Hutan yang Menelan Nama



Kabut turun seperti tirai tebal, menutup jalan yang baru saja dilalui. Erich berhenti, menoleh ke belakang. Jalur tanah yang ia tempuh seolah hilang, terganti deretan pohon yang berdiri rapat, bagaikan dinding penjara alami. Angin membawa bau lembap dedaunan busuk, bercampur dengan sesuatu yang asing—seperti aroma besi berkarat.

Ia tidak ingat kapan pertama kali memasuki hutan ini. Satu-satunya yang ia tahu hanyalah bahwa ia tersesat. Sebenarnya, kata “tersesat” pun terasa aneh, karena ia bahkan tidak tahu titik awalnya. Hutan ini seolah telah ada sejak ia membuka mata. Ia menarik napas panjang, tetapi udara terasa berat. Di sekelilingnya, tak ada tanda-tanda kehidupan. Hutan itu seperti ruang tertutup, hanya kabut dan pepohonan yang tampak tak berujung. Setiap langkah yang ia ambil menimbulkan bunyi kecil di tanah yang basah, tapi bunyi itu seolah digandakan, memantul aneh dari arah yang mustahil. Semakin ia berjalan, semakin ia merasa ada sesuatu yang mengikuti, meniru, menempel pada dirinya.

Suara ranting patah terdengar jelas di belakang. Erich membalikkan badan, dadanya berdegup keras. Di balik kabut, tampak bayangan tinggi, kurus, berdiri kaku. Ia mencoba fokus, namun wajah sosok itu kosong, hanya kabur samar. Saat Erich melangkah, sosok itu pun melangkah. Saat ia berhenti, sosok itu pun berhenti. Semacam cermin, tapi cacat. Dan ketika kabut menyingkap sedikit, Erich melihat sebuah senyum aneh di wajah samar itu—senyum yang terlalu lebar, seperti robekan yang dipaksakan di kulit manusia.

“Pergi!” teriaknya, suara serak memantul entah dari mana. Kabut bergetar, seolah menelan teriakannya. Sosok itu tak bergeming, hanya menunduk pelan, lalu hilang seolah terserap kembali ke dalam udara. Tapi hawa dingin yang menancap di kulitnya tak pergi, justru semakin tebal, meninggalkan kesan bahwa sosok itu masih mengintai dari jarak yang tak terlihat.

Erich melanjutkan langkah, meski lututnya gemetar. Di depan, sebuah pohon besar berdiri. Batangnya hitam, retak, seperti hangus terbakar tetapi tak pernah runtuh. Ia mendekat, tangan gemetar menyentuh kulit pohonnya. Dan tiba-tiba, terdengar bisikan halus.

“Berhentilah mencari jalan keluar. Hutan ini bukan untuk keluar, tapi untuk menelan.”

Erich tersentak mundur, jantungnya seakan pecah. “Apa maksudmu? Siapa kau?” suaranya pecah, hampir seperti anak kecil yang ketakutan. Pohon itu berguncang pelan, dan dari celah retakan kulitnya, keluar abu tipis. Abu itu turun ke tangan Erich, berubah menjadi potongan kuku manusia yang membusuk. Erich memekik, menjatuhkannya, lalu berlari sekuat tenaga.

Namun kemana pun ia berlari, potongan itu tetap berjatuhan dari pepohonan lain. Seakan hutan itu memuntahkan serpihan manusia yang telah ditelannya. Jalan setapak berubah menjadi timbunan benda-benda kecil yang menjijikkan: kuku, potongan rambut, serpihan gigi. Ia hampir tergelincir karena jijik, namun terus memaksa kakinya bergerak.

Waktu di hutan itu tak berjalan wajar. Cahaya tetap suram, seakan matahari terjebak di balik tirai kabut. Ia menoleh ke jam tangannya, dan jarumnya beku di angka 03.33. Ia mencoba mengguncangnya, bahkan memutarnya, hingga jarum patah dan melukai jarinya. Darah menetes ke tanah, dan dengan ngeri ia menyadari setiap tetes membentuk huruf. Perlahan, huruf-huruf itu merangkai pesan: Pulangkan dirimu.

Ia menatap tanah itu, bibirnya bergetar. “Pulangkan? Ke mana? Aku bahkan tak tahu dari mana aku datang…”

Langkah kakinya berat. Setiap kali ia maju, gema langkah itu terasa aneh: ada jeda satu ketukan, lalu suara lain menirukan, mengikuti dari belakang. Kadang cepat, kadang lambat, tapi selalu satu langkah setelahnya.

“Siapa di sana?” serunya, mencoba tegar.

Tidak ada jawaban. Hanya suara dedaunan yang bergerak, seperti napas panjang yang ditarik dan dihembuskan. Saat ia mengulang pertanyaan, pohon-pohon menjawab, bukan dengan kata, tapi dengan suara dirinya sendiri. Seakan hutan ini adalah cermin raksasa yang memantulkan suaranya dengan niat jahat.

Erich menutup telinga, tapi gema itu tetap terdengar di dalam kepalanya.

Hari dan malam kehilangan makna. Matahari kadang terbit dari barat, lalu tenggelam begitu saja tanpa menunggu senja. Kadang-kadang bulan menggantung di tengah langit siang, seolah lupa pada perannya. Erich tak lagi tahu sudah berapa lama ia berjalan.

Perutnya meronta. Ia menemukan buah merah bergelantung di pohon rendah. Tanpa pikir panjang, ia memetik dan menggigit. Rasa asam menyergap lidahnya, lalu asin, lalu pahit. Ia menunduk, dan darah menetes dari giginya. Panik, ia meludah—dan hampir muntah ketika sadar potongan daging di mulutnya bukan buah, melainkan serpihan kulit dan daging dirinya sendiri.

Ia terhuyung, jatuh terduduk. Namun pohon-pohon berbisik: makanlah, Erich, makanlah.

Dengan ketakutan bercampur putus asa, ia memuntahkan semua isi perutnya. Namun yang keluar bukanlah cairan lambung, melainkan pasir hitam yang berasap. Pasir itu bergulir menutupi kakinya, lalu lenyap ditelan tanah.

“Ini gila,” gumamnya, meski hatinya sudah berhenti mencari logika.

Pada malam entah keberapa, ia melihat sosok perempuan. Dari jauh, gaun putihnya berpendar samar, seperti cahaya kunang-kunang yang membentuk tubuh. Rambut panjangnya melayang, padahal angin tak berembus. Ia melambai dengan gerakan lambat, mengundang.

“Siapa kau?” teriak Erich.

Sosok itu menoleh, wajahnya samar, lalu mendekat. Saat jarak tinggal beberapa langkah, Erich sadar sesuatu yang mengerikan: wajah perempuan itu tak punya mata. Hanya rongga gelap, bergerak seperti bibir yang berdoa tanpa suara.

Erich mundur, jatuh tersungkur. Sosok itu mengulurkan tangan. Kulitnya pucat transparan, seakan tubuhnya terbentuk dari kabut itu sendiri. Tapi ketika hampir menyentuhnya, perempuan itu lenyap, tersapu angin. Di tanah tempat ia berdiri, hanya tersisa seutas pita rambut yang berlumur darah segar.

Tangisan bayi terdengar tiba-tiba. Ia mengikuti suara itu, melangkah ragu di antara kabut. Di bawah pohon lapuk, sebuah keranjang reyot tampak tergeletak. Di dalamnya, seorang bayi pucat, matanya terpejam, napasnya nyaris tak terdengar. Hati Erich melunak, jemarinya gemetar ketika menyentuh tubuh mungil itu. Namun seketika tubuh bayi itu meleleh, berubah menjadi lumpur hitam panas yang merayap di lengannya, menutupi kulit, merembes ke dadanya.

Tangisan berubah menjadi tawa keras yang menghantam langsung ke kepalanya. Ia menjerit, menghantam tanah, berguling, berlari, menabrak ranting dan akar. Namun lumpur itu tak mau lepas, seolah bagian dari dirinya sendiri. Baru setelah ia terjatuh keras, lumpur itu menghilang, meninggalkannya terengah-engah di tanah. Saat ia membuka mata, ia kembali berdiri di hadapan pohon hitam yang berbisik. Lingkaran. Tak ada akhir.

Lelah menindih tubuhnya. Ia tak tahu sudah berapa lama berjalan. Entah hari, entah minggu. Semua rasa haus dan lapar melebur jadi satu: rasa hampa.

Suatu kali, ia kembali mendengar langkah-langkah mengikuti dari belakang. Kali ini bukan gema. Ketika ia menoleh, ia melihat dirinya sendiri. Bayangan yang identik: wajahnya kusam, pakaian terkoyak, mata kosong. Bayangan itu menatapnya, lalu berbicara dengan suaranya sendiri.

“Jangan keluar. Di luar lebih buruk dari ini.”

Erich ingin lari, tapi tubuhnya membeku. Suara itu bergema dalam kepalanya, menembus lebih dalam dari sekadar telinga. Bayangan itu tersenyum, lalu pecah menjadi ratusan burung hitam yang beterbangan, menghilang ke dalam kabut.

Tubuhnya jatuh, angin memeluknya dingin. Sesaat sebelum semuanya gelap, ia masih sempat mendengar sesuatu—suara bayi menangis, lagi, entah dari mana.

Lalu hening.

Kabut menipis. Pohon-pohon membuka jalan. Di depan sana, sebuah jurang terbentang lebar, gelap tanpa dasar. Namun di seberang, cahaya kota berkilauan. Gedung-gedung menjulang, lampu neon berkedip, seolah kehidupan normal berdenyut di sana. Di antara cahaya itu, ia melihat sosok perempuan melintas. Wajahnya kabur, tapi ia tahu, itu cinta yang pernah ia miliki. Itu rumah yang selalu ia rindukan.

Jurang itu tak menawarkan jalan. Ia tahu tidak ada jembatan, tak ada batu menyeberang. Hanya angin yang mengalir deras dari dasar gelap. Namun harapan palsu itu terlalu indah untuk ditolak.

Lututnya lemas. Air matanya menetes. “Aku… akhirnya.”

Di tepi jurang, ia melihat sebuah kursi kayu tua. Rapuh, berlumut. Di atasnya tergeletak sebuah buku terbuka. Halamannya kosong, kecuali satu kalimat: Kau sudah duduk di sini sebelumnya.

Erich menatap buku itu lama, jemarinya menyentuh halaman. Api kecil muncul, membakar cepat. Ia menjatuhkannya, tetapi api itu menelan buku sampai habis, meninggalkan abu yang terbawa angin ke arah kota. Erich menatap abu itu, hatinya kian goyah. Pernahkah ia sampai di sini sebelumnya? Apakah semua ini hanya pengulangan?

Di seberang jurang, kota itu tampak makin hidup. Rumah-rumah dengan jendela hangat, jalanan berlampu, suara tawa, aroma roti panggang. Erich terpana. Air matanya jatuh lagi. Ia berteriak, “Aku ingin pulang!”

Dan kota itu menjawab. Suara-suara bercampur: mula-mula bahasa asing yang tak ia pahami, lalu suara ibunya, lalu suara kekasihnya, lalu akhirnya—suara dirinya sendiri.

“Pulang? Kau sudah di rumah, Erich.”

Kepalanya berdenyut. Ia menutup telinga, tapi suara itu datang dari dalam dadanya. Kakinya gemetar. Ia menatap jurang sekali lagi. Wajah-wajah di bawah mengulurkan tangan, mengajaknya jatuh. Lalu sesuatu yang tak masuk akal terjadi: wajah-wajah itu mulai bertukar tempat dengan wajahnya sendiri. Ia melihat dirinya yang sedang menatap ke bawah. Dan dari wajah-wajah itu, ia mendengar tawa kecil, lalu jeritan, lalu tawa lagi, semuanya bercampur.

Erich ikut tertawa. Lalu menjerit. Lalu tertawa lagi. Ia tidak bisa membedakan mana yang nyata.

Sosok perempuan tanpa mata muncul di seberang kota, melambai. Dari matanya yang kosong, mengalir cahaya putih, menyeberangi jurang, menyentuh tubuh Erich seperti jemari dingin. Ia tidak lagi merasa takut. Yang tersisa hanyalah rasa lelah, rasa ingin berhenti.

“Ya… aku pulang,” bisiknya.

Ia melangkah. Satu langkah. Dua langkah. Lalu tubuhnya jatuh.

Jurang menyambut dengan suara bergemuruh, seperti ribuan pintu ditutup bersamaan. Wajah-wajah di bawah bertepuk tangan, menyanyikan lagu yang tak pernah ada.

Sebelum pandangannya hilang ditelan gelap, ia menoleh sekali lagi. Kota di seberang tak lagi bercahaya indah. Jendela-jendela gedung menyusun pola wajah raksasa, tersenyum sinis, menatap jatuhnya Erich. Senyum itu tak asing—ia pernah melihatnya di bayangan yang menirunya.

Kegelapan menelan segalanya. Tak ada dasar, tak ada cahaya, hanya dingin yang abadi.

Erich jatuh, dan mati bersama mimpi tentang kota yang mungkin tak pernah ada.

Dan hutan bergema dengan suara yang bukan suara manusia:

“Selamat datang kembali.”

Nama Erich lenyap. Yang tersisa hanyalah hutan.

Share:
Lokasi: MGJV+26W Hutan Wehea, Long Duhung, Kec. Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur 77362, Indonesia