… jangan… itu mahal… aku—aku bisa….”

“Sudah, Ta.” Ardian menatapnya dalam-dalam. “Anggap saja aku balas budi. Waktu itu, kamu mau duduk dengar ceritaku tanpa menilai. Itu berarti lebih dari apapun.”

Tara tak kuasa lagi. Ia bangkit, lalu menubruk tubuh Ardian, memeluknya erat. Isaknya pecah, sampai orang-orang di lorong menoleh. “Mas… matur nuwun… matur nuwun sewu… aku ora iso mbales… kecuali tubuhku tak pasrahke kowe sak lawas-lawase…”

Namun Ardian dengan hati-hati melepaskan pelukan itu. “Jangan bilang begitu. Aku nggak butuh tubuhmu, Ta. Aku cuma pengin kamu tetap jadi dirimu. Itu sudah cukup.”

Beberapa hari kemudian, setelah operasi Raka berjalan lancar, Tara akhirnya tahu siapa Ardian sebenarnya.

Mereka duduk di taman rumah sakit, di bangku besi tua yang catnya mulai terkelupas. Angin sore mengibaskan dedaunan, sementara cahaya matahari redup menyinari wajah Ardian yang tampak jauh lebih tua dari usianya.

“Aku bukan orang baik, Ta,” ucap Ardian tiba-tiba.

Tara menoleh kaget. “Mas jangan ngomong ngono…”

Ardian tersenyum tipis. “Aku pasien psikiatri di sini. Setiap minggu aku kontrol. Hidupku hancur.”

Ia menarik napas berat, lalu menceritakan sesuatu yang membuat dada Tara sesak mendengarnya. Tentang istrinya yang manis, sabar, tapi meninggal bersama dua anak mereka dalam kecelakaan mobil yang dikendarainya, Ardian selamat namun trauma seumur hidup. Dirinya kehilangan arah, terjebak di antara rasa benci, duka, dan penyesalan.

“Aku sering ke Dolly karena… aku butuh tempat ngomong. Butuh orang yang nggak kenal aku, biar aku bisa curhat tanpa dihukum. Kamu ada di sana waktu itu. Dan entah kenapa, aku merasa kamu dengerin aku sungguh-sungguh. Itu nyelamatin aku, Ta.”

Air mata Tara kembali jatuh. Dunia seakan memutar: ia yang merasa paling hancur, ternyata duduk di samping lelaki yang juga remuk, bahkan lebih parah.

“Mas… ternyata kita sama-sama luka, ya?” suaranya lirih.

Ardian menatapnya, lalu tersenyum getir. “Iya, Ta. Luka sing podo, tapi kudu tetep urip. Karena masih ada orang yang butuh kita. Adikmu butuh kamu. Dan aku… mungkin masih butuh terus dengerin kamu.”

Tara menunduk, lalu menggenggam tangan Ardian erat-erat. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sebuah ikatan yang lahir bukan dari tubuh, bukan dari uang, melainkan dari luka yang sama-sama mereka tanggung.

 

Hidupku kembali berjalan seperti roda becak yang pincang, tetap berputar meski terdengar bunyi berderit. Setelah operasi Raka, aku merasa ada sedikit cahaya, tapi bukan berarti jalan jadi terang. Dolly tetap memanggilku setiap malam, dengan lampu neon yang kelap-kelip seperti mata iblis yang tak pernah tidur.

Aku masih harus bekerja, menerima lelaki asing yang datang silih berganti. Tubuhku tetap harus kugadaikan demi lembaran uang. Bedanya, sekarang aku punya satu tempat pulang batin: Ardian.

Kami sering bertemu di taman rumah sakit, kadang di warung kopi kecil di dekat rel kereta, atau sekadar duduk di bangku kayu dekat kosku. Percakapan dengannya seperti obat yang tak pernah dijual di apotek—menyembuhkan luka yang tak terlihat.

Suatu malam, setelah aku selesai bekerja, aku meneleponnya.

“Aku wes rampung, Mas. Ojo ngenteni suwe-suwe.”

(Aku sudah selesai, Mas. Jangan menunggu terlalu lama.)

Ia tertawa kecil di seberang telepon. “Aku di warung kopi biasa. Nek kowe iso, mampir.”

(Aku di warung kopi biasa. Kalau kamu bisa, mampirlah.)

Warung kopi itu sederhana, cuma bangku panjang dari kayu, lampu bohlam 10 watt yang meredup, dan wajan kecil di pojokan tempat gorengan menunggu digoreng ulang. Malam itu, aku melihat Ardian duduk dengan secangkir kopi hitam dan rokok kretek yang asapnya mengepul pelan.

“Aku rumangsa awakmu wis koyo separo nyawaku, Ta,” katanya tiba-tiba begitu aku duduk.
(Aku merasa kamu sudah seperti separuh nyawaku, Ta.)

Aku terdiam, menatap wajahnya yang pucat diterpa cahaya lampu redup. “Ojo ngono, Mas. Aku iki dudu sopo-sopo. Cuma wong wedok sing saben bengi didolke awak.”

(Jangan bilang begitu, Mas. Aku ini bukan siapa-siapa. Hanya perempuan yang setiap malam menjual tubuh.)

Ardian menggeleng. “Justru kuwi sing nggawe aku rumangsa cedhak karo kowe. Awake dhewe loro podo nggawa dosa lan lara, Ta. Bedane, kowe wani ngadepi. Aku? Aku isih kerap ngumpet ing bayangan.”

(Justru itu yang membuatku merasa dekat denganmu. Kita berdua sama-sama membawa dosa dan luka, Ta. Bedanya, kamu berani menghadapinya. Aku? Aku masih sering bersembunyi di balik bayangan.)

Aku menarik napas panjang, lalu menatap langit hitam Surabaya yang bertabur asap pabrik. “Mas, nek urip iki mung dolanan, kowe nggowo peran opo?”

(Mas, kalau hidup ini hanya permainan, kamu bawa peran apa?)

Ardian tersenyum miris. “Peran wong kalah. Nanging nek ora ana sing kalah, ora ana sing ngerti arti menang, to?”

(Peran orang kalah. Tapi kalau tidak ada yang kalah, tidak ada yang tahu arti menang, kan?)

Aku terdiam, hatiku ngilu. Dolly bukan sekadar tempatku bekerja, Dolly adalah perut kota: menelan semua yang busuk, memuntahkan tawa palsu, dan menyisakan aroma getir yang menempel di kulit. Lelaki yang datang ke sana bukan hanya mencari tubuh, tapi pelarian dari kenyataan. Dan aku, Tara, hanyalah salah satu pintu pelarian itu.

Malam-malam berikutnya, aku tetap melayani pelanggan. Ada yang kasar, ada yang terlalu manja, ada yang tak peduli aku manusia. Tubuhku semakin terasa seperti barang dagangan yang dipakai lalu dibuang. Namun setelah itu, aku selalu mencari Ardian.

Kadang aku bercerita padanya sambil menangis. Kadang kami hanya duduk diam, saling menatap, tanpa kata. Luka kami berbeda, tapi sakitnya serupa.

“Ta,” kata Ardian suatu malam, “kowe ngerti bedane wong urip karo wong sing mung bertahan urip?”
(Ta, kamu tahu bedanya orang hidup dengan orang yang hanya bertahan hidup?)

Aku menatapnya, menunggu.

“Wong urip isih nduwe pangarep-arep. Wong sing mung bertahan, mung ngenteni mati.”
(Orang hidup masih punya harapan. Orang yang hanya bertahan, hanya menunggu mati.)

Aku tercekat. Kata-kata itu menamparku lebih keras daripada hinaan pelanggan mana pun. Mungkin selama ini aku hanya bertahan hidup, bukan benar-benar hidup.

Aku memandangnya lama. “Mas, nek kowe nganggep aku pangarep-arepmu, aku gelem. Senajan saben wengi aku tetep dadi barang dagangan, nanging atiku… atiku mung ana nang kowe.”
(Mas, kalau kamu menganggap aku harapanmu, aku mau. Walau setiap malam aku tetap jadi barang dagangan, tapi hatiku… hatiku hanya ada padamu.)

Ardian menunduk, kedua matanya berkaca-kaca. Malam itu, tanpa perlu janji atau ikatan apa pun, kami tahu: dua luka telah saling bertemu. Dua jiwa yang sama-sama remuk, saling menopang agar tidak jatuh lebih dalam.

 

Aku duduk di ruang tunggu RSUD Dr. Soetomo, tubuhku gemetar tanpa sebab. Bau antiseptik menusuk hidung, suara roda brankar berderit melewati lorong, dan tangisan samar-samar orang lain yang kehilangan orang tercinta. Malam itu, aku tahu dunia tak akan lagi sama.

Raka, adikku, tidak berhasil melewati operasi lanjutan. Dokter keluar dengan wajah lelah, menunduk, lalu berkata pelan,

“Kami sudah berusaha sebaik mungkin, Mbak Tara. Tapi… kondisinya terlalu lemah.”

Kata-kata itu menghantamku lebih keras daripada apa pun yang pernah terjadi dalam hidupku. Kakiku goyah, tubuhku roboh di kursi plastik. Air mataku tumpah, deras, tanpa bisa dikendalikan. Semua pengorbanan, semua luka, semua malam yang kuserahkan pada lelaki asing—ternyata sia-sia.

Aku masuk ke ruang jenazah, menatap tubuh kecil Raka yang sudah kaku. Wajahnya tenang, seperti sedang tidur panjang. Aku menyentuh tangan mungilnya yang dingin. “Raka… mbakyu wis nyoba… tapi kalah.” (Raka… kakak sudah berusaha… tapi kalah.)

Tangisku pecah lagi. Sejak kecil, aku janji melindunginya. Tapi malam itu aku sadar, bahkan janji paling kuat pun bisa kalah oleh takdir.

Beberapa hari kemudian, aku bertemu Ardian. Kami duduk di bangku taman rumah sakit, seperti biasa. Aku menceritakan semuanya sambil terisak, berharap ada sedikit pelipur dari luka yang baru saja mengoyak.

“Mas… kabeh pengorbananku, kabeh sing tak laku’ne… kabeh ilang.”
(Mas… semua pengorbananku, semua yang kulakukan… semuanya hilang.)

Ardian menatapku lama, matanya basah. Ia menggenggam tanganku erat. “Ta… aku ngerti rasane kelangan. Aku ngerti, amarga aku dhewe wis ngalami.”

(Ta… aku tahu rasanya kehilangan. Aku tahu, karena aku sendiri sudah mengalaminya.)

Aku menoleh padanya, hatiku kacau. “Mas… nek kowe gelem, aku pengin dadi duwekmu sak lawase. Ora usah dinikahi, ora usah diakoni. Cukup aku nang sisihmu, nglayani kowe, nglegani kowe.”
(Mas… kalau kamu mau, aku ingin jadi milikmu selamanya. Tak perlu dinikahi, tak perlu diakui. Cukup aku di sisimu, melayanimu, menenangkanmu.)

Ardian menggenggam tanganku lebih erat, tapi ia menggeleng pelan. “Ta… aku ora iso. Istriku, anaku… wis ora ana, tapi tresnaku isih nang kene.” Ia menunjuk dadanya. “Nek aku nampa awakmu dadi gantine, rasane aku ngiyanati wong sing wis lunga.”

(Ta… aku tidak bisa. Istriku, anakku… memang sudah tiada, tapi cintaku masih di sini. Kalau aku menerima dirimu sebagai pengganti, rasanya aku mengkhianati mereka yang sudah pergi.)

Kata-katanya menusuk lebih tajam dari belati. Aku menunduk, menahan tangis yang hampir meledak lagi. Aku ingin membencinya, ingin marah. Tapi aku tahu, ia jujur dari kedalaman luka yang sama.

Sejak malam itu, kami tetap berhubungan—bukan sebagai kekasih, melainkan dua sahabat yang sama-sama terluka. Kami saling mengisi, tapi tidak pernah menyentuh lebih jauh.

Dolly tetap menelanku setiap malam. Lampu neon masih berkelap-kelip, musik dangdut koplo masih meraung dari warung remang, dan lelaki masih datang dengan wajah haus. Aku masih membuka pintu kamar, menyambut mereka dengan senyum palsu. Bedanya, kini aku sudah berhenti melawan.

Awalnya aku jijik, muak, marah pada diri sendiri. Tapi lambat laun, aku terbiasa. Luka itu pelan-pelan berubah jadi candu. Hingga aku mulai menikmatinya—menertawakan tubuhku sendiri, menertawakan nasibku.

Malam Dolly seperti perut kota: riuh, padat, penuh aroma bercampur antara parfum murahan, asap rokok, dan alkohol. Tapi di dalam diriku, ada hampa yang semakin dingin.

Suatu malam, setelah melayani pelanggan, aku berdiri di ambang pintu, menatap lampu neon pudar yang menggantung di ujung gang. Suaraku lirih, hanya bisa kudengar sendiri.

“Sebagian orang dilahirkan untuk berjuang tanpa pernah menang. Aku salah satunya.”

Aku menghela napas panjang. Dolly sudah jadi rumahku, luka sudah jadi temanku. Dan aku, Tara, hanya perempuan yang belajar hidup dengan kekalahan.

 

Epilog :

Dolly akhirnya padam. Satu per satu rumah sewaan ditutup, papan-papan kayu digembok aparat, dan lampu neon yang dulu menyala terang kini tinggal bayangan kusam. Kota Surabaya melangkah maju, meninggalkan jejak gelap yang pernah jadi denyut perut malamnya.

Namun bagi Tara, Dolly tidak pernah benar-benar mati. Tempat itu telah menanam luka, sekaligus memberi ruang hidup ketika dunia menutup semua pintu. Raka sudah lama pergi. Adrian memilih tetap berjalan sendiri dengan kenangan keluarganya. Dan Tara? Ia tetap bertahan.

Perempuan itu kini berdiri di depan kaca kecil di kamar kosnya, menatap wajahnya yang sudah lebih matang, garis lelah yang tak bisa lagi ia sembunyikan. Senyumnya bukan senyum muda yang penuh harapan, melainkan senyum seseorang yang tahu ia hanya bidak kecil dalam permainan besar bernama kehidupan.

“Aku iki sopo? Pelacur, kakak, wong bodho sing gampang diapusi… opo kabeh?” (Aku ini siapa? Pelacur, kakak, orang bodoh yang mudah ditipu… atau semuanya?) gumamnya lirih.

Di luar jendela kos yang reyot, lampu-lampu kota menyala seperti bintang buatan. Dari kejauhan, kilau Jembatan Suramadu memantul di air hitam, seolah mengejek manusia yang berjuang melawan takdir dengan tubuh rapuh. Tara menatapnya lama, lalu tertawa. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa getir yang lahir dari kepasrahan.

Tara tidak lagi mencari jalan keluar, sebab jalan itu sudah lama tertutup. Ia hanya memilih untuk terus berjalan, menapaki lorong yang pernah ia benci, hingga akhirnya lorong itu jadi rumahnya sendiri.

Orang-orang di luar sana bisa melupakan Dolly, menutup mata seakan tempat itu tak pernah ada. Kota bisa menghapus namanya dari peta, tapi tidak dari hati orang-orang yang pernah hidup di dalamnya.

Di hati Tara, Dolly akan tetap hidup—sebagai saksi bisu bahwa tidak semua orang diciptakan untuk menang, dan tidak semua luka bisa sembuh.

Share: