Prolog :
Di jantung Toscana, di sebuah desa
kecil bernama San Gimignano, waktu seakan berjalan lebih lambat daripada
di kota-kota besar Italia. Jalan-jalan sempit berlapis batu, berliku di antara
rumah-rumah tua dari bata merah dan dinding kapur yang dipeluk lumut.
Menara-menara batu yang menjulang—sisa kejayaan abad pertengahan—berdiri
seperti penjaga bisu, menyaksikan generasi demi generasi lahir, tumbuh, lalu
pergi meninggalkan jejak di tanah ini. Pada setiap pagi, denting lonceng gereja
membelah udara, menandai awal hari yang penuh kerja dan doa.
Kehidupan di desa ini sederhana,
namun penuh denyut yang hangat. Di musim semi, udara dipenuhi aroma bunga
lavender dan angin yang membawa bisik pohon zaitun. Ladang anggur terbentang
luas sejauh mata memandang, barisan pohon merambat rapi di bukit yang berundak.
Di musim panas, para lelaki bekerja sejak fajar, menggali tanah kering dengan
tangan yang kasar dan penuh kapalan, sementara para wanita menjemur cucian
berwarna-warni di antara balkon sempit dan halaman kecil, mengobrol sembari
mengaduk panci berisi rebusan sayur dan roti basi yang dihidupkan kembali
menjadi ribollita.
Malam hari adalah saat desa
bernapas lega. Setelah seharian bekerja, warga berkumpul di piazza, menikmati
musik akordeon yang dimainkan pemuda, atau sekadar duduk sambil menyeruput
anggur yang encer. Anak-anak berlari dengan kaki telanjang di jalan berbatu,
tertawa riang, sementara orang tua duduk di bangku kayu, bercerita tentang masa
perang yang baru saja usai, seolah luka sejarah itu masih hangat di ingatan.
Tradisi dan iman menjiwai setiap
langkah kehidupan mereka. Setiap Minggu, seluruh warga berpakaian terbaik
menuju gereja, perempuan dengan rok bermotif bunga dan rambut disanggul
sederhana, lelaki dengan kemeja putih yang disetrika rapi. Misa bukan hanya
ritual rohani, melainkan juga ruang sosial: di situlah kabar menyebar, janji
dibuat, dan cinta diam-diam lahir.
Di tengah lanskap yang tampak tak
berubah selama ratusan tahun ini, sebuah kisah mulai tumbuh. Kisah tentang
seorang gadis desa yang matanya merekam setiap musim yang berlalu, hatinya
menyimpan rahasia sejak kanak-kanak. Rahasia itu, seperti anggur yang baru
diperas, disimpan dalam kesabaran, menunggu matang dalam waktu yang
panjang—sampai tiba saatnya untuk dibuka, meski tak seorang pun tahu apakah
rasanya akan manis atau pahit.
San Gimignano, Toscana, awal tahun
1950.
Matahari pagi memandikan perbukitan
dengan cahaya keemasan, menyingkap kabut tipis yang berdiam di antara kebun
anggur. Di jalanan berbatu yang sempit, langkah-langkah kecil berlarian, suara
tawa anak-anak melayang, pecah bersama dentang lonceng gereja yang baru saja
selesai berdering. Di sinilah Elda, gadis berambut hitam legam dengan mata yang
selalu memantulkan rasa ingin tahu, mulai mengenal dunia—dan mengenal satu nama
yang akan diam di hatinya selamanya: Marco.
Bagi Elda kecil, Marco bukan hanya
teman bermain. Ia adalah pusat dari segala perasaan yang tak bisa ia mengerti.
Ketika Marco tersenyum sambil melemparkan batu kecil ke sungai, hatinya terasa
hangat; ketika Marco berlari lebih cepat darinya, ia menahan napas, seakan
takut ditinggalkan. Pada usia enam tahun, ia belum tahu arti cinta. Tapi jiwa
anak-anaknya merekam sesuatu: getaran lembut, seperti benih yang baru disemai
dalam tanah subur. Benih itu tak terlihat, namun ia tahu suatu hari akan
tumbuh.
Hari-hari di desa berjalan dengan
pola yang sama. Mereka memetik anggur bersama orang tua, bermain di halaman
gereja setelah misa, atau duduk di dinding batu sambil menghitung menara yang
berdiri kokoh di kejauhan. Namun di balik kepolosan itu, Elda mulai belajar
tentang kesabaran. Marco sering lebih dekat dengan teman-teman lelakinya,
meninggalkan Elda di tepi permainan. Gadis itu tak pernah marah; ia hanya duduk
diam, memeluk lutut, lalu menunggu. Ia belajar bahwa menunggu seseorang bisa
menjadi kebiasaan, bahkan sebelum ia tahu alasannya.
Dalam kesendirian kecil itu,
pikirannya kadang dipenuhi pertanyaan: mengapa hatinya berdebar hanya pada
Marco? Mengapa matanya selalu mencari bayang tubuh anak lelaki itu, bahkan di
tengah keramaian pasar desa? Ia merasa ada rahasia yang bersemayam di dadanya—rahasia
yang ia sendiri belum mampu mengurai. Dan di dalam rahasia itulah harapan
diam-diam tumbuh, seperti anggur muda yang disimpan dalam guci tanah liat:
mentah, rapuh, tapi berjanji akan matang pada waktunya.
Elda tak pernah berkata apa-apa,
bahkan pada dirinya sendiri. Ia hanya tahu satu hal: setiap kali Marco
tersenyum kepadanya, ia merasakan dunia menjadi lebih ringan. Dan mungkin,
tanpa ia sadari, saat itu pula ia telah menandatangani perjanjian tak tertulis
dengan hatinya sendiri—sebuah perjanjian untuk menunggu, tanpa tahu berapa
lama, tanpa tahu akan berakhir manis atau pahit.
Waktu berjalan, dan San Gimignano
tetap berdiri dengan menara-menara batunya yang kokoh, seolah tak pernah peduli
pada hati yang bergetar di bawahnya. Di usia tiga belas tahun, Elda tumbuh
menjadi gadis remaja dengan wajah teduh, rambut hitam panjang yang kini lebih
sering ia ikat rapi saat membantu ibunya membuat roti. Tubuhnya belum
benar-benar dewasa, tapi hatinya sudah mulai menyimpan kerumitan yang sulit ia
pahami.
Marco, sahabat kecilnya, telah
berubah. Ia bukan lagi bocah yang berlari di jalan berbatu sambil tertawa
riang, melainkan seorang remaja lelaki yang semakin sering terlihat di ladang,
bahunya mulai bidang, tangannya penuh bekas kerja keras bersama ayahnya. Elda
memperhatikan perubahan itu dengan mata yang bergetar, antara kagum dan takut.
Kagum karena Marco kian tampak seperti sosok yang bisa diandalkan; takut karena
perlahan jarak di antara mereka semakin nyata.
Elda sering menemuinya di gereja
setiap Minggu. Mereka duduk di bangku kayu yang berbeda, hanya dipisahkan
beberapa baris. Sesekali, tatapan mereka bertemu. Saat itu dunia seakan
berhenti. Tapi tidak ada kata yang keluar. Tidak ada keberanian. Semua perasaan
yang tumbuh di hati Elda hanya hidup dalam detik-detik sunyi, terselip di
antara denting lonceng misa dan doa yang diucapkan bibir tanpa suara.
Di desa kecil seperti San
Gimignano, festival adalah napas kehidupan. Setiap musim panen, warga berkumpul
di alun-alun, musik akordeon dan biola mengalun, gadis-gadis mengenakan gaun
terbaik mereka, sementara pemuda berdiri gagah di sisi piazza. Malam festival
itulah Elda menyadari betapa rapuh hatinya. Ia berdiri di kerumunan, mengenakan
gaun bunga yang dijahit ibunya, rambut disanggul sederhana dengan pita biru.
Harapannya hanya satu: menari sekali saja di mata Marco.
Namun dunia sering kali tak
berpihak pada hati yang diam. Marco malam itu berdiri di sisi lain piazza
bersama seorang gadis berambut pirang lembut, Lucia, yang baru pindah dari desa
sebelah. Senyum Marco saat menatap Lucia bagaikan pisau halus yang menusuk dada
Elda. Ia melihat tangan Marco yang biasanya penuh tanah ladang kini menggenggam
lembut tangan Lucia, mengajaknya berputar dalam tarian rakyat yang riang. Musik
mengalun cepat, tawa pecah di udara, dan Elda berdiri membeku—terasing di
tengah keramaian.
Ada sesuatu yang retak di dalam
dirinya malam itu. Bukan hanya rasa cemburu, melainkan kesadaran pahit bahwa
cintanya mungkin tak pernah menemukan ruang untuk tumbuh. Tangannya yang
bergetar ia sembunyikan di balik gaun. Senyum kecil ia paksakan di bibir, meski
matanya basah. Tidak ada yang menyadari, kecuali dirinya sendiri.
Di kamar kecilnya malam itu, Elda
meringkuk di ranjang kayu yang sederhana. Lampu minyak bergetar diterpa angin,
dan bayangannya menari di dinding. Ia menekan wajahnya pada bantal, namun tidak
ada tangisan yang terdengar. Air mata hanya mengalir diam-diam, tanpa suara,
seakan ia takut dunia mengetahui rahasianya. Rintihan hatinya terkunci di dalam
dada: mengapa ia selalu menunggu, sementara yang ia tunggu mungkin tak pernah
kembali?
Ia mencoba merasionalisasi
perasaannya, tapi tidak ada kata-kata yang mampu menjelaskannya. Perasaan itu
terlalu tajam, terlalu sunyi. Ia hanya bisa merasakan tubuhnya bergetar setiap
kali mengingat senyum Marco kepada Lucia. Setiap kali ia memejamkan mata,
bayangan itu muncul kembali, seakan menjadi mimpi buruk yang tak pernah mau
pergi.
Elda mulai belajar bahwa cinta tak
selalu manis. Ada getir yang tak bisa dibuang, ada luka yang tak berdarah tapi
mengalir tanpa henti. Dan di dalam luka itulah kesabaran mulai berakar. Ia
tidak ingin membenci Marco, apalagi Lucia. Ia hanya memilih diam—sebuah diam
yang menyakitkan, tapi juga menjadi perisai rapuh bagi jiwanya.
Sejak malam itu, setiap langkah
Marco bersama Lucia adalah cambuk yang tak terdengar. Setiap tatapan mereka di
gereja adalah luka yang tak bisa ia sembuhkan. Namun, entah mengapa, Elda tetap
menyimpan harapan kecil, harapan yang ia sendiri benci tapi tak mampu ia
singkirkan: bahwa suatu hari, meski hanya sebentar, Marco akan kembali menoleh
padanya, seperti dulu, saat mereka masih bocah yang berlari bersama di jalan
berbatu desa.
Hari-hari di desa berjalan dengan
ritme yang sama: denting lonceng gereja di pagi hari, derap langkah anak-anak
menuju sekolah, bau roti hangat dari dapur setiap rumah. Namun bagi Elda, waktu
terasa berjalan dengan cara yang berbeda. Ia berada dalam ruang yang
samar—antara harapan yang tak pernah pasti dan kenyataan yang semakin menyayat
hati.
Marco, pemuda yang sejak kecil ia
pandang bagai matahari di balik perbukitan, kini semakin sering terlihat
bersama Lucia. Gadis itu cantik dengan rambut pirang, tawa renyahnya menyebar
di alun-alun setiap kali ada pesta. Semua orang mengakui pesona Lucia, dan
Elda, meski mencoba menutup mata, tahu betul ia mulai tersisih dari lingkar
cahaya yang dahulu membuatnya hangat.
Ironisnya, di sela-sela itu Marco
masih kerap menghampirinya. Ada kalanya ia berjalan di ladang, mendekati Elda
yang tengah memetik anggur, lalu berkata lirih:
“Menurutmu, Lucia orangnya seperti
apa?”
Pertanyaan yang bagai pisau
berlapis madu. Hati Elda bergetar, karena suaranya penuh ketulusan seakan Marco
tengah mencari jawaban darinya—bukan sekadar tentang Lucia, tapi juga tentang
masa depan. Di lubuk hati, seberkas cahaya menyelinap: mungkinkah Marco masih
ragu, dan mungkinkah dirinya, Elda, adalah alasan keraguannya itu?
Namun seberkas cahaya itu selalu
cepat padam. Beberapa hari setelah percakapan singkat itu, ia akan melihat
Marco menggandeng tangan Lucia di pesta desa, atau mendengar tawa keduanya
ketika misa Minggu usai. Rasanya bagai dipanggil untuk bermimpi, lalu dijatuhkan
ke dalam sumur gelap tanpa dasar.
Malam-malam Elda menjadi panjang.
Di balik jendela kamarnya, ia menatap ke arah kebun anggur yang sunyi. Air
matanya jatuh diam-diam, tak bersuara, seperti rintik hujan yang diserap tanah
kering. Ia menangis bukan karena kehilangan, melainkan karena tak pernah
benar-benar memiliki.
Ibunya, yang peka pada perubahan
anak perempuannya, sesekali mencoba menyapa dengan obrolan ringan.
“Kau harus makan lebih banyak,
Elda. Terlalu kurus, nanti dikira sedang jatuh cinta.”
Elda tersenyum samar, berpura-pura tidak mengerti. Ia hanya menjawab, “Aku
hanya lelah, Mama.” Padahal hatinya ingin berteriak bahwa lelahnya bukan pada
tubuh, melainkan pada jiwa yang terus menanggung perasaan diam-diam.
Di sisi lain, teman sebaya Elda,
seorang gadis bernama Rosa, mulai menyadari rahasia itu. Suatu sore, ketika
mereka duduk bersama di tepi kebun, Rosa berkata pelan:
“Elda, aku tahu kau mencintainya. Jangan sembunyi di balik diam. Jika kau
sungguh ingin, setidaknya coba bicara. Bersainglah dengan Lucia dengan cara
yang jujur. Biarkan Marco memilih.”
Kata-kata itu bagai cambuk sekaligus pelukan. Elda merasakan dorongan kecil
dalam dirinya, harapan yang selama ini ia ikat rapat, seolah-olah bisa
dibiarkan bernapas sesaat.
Namun takdir telah memilih
jalannya. Pada musim panas yang meriah, lonceng gereja berdentang lebih lama
dari biasanya. Marco menikah dengan Lucia dalam pesta besar yang dihadiri
seluruh desa. Rangkaian bunga anggur menghiasi jalanan, musik mandolin bergema,
dan tawa bahagia melingkupi udara. Semua orang bersukacita, kecuali satu hati
yang sekarat dalam diam.
Elda berdiri di kerumunan,
senyumnya dipaksakan, sementara dadanya terasa bagai diremas dari dalam. Dunia
berputar dengan indah, namun ia sendiri tak sanggup ikut menari. Di malam itu,
ketika pesta berakhir, ia duduk di tepi jendela rumahnya, menatap bulan yang
pucat. Di dalam dirinya, ada yang patah. Tapi juga ada bisikan samar:
kesabaran. Ia tahu hidup tak berhenti di sini.
Elda tidak pergi, meski ia bisa. Ia
memilih tetap tinggal di desa, menanggung tatapan orang-orang yang bertanya
mengapa ia tak juga menikah. Setiap kali ditanya, ia hanya tersenyum tipis.
Hatinya retak, tapi ia tahu, seperti anggur yang membutuhkan musim panjang
untuk matang, barangkali luka ini pun kelak akan menemukan buahnya.
Waktu mengalir tanpa terasa. Desa San
Gimignano tetap setia pada ritmenya—lonceng gereja yang berdentang, suara
anak-anak berlarian di jalanan batu, dan aroma anggur yang menguap dari kebun
setiap musim panas. Namun, bagi Elda, tahun-tahun itu terasa panjang, bagai
benang yang dijalin tanpa ujung. Ia kini berusia dua puluh lima lebih, lalu
tiga puluh lewat, tapi hidupnya masih sama: merawat orang tuanya, menjaga
rumah, dan sesekali membantu di kebun.
Di mata orang-orang desa, ia mulai
dikenal sebagai “perawan tua.” Sebutan yang tidak pernah diucapkan
terang-terangan, tapi terasa dalam bisikan di belakang punggungnya. Ia tahu,
setiap kali melangkah ke pasar atau misa, ada tatapan yang menyimpan pertanyaan
tak terucap: Mengapa Elda tidak juga menikah?
Suatu sore musim semi, di halaman
rumah seorang tetangga, para wanita sebaya Elda berkumpul. Mereka duduk
melingkar, menjahit, mengupas buah, sambil bercakap-cakap. Tawa renyah memenuhi
udara, namun ketika topik bergeser ke urusan rumah tangga, suasana mendadak
berubah.
“Lihatlah, kita semua sudah punya
suami,” kata Caterina sambil terkekeh, “dan sebagian sudah punya dua anak.
Hanya kau yang masih seperti dulu, Elda. Tidakkah kau merasa… tertinggal?”
Kata itu—tertinggal—menyentuh
hati Elda seperti jarum yang menusuk perlahan. Ia tersenyum samar, berusaha
menutupi kegugupan. “Aku sibuk dengan rumah dan kebun. Lagipula, belum tentu
semua orang harus menikah buru-buru.”
Namun yang lain menimpali dengan
nada setengah bercanda, setengah serius.
“Ah, jangan pura-pura kuat, Elda. Kau cantik, kau pintar. Kalau kau terus
menunggu, nanti tak ada yang tersisa. Pria-pria seusiamu sudah beristri semua.”
Saat itu Rosa, sahabat dekatnya,
yang sejak tadi diam, angkat bicara. Suaranya lembut, tapi tegas.
“Kita semua punya jalan masing-masing. Ada yang menikah muda, ada yang
menunggu, ada yang mungkin tidak menikah sama sekali. Itu bukan berarti hidup
mereka kurang. Jangan lupa, tanpa Elda, berapa kali kita semua kerepotan? Dia
yang selalu membantu orang tuanya, juga membantu kita saat butuh.”
Tawa para wanita mereda. Caterina
menunduk, pura-pura sibuk dengan benang di tangannya. Tak ada yang ingin tampak
kejam, meski kata-kata mereka sudah sempat menusuk.
Elda menatap Rosa, matanya
berkaca-kaca namun ia tahan. Ia tahu Rosa tidak sekadar membelanya, tetapi juga
mengingatkan bahwa kesepian yang ia rasakan bukan berarti hidupnya hampa. Ada
arti lain dalam penantian yang dijalani, meski terkadang begitu melelahkan.
Di malam hari, setelah percakapan
itu, Elda duduk di tepi ranjang. Kesunyian menemaninya, namun kata-kata Rosa
terngiang di telinga: “Kita semua punya jalan masing-masing.” Di dalam
hatinya, ia berbisik pelan, hampir seperti doa: Semoga jalanku, meski sunyi,
tetap menuju sesuatu yang berarti.
Di kejauhan, dari rumah Marco dan
Lucia, terdengar suara tangis bayi, lalu disusul tawa lembut Lucia yang
menenangkan anaknya. Hidup Marco tampak penuh, meski sesekali Elda melihat
guratan letih di wajahnya ketika mereka berpapasan di kebun. Dunia terus berjalan,
tapi bagi Elda, kesabaran adalah satu-satunya teman yang setia.
Musim dingin selalu membawa aroma
dingin yang menusuk hingga ke tulang. Angin yang menyusuri gang-gang sempit
membawa kabar yang tak pernah disangka: Lucia, istri Marco, meninggal dunia
secara mendadak.
Tidak ada tanda-tanda sebelumnya.
Sehari sebelumnya ia masih terlihat sehat, menjemur pakaian di halaman sambil
bercakap dengan tetangga. Keesokan paginya, tubuhnya ditemukan tak bernyawa di
ranjang, wajahnya pucat seperti lilin yang padam.
Kabar itu menyebar cepat, lebih
cepat daripada dentang lonceng gereja. Orang-orang berbisik: Apakah ada yang
janggal? Apakah ia jatuh sakit diam-diam? Ataukah ada sesuatu yang lebih gelap?
Namun dokter desa menutup semua spekulasi. Serangan jantung, katanya. Kematian
alamiah, meski tiba-tiba.
Elda mendengar berita itu dengan
hati yang bergetar. Dadanya sesak, bukan hanya karena duka, melainkan juga
karena rasa yang lama terkubur bangkit kembali tanpa ia kehendaki. Marco—teman
masa kecilnya, lelaki yang selama ini menjadi pusat seluruh penantiannya—kini
sendiri. Namun kesendirian Marco bukanlah celah yang bisa ia isi begitu saja.
Ada seorang anak kecil, ada luka mendalam, ada seluruh desa yang memperhatikan
setiap gerak-geriknya.
Hari pemakaman Lucia berlangsung di
bawah langit kelabu. Marco berdiri kaku, wajahnya kehilangan cahaya. Ia
menggenggam tangan anaknya dengan gemetar, sementara orang-orang desa memberi
pelukan dan doa. Dari kejauhan, Elda menatap. Hatinya remuk, bukan hanya karena
kehilangan Lucia yang baik hati, tapi juga karena pergulatan batinnya sendiri:
antara belas kasih dan harapan yang kembali bersemi, antara kesabaran yang ia
junjung dan rasa bersalah yang menyelinap.
Malam itu, di kamarnya yang dingin,
Elda tak bisa tidur. Ia teringat tatapan mata Marco di pemakaman: kosong,
seperti laut tanpa cahaya bulan. Tatapan itu menembus dirinya, membuatnya ingin
mendekat, menolong, sekaligus takut. Apakah mungkin, setelah semua penantian,
takdir sedang membuka pintu? Ataukah itu hanya bayangan yang menyesatkan?
Di desa, bisik-bisik tak berhenti.
Ada yang bilang Lucia terlalu muda untuk mati begitu cepat. Ada yang berasumsi
beban rumah tangga menggerogoti kesehatannya. Semua kata-kata itu berputar di
kepala Elda, membuatnya semakin sulit membedakan mana suara hati, mana suara
desa.
Ia menunduk pada doanya malam itu,
memohon pada Tuhan agar diberi petunjuk. Namun jawaban tak kunjung datang. Yang
ada hanya kesepian yang lebih pekat dari biasanya, dan sebuah rasa bahwa
hidupnya akan segera berubah—entah menuju terang, atau menuju jurang
Hujan turun pelan di musim semi,
membasahi jalanan berbatu, meninggalkan kilau samar di bawah cahaya lampu
minyak. Di balik jendela rumah tuanya, Elda duduk gelisah. Tangannya
berkeringat meski udara dingin menusuk. Setelah puluhan tahun menyimpan rahasia
yang membelenggu hatinya, malam itu ia tahu: ia tak bisa lagi menunda.
Ia melangkah ke rumah Marco. Dada
berdebar, seakan setiap langkah adalah perlawanan terhadap dirinya sendiri.
Marco menyambutnya dengan wajah lelah, lingkar mata hitam, dan bahu yang
menunduk sejak kepergian Lucia. Anak kecilnya sudah tertidur. Di ruang tamu
sederhana, hanya ada api perapian yang berderak, menebar cahaya oranye temaram.
“Marco…” suara Elda nyaris pecah,
“ada sesuatu yang selama ini aku simpan.”
Marco menoleh, alisnya berkerut. “Apa itu, Elda?”
Hening panjang menelan ruangan.
Lidah Elda kelu, tapi hatinya mendesak. Lalu, dengan gemetar, ia berkata:
“Sejak kecil… aku menyayangimu.
Bukan sekadar teman. Aku mencintaimu, Marco. Aku mencintaimu sejak kita masih
berlari-lari di jalan berbatu itu. Dan sampai hari ini, aku masih…”
Kata-kata itu meluncur, lalu lenyap
dalam isak tertahan. Marco terpaku, wajahnya diliputi keterkejutan yang tak
bisa ia sembunyikan. Api perapian berderak lebih keras, seakan menegaskan
ketegangan di udara.
“Elda…” suaranya pelan, serak.
“Aku… aku tidak pernah tahu. Tuhan, bertahun-tahun… dan kau menyimpannya
sendiri?”
Ia menunduk, menutupi wajah dengan
kedua tangannya. Helaan napasnya berat, seperti beban berton-ton menimpa
dadanya.
Malam itu, tidak ada pelukan, tidak
ada jawaban yang manis. Yang ada hanyalah ruang penuh kejujuran yang baru saja
dibuka, dan luka lama yang tiba-tiba terasa segar kembali.
Beberapa hari kemudian, gosip desa
meledak bagai api yang menjalar di ladang kering. Bisikan terdengar di pasar,
di gereja, bahkan di jalanan sempit: “Elda akhirnya mengungkapkan
perasaannya… kepada duda Marco.” Ada yang mencibir, ada yang iba, ada pula
yang menyalahkan.
Marco sendiri bergulat dengan
batinnya. Ia sering termenung di kebun, tangannya bekerja, tapi pikirannya
kacau. Ia memang menyayangi Elda, tapi dalam bentuk apa? Apakah itu cinta? Atau
hanya bayangan pelarian dari luka kematian Lucia? Setiap kali menatap wajah
anaknya yang polos, ia merasa bersalah. Bagaimana ia bisa memikirkan cinta
baru, ketika duka lama belum pudar?
Elda, di sisi lain, menanggung
beban terberat. Ia lega karena rahasianya terucap, tapi setiap bisikan desa
menambah luka di hatinya. Kesabarannya diuji lagi—lebih dalam, lebih
menyakitkan. Malam-malamnya kembali dipenuhi tangisan tanpa suara, doa-doa yang
ia kirimkan sambil menutup mata rapat.
Namun, meski hatinya terkoyak, ada
secercah cahaya kecil: kini Marco tahu. Rahasia yang selama ini hanya menjadi
beban diam-diam, kini telah terletak di antara mereka. Entah akan menjadi jalan
atau tembok, hanya waktu yang bisa menjawab.
Elda menatap ke luar jendela
rumahnya suatu malam, hujan kembali turun, membasuh tanah desa. Dalam hatinya
ia berbisik: “Aku telah menanam benihku. Kini biarlah takdir yang menentukan
musim panennya.”
Dua tahun setelah pengakuannya,
hidup Elda berubah menjadi barisan hari-hari panjang yang dipenuhi pengendalian
diri. Ia tetap bekerja di kebun, merawat orang tuanya, dan membantu
Marco—selalu dari kejauhan, selalu tanpa banyak bicara. Jika anak Marco sakit,
ia yang diam-diam mengantar ramuan herbal. Jika ladang Marco kewalahan, ia yang
meninggalkan sekeranjang makanan di pintu rumahnya.
Ia tidak menuntut, tidak mendesak.
Cintanya tidak lagi sekadar api yang membakar, tapi bara yang bertahan, memberi
hangat tanpa menghanguskan. Desa masih berbisik, tapi suara-suara itu semakin
pudar di telinga Marco. Yang tersisa hanyalah rasa heran: mengapa Elda, meski
dihina, tetap memilih setia?
Perlahan, Marco mulai melihat
sesuatu yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Malam-malam penuh kebingungan
membuatnya menyadari bahwa ketulusan Elda bukan sekadar cinta yang cemburu atau
nafsu yang singkat. Itu adalah pengabdian—sebuah bentuk kasih yang berakar
dalam, seperti pohon zaitun tua di halaman gereja: kokoh, sabar, dan tahan
badai.
Anaknya pun dekat dengan Elda,
sering berlari ke arahnya di pasar, menggenggam tangan kecilnya sambil menyebut
namanya dengan tawa polos. Saat itu Marco merasa dadanya hangat, seolah dunia
memberi tanda bahwa kehadiran Elda bukan sekadar pilihan, tapi anugerah.
Musim demi musim berlalu, hingga
akhirnya datang hari itu. Tanpa pesta besar, tanpa kemewahan, Marco dan Elda
berdiri di depan altar gereja desa. Hanya dentang lonceng sederhana yang
mengiringi, bersama doa tulus para tetangga yang hadir. Elda mengenakan gaun
putih sederhana, rambutnya disanggul rapi. Marco menggenggam tangannya erat,
mata mereka saling bertaut—bukan dengan gairah muda, melainkan dengan keyakinan
dewasa.
Di luar gereja, musim panen anggur
telah tiba. Kebun dipenuhi aroma manis buah matang yang siap dipetik. Bagi
Elda, itu bukan kebetulan. Ia menatap keranjang-keranjang penuh anggur yang
digotong para petani, lalu menunduk, tersenyum. Inilah musim yang kutunggu,
bisiknya dalam hati.
Cinta yang ia tanam sejak usia enam
tahun, cinta yang sempat layu, terbakar gosip, dan terhimpit kesepian—akhirnya
berbuah. Bukan dengan kilau pesta, melainkan dengan keteduhan yang dalam.
Seperti anggur yang menunggu panen, kesabarannya akhirnya menemukan waktunya.
Dan ketika malam tiba, Elda menatap
langit Toscana yang bertabur bintang. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya,
hatinya tak lagi gelisah. Ia telah sampai. Ia telah dipanen oleh waktu.
