Delusi Kasih Ibu

 


Kuala Lumpur, 2004

“Hurry, Amirul… nanti bas sekolah lambat lagi,” suara lembut itu menggema dari dapur kecil rumah papan di Jalan Pudu Lama, tak jauh dari deretan kedai lama yang mulai berkarat.
Aroma sambal tumis dan santan memenuhi ruangan sempit, bercampur bau hujan yang menetes dari atap bocor. Dari kamar depan, suara langkah kecil terdengar berlari, lalu tawa riang menyahut.

“Mak, saya dah siap! Tengok—” katanya bangga, menenteng tas sekolah biru lusuh. “Saya gosok rambut, saya sikat gigi sendiri.”

“Ha, pandai anak Mak,” kata Salmah sambil menoleh, senyum tulus mengembang di wajahnya yang kelelahan. Ia mengusap kepala anaknya, menata poni yang selalu berantakan. “Kalau ayah tengok, mesti bangga. Hari ni Amirul nampak macam budak bijak betul.”

Anak itu terkekeh, lalu duduk di kursi rotan reyot, menunggu sarapan. Salmah meletakkan piring nasi lemak hangat di depannya, bersama telur rebus yang kuningnya sedikit pecah. “Makan cepat, nanti hujan makin lebat. Bas datang sekejap lagi.”

Dari luar jendela, langit kelabu menekan atap rumah-rumah lama. Suara air menetes dari talang rusak, ritmis seperti jam berdetak. Udara pagi berembun dan berat. Salmah memandang sebentar ke arah dinding tempat jam bulat tua menggantung — jarumnya sudah melambat, tapi ia masih bergantung pada bunyinya, seolah waktu masih bisa ia kendalikan.

“Mak,” kata Amirul pelan sambil menyuap nasi. “Mak rasa hujan ni lama ke?”

“Tak apa. Hujan ni rahmat, sayang. Kalau Amirul rajin belajar, nanti Mak doakan Tuhan kirimkan hari yang cerah untuk Amirul selalu.”

Anak itu tersenyum. Lalu, dengan polosnya, ia bertanya, “Kalau hari yang cerah tak datang-datang, maknanya apa, Mak?”

Salmah terdiam sebentar. Pertanyaan itu terasa menggigit sesuatu di dalam dirinya. Tapi ia segera tersenyum lagi. “Maknanya Tuhan nak bagi kita sabar sikit lagi, sayang.”

Suasana dapur itu seperti waktu yang beku — seakan hari tak bergerak. Hujan di luar terus turun, tidak deras, tapi cukup untuk menutup semua suara lain. Hanya detak jam, dan suara piring yang disentuh sendok kecil.

Beberapa menit kemudian, Salmah menurunkan payung dari gantungan dekat pintu.
“Jom, Amirul. Bas dah nak sampai,” katanya sambil melangkah keluar ke halaman kecil yang berlumpur.
Udara pagi dingin menusuk tulang. Dari kejauhan, suara mesin bus sekolah yang berat terdengar, diselingi klakson parau. Salmah membuka payung, menggandeng tangan kecil anaknya, melangkah perlahan di antara genangan.

Bus kuning itu berhenti di tepi jalan. Pintu terbuka dengan bunyi decit logam. Pemandangan yang biasa — anak-anak berlarian masuk sambil tertawa, seragam putih mereka basah di ujung celana.
Salmah membungkuk sedikit, merapikan krah Amirul, menepuk pipinya dengan lembut. “Belajar elok-elok. Jangan lari masa rehat, nanti jatuh lagi.”

“Baik, Mak,” jawabnya, senyum manis merekah. “Nanti Amirul belikan Mak aiskrim.”

Salmah tertawa kecil. “Mak tak suka aiskrim.”

“Tapi Amirul nak belanja juga.”

Anak itu menaiki tangga bus, melambaikan tangan. Wajahnya setengah tertutup embun di kaca jendela. Salmah berdiri di bawah payung, menatap bus perlahan menjauh, lalu lenyap di tikungan. Ia terus berdiri di sana — bahkan ketika suara bus sudah hilang. Hujan makin deras. Angin meniupkan aroma tanah basah, daun pisang bergetar di halaman.

Salmah menatap jalanan kosong di depannya. Lalu tiba-tiba, ia mengerutkan dahi.
Bus itu… seharusnya berhenti di depan rumah seperti biasa. Tapi tak ada bekas roda, tak ada cipratan air, tak ada tawa anak-anak yang biasa menggema di lorong itu.
Ia menatap ke ujung jalan — hanya ada kabut putih menggantung rendah.

Ia kembali ke dalam rumah, payung basah menetes di lantai semen. Di meja dapur, piring nasi lemak kedua masih utuh. Sendok kecil di sampingnya tetap bersih. Salmah terdiam, menatap kursi yang kosong.

“Laju betul Amirul makan tadi,” gumamnya perlahan, meski tak ada siapa-siapa di sana. Ia duduk di kursi seberang, mengelus meja dengan ujung jari. “Mak suka tengok cara Amirul suap nasi. Comel sangat.”

Hujan menitik dari atap, menimpa ember yang diletakkan di bawah bocoran — bunyinya “tik… tik… tik…” Ia menatap suara itu lama sekali, seolah ada irama yang ia pahami.

Di sudut dapur, tergantung foto lama dalam bingkai kayu: Salmah, suaminya Razak, dan Amirul kecil. Warna fotonya sudah pudar, tapi senyum mereka masih utuh. Salmah memandang foto itu, lalu berbisik, “Nanti bila Amirul balik sekolah, kita makan bertiga, ya.”

Waktu berjalan pelan, siang terasa tak bergerak. Salmah mencuci piring, menyapu lantai, menggantung pakaian yang sudah kering. Setiap gerakannya hati-hati, teratur — seperti seseorang yang takut mengacaukan kenangan. Sesekali ia menoleh ke jendela, memastikan anaknya benar-benar pulang nanti.

Menjelang tengah hari, suara azan Zuhur dari surau kecil di hujung jalan terdengar lirih di antara bunyi hujan. Salmah berhenti sejenak, menatap luar jendela: jalan masih basah, bas belum juga lewat.

“Bas sekolah hari ni lambat betul,” katanya sambil tersenyum kecil. “Mungkin hujan buat jalan sesak.”

Ia menyapu meja lagi, lalu berdiri memandang kursi kosong di depan televisyen.
“Amirul mesti lapar. Mak dah simpan lauk goreng bilis kesukaan Amirul.”

Tapi matanya tiba-tiba basah. Ia tak tahu kenapa. Dadanya sesak, tapi bibirnya tetap memaksa senyum.
Ia berjalan ke kamar anaknya — membuka pintu perlahan. Di dalam, suasana hening. Bau bedak bayi dan kain lembap masih tertinggal. Di atas katil kecil, seragam sekolah putih tergantung rapi, topinya masih ada di gantungan, belum tersentuh.

Salmah duduk di tepi katil, jari-jarinya menyusuri lipatan kain yang halus. Ia bisa bersumpah semalam anaknya tidur di situ, berselimut kartun Doraemon yang kusam. Ia menutup mata, mendengar kembali suara kecil itu: “Mak, saya sayang Mak.”

“Mak pun sayang Amirul,” jawabnya lirih, hampir tanpa suara.

Sore datang dengan langit yang masih kelabu. Dari luar, terdengar suara anak-anak bermain genangan air, berteriak riang. Salmah membuka jendela sedikit, menatap mereka — mencari wajah yang ia kenal. Tapi tak satu pun menyerupai Amirul. Ia menatap hujan yang turun miring, mengguyur genting rumah dan pepohonan. Bau tanah basah membuat dadanya makin berat.

“Mak tunggu Amirul balik,” katanya lembut, separuh senyum di bibir. Ia tetap berdiri di jendela, menatap jalan sepi yang tertutup kabut.

Hujan turun semakin deras — tapi Salmah tak beranjak. Di luar, langit kelam menelan suara, dan di dalam rumah kecil itu waktu berhenti berjalan.


Keesokan harinya.

“Mak, aku lapar…”

Suara itu begitu jelas hingga Salmah refleks menoleh. Sendok kayu di tangannya berhenti mengaduk bubur. Dapur rumah kecil itu diterangi cahaya kuning keemasan dari lampu gantung yang menggantung rendah. Hujan baru saja berhenti, menyisakan embun di jendela kaca dan aroma tanah basah yang meresap dari halaman. Dari tempatnya berdiri, Salmah bisa melihat meja makan — dua piring tersusun rapi, satu berisi bubur ayam dengan suwiran halus, satu lagi masih kosong.

“Amirul, sabarlah… Mak tengah masak ni,” katanya lembut sambil tersenyum.

Ia menoleh ke arah kursi di ujung meja. Kosong. Tapi bibirnya tetap tersenyum seperti biasa, seolah sosok kecil berkaus biru itu benar-benar sedang duduk di sana, menggoyangkan kaki mungilnya yang belum sampai ke lantai.

Setiap pagi kini dimulai seperti itu. Suara, bayangan, kadang aroma khas bedak bayi yang samar. Semuanya datang dan pergi seperti kabut di halaman belakang rumah mereka. Rumah itu berdiri di deretan perumahan sederhana, berpagar hijau tua, dengan suara azan subuh yang masih menggema dari surau kecil di ujung jalan.

Salmah menuang bubur ke mangkuk kecil bergambar dinosaurus, mangkuk yang dulu selalu dipilih Amirul. Ia menatap uap panas yang naik perlahan, seperti napas lembut dari masa lalu.

“Mak masukkan telur rebus sikit, ya? Amirul suka yang kuningnya lembut,” gumamnya.

Ia berbicara dengan nada lembut, seperti ibu mana pun yang tengah meladeni anaknya. Namun di antara jeda suaranya, ada keheningan aneh — keheningan yang begitu pekat sampai suara detak jam dinding terdengar seperti palu di dadanya.

Setelah bubur siap, Salmah duduk di kursi seberang. Ia tersenyum, menunggu. Lama.

“Amirul?” bisiknya.

Hanya suara kipas angin yang berputar.

Ia menghela napas. “Mungkin masih ngantuk,” katanya sendiri.

Lalu ia berdiri, mengambil buku kecil bersampul merah muda di atas kulkas. Di sampulnya tertulis dengan spidol: Diari Mak & Amirul. Tulisan tangan itu mulai pudar di ujung-ujungnya.

Ia membuka halaman terakhir, lalu menulis dengan rapi:

Isnin, 25 Oktober.

Amirul sudah makin rajin. Hari ni cikgu puji sebab dia pandai baca doa sebelum makan. Mak bangga betul. Dia kata nak belikan cikgu bunga minggu depan.

Tinta pena hitam mengalir perlahan di atas kertas. Ia tersenyum puas, menatap tulisannya lama-lama, lalu menutup buku itu dengan hati-hati — seolah menyimpan sesuatu yang suci.

Di meja, selembar kertas lain tertindih mug teh. Salmah menariknya pelan. Di atasnya tertulis, “Surat dari Cikgu Fatimah”. Ia membacanya dengan penuh perhatian, matanya berkilat bangga.

Puan Salmah, Amirul semakin ceria dan aktif di kelas. Dia suka membantu teman-teman, terutama bila waktu seni.

Ia tersenyum kecil, lalu menempelkan surat itu di dinding dekat kulkas dengan magnet berbentuk bintang. Namun jika seseorang melihat lebih dekat, yang tertempel di sana hanyalah selembar kertas kosong. Tak ada tulisan, tak ada tinta. Hanya putih polos.

Di luar, suara langkah seseorang terdengar di lorong rumah. Salmah menoleh. “Abang?” panggilnya lembut.

Tak ada jawaban.

Ia berjalan perlahan ke ruang tamu. Kursi rotan di sana masih di tempatnya, kipas gantung berputar malas. Di atas meja, ada foto keluarga — dirinya, Amirul, dan lelaki yang berdiri di belakang mereka. Senyumnya tajam, tapi matanya kosong.

“Abang, Amirul makin rajin sekarang…” katanya pelan sambil menatap foto itu.

Dalam bayangannya, suara berat seorang pria menjawab dari balik ruangan. “Itu bagus, Salmah. Kau ibu yang kuat.”

Ia menoleh, tersenyum, tapi ruang tamu kosong. Tak ada siapa-siapa. Hanya suara televisyen lama yang menyala sendiri, menayangkan berita sore tanpa gambar.

Ia kembali ke dapur, merasa dingin menjalari jemarinya.

Suara langkah kecil kembali terdengar. Tep. Tep. Tep. Suara sandal plastik bergesek dengan lantai keramik. Ia berhenti, menatap ke arah lorong.

“Amirul?”

Tidak ada jawaban. Tapi sesaat, ia bersumpah mendengar tawa kecil — renyah, seperti yang dulu sering mengisi rumah ini.

Salmah menatap ke cermin di samping kulkas. Di sana, pantulan dirinya berdiri sendirian di dapur gelap, rambutnya kusut, bibirnya pucat. Tapi di belakangnya, di bayangan cermin, tampak sesosok kecil berlari sebentar lalu lenyap.

Ia tersenyum pelan. “Nakal betul kamu ni…”

Malam itu hujan kembali turun. Salmah duduk di kursi rotan dengan lampu remang, menatap televisyen yang hanya menampilkan salju statis. Di tangannya, ia menggenggam sebuah pensil warna biru muda — pensil milik Amirul.

Ia berbicara pelan, seperti sedang menenangkan seseorang di pangkuannya. “Mak tahu Amirul penat sekolah, ya? Mak dah siapkan susu. Minum dulu…”

Ia mengangkat cangkir kosong, mendekatkannya ke udara, lalu menatapnya seolah ada bibir mungil yang meneguk dari situ.

Ketika jam berdentang pukul sembilan malam, Salmah memejamkan mata, mendengarkan hujan yang mengetuk atap.

“Mak takkan biarkan kamu kesejukan, sayang,” bisiknya.

Ia merasa bahu kirinya hangat, seperti ada kepala kecil yang bersandar. Ia tersenyum — senyum lembut seorang ibu yang menemukan dunia sendiri di antara reruntuhan kenyataan.

Namun di luar rumah, seorang tetangga yang baru pulang dari surau berhenti di depan pagar. Melalui jendela yang terbuka sedikit, ia melihat Salmah duduk sendiri di ruang tamu, berbicara pada udara kosong sambil mengayunkan tangan ke arah cangkir yang tak berisi.

Tetangga itu menarik napas panjang, lalu menunduk. “Kasihan Salmah…” gumamnya. “Masih belum dapat terima.”

Di dalam rumah, Salmah tertawa pelan. “Abang, dengar tak? Amirul cakap dia nak dapat bintang dari cikgu minggu depan.”

Bayangan lelaki di sudut ruangan tampak samar — berdiri, lalu mengangguk pelan, sebelum menghilang di balik tirai.

Salmah menatap kursi kosong di hadapannya. “Mak janji akan masakkan ayam goreng kesukaan Amirul besok,” katanya lagi, dengan suara yang bergetar lembut seperti doa yang tak akan pernah dijawab.

Dan di balik suara hujan, terdengar lagi langkah kecil di dapur. Tep. Tep. Tep.
Seolah anak kecil itu benar-benar masih di sana.

 

Suara bola memantul di jalan kecil depan rumah membangunkan Salmah dari lamunan siangnya. Dari jendela, ia melihat seorang anak laki-laki berlari mengejar bola, tertawa kecil ketika nyaris tersandung batu. Wajahnya bulat, kulitnya sawo matang, rambutnya agak ikal. Ia mengenakan baju sekolah rendah — putih dan biru muda — sama seperti yang dulu dipakai Amirul.

Salmah menatap lama. Nafasnya tercekat.

“Amirul…” bisiknya hampir tak terdengar.

Anak itu berhenti di depan pagar rumahnya, menunduk mengambil bola yang terlempar ke halaman. “Maaf, makcik,” katanya sopan. Suaranya lembut, tapi jernih, seolah bergema di dada Salmah.

Salmah tersenyum, menelan perih yang datang tiba-tiba. “Tak apa, nak. Nama kamu siapa?”

“Aqil, makcik.”

Ia mengangguk pelan, menatap anak itu dengan pandangan penuh rindu yang tak bisa ia sembunyikan. “Aqil… nama yang baik.”

Sore itu, ketika anak-anak lain sudah pulang, Salmah masih duduk di kursi rotan dekat jendela, menatap halaman rumah sebelah. Di sana, suara tawa Aqil terdengar samar, disertai nyanyian ibunya yang menjemur pakaian. Rumah itu baru saja ditempati dua minggu lalu oleh keluarga muda dari Johor. Salmah belum sempat berkenalan dengan mereka — atau mungkin belum berani. Tapi hari itu, ada sesuatu yang bergerak di dalam dirinya, sesuatu yang sudah lama beku.

Keesokan harinya, Salmah berdiri di dapur menyiapkan kue yang manis. Ia menata adonan dengan hati-hati, lalu menaruhnya di piring kecil bergambar bunga. Setelah dingin, ia keluar ke halaman, menatap rumah sebelah.

Aqil sedang duduk di tangga, menggambar sesuatu dengan krayon.

“Aqil!” panggilnya lembut. Anak itu menoleh, tersenyum. “Ya, makcik?”

Salmah mendekat, menunduk sedikit agar sejajar dengannya. “Mak cik buat kuih ni. Cuba rasa, ya?”

Anak itu mengambil satu, menggigit perlahan, lalu matanya berbinar. “Sedapnya!”

“Amirul pun suka kuih ni…” gumam Salmah tanpa sadar.

“Siapa Amirul, makcik?”

Pertanyaan itu membuatnya terdiam sejenak. Ia menatap jauh ke jalan, seolah mencari seseorang di ujungnya. “Anak mak cik… dia dah besar sekarang.” Senyumnya melunak, tapi matanya tak benar-benar menatap Aqil — melainkan menembus masa lalu yang tak bisa kembali.

Hari-hari berikutnya, Aqil sering datang ke rumah Salmah. Kadang hanya duduk di tangga sambil mendengar cerita, kadang membantu menyiram bunga di halaman. Salmah menyiapkan sirup dingin, menaruhnya di gelas kaca, dan setiap kali Aqil datang, rumah itu terasa hidup kembali.

“Mak Salmah, tengok ni!” seru Aqil suatu sore sambil menunjukkan gambar yang baru digambarnya — dua orang, satu besar, satu kecil, sedang memegang tangan. “Ini saya dengan makcik.”

Salmah menatap gambar itu lama, lalu menutup mulutnya, menahan isak yang nyaris pecah. “Cantik sangat, Aqil… cantik…”

Anak itu tertawa kecil. “Mak Salmah suka, kan?”

Ia mengangguk cepat, lalu memeluknya tanpa sadar. “Mak Salmah suka, sayang. Terima kasih…”

Sejak hari itu, nama “Mak Salmah” melekat di bibir Aqil. Ia memanggil dengan lembut setiap kali melintas di depan pagar. Kadang sore-sore, mereka duduk bersama di teras, menatap langit jingga sambil memakan pisang goreng. Di sela tawa Aqil, Salmah mulai merasa tenang — seolah luka yang dulu dalam perlahan menutup.

“Mak Salmah, besok saya bawa mainan, ya?” kata Aqil sambil melambai pulang.

Salmah tersenyum, melambaikan tangan. “Hati-hati jalan, Amirul…”

Anak itu sempat menoleh, keningnya berkerut. “Saya Aqil, makcik…”

Salmah mengangguk cepat, tertawa kecil menutupi gugupnya. “Ya, ya… Aqil, maksud mak cik.”

Tapi setelah anak itu masuk ke rumahnya, Salmah masih berdiri lama di depan pagar, menatap pintu yang tertutup. Di kepalanya, nama “Aqil” perlahan memudar. Yang tersisa hanya “Amirul” — nama yang terus menggema di pikirannya.

Malam itu, Salmah duduk di ruang tamu, membuka diarinya lagi.

Selasa, 25 Oktober.

Amirul makin rajin main dengan mak sekarang. Dia kata suka tolong siram bunga. Dia panggil mak “Mak Salmah.” Kelakar sungguh.

Tangannya bergetar sedikit, tapi ia tetap tersenyum. Ia menatap cermin di seberang ruangan. Dalam pantulan itu, ia melihat bayangan kecil Amirul duduk di lantai, menggambar dengan krayon — sama seperti Aqil tadi.

“Aqil pun suka warna biru, kan?” katanya pelan. Tapi di pantulan cermin, yang menjawab adalah suara Amirul.

“Mak, saya lukis kita berdua!”

Ia tertawa kecil, air matanya menetes tanpa ia sadari. “Cantik, sayang… cantik sekali…”

Keesokan paginya, Salmah melihat Aqil di depan rumah sedang bersiap ke sekolah. Ia membawa kotak bekal. Entah kenapa, rasa sayang itu kembali menyesakkan dada. Ia keluar cepat, memanggil dari balik pagar. “Aqil, sini dulu.”

Anak itu berlari kecil menghampiri. “Ya, makcik?”

Salmah menunduk, menyelipkan sebatang pensil warna ke tangannya. “Ini punya Amir— punya makcik dulu. Kamu pakai ya, untuk lukis yang cantik-cantik.”

Aqil tersenyum. “Terima kasih, mak Salmah.”

“Bagus, anak baik…”

Dari kejauhan, seseorang menatap mereka — perempuan muda berhijab merah muda, wajahnya kaku, tegang. Ibu Aqil. Ia berdiri di halaman rumah, membawa payung, tapi matanya tak lepas dari Salmah.

Sore harinya, Aqil kembali datang, membawa gambar baru. “Mak Salmah, tengok! Ini Amirul!” katanya polos.

Salmah tercekat. “Kamu tahu Amirul?”

“Saya jumpa nama dia dekat buku makcik.”

Ia menatap anak itu dengan campuran gentar dan tak percaya. “Aqil… kamu nampak Amirul, ya?”

Anak itu menatapnya, bingung. “Err… saya cuma lukis saja.”

Tapi Salmah sudah menatap ke arah lain, ke sudut ruang tamu yang kosong. Bibirnya bergetar. “Mak tahu kamu di situ, sayang…”

Aqil menoleh ke arah yang sama, tapi hanya melihat kursi kosong dan cangkir teh yang dingin. Ia bergidik pelan.

Beberapa menit kemudian, suara langkah terburu-buru terdengar dari luar. “Aqil!” suara seorang perempuan memanggil keras. Ibu Aqil berdiri di gerbang, wajahnya tegang.

“Mak, saya di sini—”

Namun perempuan itu cepat datang, menarik tangan anaknya dengan gemetar. “Kamu jangan main di sini lagi,” katanya dengan nada bergetar.

Salmah berdiri, bingung. “Kenapa, puan? Saya cuma—”

Pandangan mata ibu Aqil tajam, tapi ada ketakutan di baliknya. “Tolong jangan dekati anak saya lagi.”

Ia lalu menyeret Aqil menjauh, tanpa menoleh.

Salmah berdiri di depan pagar, diam. Hujan rintik mulai turun, menyentuh pipinya perlahan.

Dari balik jendela rumah sebelah, Aqil menatap sejenak, wajahnya sedih. Ia sempat melambai pelan, tapi ibunya menutup tirai dengan cepat.

Salmah masih berdiri di sana lama, menatap rumah itu dengan mata basah. Lalu ia tersenyum kecil, seolah mencoba menenangkan diri.

“Tak apa, Amirul… kawan kamu dah balik. Esok dia datang lagi, kan?”

Namun tak ada suara menjawab. Hanya rintik hujan yang perlahan berubah menjadi deras, menenggelamkan kata-katanya — bersama harapan semu yang baru saja lahir, lalu hancur sebelum sempat tumbuh.

 

Matahari pagi menyelinap lembut melalui celah tirai renda yang sudah pudar, menimpa meja makan yang tersusun rapi. Piring-piring porselen putih, sendok berkilau, dan semangkuk lauk sayur lemak labu yang masih mengepul. Di tengahnya, bunga kertas merah muda yang sudah setengah layu diletakkan dalam gelas kaca, seolah menjadi saksi kecil dari hari yang sempurna.

Salmah berdiri di depan meja, menatap semuanya dengan senyum yang jarang sekali terlihat. Tangannya menggigil pelan saat ia mengatur sendok di sisi kanan piring kecil. “Kita mesti nampak cantik hari ni, Amirul. Ayah kamu nak makan sama-sama,” katanya dengan nada penuh semangat.

Dari ruang tamu, terdengar suara anak kecil berlari. “Mak! Saya lapar!”

Salmah tertawa kecil, wajahnya bersinar. “Ha, datanglah sini, Amirul. Tangan dah basuh?”

“Dah!”

Anak kecil itu berlari ke meja makan, duduk di kursi kecil di ujung meja. Bajunya biru muda, rambutnya rapi disisir ke samping. Senyumnya merekah, pipinya sedikit berdebu karena tadi sempat bermain di luar.

Tak lama kemudian, suara pintu depan terbuka. Langkah berat, lalu suara seorang lelaki memanggil pelan, “Salmah?”

Ia menoleh, matanya berbinar. “Razak! Kamu balik awal hari ni!”

Lelaki itu tersenyum, menanggalkan kasut dan masuk. “Hari ni saya nak makan di rumah. Rindu masakan kamu.”

Salmah tertawa kecil, lalu menoleh ke Amirul. “Dengar tu, ayah kamu rindu kita.”

Anak itu mengangguk cepat. “Ayah, saya dapat markah tinggi untuk karangan hari ni!”

“Hebat, anak ayah.” Razak duduk di kursi, meraih kepala anaknya dan mengacak rambutnya penuh kasih. “Ayah tahu kamu budak pandai.”

Suasana di meja makan menjadi hangat. Radio kecil di sudut dapur memutar lagu lama — suara P. Ramlee mengalun lembut, bercampur dengan aroma sambal tumis dan suara sendok beradu pelan.

Salmah duduk, menatap keduanya dengan hati yang mengembang bahagia. Ia tertawa kecil ketika Amirul mulai bercerita tentang guru barunya, tentang teman yang suka meniru suaranya saat membaca puisi. Razak ikut tertawa, meneguk teh panas yang disajikan istrinya.

“Lama tak begini, kan, bang?” bisik Salmah pelan.

Razak menatapnya dengan senyum lembut. “Saya tahu kamu rindukan masa macam ni.”

Ia mengangguk, matanya berkaca-kaca tapi penuh cahaya. “Saya cuma nak kita macam dulu, bahagia macam ni selalu.”

“Dan kita akan, Salmah.”

Ia menggenggam tangannya, hangat dan meyakinkan.

Amirul menepuk meja kecilnya, menuntut perhatian. “Mak, lepas makan kita main congkak, ya?”

Salmah tertawa, “Boleh! Tapi kamu mesti tolong kemas pinggan dulu.”

“Baik!” serunya riang.

Tawa mereka memenuhi rumah. Udara yang tadi lembab kini terasa hidup; cahaya mentari menari di dinding, memantulkan warna keemasan di wajah-wajah mereka.

Namun sesuatu perlahan berubah.

Suara radio mulai berderak, seperti pita yang kusut. Lagu P. Ramlee yang tadi lembut kini terdengar lebih jauh, serak, seperti berasal dari ruang lain.

Salmah menatap sekeliling, dan sejenak, matanya menangkap sesuatu yang janggal — kursi di seberang Razak kosong. Ia mengerjap, mencoba mengabaikannya. Tapi saat pandangannya turun ke meja, piring Amirul tampak tak tersentuh. Sendoknya bersih.

“Amirul… makanlah, sayang,” katanya pelan.

Anak itu mengangguk, tapi tangannya hanya melayang-layang di udara, seolah mengambil makanan yang tidak ada.

Salmah memandangi tangannya sendiri. Di depannya, sendoknya juga tidak bergerak. Ia hanya menatap mereka berdua, Razak dan Amirul, yang terus berbicara, tertawa, bercanda — tapi tanpa suara. Hanya gerakan bibir yang berulang, seperti film bisu.

Suaranya mulai bergetar. “Kamu… kamu dengar saya, kan?”

Razak menatapnya, masih tersenyum, tapi senyum itu tak berubah sedikit pun. Matanya kosong, seolah dicetak dari kenangan.

“Bang?”

Tak ada jawaban.

Ia menoleh ke arah Amirul, tapi kursi itu kosong. Piringnya tetap bersih, dan hanya bayangan kecil di dinding yang masih bergerak.

“Amirul?”

Suara langkah anak kecil terdengar dari koridor, cepat dan ringan. “Mak! Mak, saya di sini!”

Salmah berdiri, mengikuti suara itu. “Amirul! Jangan lari, sayang!”

Ia berjalan ke ruang tamu, tapi ruangan itu kosong. Hanya tirai yang bergoyang perlahan ditiup angin, dan bayangan yang menari di lantai.

Suara anak itu kini terdengar di belakangnya, lalu di dapur, lalu di luar rumah. “Mak, saya di sini!”

Salmah berlari ke arah suara, membuka pintu belakang, menatap halaman yang diterpa cahaya sore. Tidak ada siapa-siapa. Hanya daun mangga bergoyang pelan, dan piring-piring di meja makan yang sudah mulai dingin.

Suara tawa Amirul tiba-tiba menggema, tapi samar, seperti dari dalam dinding. Ia menutup telinganya, tubuhnya gemetar. “Cukuplah… jangan main-main, sayang. Mak rindu…”

Tiba-tiba suara pintu berderit di belakangnya. Ia menoleh cepat. Razak berdiri di ambang pintu, wajahnya datar.

“Salmah.”

Ia berlari ke arahnya, memeluknya erat. “Bang! Saya takut! Dia main-main lagi, saya tak nampak dia!”

Tapi tubuh yang dipeluknya terasa dingin. Kaku.

Salmah mendongak, dan wajah di hadapannya bukan lagi Razak — hanya bayangan samar, tak punya mata, tak punya suara.

Ia terjatuh ke lantai, menatap ke atas dengan pandangan kabur. Di sekelilingnya, suara tawa dan percakapan tadi kembali terdengar — tapi kini bergema, berlapis-lapis, seperti dari ratusan mulut tak terlihat.

“Mak… sini, Mak…”

“Salmah, masakannya sedap…”

“Mak Salmah, kita main lagi, ya?”

Suara-suara itu terus berputar, memenuhi ruangan, sampai ia menutup telinganya. Namun di antara semua gema itu, satu suara terdengar paling jelas:

“Mak, saya lapar…”

Salmah menatap ke meja makan — dan kini Amirul duduk di sana, tersenyum, menatapnya dengan mata bening.

Ia bangkit perlahan, mendekat, lalu duduk di seberangnya. “Kamu lapar, sayang?”

Anak itu mengangguk. “Mak masak sedap. Saya suka.”

Ia tersenyum lega, mengambil sendok dan menyuapkannya perlahan. “Nah, makan ya. Amirul mesti kuat, jangan sakit lagi…”

Anak itu memakan suapan itu, tersenyum manis. “Terima kasih, Mak.”

Salmah menatapnya, lalu menatap ke arah Razak di ujung meja. Ia juga tersenyum, mengangguk tenang.

Radio kembali menyala, suara P. Ramlee mengalun lembut seperti semula. Rumah kembali terasa hangat.

Sinar matahari perlahan meredup, tapi Salmah tak beranjak. Ia tertawa kecil, berbicara tentang sekolah, tentang cuaca, tentang hari-hari yang katanya akan lebih baik.

Dan ketika malam tiba, hanya satu piring di meja yang kotor — piring Salmah.

Dua piring lain tetap bersih, tanpa sentuhan apa pun. Namun Salmah terus tersenyum, berbicara dengan hangat, seperti ibu yang bahagia menikmati hari yang paling indah dalam hidupnya.

Di luar rumah, angin malam berhembus lembut. Dari jendela, bayangan tiga orang terlihat duduk bersama di meja makan — dua di antaranya samar, seperti cahaya yang pelan-pelan memudar di ujung hari.

 

Hujan turun sejak sore, mula-mula hanya gerimis ringan yang menimpa atap rumah Salmah, tapi menjelang malam, langit seolah pecah. Air tumpah dari langit dengan suara keras, menelan bunyi dunia di sekitarnya. Dalam rumah kecil di tepi kampung itu, Salmah duduk sendirian di ruang tamu. Lampu neon di langit-langit berkelip-kelip, kadang terang, kadang nyaris padam. Bau lembap meresap ke dinding, bercampur aroma tanah basah yang menyelinap lewat jendela.

Ia memeluk bantal kecil bergambar kereta api—bantal milik Amirul, yang dulu selalu ia letakkan di pangkuan setiap kali hujan turun. Malam itu, entah mengapa, ia merasa hujan membawa sesuatu bersamanya. Ada denting aneh di dada, seperti firasat yang lama ia kenal tapi telah lama ia tolak.

“Mak... Amirul suka hujan, kan?” suara kecil itu bergema di kepalanya.

Salmah tersenyum samar, bibirnya bergetar. “Ya, sayang... Amirul selalu cakap begitu.”

Ia menatap jendela. Di luar sana, kilat menyambar sebentar—terang sekali—menyilaukan mata. Dalam pantulan kaca, seolah ia melihat sosok kecil berlari di halaman. Kaos putihnya basah, celananya melekat di kaki mungilnya.

Ketika kilat padam, bayangan itu menghilang.

Salmah berdiri perlahan, menapaki lantai yang dingin. Suara hujan menampar genting, diselingi gelegar petir yang membuat kaca jendela bergetar. Ia menatap ke pintu depan.

Tok. Tok. Tok.

Suara ketukan itu datang tiba-tiba—pelan tapi tegas. Salmah tertegun. Hatinya berdebar. Ia menahan napas, menunggu. Ketukan itu datang lagi.

Tok. Tok. Tok.

“Mak... Amirul dah balik.”

Suara itu. Suara yang ia hapal, bahkan dalam tidur sekalipun. Lembut, sedikit serak, dan manja.

Air matanya jatuh sebelum ia sempat berpikir. Ia berlari ke pintu, membuka kunci dengan tangan gemetar.

Di luar sana, berdiri seorang anak kecil. Tubuhnya kuyup, rambutnya menempel di dahi, air menetes dari ujung bajunya ke lantai. Ia menatap Salmah dengan mata besar yang mengandung campuran takut dan rindu.

“Amirul...” bisik Salmah. Ia menutup mulutnya, tak percaya. “Amirul, sayang, itu kamu?”

Anak itu mengangguk perlahan. “Mak... saya kesejukan.”

Tanpa berpikir panjang, Salmah menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. “Masuk, sayang, cepat masuk. Mak dah tunggu lama.” Ia memeluk anak itu erat-erat, begitu erat sampai tubuhnya bergetar. Air matanya bercampur dengan air hujan di bahu anak itu.

Ia membawanya ke ruang tamu, menurunkannya di sofa. “Tunggu sini, Mak ambil tuala, ya?” katanya terburu-buru.

Namun ketika ia kembali membawa handuk, anak itu menatapnya dengan tatapan aneh. Kilat menyambar lagi—dan di wajah anak itu, dalam sepersekian detik, bukan Amirul yang ia lihat. Itu Aqil. Anak dari rumah sebelah.

Salmah terpaku. Nafasnya tercekat. Tapi sekejap kemudian, wajah itu kembali menjadi Amirul. Senyum kecil terbit di bibir anak itu.

“Mak... Amirul lapar.”

Kata-kata itu seperti mantra yang membuatnya lupa segalanya. Ia tertawa kecil—suara yang lama tak keluar dari tenggorokannya. “Ya Allah, tentu, tentu. Mak masak nasi panas-panas, ya. Amirul tunggu di sini.”

Ia berlari ke dapur. Kompor tua dinyalakan, air mendidih, aroma sambal sardin memenuhi udara. Ia menyiapkan piring dua orang—satu untuk dirinya, satu untuk anak itu. Hatinya dipenuhi kehangatan aneh. Dunia seperti normal lagi.

Tapi dari ruang tamu, terdengar suara langkah. Pelan. Menjauh.

“Amirul?” panggilnya. Tak ada jawaban.

Salmah berjalan ke ruang tamu. Kosong. Sofa lembap oleh air hujan, tapi anak itu tak ada. Ia mencari ke ruang depan, ke kamar Amirul—tempat yang sudah lama ia biarkan tertutup.

Pintu kamar terbuka sedikit. Cahaya kilat menyorot dinding, memperlihatkan mainan-mainan lama di rak, dan foto Amirul tersenyum di meja belajar. Di atas tempat tidur, ia melihat sesuatu bergerak. Tubuh kecil meringkuk di sana.

“Amirul...?”

Anak itu menoleh pelan. “Mak jangan marah...” suaranya nyaris tenggelam oleh hujan di luar. “Saya cuma nak tidur di sini...”

Salmah tersenyum. Ia duduk di tepi ranjang, membelai rambut anak itu. “Mak tak marah, sayang. Tidurlah. Amirul dah balik, kan? Tak apa... Mak jaga.”

Ia menyelimuti anak itu, membetulkan posisi bantal. Anak itu tersenyum, menutup mata.

Namun kilat berikutnya menyambar begitu dekat, cahayanya menembus tirai, dan dalam cahaya putih itu, wajah anak itu berubah lagi. Kali ini jelas—itu Aqil, bukan Amirul.

Salmah terlonjak mundur, terdiam. Hujan di luar semakin keras, menelan seluruh bunyi di dunia. Ia menatap ranjang. Anak itu kini tak bergerak. Pucat.

“Amirul?”

Ia mengguncang bahunya. Tak ada respon.

“Sayang?”

Suara petir menggema. Dalam ketakutannya, Salmah memeluk tubuh itu. Ia menangis tersedu, suaranya tenggelam di antara guntur dan hujan. “Mak dah jumpa Amirul... Mak takkan lepaskan lagi...”

Lampu kamar padam tiba-tiba. Rumah tenggelam dalam gelap. Hanya suara hujan yang tersisa, dan desah napas tertahan dari seorang ibu yang menolak melepaskan apa yang telah lama pergi.

Di luar rumah, lampu dari rumah sebelah menyala. Seorang wanita muda—ibu Aqil—berlari di bawah hujan, menjerit-jerit memanggil nama anaknya.

Namun di dalam rumah Salmah, hanya ada keheningan.

Dan di antara setiap gelegar petir, samar-samar terdengar suara seorang anak kecil berbisik:

“Mak... saya dah balik.”

 

Pagi itu turun dengan lembut, seolah langit sendiri enggan membuat suara. Hujan malam telah reda, meninggalkan embun di rumput dan aroma tanah yang segar. Dari rumah kecil di ujung jalan, asap tipis mengepul dari dapur—pertanda kehidupan masih ada di dalamnya.

Salmah menyapu halaman perlahan, langkahnya tenang, berirama dengan desir angin. Di ujung sapu lidi, daun-daun basah menempel, menggumpal kecil seperti kenangan yang enggan dilepaskan. Bajunya sederhana, kain batik pudar dengan corak bunga kecil. Rambutnya disanggul rapi. Wajahnya tenang, hampir damai.

Burung murai menjerit pelan di dahan jambu. Salmah mendongak sebentar, lalu tersenyum kecil. “Amirul suka bunyi burung tu, kan?” gumamnya lembut, seolah berbicara pada seseorang yang berdiri di dekatnya. Tak ada jawaban. Tapi di matanya, jelas—ia mendengar sesuatu.

Selesai menyapu, ia menepuk-nepuk tangannya, memandang langit. “Hari yang baik, sayang. Kita makan sama-sama, ya?”

Ia masuk ke dapur. Dindingnya lembap, tapi dapur itu tampak rapi. Di atas meja, dua piring nasi lemak sudah tersaji. Telur rebus dibelah dua, sambal merah menggoda di sisi piring. Ada juga cawan teh tarik yang masih berasap tipis, dan satu lagi cawan kecil di sebelahnya.

“Amirul, turun... Mak dah siapkan sarapan.”

Suara itu meluncur lembut ke seluruh rumah. Tak ada suara langkah, tapi Salmah menoleh ke arah tangga seolah mendengar seseorang turun. Senyumnya merekah perlahan. “Laju-laju nanti nasi sejuk.”

Ia duduk di kursi kayu tua, di hadapan piring pertama. Kursi di seberangnya kosong. Tapi di kaca jendela di belakang meja, pantulan samar memperlihatkan sesuatu—bayangan kecil duduk di seberang, tangannya terulur mengambil sendok.

Salmah tertawa pelan, seperti seorang ibu yang bahagia melihat anaknya makan dengan lahap. “Pelan-pelan, Amirul. Nanti tersedak.”

Dari luar, suara ayam berkokok bersahutan. Dunia berjalan seperti biasa. Tapi di jalan depan rumah, beberapa orang mulai berkumpul. Suara mereka berbisik-bisik, gelisah.

“Anak siapa yang hilang?” tanya seseorang.

“Anak Kak Rohani. Aqil,” jawab seorang lelaki. “Malam tadi belum balik.”

“Dah cari seluruh kampung?”

“Dah. Tak jumpa. Cuma jumpa selipar dia... dekat sungai.”

Bisik-bisik itu bergulung seperti kabut pagi. Namun rumah Salmah tetap sunyi, tertutup. Hanya sesekali terdengar suara piring beradu dari dalam.

Seorang jiran, Mak Minah, melangkah mendekat ke pagar. Ia mengetuk perlahan. “Salmah? Kau okey, kah?”

Tak ada jawaban.

Dari balik tirai, sosok Salmah tampak samar. Ia berdiri memandang keluar, matanya kosong tapi senyumnya tetap hangat. Ia melambaikan tangan perlahan, seolah menyapa teman lama. “Pagi, Minah. Cantik paginya, kan?”

Mak Minah menggigil kecil. Suara itu... terlalu tenang. Ia hanya mengangguk canggung. “Ya... cantik.”

“Amirul baru habis makan. Dia suka nasi lemak Mak Minah bagi minggu lepas,” kata Salmah lembut, matanya bersinar kecil.

Mak Minah membuka mulut, ingin berkata sesuatu—tapi berhenti. Ia hanya menatap wajah Salmah yang tampak bahagia, lalu mundur perlahan. Ada sesuatu yang aneh di balik ketenangan itu.

Dari rumah sebelah, tangis seorang perempuan terdengar lagi. “Aqil... anak mak...”

Salmah menutup jendela perlahan. Dunia di luar menghilang. Ia kembali duduk di meja makan.

Piring di depannya kini kosong. Piring di seberang juga kosong—nasi hilang, sambal pun bersih. Ia tersenyum lega, menatap kursi di seberang dengan penuh kasih. “Amirul makan habis, kan? Pandai anak Mak.”

Ia mengelus meja pelan, seperti membelai kepala anak. Matanya berkaca, tapi bukan karena sedih. Ada semacam rasa puas, rasa damai yang ganjil.

“Mak tak keseorangan lagi, kan?” suaranya nyaris berbisik.

Hening.

Hanya suara jam dinding berdetak pelan—detik demi detik, seperti menahan napas. Di luar, sinar matahari mulai menyelinap lewat sela jendela, menimpa wajah Salmah dan membuatnya tampak bersinar lembut.

Dari pantulan kaca jendela, tampak bayangan dua orang: Salmah dan seorang anak kecil duduk berhadapan, tertawa samar. Tapi jika seseorang masuk dan memandang langsung ke meja itu, hanya akan melihat seorang wanita duduk sendirian di ruang makan.

Beberapa menit berlalu.

Dari luar rumah, suara derap langkah ramai mendekat. Warga kampung berbisik, polisi datang, garis polisi digantung di tepi jalan.

Mak Minah menatap rumah itu dari jauh, dadanya berat. “Dia... dia tak tahu apa-apa, kan?” bisiknya pada lelaki di sebelah.

Lelaki itu menggeleng. “Entahlah. Kadang aku rasa dia tahu... cuma dia pilih untuk tak tahu.”

Dalam rumah, Salmah mulai bernyanyi kecil—lagu nina bobo yang dulu sering ia dendangkan untuk Amirul sebelum tidur. Suaranya lembut, nyaris seperti doa.

“Tidurlah, sayang... tidurlah, Amirul...”

Dari jendela, bayangan anak kecil itu tampak menunduk di pangkuannya. Hening.

Lalu, perlahan-lahan, udara di dapur berubah hening sekali. Suara dunia di luar memudar, hanya ada desau angin yang menyentuh tirai.

Dan ketika matahari akhirnya muncul sepenuhnya di langit, rumah kecil itu tampak damai. Terlalu damai.

Asap teh tarik yang tinggal sedikit uapnya melayang di udara. Dua piring kosong di meja. Satu sendok jatuh perlahan ke lantai—bunyi kecil, nyaris tak terdengar.

Lalu semuanya berhenti.

 

Epilog – Dalam Kepala Salmah

Di sebuah ruang kecil di Hospital Kuala Lumpur, seorang perempuan duduk di dekat jendela yang berjeruji. Cahaya matahari jatuh di wajahnya, menyingkap kulit yang pucat dan mata yang tak lagi tahu perbedaan antara siang dan malam. Ia mengenakan baju batik lusuh, rambutnya disanggul seadanya. Di pangkuannya, sebuah foto lama — seorang anak lelaki tersenyum dengan gigi ompong di tengah, berseragam sekolah biru putih.

“Amirul nampak comel, kan?” katanya perlahan, kepada udara. Ia tersenyum lembut. “Dia selalu cakap, nanti besar nak jadi cikgu. Rajin budak tu.”

Perawat yang lewat hanya melirik sebentar, menggeleng pelan. Mereka sudah hafal cerita itu. Tiap pagi, Salmah akan duduk di tempat yang sama, menunggu “anaknya pulang sekolah.”

Kenyataannya, Amirul meninggal enam tahun lalu. Bus sekolah yang ia naiki tergelincir di tikungan Jalan Tun Razak, menghantam tiang lampu sebelum terbalik ke parit. Dari dua puluh penumpang, empat tak selamat. Salah satunya Amirul — anak tunggal Salmah.

Sejak hari itu, dunia di kepalanya perlahan retak. Jenazah Amirul dikuburkan, Salmah menangis menjerit-jerit; jeritannya perlahan berubah menjadi tawa hangat, lalu kembali menjadi tangis tersedu, kemudian diam termenung, dan akhirnya tersenyum seperti biasa. Hal itu berlangsung berhari-hari, hingga air matanya habis dan ia tak lagi menangis. Ia menjalani hari-harinya seperti orang kebanyakan—dengan senyum di wajah, meski sesekali air mata menetes tanpa alasan, seolah kenangan masih hidup di balik senyumnya. Sejak saat itu, ia selalu berdiri di depan pagar rumah, menunggu bus yang tak akan pernah kembali—seolah ingin menghapus kenyataan bahwa Amirul telah dikuburkan bersama ingatan yang tak sempat ia lepaskan. Suaminya, Razak, tak sanggup menghadapi rumah itu lagi. Ia pergi ke Johor mencari kerja, berjanji akan pulang setelah keadaan membaik. Tapi ia tak pernah kembali.

Hari berganti tahun. Surat-surat tak dijawab. Rumah makin sepi, hingga akhirnya Salmah dibawa ke tempat ini — tempat sunyi yang katanya “aman.” Namun bagi Salmah, tempat ini hanyalah rumah baru yang menunggu anaknya pulang.

Ia menatap keluar jendela, melihat halaman tempat beberapa pasien berjalan perlahan ditemani petugas. Bibirnya bergerak pelan, seperti berbicara kepada seseorang di sampingnya.

“Mak janji, lepas makan kita main kat luar, ya?” katanya. Ia tersenyum, dan matanya berbinar kecil — indah, tapi kosong.

Di kaca jendela, pantulan samar menampilkan dua sosok: Salmah dan seorang anak kecil berdiri di sampingnya. Tapi jika seseorang lewat dan menatap langsung, hanya akan ada Salmah sendirian, menatap langit biru yang hening.

Di kepalanya, Amirul masih hidup. Di dunia nyata, hanya kesunyian yang menjawab.

Share:
Location: Jalan Pudu Lama, Kuala Lumpur, Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia