Tokyo, musim semi 2020. Jalanan Chuo-city, Akihabara yang biasanya riuh penuh turis kini terasa asing. Hanya deretan masker
putih dan papan pengumuman tentang “jaga jarak” terpampang di depan toko-toko.
Hiruk-pikuk yang dulu jadi denyut kehidupan kota itu mendadak tumpul, seolah
suara Tokyo ditelan oleh pandemi yang baru saja dimulai.
Bagi Kaito Akio, mahasiswa
psikologi Universitas Waseda berusia 22 tahun, perubahan itu terasa aneh
sekaligus menyesakkan. Setiap hari ia belajar dari layar laptop, mendengarkan
dosen berbicara lewat Zoom. Interaksi tatap muka menghilang, membuatnya merasa
hidup terjebak dalam ruang yang sama. Hanya satu hal yang membuatnya tetap
menantikan hari: sebuah kafe kecil di Jalanan Chuo-city, dengan papan kayu
sederhana bertuliskan Tricolore coffee.
Kafe itu tidak terlalu besar, tapi
aroma kopi yang meruap dari sana seperti memiliki daya tarik aneh. Pertama kali
Kaito masuk, ia hanya ingin melepas penat setelah kelas daring. Namun di balik
mesin espresso, ia melihat seorang barista muda dengan rambut hitam sebahu,
wajah lembut, dan suara pelan yang menenangkan.
“Selamat datang. Apa yang ingin
Anda pesan?” tanyanya sopan, suaranya sedikit teredam oleh masker putih.
Kaito sempat gugup. “Eh… satu
cappuccino, tolong.”
“Baik, cappuccino,” jawabnya,
menunduk tipis.
Itulah pertama kalinya Kaito
bertemu Yuuki Ayumi, barista sekaligus mahasiswi seni berusia 21 tahun. Saat
itu, Kaito hanya menyebutkan namanya saat membayar, dan Ayumi menuliskannya di
struk kecil. Mereka belum benar-benar berkenalan. Namun entah mengapa, sejak
hari itu, langkah Kaito selalu kembali ke kafe kecil itu.
Beberapa minggu kemudian, saat
jumlah pelanggan semakin berkurang karena aturan pembatasan, Kaito memberanikan
diri untuk bicara lebih banyak.
“Yuuki-san, bukan?” tanyanya suatu
sore ketika ia menerima gelas kertas di meja kasir.
Ayumi tampak sedikit terkejut, tapi tetap tersenyum. “Ya, benar. Dan Anda
Kaito-san, bukan? Saya sering lihat nama Anda di struk pesanan.”
Kaito merasa wajahnya memanas. “Ah…
benar. Terima kasih selalu membuatkan kopi.”
Ayumi tertawa kecil di balik maskernya. “Itu memang pekerjaanku, Kaito-san.”
Percakapan singkat itu membuat hati
Kaito berdebar. Ia sadar, meski sederhana, itu adalah langkah pertama keluar
dari sekadar pelanggan dan barista.
Hari-hari berikutnya, Kaito mulai
datang bukan hanya untuk minum kopi, tapi untuk melihat bagaimana Ayumi
bekerja. Ia memperhatikan cara tangannya yang cekatan menuang susu ke dalam
cangkir, menciptakan bentuk hati samar di atas busa.
Kadang ia duduk di sudut kafe,
menulis catatan kuliah sambil curi-curi pandang. Ayumi tidak banyak bicara,
tapi ia selalu menyapa dengan sopan. “Terima kasih sudah datang lagi,
Kaito-san.”
Bagi Kaito, panggilan sederhana itu
sudah cukup membuat dunianya terasa lebih hangat, meski di luar sana Tokyo
masih dingin dan penuh ketakutan.
Malam itu, bunga sakura berguguran
di sepanjang tepian Sungai Sumida. Tidak ada festival hanami, tidak ada
kerumunan keluarga atau mahasiswa yang biasanya duduk di bawah pohon sambil
tertawa. Hanya deretan kursi kosong dan kelopak merah muda yang dibiarkan
terbawa angin.
Kaito berdiri di sana, menggenggam
beberapa helai bunga sakura yang ia pungut dari tanah. Tangannya sedikit
gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ia sedang menunggu seseorang.
Beberapa menit kemudian, sosok
dengan rambut hitam sebahu muncul dari arah Jembatan Kachidoki. Ayumi masih mengenakan
seragam kafe dengan jaket tipis menutupi bahunya. Ia terlihat lelah, tapi
matanya melembut saat melihat Kaito.
“Kaito-san?” sapanya pelan.
Kaito tersenyum canggung. “Selamat
malam, Yuuki-san. Aku… eh, saya ingin menunggumu pulang. Jalanan terasa sepi sekarang. Kurasa lebih baik kalau ada teman berjalan bersama.”
Ayumi menatapnya, agak terkejut.
Namun ada kilatan kehangatan di matanya. “Terima kasih. Itu… sangat baik.”
Mereka berjalan beriringan di tepi
sungai. Angin membawa kelopak sakura jatuh di sekitar mereka, menempel di
rambut Ayumi. Tanpa sadar, Kaito mengulurkan tangan dan mengambil kelopak itu.
“Sakura ini… untukmu,” katanya, menyerahkan bunga yang ia genggam sejak tadi.
Ayumi menunduk, menerima dengan
hati-hati. “Cantik sekali… meski hanya kelopak yang jatuh.”
“Kadang yang jatuh justru lebih jujur,” gumam Kaito
Ayumi tertawa kecil. “Kaito-san,
kau aneh sekali.”
Dalam langkah pulangnya, Ayumi
tiba-tiba mengingat hari pertama ketika pemuda itu masuk ke kafe. Ia baru
selesai membersihkan meja, dan tiba-tiba ada pelanggan baru dengan rambut agak
berantakan, wajah letih, tapi senyum canggung yang jujur.
“Cappuccino satu,” ucapnya waktu
itu, hampir terbata.
Ayumi masih ingat bagaimana
tangannya sedikit gemetar saat menerima kartu pembayaran. Ia bisa menebak,
pemuda itu bukan tipe yang sering keluar rumah. Tapi ada sesuatu di
matanya—rasa ingin hidup, meski samar.
Sejak hari itu, Ayumi mulai
menunggu pelanggan itu datang kembali. Ia tidak pernah mengakuinya, bahkan pada
dirinya sendiri, tapi kehadiran Kaito-san membuat kafe kecil itu terasa kurang
sepi.
Kini, di bawah cahaya lampu jalan
yang redup, Ayumi kembali menatap Kaito. Ia melihat senyum yang sama—canggung
tapi tulus.
“Kaito-san…” katanya pelan.
“Ya?”
“Terima kasih. Bukan hanya karena kopi atau bunga sakura ini… tapi karena kau
membuat hari-hari terasa lebih ringan.”
Kaito terdiam, jantungnya berdegup
kencang. Ia ingin mengatakan sesuatu—ingin menyatakan perasaannya. Tapi ia
menahan diri. Terlalu cepat, pikirnya. Biarlah perasaan ini tumbuh perlahan.
Mereka melanjutkan langkah tanpa
banyak kata, hanya ditemani suara sungai yang mengalir.
Sebelum berpisah di depan stasiun,
Ayumi menoleh. “Sampai jumpa besok, Kaito-san.”
Kaito mengangguk, tersenyum lebar.
“Ya, sampai jumpa, Yuuki-san.”
Saat Ayumi berjalan menjauh, ia
menggenggam erat kelopak sakura di tangannya. Senyumnya tertutup masker, tapi
matanya berbinar. Untuk pertama kalinya sejak pandemi melanda, ia merasa dunia
tidak sepenuhnya menakutkan. Ada seseorang yang membuatnya ingin menunggu hari
esok.
Musim panas bergulir, Tokyo masih
berjuang di tengah pandemi. Jalan-jalan tetap sunyi, lampu neon Kachidoki terasa
lebih muram dari biasanya. Namun di antara kesepian itu, hubungan antara Kaito
Akio dan Yuuki Ayumi perlahan tumbuh, seperti tunas kecil yang berani menembus
celah beton.
Sejak malam di Sungai Sumida itu,
Kaito semakin sering menunggu Ayumi pulang kerja. Awalnya Ayumi hanya
menanggapinya dengan canggung—ia tidak terbiasa ada seseorang yang begitu
perhatian. Namun lama-kelamaan, langkah pulang bersama Kaito menjadi kebiasaan
yang ia nantikan.
“Kaito-san,” ucap Ayumi suatu sore
saat mereka berjalan melewati Kanfuta Street yang sepi, “kau tidak bosan
menungguku?”
Kaito menggeleng. “Tidak. Rasanya…
aku jadi punya alasan keluar rumah.”
Ayumi menunduk, menyembunyikan
senyum di balik maskernya. Ia tidak pernah mengira akan menemukan seseorang
yang membuatnya merasa dunia ini sedikit lebih aman.
Mereka mulai sering berbagi cerita.
Kaito bercerita tentang kuliahnya yang serba daring, tentang tugas-tugas yang
membuatnya lelah. Ayumi bercerita tentang mimpinya menjadi ilustrator, tentang
betapa ia suka menggambar bunga sakura karena baginya kelopak yang jatuh adalah
lambang keindahan sekaligus kesedihan.
Malam-malam itu, keheningan pandemi
tak lagi menakutkan.
Awal musim gugur, Kaito
memberanikan diri. Mereka duduk di Taman Kachidoki Miharashi, bangku-bangkunya sepi, hanya
ada beberapa pasangan dengan jarak aman. Daun-daun mulai berubah warna, udara
menjadi lebih dingin.
“Aku… ingin mengatakan sesuatu,”
Kaito memulai, tangannya gemetar.
Ayumi menoleh, matanya lembut. “Apa
itu, Kaito-san?”
Kaito menelan ludah, lalu
menatapnya. “Yuuki-san… aku tahu ini mungkin terdengar mendadak, tapi aku… aku
menyukaimu. Aku ingin selalu berjalan bersamamu, melewati masa-masa sulit ini.”
Ayumi terdiam. Angin membawa
sehelai daun jatuh di pangkuannya. Ia menggenggamnya, lalu menatap Kaito.
“Kaito-san…” ia tersenyum tipis,
lalu suaranya bergetar. “Aku juga… menyukaimu.”
Jantung Kaito berdegup kencang.
“Benarkah?”
Ayumi mengangguk. “Aku tidak tahu
sejak kapan, tapi… aku merasa aman bersamamu. Dunia ini begitu menakutkan, tapi
ketika kau ada, aku bisa bernapas.”
Mereka sama-sama terdiam, lalu
perlahan Ayumi menambahkan, “Kalau kau ingin… kau bisa memanggilku Ayumi.”
Kaito membelalakkan mata. “Boleh?”
Ayumi tertawa kecil. “Ya. Dan aku…
akan memanggilmu Kaito-kun.”
Sejak saat itu, panggilan mereka
berubah. Dari formal menjadi lebih dekat, lebih hangat. Dan hubungan mereka pun
dimulai.
Hari-hari setelah itu menjadi saksi
bagaimana cinta Ayumi berubah menjadi sesuatu yang lebih intens. Ia bukan
sekadar pacar; ia menjadi penjaga, benteng yang selalu berdiri di samping
Kaito.
Ketika Tokyo mengalami gelombang
kedua COVID yang mengerikan, Kaito sempat jatuh sakit karena flu biasa. Ayumi
panik luar biasa. Malam itu ia berlari dari apotek ke apotek, rela antre
panjang di Nihonchozai Kachidoki Pharmacy meski hujan gerimis. Barisan orang
mengular, semua dengan masker dan jarak satu meter, tapi Ayumi tak peduli. Ia
menggenggam daftar belanja: masker tambahan, vitamin C, obat flu, hand
sanitizer.
Seorang ibu muda di depannya sempat
menoleh. “Anda terlihat terburu-buru.”
Ayumi hanya tersenyum tipis.
“Pacarku… dia sedang sakit. Aku tidak peduli harus tunggu berapa lama, aku
hanya ingin dia tetap sehat.”
Ketika akhirnya ia sampai di
apartemen kecil Kaito di Kachidoki, tangannya penuh dengan kantong belanja.
Nafasnya tersengal, tapi matanya berbinar.
“Kaito-kun!” serunya sambil membuka
pintu. “Aku dapat obat! Dan ini vitamin, masker juga… minumlah sekarang, ya?”
Kaito yang masih lemas hanya bisa
tertegun. “Ayumi… kau bahkan belum makan, bukan?”
Ayumi menggeleng cepat. “Aku bisa tahan. Yang penting kamu sembuh.”
Kaito merasa dadanya hangat. Ia
ingin protes, tapi melihat kesungguhan Ayumi, ia hanya bisa mengangguk.
Malam itu, Ayumi memasak sup panas
di dapur kecil apartemen. Aroma jahe dan sayur rebus memenuhi ruangan sempit
itu. Kaito duduk bersandar di sofa, tubuhnya masih lemah.
Ayumi membawa mangkuk ke meja,
meniup pelan supnya, lalu menyodorkannya dengan sendok ke mulut Kaito. “Ayo,
buka mulut. Kalau dunia ini sakit, aku ingin kamu tetap hidup.”
Kaito terdiam, menatapnya. “Ayumi…
kau benar-benar luar biasa.”
Ayumi menatap matanya dengan
kesungguhan yang tak biasa. Ada sesuatu yang dalam, hampir menyeramkan, di
balik tatapan itu. Senyum kecil terbentuk di bibirnya.
“Aku tidak peduli kalau aku sendiri
mati,” bisiknya. “Asalkan kamu tetap ada.”
Kaito membeku, jantungnya berdebar.
Kalimat itu terdengar indah, romantis… tapi juga ada nada yang menusuk, seolah
Ayumi siap mengorbankan segalanya. Ia menelan suapan sup dengan perasaan campur
aduk.
Ayumi tersenyum lembut, mengelus
pipinya. “Kaito-kun, janji ya… kamu tidak akan tinggalkan aku.”
Kaito mengangguk refleks. “Tentu
saja, Ayumi.”
Namun di dalam hatinya, ia sadar
ada sesuatu yang berbeda pada gadis ini. Kasih sayangnya begitu besar—mungkin
terlalu besar.
Hari-hari berlalu, dan pandemi
terus membatasi langkah mereka. Namun di balik segala keterbatasan itu, cinta
Kaito dan Ayumi tumbuh semakin erat, seolah mereka hidup dalam dunia kecil yang
hanya berisi berdua.
Mereka jarang keluar selain untuk
keperluan penting. Ayumi lebih suka mengunci diri di apartemen, memasak untuk
Kaito, belajar bersama, atau sekadar menonton film lama di laptop. Bagi Ayumi,
dunia luar berbahaya, penuh risiko. Satu-satunya hal yang pasti hanyalah Kaito.
Kadang Kaito merasa tercekik oleh
perhatian yang begitu kuat. Namun setiap kali ia melihat mata Ayumi, mata yang
seolah berkata “kamu adalah hidupku”, ia tidak sanggup menolaknya.
Cinta mereka indah—tapi juga
menakutkan. Seperti bunga sakura yang mekar sempurna, tapi sekaligus
mengingatkan bahwa sebentar lagi ia akan gugur.
Musim semi 2021 datang. Pohon
sakura bermekaran di sepanjang Sungai Sumida, kelopaknya jatuh di jalan-jalan
kosong Tokyo. Kota masih terbungkus masker, desinfektan, dan pembatasan. Namun
di balik bayangan pandemi, Kaito Akio dan Yuuki Ayumi tampak sebagai pasangan
yang bahagia.
Di media sosial, foto-foto mereka
penuh tawa: Ayumi tersenyum di depan apartemen Kachidoki sambil mengangkat
kantong belanja, Kaito berpose lucu dengan masker bermotif kartun yang
dibelikan Ayumi. Teman-teman mereka menyebut pasangan ini ideal couple—hangat,
manis, saling menjaga.
Namun di balik pintu apartemen,
kenyataan jauh lebih rumit.
Ayumi kini jarang melepas pandangan
dari Kaito. Setiap kali ponselnya berbunyi, matanya segera menoleh. Ia ingin
tahu siapa yang menghubunginya, apa yang dibicarakan, dan mengapa.
“Kaito-kun,” ucap Ayumi suatu sore,
“kalau temanmu ingin bertemu, lebih baik jangan dulu ya. Bahaya sekali keluar
rumah.”
Kaito hanya mengangguk. Ia tidak
ingin memperdebatkan. Ia tahu Ayumi berkata demi kebaikannya.
Namun lama-lama, ia merasa ruang
geraknya menyempit. Hampir setiap keputusan kecil, Ayumi ingin terlibat. Dari
pakaian apa yang ia kenakan, hingga makanan apa yang ia pesan secara daring.
“Aku hanya ingin melindungimu,”
kata Ayumi setiap kali Kaito mulai terlihat keberatan. Senyumnya lembut, tapi
ada bayangan gelap dalam tatapannya.
Kaito mencoba memahami. Ia tahu
Ayumi pernah kehilangan sahabatnya karena COVID tahun lalu. Ketakutan itu
nyata. Tapi tetap saja, ada sesuatu dalam caranya mencintai yang mulai terasa…
berat.
Malam itu, hujan tipis mengguyur Kachidoki. Suara rintik di jendela bercampur dengan dengungan kipas angin. Kaito
sudah tertidur di sofa, buku kuliahnya tergeletak terbuka di dada.
Ayumi menatapnya lama. Wajah Kaito
yang tenang, napasnya yang teratur, membuat dadanya berdesir. Begitu rapuh…
begitu bergantung padaku.
Namun tatapan itu tak lagi hanya
dipenuhi cinta. Ada kegelisahan yang menghantui.
Di meja, ponsel Kaito menyala
sebentar, menampilkan notifikasi LINE. Ayumi menahan napas. Ada dorongan aneh,
kuat, yang mendorongnya untuk mengambil ponsel itu.
Tangannya gemetar saat menyentuh
layar. “Maafkan aku, Kaito-kun… aku hanya ingin memastikan,” bisiknya pelan,
seolah mencari pembenaran dari bayangan dirinya sendiri.
Satu per satu, ia membuka pesan,
foto, lalu galeri. Sebagian besar biasa: tugas kuliah, teman-teman lama, meme
receh. Namun kemudian matanya membelalak.
Ada sebuah foto.
Kaito duduk di sebuah kafe kecil di
Harajuku. Wajahnya tersenyum—senyum yang begitu hangat dan tulus. Di
sebelahnya, seorang gadis dengan rambut coklat sebahu, menatap kamera sambil
mengangkat gelas kopi.
Ayumi terdiam. Dadanya sesak,
jari-jarinya dingin.
Siapa dia? Mengapa Kaito tersenyum
seperti itu?
Senyum yang selama ini ia kira
hanya miliknya, ternyata bisa ia bagi pada orang lain.
Ayumi memandangi layar lama sekali.
Air matanya jatuh, tapi wajahnya tetap kaku. Dalam kepalanya, suara-suara mulai
berbisik:
Dia berbohong. Kau pikir dia
milikmu, tapi nyatanya tidak.
Kalau kau tidak bertindak, dia akan
pergi meninggalkanmu.
Kaito hanya akan tersenyum untuk
orang lain, bukan untukmu.
Ayumi menggenggam ponsel lebih
erat, hampir membuat kuku-kukunya membekas di kulit.
Ia duduk di lantai, bersandar pada
meja. Nafasnya terengah, tubuhnya bergetar. Dunia yang selama ini ia
bangun—dunia kecil berisi dirinya dan Kaito—mulai retak.
Sejak awal pandemi, Ayumi percaya
bahwa hanya dirinya yang benar-benar menjaga Kaito. Ia rela antre berjam-jam di
apotek, berlari di bawah hujan demi membeli vitamin, mengabaikan keselamatan
dirinya sendiri. Ia bahkan pernah rela tidak makan agar bisa membelikan makanan
sehat untuk Kaito.
Dan kini, semua pengorbanan itu
terasa sia-sia.
“Kaito-kun… mengapa?” bisiknya
parau. “Aku sudah memberikan segalanya… segalanya…”
Tangisnya tercekik. Namun perlahan,
tangis itu berubah menjadi tawa getir. Ia menutup wajahnya dengan tangan,
bahunya terguncang.
“Tidak… aku tidak boleh menangis.
Jika aku menangis, aku akan tampak lemah. Aku harus tetap kuat… demi kita.”
Jam terus berdetak, tapi Ayumi tak
bisa tidur. Ia duduk di sisi sofa, menatap Kaito yang masih terlelap. Wajahnya
begitu damai, seolah tak ada rahasia yang tersembunyi.
Ayumi mengelus pipinya pelan.
“Kaito-kun… kau tidak tahu, ya? Betapa aku mencintaimu… betapa aku tidak bisa
hidup tanpamu.”
Tangannya berhenti di bibir Kaito.
Ia menatapnya intens. “Kalau ada orang lain yang mencoba merebutmu… aku tidak
akan membiarkannya. lebih baik mati daripada kehilanganmu.”
Ia menarik napas panjang. Lalu
senyum tipis merekah di wajahnya. Senyum yang bukan lagi sekadar manis,
melainkan menyimpan sesuatu yang dingin.
Jika dunia mencoba merebut
Kaito-kun dariku… maka aku akan melawan dunia itu.
Pagi datang. Kaito bangun tanpa
curiga, menyapanya dengan lembut. Ayumi membalas dengan senyum manis, seperti
biasa. Seolah malam tadi hanyalah mimpi buruk yang berlalu begitu saja.
Namun di balik senyum itu, Ayumi
telah berubah. Ia mulai mengawasi lebih ketat: siapa yang menghubungi Kaito,
kapan ia keluar rumah, bahkan ekspresi wajahnya saat berbicara di telepon.
Bagi Kaito, ini mungkin hanya tanda
cinta yang terlalu dalam. Tapi bagi Ayumi, ini adalah langkah awal. Sebuah
tekad yang diam-diam mengeras dalam dirinya:
Kaito adalah milikku. Jika ada yang
berani merusak itu, aku akan memastikan tidak ada yang bisa memisahkan kami.
Dan di balik kehangatan cinta yang
mereka tunjukkan kepada dunia luar, retakan pertama telah muncul. Retakan kecil
yang, tanpa disadari, akan membuka jalan menuju tragedi.
Dapur apartemen Kachidoki malam itu
dipenuhi aroma harum bawang bombay yang ditumis dengan minyak wijen. Uap hangat
mengepul dari panci besar berisi kuah kecokelatan yang perlahan mengental.
Ayumi berdiri di depan kompor, rambutnya diikat asal-asalan, wajahnya terlihat
tenang, seakan ia hanya sedang memasak makan malam biasa. Tapi tangannya
bergetar setiap kali ia mengaduk sendok kayu, seolah ada badai tersembunyi di
dalam dirinya.
Di atas meja, sebuah sachet kecil
berisi bubuk putih tergeletak, hampir tak terlihat di antara bumbu-bumbu dapur.
Ayumi menatapnya lama, napasnya tertahan. Dunia luar mungkin menganggapnya
hanya bubuk obat atau garam tambahan. Tapi hanya Ayumi yang tahu apa yang
terkandung di dalamnya. Ia membelinya dengan hati-hati, dengan dalih sebagai
“pestisida rumah tangga” dari toko gelap online yang ia temukan setelah
bermalam-malam mencari.
Ia menggenggam sachet itu
erat-erat. Suara hati kecilnya berteriak: “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi
dariku, Kaito. Aku tidak bisa membiarkanmu tersenyum pada orang lain. Jika kau
tersenyum padaku, maka senyum itu hanya boleh untukku. Jika tidak… maka lebih
baik kau berhenti tersenyum selamanya.”
Dengan tangan gemetar, ia membuka
sachet itu. Bubuk putih perlahan dituangkan ke dalam panci kare yang mendidih
pelan. Sekejap, ia kembali mengaduk kuah yang pekat dengan tenang, memastikan
semuanya larut sempurna, menyatu dengan rasa rempah dan daging sapi yang
lembut.
Sekilas, wajahnya tampak seperti
wajah kekasih penuh kasih yang memasakkan makan malam untuk pria yang ia
cintai. Senyumnya tipis, matanya berkilat aneh.
“Kaito-san,” bisiknya lirih
sambil menatap panci, “aku memasak ini khusus untukmu. Kau harus makan semuanya.
Setelah itu… kita akan selalu bersama.”
Malam kian larut ketika pintu
apartemen terbuka. Kaito masuk dengan wajah lelah, tas selempang disampirkan
asal. Masker medis yang menutupi setengah wajahnya langsung ia lepas, lalu ia
meregangkan tubuh.
“Ayumi, aku pulang.” Suaranya
ringan, seperti biasa.
Ayumi buru-buru menghapus raut
gugup dari wajahnya. Ia menyambut Kaito dengan senyum manis yang pernah membuat
Kaito jatuh cinta padanya. “Selamat datang, Kaito-kun. Aku sudah menyiapkan
makan malam. Kare, favoritmu.”
Mata Kaito berbinar sekilas. Ia
menghampiri meja, melihat piring yang sudah tertata rapi dengan nasi hangat dan
kare kental yang masih mengepul. Aroma harum rempah memenuhi udara, begitu
menggoda.
Namun tiba-tiba, Kaito terkekeh
pelan sambil menggaruk kepalanya. “Ah, maaf, Ayumi. Aku tadi… keburu makan
ramen sama temen kampus sebelum pulang. Laper banget soalnya, jadi aku nggak
bisa nahan. Kare ini… nanti saja, ya?”
Ayumi tersenyum lembut. Dengan
santai ia mengangkat piring berisi nasi dan kare itu, lalu berjalan ke arah
tempat sampah. Dia membuka tutup tong sampah, dan begitu saja membuang makanan
itu. Piring berisi kare beracun terjungkal ke dalam, saus kentalnya menempel di
plastik sampah, bercampur dengan sisa kulit jeruk dan bungkus ramen instan. Lalu menutup tong sampah kembali.
“Kenapa dibuang, sayang sekali,”
kata Kaito “kelihatan enak banget, padahal. Besok aku pasti makan. Janji.”
Ayumi berdiri terpaku di depan tong
sampah. Tatapannya kosong, seakan jiwanya tercerabut dari tubuhnya.
Di dalam dirinya, suara-suara
berdesakan.
“Kenapa kau tidak memakannya?
Padahal aku sudah menyiapkan segalanya. Padahal aku sudah membuatnya sempurna.
Kau seharusnya tinggal menutup mata, dan kita bisa bersama selamanya…”
Namun dari bibirnya, hanya keluar
sebuah senyum tipis. Senyum yang sama sekali tidak lagi hangat, tapi dingin dan
menakutkan. Senyum seorang gadis yang perlahan kehilangan batas antara cinta
dan kehancuran.
Ia membuka kembali tutup tong
sampah, menatap piring yang berlumuran saus kare dan racun yang kini tak
tersentuh. Bibirnya bergerak, berbisik pelan seakan berbicara pada makanan itu.
“Sepertinya kau masih ingin
bertahan sedikit lebih lama, ya, Kaito-san?”
Ayumi menutup tong sampah itu lagi,
lalu berdiri di dapur dengan tatapan kosong. Malam itu, untuk pertama kalinya,
ia benar-benar merasa bahwa Tuhan sedang mempermainkannya.
Dan di sudut bibirnya, senyum tipis
itu kembali muncul, lebih dingin dari sebelumnya.
“Baiklah,” gumamnya pelan. “Kalau
begitu… aku akan cari cara lain.”
Hujan turun deras di Kachidoki malam
itu. Tetesannya menabrak kaca jendela apartemen kecil mereka, memantulkan
cahaya lampu neon dari jalanan. Suara sirene ambulans terdengar sayup-sayup
dari kejauhan, membelah sunyi seperti bisikan takdir yang perlahan mendekat.
Bau lembap hujan bercampur dengan wangi sabun yang masih tertinggal di udara
kamar, seolah dunia luar hanyalah gema jauh yang tak mampu menembus ruang kecil
tempat segalanya akan berakhir.
Kaito tidur pulas di ranjang,
tubuhnya tengkurap santai seperti anak kecil yang tak memiliki rahasia.
Wajahnya damai, matanya terpejam, napasnya teratur. Sesekali ia bergumam lirih
dalam tidurnya, sesuatu yang tak jelas, seperti orang yang sedang bermimpi. Di
sisi tempat tidur, lampu kecil menyala redup, membuat bayangan panjang di
dinding.
Ayumi berdiri di samping ranjang
itu. Rambutnya basah; ia baru saja keluar dari kamar
mandi setelah lama menatap wajahnya di cermin. Tangannya memegang sebuah pisau
dapur yang berkilat samar di bawah cahaya lampu meja. Jemarinya memucat karena
genggaman yang terlalu erat. Di pipinya, air mata turun perlahan, tapi di
bibirnya, sebuah senyum tipis muncul, nyaris menyerupai tawa kecil yang
terselip di antara isak.
Di dalam kepalanya, suara-suara
yang dulu manis kini berubah menjadi gema yang mengiris. Semua kenangan tentang
Kaito – saat ia menunggu Ayumi pulang kerja di tepi Sungai Sumida, saat mereka
duduk berdua makan sup panas di apartemen, saat Ayumi berdesakan di apotek demi
mendapatkan obat untuk Kaito – semua itu berkelebat cepat, seperti potongan
film yang diputar terbalik. Semuanya terasa pahit, seperti kaca pecah yang ia
genggam dengan tangan telanjang.
Ia mengangkat pisau itu lebih
tinggi, menatap wajah Kaito yang damai. Suara hujan di luar semakin keras,
menutupi suara napasnya sendiri.
“Kalau kamu pergi dariku…” bisik
Ayumi, suaranya gemetar namun penuh tekad. “Aku tidak bisa hidup, Kaito-kun…”
Air mata jatuh mengenai pisau yang
ia pegang, bercampur dengan kilatan baja. Ia mencondongkan tubuhnya lebih
dekat, bibirnya hampir menyentuh telinga Kaito.
“Aku sudah mencoba segalanya…
supaya kamu tetap di sini. Aku bahkan rela mati untukmu…”
Pisau itu bergetar di udara. Ayumi
menarik napas panjang, lalu menahannya.
Kaito tiba-tiba menggerakkan
tubuhnya, bergumam pelan, mungkin karena mimpi yang terganggu oleh bisikan
Ayumi. Matanya terbuka perlahan, samar-samar menangkap bayangan gadis yang ia
cintai berdiri di atasnya dengan pisau terangkat.
“Ayu…mi…?” suaranya parau, penuh
kebingungan.
Momen itu berhenti seperti jam
rusak. Kaito menatap mata Ayumi yang basah air mata, dan Ayumi menatap mata
Kaito yang setengah sadar. Di ruang kecil itu, hanya ada mereka berdua, pisau,
dan cinta yang berubah menjadi obsesi.
Ayumi menghela napas panjang, lalu
tersenyum. Senyum itu bukan lagi senyum barista manis yang pernah ia kenal. Itu
adalah senyum seseorang yang telah tenggelam terlalu dalam.
“Aku mencintaimu, Kaito-san…”
bisiknya.
Lalu pisau itu turun. Sekali, dua
kali, hingga napas Kaito terputus dalam suara tercekik. Darah hangat memercik
ke baju tidur Ayumi, mengalir di sprei putih, membentuk pola yang anehnya
terlihat seperti kelopak sakura yang berjatuhan. Mata Kaito perlahan memudar,
ekspresinya antara terkejut dan sedih, seakan ia baru menyadari sesuatu yang
tak pernah ia duga.
Ayumi terengah-engah, tubuhnya
gemetar. Namun di wajahnya, tidak ada rasa lega—hanya kehampaan. Tangannya yang
memegang pisau berlumur darah kini terkulai, tapi matanya menatap Kaito dengan
kelembutan yang sakit.
Ia menunduk, mencium bibir Kaito
yang dingin dan berlumuran darah. Darah itu menempel di bibirnya sendiri,
menciptakan garis merah seperti lipstik murahan.
“Sekarang… kita tidak akan terpisah
lagi,” bisiknya lirih.
Tanpa ragu, Ayumi mengangkat pisau
itu lagi, kali ini mengarah ke dadanya sendiri. Ia menatap wajah Kaito yang
kini benar-benar diam, lalu tersenyum untuk terakhir kalinya.
Pisau itu menembus kulitnya
sendiri. Rasa sakitnya tajam, tapi di balik itu, Ayumi merasa damai. Matanya
perlahan tertutup, tubuhnya jatuh di samping Kaito. Hujan di luar tetap turun,
suara sirene masih terdengar jauh.
Di kamar kecil di Kachidoki itu, dua
tubuh terbaring berdampingan. Darah mereka bercampur di seprai, seperti tinta
merah yang menulis akhir dari sebuah kisah cinta yang tak pernah mengenal kata
“lepaskan.”
Ayumi menggenggam tangan Kaito yang
dingin, bibirnya bergetar pelan.
“Sekarang kita selamanya…” gumamnya
sebelum napasnya hilang.
Di luar jendela, sakura musim semi
berguguran, tertiup angin hujan malam Tokyo.
Tiga hari berlalu sejak pesan
terakhir yang dikirim Kaito ke grup teman kuliahnya. Tidak ada balasan setelah
itu. Telepon yang berulang kali dilakukan ibunya di Kanagawa hanya berdering
tanpa jawaban. Pesan LINE menumpuk, tanda centang ganda tetap abu-abu.
Kekhawatiran pun tumbuh menjadi
ketakutan. Beberapa teman yang tinggal di Tokyo akhirnya memutuskan melapor ke
kepolisian setempat. Malam itu, dua petugas berseragam tiba di apartemen kecil
di Kachidoki, ditemani pengelola gedung.
Ketukan demi ketukan di pintu tidak
mendapat sahutan. Hanya suara hujan tipis yang jatuh di luar jendela koridor.
Setelah saling berpandangan, salah satu petugas mengangguk, lalu pintu
apartemen itu didobrak dengan keras.
Pintu terbuka, aroma anyir langsung
menyambut mereka. Bau besi yang menyengat memenuhi udara. Di dalam, lampu kamar
masih menyala redup. Ruangan terlihat rapi, nyaris seperti tidak terjadi
apa-apa—kecuali genangan merah gelap yang meresap ke sprei ranjang.
Di atas ranjang, dua tubuh
terbaring saling berpelukan. Kaito Akio dan Yuuki Ayumi, wajah mereka pucat,
tubuh kaku, darah mengering di dada dan pakaian. Posisi mereka begitu dekat,
seakan keduanya tertidur dalam dekapan terakhir. Di bibir Ayumi masih menempel
samar noda merah, seakan ciuman terakhir belum benar-benar hilang.
Sejenak, keheningan menelan semua
orang di ruangan. Salah satu petugas menundukkan kepala, merasakan beratnya
tragedi yang terbentang di hadapannya.
“Shinju,” bisik petugas lain
lirih, menggunakan istilah Jepang kuno untuk bunuh diri pasangan. Namun sesuatu
terasa berbeda—ada jejak kekerasan, tanda bahwa ini bukan hanya perjanjian
bersama, melainkan tragedi yang didorong obsesi.
Di meja dekat ranjang, sebuah buku
berwarna biru tua terbuka. Di sampingnya, pena masih tergeletak seolah baru
saja dilepas. Salah satu petugas dengan hati-hati meraihnya, lalu membaca
halaman terakhir. Tulisan tangan halus Ayumi memenuhi kertas itu, tinta hitam
masih terlihat baru.
“Kaito, aku mencintaimu lebih dari
hidupku. Jika kau pergi, biarkan aku menguncimu dalam pelukanku. Dalam hidup
atau mati, kau tetap milikku.”
Petugas itu terdiam, merasakan
dingin merayap di tulang belakangnya. Kata-kata itu bukan sekadar curahan
hati—ia terdengar seperti mantra, sebuah keputusan akhir yang tak bisa
dibalikkan.
Di luar jendela, bunga sakura musim
semi berguguran tertiup angin. Kelopaknya menempel di kaca jendela yang basah
oleh hujan, menutupi pandangan ke dunia luar. Seakan alam sendiri berusaha
menyembunyikan tragedi cinta yang terlahir dari obsesi.
Ketika tubuh mereka akhirnya
dipindahkan, suasana di apartemen tetap terasa ganjil. Seolah kehangatan cinta
yang pernah memenuhi tempat itu telah meninggalkan bekas yang tak bisa hilang.
Senyum manis Ayumi saat menyuapi Kaito sup panas, tawa kecil mereka saat
berbagi cerita, semua kini berubah menjadi bayangan pahit yang membekas di
setiap sudut ruangan.
Bagi orang luar, mereka mungkin
hanya sepasang anak muda korban pandemi dan kesepian Tokyo. Namun bagi mereka
yang mengenal Ayumi dan Kaito, kisah itu akan selamanya menjadi bisikan
menakutkan tentang cinta yang terlalu dalam, cinta yang tak mengenal batas
antara kehidupan dan kematian.
Malam itu, ketika apartemen kembali
kosong dan pintu ditutup rapat, sakura terus berjatuhan di luar jendela.
Bunganya menempel di kaca, melukis pemandangan samar seakan sepasang kekasih
masih berpelukan di balik tirai tipis, membeku dalam waktu.
Tokyo tetap berdenyut dengan hiruk
pikuknya, sirene ambulance kembali terdengar jauh, dan dunia berjalan seperti
biasa. Namun di ruang kecil di Kachidoki, tragedi itu meninggalkan pesan abadi:
bahwa cinta, bila dibiarkan membusuk dalam obsesi, bisa menjadi pisau yang
menikam dua hati sekaligus.
Dan di halaman terakhir buku harian itu, Ayumi sudah menulis akhir kisah mereka, jauh sebelum pisau benar-benar turun.