Aku selalu percaya bahwa hidup ini bukan hanya tentang pilihan, tapi tentang seberapa keras kamu bisa bertahan ketika tak ada pilihan lain. Namaku Tara. Aku lahir di Surabaya, orang sering bilang aku cantik. Wajahku oval, kulitku sawo matang bersih, dengan mata bulat yang katanya memancarkan sesuatu yang hangat—meski aku sendiri lebih sering merasa kosong. Tubuhku proporsional, tinggi rata-rata perempuan kota, tidak terlalu kurus dan tidak pula gemuk, seimbang seperti tubuh yang sering dipuja-puja dalam iklan murahan. Dan sejak umur belasan aku sudah belajar menahan lapar, menelan getir, dan pura-pura tegar di depan adikku yang jauh lebih kecil.
Andai hidup hanya menilai dari wajah dan tubuh, mungkin nasibku akan berbeda. Tapi kenyataannya, paras cantik tak pernah mampu menebus biaya rumah sakit, dan tubuh sehat tak berarti apa-apa ketika di rumah, adikku terbaring lemah melawan sakit yang tak bisa ia pilih. Aku cantik, kata orang. Tapi di dalam diriku, aku hanyalah perempuan muda berumur 25 tahun yang kalah oleh keadaan, terseret ke arus yang tidak pernah kuimpikan.
Kos-kosanku ada di sebuah gang
sempit dekat Jalan Jarak. Gang itu selalu bising, entah oleh suara anak-anak
main bola plastik yang memantul di tembok kusam, atau teriakan tukang lontong
balap yang suaranya bersaing dengan dengungan motor lewat. Malam hari bau sate
klopo bercampur asap rokok mengambang di udara, menusuk hidung, seakan-akan
kota ini hidup dari aroma minyak gosong dan keringat.
Aku tinggal di sebuah kamar sempit
berukuran 3m² x 4m², dindingnya berlapis cat biru yang sudah terkelupas,
atapnya bolong di beberapa sisi sehingga ketika hujan air sering menetes ke
lantai. Ranjangku hanya dipan kayu dengan kasur tipis yang sudah melesak ke
dalam. Di pojok kamar ada rak plastik berisi pakaian seadanya, dan sebuah foto
lama ibu yang selalu kutaruh di sana. Ibu meninggal beberapa tahun lalu, tepat
setelah melahirkan adikku, Raka.
Ayah? Jangan tanya. Ia kabur
setelah Raka lahir, katanya tak kuat menanggung beban. Bagiku, itu hanya alasan
pengecut. Sejak itu aku belajar bahwa orang dewasa bisa saja berhenti
bertanggung jawab tanpa rasa malu.
Aku bekerja sebagai pelayan di
sebuah restoran kecil dekat Wonokromo. Restoran sederhana, menjual rawon dan
nasi campur, dengan meja kayu panjang dan bangku plastik yang sering lengket
kalau kena keringat. Gajiku Rp 700.000,- sebulan, cukup untuk bayar kos, beli
beras, dan sedikit lauk seadanya. Kadang-kadang aku menambal penghasilan dengan
mencuci piring tambahan, atau mengambil jatah lembur kalau ada acara hajatan
besar.
Semua berjalan biasa saja, sampai
suatu siang aku duduk di ruang tunggu RSUD Dr. Soetomo. Raka yang baru berumur
sepuluh tahun terbaring pucat, wajahnya tirus, bibirnya kering. Dokter menyebut
satu kata yang membuat lututku lemas: leukemia.
Aku menatap dokter itu seperti
orang bebal. Aku bahkan tak tahu persis apa artinya, hanya tahu bahwa itu
penyakit berbahaya. Dokter menjelaskan dengan suara datar, tentang sel darah
putih yang berkembang tak terkendali, tentang kemoterapi yang harus segera
dilakukan, tentang transfusi darah, obat-obatan, biaya besar.
Biaya. Kata itu menancap seperti
paku.
Aku ingat saat itu hanya bisa
mengangguk-angguk, seolah aku mengerti, padahal pikiranku kosong. Waktu aku
keluar dari ruang periksa, aku menahan tangis. Di luar, angin Surabaya yang
panas tak bisa mengeringkan air mataku. Aku melihat Raka tersenyum kecil
padaku, meski tubuhnya lemah. Anak itu selalu berusaha terlihat kuat di
hadapanku.
“Mbak, aku pengen cepet sembuh biar
bisa main bola lagi.”
(“Mbak, aku ingin cepat sembuh
supaya bisa main bola lagi.”)
Aku hanya mengangguk dan mengelus
kepalanya, padahal hatiku koyak.
Semakin hari, semakin jelas bahwa
gajiku tak akan cukup. Biaya kemoterapi, transfusi darah, obat-obatan—semuanya
menumpuk. Aku mencoba pinjam ke saudara jauh, tapi mereka juga pas-pasan. Aku
coba ke koperasi, hanya diberi sedikit pinjaman yang tak seberapa.
Malam-malamku penuh hitungan tak masuk akal, lembaran catatan yang
kubolak-balik dengan pensil tumpul, berakhir dengan air mata.
Sampai akhirnya Mira datang.
Mira adalah sahabatku sejak SMP. Ia
sudah lama menghilang dari lingkar pergaulanku, kabarnya bekerja di Dolly,
kawasan yang sudah lama terkenal di Surabaya. Aku jarang bertanya detail, tapi
semua orang tahu Dolly bukan sekadar nama gang. Dolly adalah dunia
lain—lampu-lampu neon yang menyala sepanjang malam, musik dangdut yang
memekakkan telinga, derap sepatu hak tinggi di jalan sempit, dan
perempuan-perempuan dengan senyum palsu yang bisa dibeli.
Malam itu Mira menemuiku di warung
kopi pinggir gang. Ia duduk sambil menyeruput es teh, mengenakan blus merah
menyala dan rok ketat, wajahnya dipoles riasan tebal. Senyumnya lebar, tapi
matanya menyimpan kelelahan yang hanya bisa kulihat karena aku mengenalnya
sejak lama.
Mira: “Kowe saiki kerja nang ngendi,
Ta?”
(“Kamu sekarang kerja di mana,
Ta?”)
Aku: “Wonokromo. Pelayan warung.”
(“Di Wonokromo. Jadi pelayan
warung.”)
Mira: “Duwe piro gajimu?”
(“Berapa gajimu?”)
Aku: “Paling… pitung atusan.”
(“Paling… tujuh ratusan ribu.”)
Mira mendengus.
Mira: “Pitung atusan? Halah, Ta.
Seminggu wae aku iso entuk luwih saka kuwi.”
(“Tujuh ratus ribu? Halah, Ta.
Seminggu saja aku bisa dapat lebih dari itu.”)
Aku diam.
Mira mencondongkan tubuh, suaranya
menurun, lebih serius.
Mira: “Kowe wani? Nek wani, duitmu iso
nggo nambani adikmu cepet, Ta.”
(“Kamu berani? Kalau berani, uangmu bisa dipakai untuk mengobati adikmu
lebih cepat, Ta.”)
Aku tertegun. Aku tahu apa
maksudnya. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini. Dadaku mendadak sesak.
Aku: “Mira… aku ora iso. Aku jijik
mikirne wae.”
(“Mira… aku tidak bisa. Aku
jijik memikirkan saja.”)
Mira memandangku dalam-dalam, lalu
menyalakan sebatang rokok. Asapnya mengepul di antara kami.
Mira: “Jijik? Aku yo rasane koyok ngono pisanan, Ta. Tapi saiki aku
ngerti, iki mung kerjaan. Awakmu mung sarana. Ati? Ati kudu dipetok. Nek kowe
mikir terus nganggo ati, kowe gak iso urip.”
(“Jijik? Aku juga rasanya begitu pertama kali, Ta. Tapi sekarang aku tahu,
ini hanya pekerjaan. Tubuhmu cuma sarana. Hati? Hati harus dipenjara. Kalau
kamu terus pakai hati untuk mikir, kamu tidak akan bisa hidup.”)
Aku menggenggam gelas kopi,
menunduk. Bayangan wajah pucat Raka kembali muncul. Senyumnya. Matanya yang
selalu berusaha tegar. Aku memejamkan mata.
Aku: “Tapi… Ra… aku ora ngerti nek aku
kuwat opo ora.”
(“Tapi… Ra… aku tidak tahu
apakah aku kuat atau tidak.”)
Mira menepuk tanganku.
Mira: “Kuwat, Ta. Percaya aku. Nek kowe
tenanan, aku iso nuntun kowe. Ora gampang, tapi duitmu iso kanggo nambani
adikmu. Kowe kan mung pengen kuwi, ta?”
(“Kuat, Ta. Percaya aku. Kalau
kamu sungguh-sungguh, aku bisa tuntun kamu. Tidak mudah, tapi uangmu bisa untuk
mengobati adikmu. Kamu kan cuma ingin itu, kan?”)
Aku menatap Mira. Wajahnya yang
dulu polos kini terasa asing. Tapi kata-katanya menusuk tepat ke pusat hatiku.
Aku ingin Raka sembuh. Aku ingin ia punya kesempatan main bola lagi, tertawa,
sekolah, hidup normal.
Malam itu aku pulang ke kos dengan
kepala penuh suara-suara bertentangan. Aku memandang foto ibu di rak plastik.
Aku membayangkan apa yang akan beliau katakan jika melihatku sekarang. Mungkin
beliau akan kecewa. Tapi lebih kecewa lagi jika aku membiarkan Raka meninggal
tanpa berusaha lebih keras.
Aku menangis lama sekali malam itu.
Dan ketika fajar menyingsing, aku sudah membuat keputusan.
Aku akan masuk ke dunia yang
membuatku ngeri, dunia yang bahkan tak berani kusebut namanya lantang. Aku akan
mengorbankan diriku sendiri, menukar kehormatanku, demi Raka.
Karena terkadang, dalam hidup, kita
dipaksa memilih bukan antara baik dan buruk, tapi antara buruk dan lebih buruk.
Dan aku memilih yang pertama.
Lampu neon berkelap-kelip
menyalakan gang Dolly seperti pesta kecil yang tak pernah selesai. Warung
remang berdendang dangdut koplo; suara biduan perempuan bergaun ketat
serak-serak basah, diiringi ketukan kendang dan tawa para lelaki mabuk. Aroma
parfum murahan bercampur dengan alkohol murah, menempel di udara yang pengap.
Becak-becak ngetem di mulut gang, menunggu penumpang yang setengah sadar, atau
lelaki yang sudah kehabisan tenaga setelah malam panjang.
Aku berjalan pelan, tubuhku kaku,
jantungku berpacu tak karuan. Mira menggandeng tanganku.
“Kowe ojo grogi, Ta. Nek wis ketemu karo pelanggan, sing penting kowe iso
nggawe awake dhewe koyo boneka. Hati-mu mateni, awakmu sing dolanan,” bisiknya.
(Kamu jangan grogi, Ta. Kalau sudah
ketemu pelanggan, yang penting kamu bisa membuat dirimu seperti boneka. Matikan
hatimu, tubuhmu yang dimainkan.)
Aku hanya mengangguk. Kata-kata itu
menghantam dadaku. Boneka. Ya, mungkin memang aku akan menjadi boneka
malam ini.
Kamar kos yang disewa Mira untuk
kami bekerja sempit, bau rokok menempel di sprei. Belum sempat aku menghela
napas, seorang pria tua masuk. Tubuhnya tambun, kulitnya penuh keriput,
keringat bercampur parfum menyengat. Nafasnya berat, gerakannya tergesa.
Dia langsung meraihku, tanpa banyak
bicara. Tangan kasarnya menekan pundakku, napasnya memburu, dan tubuhku
diperlakukan seperti barang yang sudah dibayar. Aku terdiam, mataku kosong
menatap langit-langit. Aku ingin tubuhku berada di tempat lain, jauh dari kamar
pengap itu.
Detik demi detik terasa seperti
jam. Aku menggigit bibir, menahan rasa jijik yang mengalir bersama setiap
sentuhannya. Dalam kepalaku, hanya ada satu hal: wajah Raka. Tubuh kurus
adikku, selang infus di tangannya, matanya yang selalu berusaha tersenyum meski
sakit.
“Cepet wae rampung… cepet wae,”
bisikku dalam hati.
(Cepat saja selesai… cepat saja.)
Ketika akhirnya pria itu terlelap
sebentar, lalu bangun dan bergegas pergi, ia meninggalkan beberapa lembar uang
lusuh di meja. Pintu menutup, dan aku terduduk lemas di ranjang. Air mataku
jatuh tanpa suara.
Aku menatap uang itu. “Inikah harga
kehormatanku?” tanyaku pada diriku sendiri.
Malam kedua, Mira tidak ada. Aku
sendirian ketika seorang pria muda datang. Parasnya teduh, mungkin usianya baru
tiga puluhan. Pakaiannya rapi, wangi parfumnya lebih mahal daripada pria-pria
yang biasa kulihat di gang.
Dia duduk di kursi, tidak mendekat
ke ranjang. “Aku cuma butuh ngobrol, boleh?” katanya.
Aku mengangguk. Dalam hati aku
bersyukur, setidaknya tubuhku tak harus kembali jadi boneka.
Dia bercerita panjang lebar.
Tentang istrinya yang suka mengeluh, soal dapur yang tak pernah cukup, tentang
anak-anaknya yang cerewet—bertengkar karena hal sepele, mainan, PR sekolah,
atau hanya karena berebut channel TV.
“Aku capek, Mbak. Rasanya rumah
bukan lagi tempat pulang. Aku kadang pengin kabur aja,” ucapnya, matanya
menerawang.
Aku mendengarkan, hanya sesekali
menyahut: “Hmm,” atau “Iyo, aku ngerti…”
(Ya, aku mengerti…)
Setiap kata yang keluar dari
bibirnya membuatku sadar, betapa aneh hidup ini. Dia punya keluarga, punya
rumah, punya anak. Meski banyak keluhan, tapi ia masih punya sesuatu yang
bahkan tak pernah kupunya. Aku hanya punya Raka—dan detik demi detik, aku takut
kehilangan dia.
Sebelum pergi, pria itu merogoh
dompetnya, mengeluarkan uang lebih banyak dari tarif yang disepakati. Dia
menaruhnya di meja. “Kamu dengerin aku aja udah cukup. Aku jarang bisa cerita
sama orang lain. Terima kasih.”
Aku tercekat. Ingin bertanya kenapa
dia memilih curhat pada seorang perempuan bayaran seperti aku, tapi lidahku
kelu.
Saat pintu tertutup, aku memeluk
lututku di ranjang. Aku mulai belajar tertawa dalam hati. Beginilah cara
bertahan. Matikan perasaan. Anggap ini hanya pekerjaan.
Dan malam-malam berikutnya, aku
semakin lihai. Aku bisa berpura-pura tertawa, bisa menangis sesuai pesanan,
bahkan bisa tersenyum ketika hatiku berdarah. Aku menertawakan luka,
menjadikannya bagian dari rutinitas.
Namun, jauh di dalam diriku, masih
ada suara kecil berbisik: Tara, sampai kapan kamu bisa begini?
Gang Dolly malam itu lebih riuh
dari biasanya. Lampu neon merah jambu menyala terang, seolah ingin menutupi
luka-luka yang berserakan di jalanan. Musik dangdut dari warung ujung gang
lebih kencang, suara biduan perempuan bercampur tawa para lelaki. Aroma sate
klopo dari gerobak depan kos Mira berpadu dengan parfum murahan yang menempel
di udara.
Aku duduk di ranjang, menunggu.
Sudah beberapa malam ini pelanggan datang silih berganti, tapi hatiku semakin
mati rasa. Setiap malam aku memikirkan Raka yang semakin kurus di ranjang rumah
sakit, infus menancap di tangannya. Kemoterapi membuat rambutnya rontok, tapi
dia tetap berusaha tersenyum saat aku datang membawa buah atau buku cerita.
“Ta, iki pelanggan anyar. Ganteng,
rapi. Kayak bos besar. Kowe ati-ati, lho,” bisik Mira sambil menunjuk lelaki
yang baru masuk.
(Ta, ini pelanggan baru. Ganteng,
rapi. Seperti bos besar. Kamu hati-hati, ya.)
Aku menoleh. Lelaki itu berjalan
dengan percaya diri, sepatu mengilap, kemeja putih mahal dengan manset
mengkilap. Parfum mahalnya langsung menusuk hidungku—bukan wangi murahan
seperti yang biasa kubaui. Rambutnya disisir rapi, wajahnya licin penuh senyum.
“Selamat malam, cantik,” ucapnya
sambil mengulurkan tangan. “Aku Arman. Boleh kenalan?”
Aku tersenyum seadanya. “Aku Tara.”
Arman duduk di kursi, menatapku
dengan mata penuh kilau. “Cantik bener kamu. Gak nyangka nemu yang kayak kamu
di sini.”
Aku hanya tersenyum tipis. Dalam
hati aku sudah tahu pola ini: rayuan manis, lalu tubuh. Tapi Arman tampak
berbeda. Dia tidak langsung menyerangku. Dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya:
brosur-brosur mengkilap dengan gambar botol suplemen, kosmetik, dan alat
kesehatan berwarna keemasan.
“Kamu pernah denger nama ini? Ini
produk kesehatan terbaru, booming di Jakarta. Suplemen yang bisa nyembuhin
macam-macam penyakit. Aku top leader-nya di Surabaya,” katanya sambil
membolak-balik brosur.
Aku mengernyit. “Aku… enggak tahu,
Mas.”
Arman tertawa kecil. “Wajar. Tapi
ini kesempatan. Aku udah punya jaringan ribuan orang. Mereka sekarang udah
keliling dunia. Lihat nih…” Dia menunjukkan ponselnya: foto-foto liburan ke
Singapura, Dubai, Hong Kong. Dia bahkan memperlihatkan foto dirinya berdiri di
depan Marina Bay Sands.
Aku menatap layar itu dengan mata
berbinar. Seandainya aku bisa begitu… keluar dari tempat ini. Raka bisa
sembuh, aku bisa kerja normal lagi.
Arman mendekat. “Kamu tahu nggak,
Tara? Kamu punya aura yang beda. Aku bisa bantu kamu keluar dari Dolly. Kamu
nggak perlu selamanya kayak gini. Cuma butuh modal awal kecil, nanti tinggal
jalankan jaringan. Dalam tiga bulan, uang kamu balik dua kali lipat. Kalau kamu
mau, aku bantu langsung daftarin malam ini.”
Aku terdiam. Kata-katanya menusuk
seperti janji manis yang selama ini hanya kubayangkan. “Beneran, Mas? Bisa
cepat?”
“Bener, Sayang,” Arman mendekat
lebih lagi, tangannya menyentuh rambutku. “Kamu harus percaya. Aku udah bantu
banyak orang.”
Aku menghela napas. Wajah Raka
muncul lagi di kepalaku. Dia butuh biaya kemoterapi lanjutan, dokter bilang
obatnya makin mahal. Uang tabunganku masih belum cukup. Kalau aku bisa cepat
balik modal… aku bisa keluar dari Dolly. Raka bisa sembuh.
Aku mengangguk pelan. “Aku… aku
pikirin dulu, Mas.”
Arman tersenyum lebar. “Oke. Tapi
sekarang kita nikmatin dulu malamnya, ya?”
Dia meraihku, menarikku ke
pelukannya. Bibirnya menyentuh leherku, tangannya menjelajahi tubuhku. Aku
menggigit bibir, mencoba mati rasa seperti yang selalu kulakukan. Di sela
desahan, dia berbisik-bisik lagi tentang sukses, tentang jaringan, tentang liburan
ke luar negeri—seolah semua itu mudah dicapai.
Aku memejamkan mata. Rasanya
seperti sedang tidur sambil mendengarkan dongeng. Dongeng tentang dunia yang
indah, tapi aku tetap berada di ranjang pengap ini.
Ketika selesai, Arman bangkit,
merapikan pakaiannya. Dia mengeluarkan brosur lebih banyak, menaruhnya di meja.
“Ini ya, kamu baca-baca. Aku percaya kamu punya potensi. Kalau udah siap,
kabari aku. Aku bikinin akunmu langsung.”
Dia menyelipkan kartu nama ke
tanganku, lalu pergi sambil melambai. Parfum mahalnya masih tertinggal di
udara.
Beberapa hari kemudian aku
menghubungi Arman. Aku sudah memutuskan. Uang tabunganku—hasil lembur malam
demi malam, hasil tubuhku—akan kuserahkan untuk “paket awal” MLM Arman.
“Pintar kamu, Tara,” katanya lewat
telepon. “Aku pastiin kamu sukses.”
Aku mentransfer seluruh uangku ke
rekening yang dia berikan. Hatiku berdebar. Ini untuk Raka. Ini tiketku
keluar.
Hari-hari berikutnya, aku menunggu
kabar Arman. Tapi teleponnya mati. Nomor WA-nya tidak aktif. Brosur-brosur yang
dulu tampak mewah kini terlihat seperti kertas murahan.
Aku mencoba menghubungi beberapa
nama di brosur itu. Nomor mereka palsu.
Aku duduk di kamar kos, memandangi
uang tabunganku yang hilang. Dadaku sesak. Aku berteriak. Aku memukul-mukul
dinding. “Bodoh, Tara! Bodoh!”
Air mataku tumpah. Aku teringat
Raka di rumah sakit. Uang yang harusnya buat obat Raka malah lenyap
gara-gara kebodohanku.
Aku menangis sejadi-jadinya,
tubuhku gemetar. Sejenak aku berpikir untuk mengakhiri hidupku. Apa gunanya
semua ini? Setiap malam aku menyerahkan tubuhku untuk uang, dan ketika ada
harapan, harapan itu malah menipuku.
Aku terbaring di lantai kamar kos,
memeluk brosur MLM yang basah oleh air mata. Rasanya aku ingin lenyap saja.
Di luar kamar, Dolly tetap hidup.
Lampu neon berkedip-kedip, musik dangdut masih mengalun, lelaki-lelaki masih
tertawa. Dunia terus berputar, seakan-akan luka di dalam kamar ini tak pernah
ada.
Aku memejamkan mata, menarik napas
panjang. Aku harus tetap hidup. Demi Raka. Meski aku telah jatuh, aku harus
bangun lagi.
Tapi di sudut hatiku, ada yang
retak. Ada bagian diriku yang sudah mati bersama uang yang lenyap itu.
Telepon genggam Tara bergetar keras
dini hari itu. Layar menampilkan nomor tak dikenal. Dengan tangan gemetar, ia
menekan tombol hijau.
“Mbakyu Tara, kulo saking RSUD dr.
Soetomo…” suara di seberang terdengar serius, menekan kata demi kata. “Kondisi
adik panjenengan, Raka, makin memburuk. Kami butuh persetujuan segera untuk
tindakan operasi. Tanpa itu, nyawanya terancam.”
Darah Tara seakan surut ke kaki.
Matanya berkunang. Ia menatap dinding kamar kos yang kusam, seolah mencari
pegangan. “O… operasi?” suaranya pecah.
“Iya, Bu. Biayanya cukup besar.
Kalau bisa segera datang ke rumah sakit, kita bisa bahas detailnya.”
Telepon terputus, menyisakan
keheningan mencekam. Tubuh Tara lunglai jatuh ke kasur tipis. Ingatannya
langsung menjerit soal uang tabungannya. Hampir 30 juta rupiah hasil
menahan lapar, bekerja malam, menelan hinaan—semua itu raib, dibawa kabur
pelanggan flamboyan yang mengaku bernama Arman Prakoso. Uang yang
harusnya untuk obat Raka, untuk harapan kecil mereka, kini hanya tinggal kertas
brosur MLM yang sudah kusam di sudut kamar.
Tara menekuk lutut, memeluknya
erat. Tangisnya pecah. “Gusti… kenapa aku sebodoh ini?” bisiknya parau. Ia
ingin marah pada dirinya sendiri, pada dunia, pada semua orang yang
mempermainkan hidupnya.
Namun waktu tak menunggu. Dengan
kaki lemas, ia menyeret tubuhnya menuju rumah sakit.
Lorong RSUD Dr. Soetomo dipenuhi
aroma antiseptik yang menusuk. Lampu neon putih pucat menggantung di atas,
menambah suasana dingin dan mencekam. Tara berjalan tergesa, wajahnya sembab,
rambut kusut tak terurus.
Di ruang tunggu, ia mendengar suara
yang tak asing. Suara lembut, agak dalam, penuh kesabaran.
“Tara?”
Tara menoleh. Degup jantungnya
seakan berhenti sejenak. Di hadapannya berdiri pria muda yang dulu hanya jadi
pelanggan “aneh”—yang tidak menyentuhnya sama sekali, melainkan memilih curhat
panjang lebar. Ia ingat betul pria itu menolak menyentuh tubuhnya, hanya duduk
memandang kosong sambil bercerita.
Kini ia berdiri dengan kemeja
sederhana, wajahnya pucat namun berwibawa. Senyumnya samar, matanya penuh
empati.
“Mas… Ardian?” suara Tara tercekat.
Ardian Wiratmaja mengangguk pelan.
“Iya. Tak sangka ketemu kamu di sini.”
Tara ingin menunduk, menyembunyikan
dirinya. Namun air matanya justru mengalir deras. “Mas… aku… aku ditipu…”
Ardian menuntunnya duduk di kursi
panjang rumah sakit. Dengan sabar ia mendengarkan Tara memuntahkan
semuanya—tentang pelanggan flamboyan dengan parfum menyengat, tentang brosur
MLM yang menjanjikan kaya mendadak, tentang tabungan puluhan juta yang hilang
begitu saja. Tentang Raka, adiknya yang kini di ambang maut.
“Aku goblok, Mas… Aku kerja tiap
malam, rela diinjak-injak, biar Raka bisa sembuh. Tapi malah tak kasihkan semua
uang itu ke penipu. Raka… Raka bisa mati gara-gara aku…” Tara menutup wajah
dengan kedua tangannya, bahunya terguncang hebat.
Ardian hanya diam. Sesekali
tangannya menyentuh bahu Tara, menyalurkan kehangatan yang jarang sekali Tara
rasakan dari siapapun. Lalu ia berkata pelan, tenang, namun tegas:
“Ta, kamu sudah berjuang sejauh
ini. Jangan salahkan dirimu terus. Penipu itu yang salah, bukan kamu. Sekarang
yang penting nyawa adikmu. Uang bisa dicari lagi. Kesempatan hidup nggak bisa.”
Tara mengangkat wajahnya, mata
bengkak, tak percaya dengan ketenangan lelaki di hadapannya.
“Aku… nggak punya siapa-siapa, Mas.
Cuma kamu yang mau dengerin aku kayak gini…”
Ardian menghela napas panjang. Ia
lalu berdiri, berjalan ke meja administrasi. Setelah beberapa menit berbicara
dengan petugas, ia kembali.
“Operasi bisa jalan. Biayanya aku
yang tanggung,” katanya ringan, seolah itu hal kecil.
Tara membeku. “M-Mas… jangan… itu
mahal… aku—aku bisa….”
“Sudah, Ta.” Ardian menatapnya
dalam-dalam. “Anggap saja aku balas budi. Waktu itu, kamu mau duduk dengar
ceritaku tanpa menilai. Itu berarti lebih dari apapun.”
Tara tak kuasa lagi. Ia bangkit,
lalu menubruk tubuh Ardian, memeluknya erat. Isaknya pecah, sampai orang-orang
di lorong menoleh. “Mas… matur nuwun… matur nuwun sewu… aku ora iso mbales…
kecuali tubuhku tak pasrahke kowe sak lawas-lawase…”
Namun Ardian dengan hati-hati
melepaskan pelukan itu. “Jangan bilang begitu. Aku nggak butuh tubuhmu, Ta. Aku
cuma pengin kamu tetap jadi dirimu. Itu sudah cukup.”
Beberapa hari kemudian, setelah
operasi Raka berjalan lancar, Tara akhirnya tahu siapa Ardian sebenarnya.
Mereka duduk di taman rumah sakit,
di bangku besi tua yang catnya mulai terkelupas. Angin sore mengibaskan
dedaunan, sementara cahaya matahari redup menyinari wajah Ardian yang tampak
jauh lebih tua dari usianya.
“Aku bukan orang baik, Ta,” ucap
Ardian tiba-tiba.
Tara menoleh kaget. “Mas jangan
ngomong ngono…”
Ardian tersenyum tipis. “Aku pasien
psikiatri di sini. Setiap minggu aku kontrol. Hidupku hancur.”
Ia menarik napas berat, lalu
menceritakan sesuatu yang membuat dada Tara sesak mendengarnya. Tentang
istrinya yang manis, sabar, tapi meninggal bersama dua anak mereka dalam
kecelakaan mobil yang dikendarainya, Ardian selamat namun trauma seumur hidup. Dirinya
kehilangan arah, terjebak di antara rasa benci, duka, dan penyesalan.
“Aku sering ke Dolly karena… aku
butuh tempat ngomong. Butuh orang yang nggak kenal aku, biar aku bisa curhat
tanpa dihukum. Kamu ada di sana waktu itu. Dan entah kenapa, aku merasa kamu
dengerin aku sungguh-sungguh. Itu nyelamatin aku, Ta.”
Air mata Tara kembali jatuh. Dunia
seakan memutar: ia yang merasa paling hancur, ternyata duduk di samping lelaki
yang juga remuk, bahkan lebih parah.
“Mas… ternyata kita sama-sama luka,
ya?” suaranya lirih.
Ardian menatapnya, lalu tersenyum
getir. “Iya, Ta. Luka sing podo, tapi kudu tetep urip. Karena masih ada orang
yang butuh kita. Adikmu butuh kamu. Dan aku… mungkin masih butuh terus dengerin
kamu.”
Tara menunduk, lalu menggenggam
tangan Ardian erat-erat. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sebuah ikatan yang
lahir bukan dari tubuh, bukan dari uang, melainkan dari luka yang sama-sama
mereka tanggung.
Hidupku kembali berjalan seperti
roda becak yang pincang, tetap berputar meski terdengar bunyi berderit. Setelah
operasi Raka, aku merasa ada sedikit cahaya, tapi bukan berarti jalan jadi
terang. Dolly tetap memanggilku setiap malam, dengan lampu neon yang
kelap-kelip seperti mata iblis yang tak pernah tidur.
Aku masih harus bekerja, menerima
lelaki asing yang datang silih berganti. Tubuhku tetap harus kugadaikan demi
lembaran uang. Bedanya, sekarang aku punya satu tempat pulang batin: Ardian.
Kami sering bertemu di taman rumah
sakit, kadang di warung kopi kecil di dekat rel kereta, atau sekadar duduk di
bangku kayu dekat kosku. Percakapan dengannya seperti obat yang tak pernah
dijual di apotek—menyembuhkan luka yang tak terlihat.
Suatu malam, setelah aku selesai
bekerja, aku meneleponnya.
“Aku wes rampung, Mas. Ojo ngenteni
suwe-suwe.”
(Aku sudah selesai, Mas. Jangan
menunggu terlalu lama.)
Ia tertawa kecil di seberang
telepon. “Aku di warung kopi biasa. Nek kowe iso, mampir.”
(Aku di warung kopi biasa. Kalau
kamu bisa, mampirlah.)
Warung kopi itu sederhana, cuma
bangku panjang dari kayu, lampu bohlam 10 watt yang meredup, dan wajan kecil di
pojokan tempat gorengan menunggu digoreng ulang. Malam itu, aku melihat Ardian
duduk dengan secangkir kopi hitam dan rokok kretek yang asapnya mengepul pelan.
“Aku rumangsa awakmu wis koyo
separo nyawaku, Ta,” katanya tiba-tiba begitu aku duduk.
(Aku merasa kamu sudah seperti separuh nyawaku, Ta.)
Aku terdiam, menatap wajahnya yang
pucat diterpa cahaya lampu redup. “Ojo ngono, Mas. Aku iki dudu sopo-sopo. Cuma
wong wedok sing saben bengi didolke awak.”
(Jangan bilang begitu, Mas. Aku ini
bukan siapa-siapa. Hanya perempuan yang setiap malam menjual tubuh.)
Ardian menggeleng. “Justru kuwi
sing nggawe aku rumangsa cedhak karo kowe. Awake dhewe loro podo nggawa dosa
lan lara, Ta. Bedane, kowe wani ngadepi. Aku? Aku isih kerap ngumpet ing
bayangan.”
(Justru itu yang membuatku merasa
dekat denganmu. Kita berdua sama-sama membawa dosa dan luka, Ta. Bedanya, kamu
berani menghadapinya. Aku? Aku masih sering bersembunyi di balik bayangan.)
Aku menarik napas panjang, lalu
menatap langit hitam Surabaya yang bertabur asap pabrik. “Mas, nek urip iki
mung dolanan, kowe nggowo peran opo?”
(Mas, kalau hidup ini hanya
permainan, kamu bawa peran apa?)
Ardian tersenyum miris. “Peran wong
kalah. Nanging nek ora ana sing kalah, ora ana sing ngerti arti menang, to?”
(Peran orang kalah. Tapi kalau
tidak ada yang kalah, tidak ada yang tahu arti menang, kan?)
Aku terdiam, hatiku ngilu. Dolly
bukan sekadar tempatku bekerja, Dolly adalah perut kota: menelan semua yang
busuk, memuntahkan tawa palsu, dan menyisakan aroma getir yang menempel di
kulit. Lelaki yang datang ke sana bukan hanya mencari tubuh, tapi pelarian dari
kenyataan. Dan aku, Tara, hanyalah salah satu pintu pelarian itu.
Malam-malam berikutnya, aku tetap
melayani pelanggan. Ada yang kasar, ada yang terlalu manja, ada yang tak peduli
aku manusia. Tubuhku semakin terasa seperti barang dagangan yang dipakai lalu
dibuang. Namun setelah itu, aku selalu mencari Ardian.
Kadang aku bercerita padanya sambil
menangis. Kadang kami hanya duduk diam, saling menatap, tanpa kata. Luka kami
berbeda, tapi sakitnya serupa.
“Ta,” kata Ardian suatu malam,
“kowe ngerti bedane wong urip karo wong sing mung bertahan urip?”
(Ta, kamu tahu bedanya orang hidup dengan orang yang hanya bertahan hidup?)
Aku menatapnya, menunggu.
“Wong urip isih nduwe
pangarep-arep. Wong sing mung bertahan, mung ngenteni mati.”
(Orang hidup masih punya harapan. Orang yang hanya bertahan, hanya menunggu
mati.)
Aku tercekat. Kata-kata itu
menamparku lebih keras daripada hinaan pelanggan mana pun. Mungkin selama ini
aku hanya bertahan hidup, bukan benar-benar hidup.
Aku memandangnya lama. “Mas, nek
kowe nganggep aku pangarep-arepmu, aku gelem. Senajan saben wengi aku tetep
dadi barang dagangan, nanging atiku… atiku mung ana nang kowe.”
(Mas, kalau kamu menganggap aku harapanmu, aku mau. Walau setiap malam aku
tetap jadi barang dagangan, tapi hatiku… hatiku hanya ada padamu.)
Ardian menunduk, kedua matanya
berkaca-kaca. Malam itu, tanpa perlu janji atau ikatan apa pun, kami tahu: dua
luka telah saling bertemu. Dua jiwa yang sama-sama remuk, saling menopang agar
tidak jatuh lebih dalam.
Aku duduk di ruang tunggu RSUD Dr.
Soetomo, tubuhku gemetar tanpa sebab. Bau antiseptik menusuk hidung, suara roda
brankar berderit melewati lorong, dan tangisan samar-samar orang lain yang
kehilangan orang tercinta. Malam itu, aku tahu dunia tak akan lagi sama.
Raka, adikku, tidak berhasil
melewati operasi lanjutan. Dokter keluar dengan wajah lelah, menunduk, lalu
berkata pelan,
“Kami sudah berusaha sebaik
mungkin, Mbak Tara. Tapi… kondisinya terlalu lemah.”
Kata-kata itu menghantamku lebih
keras daripada apa pun yang pernah terjadi dalam hidupku. Kakiku goyah, tubuhku
roboh di kursi plastik. Air mataku tumpah, deras, tanpa bisa dikendalikan.
Semua pengorbanan, semua luka, semua malam yang kuserahkan pada lelaki
asing—ternyata sia-sia.
Aku masuk ke ruang jenazah, menatap
tubuh kecil Raka yang sudah kaku. Wajahnya tenang, seperti sedang tidur
panjang. Aku menyentuh tangan mungilnya yang dingin. “Raka… mbakyu wis nyoba…
tapi kalah.” (Raka… kakak sudah berusaha… tapi kalah.)
Tangisku pecah lagi. Sejak kecil,
aku janji melindunginya. Tapi malam itu aku sadar, bahkan janji paling kuat pun
bisa kalah oleh takdir.
Beberapa hari kemudian, aku bertemu
Ardian. Kami duduk di bangku taman rumah sakit, seperti biasa. Aku menceritakan
semuanya sambil terisak, berharap ada sedikit pelipur dari luka yang baru saja
mengoyak.
“Mas… kabeh pengorbananku, kabeh
sing tak laku’ne… kabeh ilang.”
(Mas… semua pengorbananku, semua yang kulakukan… semuanya hilang.)
Ardian menatapku lama, matanya
basah. Ia menggenggam tanganku erat. “Ta… aku ngerti rasane kelangan. Aku
ngerti, amarga aku dhewe wis ngalami.”
(Ta… aku tahu rasanya kehilangan.
Aku tahu, karena aku sendiri sudah mengalaminya.)
Aku menoleh padanya, hatiku kacau.
“Mas… nek kowe gelem, aku pengin dadi duwekmu sak lawase. Ora usah dinikahi,
ora usah diakoni. Cukup aku nang sisihmu, nglayani kowe, nglegani kowe.”
(Mas… kalau kamu mau, aku ingin jadi milikmu selamanya. Tak perlu dinikahi, tak
perlu diakui. Cukup aku di sisimu, melayanimu, menenangkanmu.)
Ardian menggenggam tanganku lebih
erat, tapi ia menggeleng pelan. “Ta… aku ora iso. Istriku, anaku… wis ora ana,
tapi tresnaku isih nang kene.” Ia menunjuk dadanya. “Nek aku nampa awakmu dadi
gantine, rasane aku ngiyanati wong sing wis lunga.”
(Ta… aku tidak bisa. Istriku,
anakku… memang sudah tiada, tapi cintaku masih di sini. Kalau aku menerima
dirimu sebagai pengganti, rasanya aku mengkhianati mereka yang sudah pergi.)
Kata-katanya menusuk lebih tajam
dari belati. Aku menunduk, menahan tangis yang hampir meledak lagi. Aku ingin
membencinya, ingin marah. Tapi aku tahu, ia jujur dari kedalaman luka yang
sama.
Sejak malam itu, kami tetap
berhubungan—bukan sebagai kekasih, melainkan dua sahabat yang sama-sama
terluka. Kami saling mengisi, tapi tidak pernah menyentuh lebih jauh.
Dolly tetap menelanku setiap malam.
Lampu neon masih berkelap-kelip, musik dangdut koplo masih meraung dari warung
remang, dan lelaki masih datang dengan wajah haus. Aku masih membuka pintu
kamar, menyambut mereka dengan senyum palsu. Bedanya, kini aku sudah berhenti
melawan.
Awalnya aku jijik, muak, marah pada
diri sendiri. Tapi lambat laun, aku terbiasa. Luka itu pelan-pelan berubah jadi
candu. Hingga aku mulai menikmatinya—menertawakan tubuhku sendiri, menertawakan
nasibku.
Malam Dolly seperti perut kota:
riuh, padat, penuh aroma bercampur antara parfum murahan, asap rokok, dan
alkohol. Tapi di dalam diriku, ada hampa yang semakin dingin.
Suatu malam, setelah melayani
pelanggan, aku berdiri di ambang pintu, menatap lampu neon pudar yang
menggantung di ujung gang. Suaraku lirih, hanya bisa kudengar sendiri.
“Sebagian orang dilahirkan untuk
berjuang tanpa pernah menang. Aku salah satunya.”
Aku menghela napas panjang. Dolly
sudah jadi rumahku, luka sudah jadi temanku. Dan aku, Tara, hanya perempuan
yang belajar hidup dengan kekalahan.
Epilog :
Dolly akhirnya padam. Satu per satu
rumah sewaan ditutup, papan-papan kayu digembok aparat, dan lampu neon yang
dulu menyala terang kini tinggal bayangan kusam. Kota Surabaya melangkah maju,
meninggalkan jejak gelap yang pernah jadi denyut perut malamnya.
Namun bagi Tara, Dolly tidak pernah
benar-benar mati. Tempat itu telah menanam luka, sekaligus memberi ruang hidup
ketika dunia menutup semua pintu. Raka sudah lama pergi. Adrian memilih tetap
berjalan sendiri dengan kenangan keluarganya. Dan Tara? Ia tetap bertahan.
Perempuan itu kini berdiri di depan
kaca kecil di kamar kosnya, menatap wajahnya yang sudah lebih matang, garis
lelah yang tak bisa lagi ia sembunyikan. Senyumnya bukan senyum muda yang penuh
harapan, melainkan senyum seseorang yang tahu ia hanya bidak kecil dalam
permainan besar bernama kehidupan.
“Aku iki sopo? Pelacur, kakak, wong bodho sing gampang diapusi… opo kabeh?” (Aku ini siapa? Pelacur, kakak, orang bodoh yang mudah ditipu… atau semuanya?) gumamnya lirih.
Di luar jendela kos yang reyot,
lampu-lampu kota menyala seperti bintang buatan. Dari kejauhan, kilau Jembatan
Suramadu memantul di air hitam, seolah mengejek manusia yang berjuang melawan
takdir dengan tubuh rapuh. Tara menatapnya lama, lalu tertawa. Bukan tawa
bahagia, melainkan tawa getir yang lahir dari kepasrahan.
Tara tidak lagi mencari jalan
keluar, sebab jalan itu sudah lama tertutup. Ia hanya memilih untuk terus
berjalan, menapaki lorong yang pernah ia benci, hingga akhirnya lorong itu jadi
rumahnya sendiri.
Orang-orang di luar sana bisa
melupakan Dolly, menutup mata seakan tempat itu tak pernah ada. Kota bisa
menghapus namanya dari peta, tapi tidak dari hati orang-orang yang pernah hidup
di dalamnya.
Di hati Tara, Dolly akan tetap hidup—sebagai saksi bisu bahwa tidak semua orang diciptakan untuk menang, dan tidak semua luka bisa sembuh.