Polandia, tahun 1847. Musim gugur datang tanpa warna.
Kabut tebal turun setiap pagi,
menutupi jalan-jalan tanah desa kecil bernama Brzeziny. Embun yang
membeku di batang gandum kering tampak seperti tetesan kaca rapuh, mudah pecah
bila disentuh. Pohon-pohon pinus yang mengelilingi desa berdiri kaku seperti
penjaga bisu, batang-batangnya hitam oleh kelembapan dan lumut tua. Angin
berhembus tajam, membawa aroma tanah busuk bercampur jerami yang gagal menjadi
roti.
Desa ini tidak asing dengan
penderitaan, tapi tahun itu berbeda. Mereka menyebutnya rok głodu—tahun
lapar. Ladang yang dulu memberi harapan kini hanya melahirkan debu. Gandum yang
ditabur tidak pernah tumbuh tinggi; yang berhasil hidup pun busuk sebelum
matang. Kentang, makanan pokok rakyat jelata, membusuk di dalam tanah, diserang
hama yang seolah dikirim dari neraka. Anak-anak berperut kembung berjalan
dengan mata sayu, wajah pucat seperti lilin yang hampir padam.
Di tengah penderitaan itu, berdiri
dua petani dengan hati yang sama-sama digerus waktu, namun berbeda dalam cara
menghadapi kenyataan: Stanisław Kowalski dan Jakub Nowak.
Stanisław adalah lelaki dengan bahu
bidang dan tangan keras, terbiasa mencangkul tanah sejak ia bisa berdiri. Namun
kini tangannya gemetar setiap kali meraba tanah ladangnya. Matanya menyimpan
api yang sulit dipadamkan—api dari ambisi dan marah. Bagi Stanisław, tanah
bukan hanya sumber hidup, tapi juga medan perang. Jika tanah menolak memberi,
maka ia akan menuntutnya.
Setiap pagi, ia berdiri di tengah
ladang yang kering, menatap kosong ke arah gumpalan awan.
“Lihat ini,” geramnya pada istrinya, Katarzyna, suatu pagi. “Tanah ini
mengkhianati kita. Aku bekerja siang dan malam, tapi yang tumbuh hanyalah tikus
dan cacing. Tuhan tidur, atau barangkali Ia sudah lupa kita ada.”
Katarzyna hanya menunduk, tidak
berani menjawab. Ia tahu amarah suaminya bisa menyambar siapa saja. Namun jauh
di dalam dirinya, ia juga merasakan hal yang sama—ketidakadilan yang mencekik.
Berbeda dengan Stanisław, Jakub
adalah lelaki berperawakan kurus dengan tatapan tenang, meski kelelahan jelas
terukir di wajahnya. Ia tinggal di rumah kayu kecil bersama istrinya, Maria,
dan tiga anaknya. Di tengah kelaparan, Jakub masih berusaha berdoa setiap malam
di gereja kayu desa.
Di altar yang sederhana, ia
berlutut. Jemarinya gemetar bukan hanya karena dingin, tapi karena perutnya
kosong. “Tuhan,” bisiknya, “jangan biarkan anak-anakku mati kelaparan. Jika Kau
tak memberi panen, setidaknya beri kami kekuatan untuk bertahan.”
Namun jawabannya hanya sunyi, sunyi
yang bahkan lebih menusuk daripada jeritan lapar.
Kedua lelaki itu sering bertemu di
jalan desa, sama-sama membawa gerobak kosong. Percakapan mereka tak pernah
lama.
“Berdoa saja takkan menumbuhkan
gandum, Jakub,” sindir Stanisław dengan tawa getir.
“Dan mengutuk langit pun tak membuat tanah subur,” jawab Jakub dengan lemah
namun tegas.
Mereka berjalan dengan arah yang
berbeda: satu ke gereja, satu ke hutan.
Brzeziny sendiri seolah menjadi
panggung penderitaan. Setiap sudutnya memantulkan rasa putus asa: anak-anak
duduk di tangga rumah dengan wajah pucat dan bibir membiru; orang tua terbaring
di ranjang jerami, batuk-batuk kering, terlalu lemah untuk bangun; lonceng
gereja berdentang setiap sore, bukan sebagai panggilan doa, tapi penanda ada
satu lagi yang mati kelaparan.
Di tepi desa, kuburan makin penuh.
Salib kayu sederhana berbaris rapat, beberapa miring, seolah tidak sanggup
menopang beban duka yang kian berat. Orang-orang mulai berbisik tentang hal-hal
gelap. Tentang roh-roh yang menuntut, tentang iblis yang berjalan di antara
mereka. Di malam hari, kabut tebal sering membuat bayangan terlihat lebih
panjang dan bentuknya tak wajar. Beberapa mengaku mendengar tawa asing di hutan
pinus.
Suatu malam, Stanisław kembali dari
ladangnya. Angin membawa suara aneh—seperti bisikan di telinga, meski tidak ada
seorang pun di sekitarnya. Ia berhenti, menoleh, tapi hanya kabut yang menari
di jalan.
“Kenapa kau terus berjuang, jika
tanah sudah mati?” suara itu berbisik.
Stanisław menggenggam sabitnya
erat-erat. “Siapa di sana?”
Tidak ada jawaban. Hanya suara
burung hantu dari jauh. Namun dalam hatinya, sebuah benih kegelisahan tumbuh.
Di sisi lain desa, Jakub tetap
setia ke gereja. Malam itu, ia datang seorang diri. Lilin-lilin hampir habis,
hanya menyisakan api kecil yang berjuang melawan kegelapan. Pastor desa sudah
lama kelelahan; doa-doanya pun terdengar lebih seperti keluhan.
Jakub memejamkan mata, mencoba
mengusir rasa takut. Namun di balik kelopak matanya, ia hanya melihat bayangan
kelam: istrinya menangis, anaknya merintih lapar. Sesuatu dalam dirinya
berteriak: Untuk apa semua doa ini, jika langit tetap bisu?
Pada malam yang sama, dua lelaki
itu keluar dari rumah mereka—Stanisław menuju hutan pinus, Jakub menuju gereja.
Kabut menelan jalanan desa, membuat langkah mereka terasa seperti melangkah di
dalam mimpi buruk.
Stanisław membawa amarah, Jakub
membawa keputusasaan. Dua perasaan berbeda, tapi sama-sama membuka pintu bagi
sesuatu yang kelak datang dari kegelapan.
Di kejauhan, di antara pepohonan
pinus yang menjulang, sepasang mata merah samar-samar terbuka. Mengamati,
menunggu, dan tersenyum.
Brzeziny, sebuah desa yang
hidup di ambang maut. Di antara ladang yang mati dan doa yang tak berjawab, dua
jiwa manusia bersiap menghadapi tawaran yang akan mengikat takdir mereka
selamanya. Dan kabut terus turun, menutup desa dalam selimut dingin, seolah
langit sendiri ingin menyembunyikan apa yang sebentar lagi akan terjadi.
Matahari terbit pucat di langit
Polandia, tahun 1847. Sinarnya redup, tersaring kabut yang menggantung rendah
di atas tanah desa Brzeziny. Burung gagak berputar di udara, suaranya parau,
seolah menertawakan manusia yang memaksa menanam kehidupan di tanah yang sudah
mati.
Stanisław Kowalski berdiri di
ladangnya sejak subuh, kedua tangannya terkepal. Di hadapannya, tanah yang baru
digarap semalam retak kembali, membentuk garis-garis kering seperti urat tua.
Benih yang ia tanam sudah hilang, entah dimakan tikus, atau membusuk sebelum
sempat hidup. Hanya beberapa batang gandum tumbuh lemah, kurus, daunnya
menguning sebelum waktunya.
Ia meraih salah satu batang itu,
mencabutnya kasar. Batangnya patah, akar kecilnya rapuh seperti benang busuk.
Stanisław melemparnya ke tanah dan menginjaknya. “Sampah,” desisnya. “Tanah ini
sampah. Dunia ini sampah.”
Katarzyna berdiri di belakangnya,
membawa anak bungsu mereka di gendongan kain. Anak itu menangis lirih, suara
seraknya lebih mirip rintihan daripada tangisan bayi. Katarzyna menunduk, takut
menatap suaminya. Ia tahu amarah yang menggelegak dalam dada Stanisław bisa
berubah menjadi kekerasan yang buta.
“Cobalah sabar,” katanya akhirnya,
dengan suara hampir tak terdengar.
“Sabar?” Stanisław berbalik,
matanya merah karena kurang tidur. “Aku sudah sabar sejak musim semi. Aku
menabur benih, aku membajak. Dan lihat apa yang kita dapat? Tidak ada! Hanya
mulut yang harus diberi makan, dan perut kosong yang terus menjerit. Apakah kau
ingin aku diam, sementara anak-anak kita mati perlahan?”
Katarzyna memeluk erat bayinya,
seakan tubuh kecil itu bisa melindungi dirinya sendiri dari dentuman suara
suaminya. Ia tidak menjawab lagi.
Di sisi lain desa, Jakub Nowak
berjalan pulang dari ladangnya dengan bahu merosot. Keranjang anyaman di
punggungnya kosong. Ia bahkan tak membawa satu kentang pun. Maria, istrinya,
menunggu di pintu rumah. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, matanya cekung.
Dua anak mereka duduk di lantai tanah, mengisap potongan kayu kering seakan itu
permen.
“Bagaimana?” suara Maria nyaris
tanpa harapan.
Jakub hanya menggeleng pelan. Ia
menurunkan keranjangnya yang kosong, duduk di bangku kayu, dan menutup wajah
dengan kedua tangannya. Bahunya bergetar, tapi tak ada air mata keluar. Ia
sudah terlalu kering untuk menangis.
“Besok aku akan coba lagi,” katanya
akhirnya.
“Coba apa?” Maria balas dengan
getir. “Tanah sudah mati, Jakub. Tidak ada yang bisa tumbuh di sana. Kita
seakan menanam benih di kuburan.”
“Kalau begitu, kita akan terus
mencoba, sampai… sampai…”
“—sampai apa? Sampai anak-anak kita
terkubur di kuburan itu?”
Jakub terdiam. Anak sulungnya,
seorang gadis berumur sembilan tahun, mendekat dan memeluknya. “Ayah,” katanya
lirih, “aku tidak apa-apa kalau tidak makan hari ini.” Senyumnya tipis, tapi
matanya kosong. Senyum itu terasa lebih menyakitkan daripada ratapan.
Di desa, kegagalan panen bukan
hanya milik Stanisław dan Jakub. Semua keluarga merasakannya. Para perempuan
menukar perhiasan murah mereka dengan roti kering di pasar kota, tapi harganya
naik tiga kali lipat. Seorang lelaki tua, yang dulu dikenal sebagai pemilik
ladang paling luas, kini berjalan keliling desa meminta segenggam tepung. Ia
ditolak mentah-mentah, karena setiap orang sibuk mempertahankan sisa yang
mereka miliki.
Malam hari, suara batuk terdengar
dari rumah-rumah kayu. Bau kayu basah terbakar bercampur dengan aroma
obat-obatan murah dari ramuan hutan. Anak-anak berbaring lemah, tubuh mereka
demam, tapi perutnya tetap kosong.
Pastor desa, seorang pria kurus
dengan jubah lusuh, mencoba menenangkan jemaatnya di gereja. “Tuhan sedang
menguji kita,” katanya. “Seperti Ayub diuji dengan penderitaan, demikian juga
kita diuji sekarang. Bertahanlah, dan kita akan diselamatkan.”
Namun di antara kursi-kursi kayu
yang penuh dengan tubuh lelah, banyak yang menundukkan kepala bukan karena
iman, tapi karena putus asa. Beberapa bahkan tak lagi datang ke gereja, memilih
mencari jawaban di luar doa.
Stanisław mulai kehilangan
kesabarannya. Malam itu, ia berjalan ke tengah ladangnya sendirian, membawa
botol arak setengah kosong. Ia meneguknya, lalu menatap langit yang tak
berbintang. “Kalau Tuhan memang ada, mengapa Ia membiarkan kita mati perlahan? Kalau
Kau mendengar, jawab aku!” teriaknya, suaranya menggema di hening kabut.
Hanya suara angin menjawab. Angin
yang dingin, yang membuat tulangnya ngilu.
Ia menjatuhkan diri ke tanah,
tertawa pahit. “Aku lebih baik menjual jiwaku daripada terus hidup seperti ini.
Setidaknya keluargaku akan kenyang. Apa gunanya jiwa kalau tubuhku hancur?”
Kata-kata itu melayang ke udara,
tenggelam dalam kabut. Ia tidak tahu bahwa ada telinga yang mendengarnya.
Jakub, pada saat yang sama, duduk
di bangku gereja. Lilin-lilin kecil menyala, bayangannya menari di dinding
kayu. Ia menggenggam salib di tangannya erat-erat. Namun bahkan salib itu
terasa dingin, tak memberi kehangatan sedikit pun.
Ia menunduk, suaranya serak. “Aku
percaya pada-Mu, Tuhan. Tapi lihatlah anakku. Mereka lapar, mereka menangis.
Apa iman harus menelan tubuh kami satu per satu sebelum Kau turun tangan?
Apakah Kau hanya diam, sementara iblis berkeliaran bebas?”
Di ruang sunyi itu, jawaban yang
datang hanyalah gemeretak kayu. Seakan gereja itu sendiri retak, tak lagi
sanggup menampung doa yang sia-sia.
Hari-hari berikutnya, desa semakin
hancur. Beberapa keluarga mulai menjual tanah mereka kepada orang-orang kaya
dari kota, hanya untuk membeli roti yang cukup bertahan seminggu. Yang lain
pergi meninggalkan desa, mencari kerja di kota besar, meski sebagian besar
tidak pernah kembali.
Di antara semua itu, Stanisław dan
Jakub tetap tinggal. Satu dengan amarah yang mendidih, satu dengan doa yang
membeku. Tapi keduanya tahu, tanah mereka tidak lagi memberi apa pun.
Suatu sore, mereka bertemu di
jalan. Wajah mereka sama-sama pucat, mata cekung, langkah berat. Stanisław
menatap Jakub dengan senyum sinis.
“Bagaimana, doamu sudah menumbuhkan
gandum?” tanyanya.
Jakub menunduk. “Setidaknya doa
memberiku kekuatan untuk menunggu.”
“Menunggu apa? Kematian?” Stanisław
meludah ke tanah. “Kau bodoh, Jakub. Dunia ini bukan untuk orang yang menunggu.
Dunia ini milik orang yang berani mengambil apa yang ia mau, meski harus
melawan Tuhan sekalipun.”
Jakub mengangkat kepalanya, menatap
Stanisław dengan mata lelah tapi jernih. “Dan setelah itu? Setelah kau melawan
Tuhan, apa yang tersisa? Apa kau pikir iblis akan memberimu kedamaian?”
Kata-kata itu membuat Stanisław
terdiam sesaat. Namun hanya sesaat. Ia berbalik dan berjalan pergi, bahunya
tegang, suaranya lirih tapi jelas: “Kalau iblis benar-benar bisa memberiku
gandum, biarlah ia datang. Aku akan menyambutnya.”
Jakub berdiri di jalan yang sepi,
tubuhnya menggigil bukan karena dingin, tapi karena firasat buruk yang merambat
ke dalam hatinya.
Desa itu semakin
tenggelam dalam penderitaan. Tanahnya kering, ladangnya mati. Doa dan kerja
keras tak lagi cukup. Dan di balik kabut, sesuatu menunggu, mendengarkan setiap
keluhan, setiap sumpah, setiap doa yang tak berjawab.
Langkah-langkah manusia yang putus
asa sudah mengundang sesuatu yang kelam. Dan malam semakin dekat.
Kabut turun lebih pekat dari
biasanya malam itu. Udara hutan pinus di pinggir Brzeziny terasa seperti tirai
dingin yang merambati kulit. Pohon-pohon menjulang tinggi, batangnya hitam
seperti tiang penjara, dan suara angin yang menggerakkan dedaunan terdengar
bagai bisikan yang tak mau berhenti.
Stanisław berjalan dengan langkah
berat di jalan setapak. Botol arak sudah habis, dan kepalanya pening. Ia tidak
benar-benar tahu ke mana tujuannya, hanya mengikuti bisikan samar dalam
hatinya: pergilah ke hutan… ke sana… mungkin ada jawaban…
Jakub menyusul dari belakang. Ia
memanggil dengan suara lirih namun keras kepala, “Stanisław! Berhentilah. Malam
sudah terlalu gelap. Kau akan tersesat.”
“Aku sudah tersesat sejak lama,”
jawab Stanisław tanpa menoleh. “Apa peduli kalau aku hilang di hutan?
Setidaknya di sini aku tidak harus melihat anak-anakku kelaparan.”
Jakub mempercepat langkahnya. Ia
menahan bahu sahabatnya itu. “Kau tidak sendirian. Aku juga menderita. Kita
semua. Tapi jangan pergi ke tempat yang lebih gelap dari penderitaan kita
sendiri.”
Stanisław hendak membalas, namun
tiba-tiba hutan seakan membeku. Angin berhenti, dedaunan tak lagi bergoyang.
Bahkan suara burung malam lenyap begitu saja. Keheningan mendadak itu membuat
mereka berdua saling berpandangan dengan tegang.
Lalu, dari celah kabut, muncullah
sosok.
Boruta.
Ia melangkah pelan, seolah kabut
membuka jalan baginya. Tubuhnya tinggi, bahunya lebar, jubah hitam panjangnya
seperti menyatu dengan kegelapan. Rambutnya hitam pekat, tapi wajahnya pucat,
hampir tampak bersinar samar dalam gelap. Sepasang matanya merah redup, bukan
menyala seperti api, melainkan berdenyut bagai bara yang masih hidup.
Namun yang paling menakutkan
bukanlah rupa fisiknya, melainkan ketenangan yang ia bawa. Seakan-akan hutan,
malam, bahkan rasa takut itu sendiri tunduk padanya.
“Siapa… siapa kau?” Jakub bersuara
serak, suaranya gemetar.
Boruta tersenyum tipis. Senyum itu
bukan kehangatan, melainkan pisau yang disamarkan jadi bunga. “Aku hanya
seorang pengembara,” katanya. Suaranya dalam, penuh gema aneh, seperti keluar
dari banyak mulut sekaligus. “Seorang pengembara yang mendengar ratapan
manusia. Aku mendengar doa kalian yang tak terjawab. Aku mendengar sumpah
kalian yang tenggelam dalam tanah mati. Maka, aku datang.”
Stanisław terpaku. Ada sesuatu yang
aneh—rasa takut dan rasa harap bercampur di dadanya.
Boruta mendekat, langkahnya tidak
menimbulkan suara sama sekali. Ia berhenti hanya beberapa langkah di depan
mereka, lalu mengangkat tangannya yang panjang dan pucat. “Mari buat
perjanjian.”
Kata-kata itu terdengar sederhana,
manis, seperti janji seorang saudara tua. Namun justru kesederhanaan itulah
yang membuatnya berbahaya.
Jakub mundur satu langkah. “Tidak,”
katanya cepat. “Pergi kau, siapa pun dirimu. Kami tidak akan mendengarkan. Ini
tanah Tuhan, bukan tanahmu.”
Boruta menoleh padanya dengan
ekspresi seolah tersinggung, tapi justru ia tertawa lirih. Tawa itu dalam,
seperti suara batang pohon patah. “Tanah Tuhan? Katakan itu lagi, petani
miskin. Kau mengaku tanah ini milik Tuhan, tapi apa yang diberikan-Nya padamu?
Perut kosong? Anak-anak kurus? Istri yang menangis setiap malam?”
Jakub terdiam. Kata-kata itu
menembus tepat ke luka terdalamnya. Tapi ia menahan diri, menggenggam salib
kayu kecil yang tergantung di lehernya.
Boruta beralih menatap Stanisław.
Tatapan merahnya seperti bara yang membakar. “Dan kau, Stanisław. Aku mendengar
sumpahmu di ladang. Aku mendengar teriakanmu pada langit. Aku datang karena kau
memanggilku, entah kau sadari atau tidak.”
Stanisław gemetar. Kakinya ingin
mundur, tapi tubuhnya justru diam terpaku. “Apa… apa yang kau tawarkan?”
tanyanya akhirnya, suaranya lebih seperti bisikan.
Boruta tersenyum lagi. “Kau ingin
gandum? Aku bisa memberimu ladang yang subur, panen melimpah, tanah yang tak
pernah kering. Kau ingin keluargamu kenyang? Aku bisa membuat itu terjadi. Kau
ingin kekuatan? Aku bisa memberimu lebih dari sekadar roti. Kau hanya perlu
satu hal…” Ia mencondongkan tubuhnya, berbisik: “Berikan aku tanda
persetujuanmu pada sebuah perjanjian.”
“Jangan!” Jakub berseru, suaranya
pecah oleh rasa takut dan keberanian sekaligus. Ia menatap Stanisław dengan
mata yang hampir berlinang. “Kau tidak mengerti. Dia bukan pengembara. Dia
iblis. Apa pun yang ia tawarkan, harganya lebih mahal dari nyawamu. Ingatlah
anak-anakmu, Stanisław. Kau akan memberi mereka roti, ya, tapi dari tangan
siapa? Dari tangan yang penuh darah!”
Boruta mendengus, wajahnya berubah
dingin. “Kau terlalu banyak bicara, Jakub. Kau bahkan tidak bisa memberi remah
roti untuk keluargamu, tapi kau menolak tangan yang menolong. Itu bukan iman.
Itu kebodohan.”
Jakub berani menatap matanya, meski
tubuhnya bergetar. “Lebih baik aku mati lapar daripada makan dari tanganmu.”
Sejenak, hutan kembali hening.
Boruta tidak marah. Justru ia tertawa kecil, puas. “Ah, manusia. Begitu keras
kepala, begitu indah dalam kebodohannya.” Ia menoleh kembali pada Stanisław.
“Kau berbeda. Aku bisa melihatnya. Kau punya api dalam dirimu. Api yang bisa
menyelamatkan keluargamu, api yang bisa membakar dunia kecilmu yang busuk. Kau
hanya perlu melangkah.”
Stanisław menunduk, napasnya berat.
Kata-kata Jakub bergaung di telinganya, tapi begitu pula bisikan Boruta.
Hatinya robek dua: satu bagian ingin percaya pada iman, satu bagian ingin
menyerah pada tawaran. Ia teringat wajah anak-anaknya, pucat, menangis. Ia
teringat tangisan Katarzyna, yang tak pernah keras, hanya lirih, seolah menahan
seluruh dunia di dadanya.
Jika Boruta benar-benar bisa
menolong… apakah itu salah?
Boruta melihat keraguan itu, dan ia
tersenyum puas. “Kau tidak perlu menjawab sekarang. Aku akan menunggumu. Setiap
malam, aku ada di sini.”
Dengan itu, ia mundur selangkah,
lalu menghilang begitu saja ke dalam kabut. Seolah tubuhnya larut dengan malam,
dan hanya meninggalkan suara terakhir yang bergaung di telinga mereka.
“Mari buat perjanjian.”
Stanisław terhuyung, jatuh
berlutut. Tubuhnya gemetar, wajahnya basah entah oleh keringat atau air mata.
Jakub meraih bahunya, menunduk dekat telinganya. “Jangan dengarkan dia. Jangan
biarkan kata-katanya masuk ke dalammu. Kau masih bisa menolak.”
Namun Stanisław hanya menatap kosong ke tanah. Kata-kata Boruta menggema di kepalanya, lebih keras daripada doa mana pun yang pernah ia panjatkan.
Malam itu, kabut kembali turun ke
hutan pinus. Stanisław datang seorang diri, meninggalkan rumah tanpa sepatah
kata pun pada istrinya. Katarzyna melihatnya pergi dengan mata penuh curiga dan
takut, namun ia terlalu lelah untuk bertanya. Dalam hatinya, ia tahu ada
sesuatu yang salah, tapi ia tidak berani menyelaminya.
Stanisław membawa obor kecil,
cahaya api bergetar diterpa angin. Setiap langkah membuat daun kering retak,
namun selain itu hutan terasa mati, seperti dunia menahan napas menunggu
keputusan.
Dan benar, di antara pepohonan yang
menjulang, sosok itu menanti. Boruta, berdiri dengan jubah hitamnya yang
bergoyang pelan meski tidak ada angin. Matanya merah redup, dan senyum tipisnya
seakan sudah tahu jawaban yang akan keluar dari bibir Stanisław.
“Aku tahu kau akan datang,” ucap
Boruta tenang.
Stanisław menunduk, wajahnya
tegang. “Jika aku setuju… apa yang harus kulakukan?”
Boruta mengangkat tangannya, dan
selembar perkamen hitam muncul begitu saja, seolah dilahirkan dari udara.
Tulisan-tulisan merah membara tergores di atasnya, bahasa asing yang tidak
dimengerti, tapi maknanya menekan ke dalam jiwa: perjanjian hidup dan mati.
“Cukup tandatangani dengan
darahmu,” kata Boruta, menyerahkan sebilah belati tipis berkilau. “Satu goresan
kecil. Dan seluruh nasibmu akan berubah. Kau akan memiliki panen gandum yang
berkilau seperti emas, ladang yang tidak mengenal gagal. Kau akan kaya,
dihormati, disegani. Keluargamu tidak akan pernah lapar lagi.”
Stanisław menggenggam belati itu.
Tangannya bergetar. Ingatan melintas: anak-anaknya yang terbaring lemah, perut
kembung karena kelaparan; wajah Katarzyna yang pucat, tangannya kurus karena
lebih sering menyerahkan makanan terakhir untuk anak-anak.
Air mata mengalir di wajahnya.
“Tuhan… maafkan aku,” bisiknya. Lalu tanpa ragu lagi, ia menggoreskan belati ke
telapak tangannya. Darah menetes, merah pekat, jatuh ke perkamen itu.
Tulisan merah menyala semakin
terang, lalu meresap ke dalam kulit perkamen hingga lenyap. Boruta tersenyum,
puas. Ia meraih tangan Stanisław, mencium luka kecil itu, dan dalam sekejap
rasa sakit menghilang.
“Sudah selesai,” katanya lembut.
“Mulai malam ini, ladangmu akan bernyanyi. Kau akan tahu arti kata berlimpah.”
Keesokan paginya, Stanisław
terbangun oleh cahaya aneh yang masuk dari jendela rumahnya. Ia berlari ke
luar, dan terperanjat.
Ladangnya yang semalam hanyalah
tanah mati, kini berubah menjadi hamparan gandum emas. Bukan sekadar kuning,
melainkan berkilau bagai sinar matahari yang terjebak dalam setiap batang.
Angin berhembus, dan ladang itu bergelombang indah, memantulkan cahaya hingga
mata silau.
Katarzyna keluar dengan terengah,
menutup mulutnya tak percaya. Anak-anak berlari ke tengah ladang, tertawa,
suara mereka kembali hidup. Mereka mencabut sebatang gandum, menggigit bijinya,
dan mata mereka melebar: manis, hangat, seakan memakan roti segar yang baru
keluar dari tungku.
Stanisław berdiri di tengah ladang,
lututnya lemas. Ia tahu itu nyata. Boruta telah menepati janjinya.
Dalam beberapa hari saja, panen
dimulai. Gandum itu tidak hanya melimpah, tapi juga tahan lama, tidak busuk,
tidak hancur digiling. Roti yang dibuat dari gandum itu harum menyebar ke
seluruh desa. Orang-orang datang, mencium aroma roti dari rumah Stanisław, dan
mereka berkerumun, memandang dengan campuran kagum, iri, dan curiga.
“Bagaimana bisa?” tanya seorang
tetua desa dengan nada penuh heran. “Ladang kita semua mati, tapi tanahmu,
Stanisław… seolah diberkati malaikat.”
Stanisław tersenyum tipis, menahan
rahasia kelam yang ia pikul. “Mungkin Tuhan masih mengingatku,” jawabnya datar.
Namun bisik-bisik mulai menyebar.
“Tidak mungkin ini berkat Tuhan… ada sesuatu yang aneh…” Tapi mulut yang sama
juga tak bisa menahan air liur ketika menerima sepotong roti hangat dari
keluarga Stanisław. Dalam kelaparan, iman mudah goyah.
Stanisław pun menjadi pusat
perhatian. Ia diundang ke rumah kepala desa, diminta berbagi rahasia. Ia diberi
penghormatan, bahkan ditawari tanah tambahan untuk digarap.
Sementara itu, di rumah kecilnya,
Jakub hanya bisa menyaksikan dari jauh. Ia berdiri di jalan desa, melihat
anak-anak Stanisław makan dengan lahap, tubuh mereka kembali berisi. Sementara
anak-anaknya sendiri semakin kurus, mata mereka cekung, kulit mereka pucat
seperti kain putih.
Maria, istrinya, menangis lirih
saat ia pulang dengan tangan kosong. “Mengapa kita tidak bisa seperti mereka,
Jakub? Apakah doa-doamu tidak didengar? Atau kau hanya terlalu keras kepala
menolak bantuan yang bisa menyelamatkan kita?”
Jakub terdiam. Kata-kata istrinya
seperti duri menusuk dalam. Ia ingin berkata bahwa ia tidak bisa menjual
jiwanya, bahwa apa yang dilakukan Stanisław bukan jalan yang benar. Tapi ketika
ia melihat anak-anaknya meringkuk di sudut, perut mereka keroncongan, imannya
sendiri mulai goyah.
Malam itu, Jakub berlutut di gereja
kecil desa, memohon lebih keras dari sebelumnya. Tapi hanya sunyi yang
menjawab. Lilin di altar padam tertiup angin, dan ia merasa bahkan cahaya Tuhan
pun pergi meninggalkannya.
Hari-hari berikutnya, kontras itu
semakin mencolok.
Rumah Stanisław penuh dengan suara
pesta kecil, tawa, dan wangi roti. Ia bahkan mulai menjual gandumnya ke
desa-desa lain, menukar hasilnya dengan kuda, pakaian, bahkan perhiasan untuk
istrinya. Orang-orang menatapnya dengan iri, tapi juga dengan rasa hormat yang
dipaksakan.
Sementara itu, rumah Jakub semakin
muram. Anak-anaknya sering pingsan karena lapar. Maria makin sering menangis
diam-diam. Jakub sendiri mulai kehilangan kata-kata, bahkan untuk berdoa.
Ia berdiri di ladang kosongnya,
tanah yang retak bagai kulit mati. Ia menatap tanah itu, lalu ke arah ladang
Stanisław yang berkilau seperti emas di kejauhan. Hatinyalah yang kini retak,
lebih parah dari tanah itu sendiri.
Di hutan pinus, Boruta tertawa
lirih, suaranya bergaung di antara pohon-pohon. Ia tahu permainan baru saja
dimulai. Dua manusia telah menunjukkan wajah sejati mereka: yang satu
menyerahkan jiwa demi kemakmuran, yang lain merana dalam kemiskinan, hatinya digerogoti
penyesalan.
Dan malam demi malam, ia menunggu,
karena ia tahu: bahkan yang menolak, pada akhirnya bisa terjerat.
Malam-malam di rumah Stanisław kini
tak lagi tenang. Sejak ladangnya berkilau, tidur menjadi hal yang mustahil
baginya.
Setiap kali ia memejamkan mata,
mimpi buruk datang tanpa henti. Ia melihat dirinya berjalan di ladangnya yang
subur, tapi gandum-gandum itu bergerak sendiri, melilit kakinya seperti ular.
Bulir-bulirnya pecah, meneteskan darah segar yang membasahi tanah. Dari balik
batang gandum, terdengar tawa lirih—tawa Boruta, panjang dan menusuk telinga.
Ketika ia berlari, ia melihat
Katarzyna dan anak-anaknya duduk di meja makan, tersenyum sambil menyantap roti
hangat. Namun setiap kali ia mendekat, wajah mereka berubah. Mulut mereka
melebar tak wajar, penuh darah, mata mereka hitam kosong. Mereka mengunyah
daging, bukan roti. Dan di ujung meja, duduk Boruta, mengangkat gelas berisi
cairan merah.
“Untuk perjanjian kita,” katanya,
sebelum meneguk isi gelas.
Stanisław terbangun dengan
teriakan, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Katarzyna sering terjaga karena
itu, memandang suaminya dengan bingung. “Apa yang terjadi padamu?” tanyanya
sekali.
“Tidak… tidak ada,” jawabnya cepat,
wajahnya pucat. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Bagaimana menjelaskan
bahwa setiap malam ia makan bersama iblis dalam mimpi?
Siang hari, bayangan itu tetap
menghantui. Ketika ia berjalan di ladang, bulir gandum yang berkilau tampak
seakan menatapnya. Angin yang berhembus terdengar seperti bisikan.
“Milikku… milikku… milikku…”
Ia berhenti, memegang kepalanya.
“Diam!” teriaknya, tapi suara itu hanya semakin keras.
Orang-orang desa yang melihatnya
berbisik di belakang. “Stanisław berubah… wajahnya makin suram.”
Namun di depan mereka, ia tetap tersenyum. Ia tahu ia tidak bisa menunjukkan
kelemahannya.
Pada suatu malam, ia bermimpi
lagi—kali ini lebih mengerikan. Ia berjalan di kuburan desa, tapi salib-salib
kayu berubah menjadi batang gandum emas. Dari bawah tanah, tangan-tangan kurus
mencuat, meraih bulir gandum itu sambil merintih lapar.
Stanisław mencoba menolong, tapi
semakin ia menarik tangan-tangan itu, semakin dalam ia sendiri terseret ke
dalam tanah. Ia menjerit, dan saat ia hampir tenggelam, Boruta muncul,
menatapnya dengan tatapan penuh kepuasan.
“Kau ingin panen gandum? Lihatlah
hasilnya,” kata Boruta. Di belakangnya, lidah api menjilat langit, dan jeritan
manusia memenuhi udara.
Stanisław terbangun, kali ini
muntah di sisi ranjang. Katarzyna berlari panik, mencoba menenangkan, tapi ia
hanya terduduk di lantai, menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Semakin hari, ia makin terobsesi
menjaga ladangnya. Ia hampir tidak pernah meninggalkan sawah itu, seolah takut
sesuatu akan merenggutnya. Ia berjaga hingga larut malam, bahkan membawa sabit
ke kamar tidur. Katarzyna mulai resah, anak-anaknya ketakutan melihat perubahan
ayah mereka.
Namun Stanisław tidak bisa
berhenti. Ia tahu ada harga yang harus dibayar, tapi ia tak lagi bisa kembali.
Boruta sering datang, bukan dalam
wujud penuh, melainkan dalam bayangan, dalam bisikan di telinga saat malam
sunyi.
“Jangan takut, Stanisław. Kau tidak
kehilangan apa pun. Kau hanya mendapat lebih. Kau kuat sekarang, kaya,
dihormati. Kau tidak akan kembali menjadi petani miskin yang hina.”
Stanisław menutup telinganya,
berjongkok di lantai rumah, tapi suara itu tetap ada, merayap ke dalam
pikirannya.
“Apa kau ingin anak-anakmu kembali
kelaparan? Apa kau ingin melihat istrimu menangis lagi? Kau tahu jawabannya.
Maka diamlah, dan nikmati hadiahmu.”
Tapi hadiah itu terasa semakin
pahit.
Ia melihat desa berubah.
Orang-orang yang dulu menghormatinya kini menatap dengan iri. Beberapa berani
mencuri gandum dari ladangnya, dan ketika Stanisław menangkap mereka, amarahnya
meledak tak terkendali. Ia memukul seorang pemuda desa hingga berdarah-darah,
matanya merah bagai orang gila.
Kabar itu menyebar. “Stanisław
kerasukan,” bisik mereka. “Ia bukan lagi manusia biasa.”
Katarzyna menangis malam itu. “Apa
yang terjadi padamu? Kau bukan lagi lelaki yang kukenal. Aku lebih takut
melihatmu sekarang daripada takut pada lapar.”
Stanisław terdiam, hatinya
tercabik. Ia ingin berkata bahwa semua ini demi keluarganya. Tapi di dalam
dirinya, ia tahu: ia tidak lagi melakukan ini hanya demi mereka, melainkan demi
dirinya sendiri. Demi rasa takut kehilangan kemakmuran yang kini mencengkeramnya.
Malam berikutnya, ia tidak bisa
tidur. Ia berjalan ke ladang, bulan pucat menerangi gandum emas yang bergoyang
pelan. Di kejauhan, ia melihat sosok berdiri. Boruta.
“Kenapa kau menghantui aku?” teriak
Stanisław dengan suara putus asa.
Boruta tersenyum, wajahnya samar
diterangi cahaya bulan. “Aku tidak menghantui. Aku hanya menagih. Kau sudah
menandatangani kontrak, Stanisław. Kekayaan ini bukan gratis. Kau tahu itu.”
Stanisław jatuh berlutut, menangis.
“Aku tidak bisa hidup seperti ini. Aku tidak bisa tidur, aku tidak bisa makan,
aku bahkan tidak bisa memeluk istriku tanpa takut melihat wajahnya berubah di
mataku. Ambil kembali semua ini!”
Boruta mendekat, menatapnya
dalam-dalam. “Oh, Stanisław… betapa cepatnya manusia menyesali pilihannya. Kau
ingin roti, aku beri ladang gandum emas. Kau ingin keluargamu kenyang, aku beri
mereka kenyang. Tapi sekarang kau menangis, seolah aku yang bersalah.”
Ia tertawa pelan, suaranya membuat
ladang berguncang. “Kau harus tahu, manusia lebih buruk dariku. Aku hanya
menawarkan. Kau yang memilih. Dan sekarang kau ingin lari? Tidak, Stanisław.
Kau sudah milikku.”
Bayangan Boruta memanjang, menelan
tanah di sekitarnya. Stanisław terhuyung mundur, dadanya sesak. Ia sadar: tak
ada jalan kembali.
Di kejauhan, Jakub menyaksikan dari
tepi ladang. Ia melihat sahabatnya berteriak ke udara kosong, menangis seperti
orang gila. Ia ingin menolong, tapi tubuhnya terpaku. Dalam hati kecilnya, ia
tahu: inilah harga dari kemakmuran yang salah jalan.
Dan malam itu, di bawah bulan
pucat, Stanisław duduk di tengah ladangnya, menggenggam kepalanya, terjepit di
antara rasa takut kehilangan dan ikatan yang tak bisa diputus. Gandum berkilau
bagai emas, tapi di matanya, itu hanyalah rantai.
Langit musim gugur tampak muram di
atas desa. Daun-daun gugur berterbangan, menutup jalanan tanah yang becek.
Dinginnya angin menembus pakaian tipis, membuat tubuh-tubuh kurus para petani
bergetar.
Jakub berjalan tertatih menuju
gereja kayu di tepi desa. Bajunya compang-camping, wajahnya tirus, matanya
cekung. Sejak musim panen terakhir, ladangnya hanya menghasilkan separuh dari
yang ia butuhkan. Anaknya sering menangis lapar di malam hari, sementara
istrinya hanya bisa menenangkan dengan janji kosong: “Besok mungkin ada
makanan.”
Hari itu, Jakub tidak tahan lagi.
Ia masuk ke dalam gereja kecil itu, berlutut di depan altar yang sederhana.
Lilin-lilin menyala redup, asap dupa tipis menari di udara. Salib kayu
tergantung di dinding, wajah Kristus terpaku dengan luka.
Jakub memeluk wajahnya dengan kedua
tangan, lalu menangis terisak. “Tuhan, mengapa aku begitu bodoh? Mengapa aku
menolak tawaran itu? Andai aku setuju malam itu… mungkin keluargaku tidak lapar
sekarang. Mungkin aku tidak harus melihat istriku menangis setiap malam.”
Air matanya menetes ke lantai kayu
gereja. Suaranya pecah, bergetar di ruang hening.
“Aku mencoba setia pada-Mu, aku mencoba percaya… tapi apa balasannya? Aku hanya
melihat anakku makin kurus, ladangku makin kering. Sementara Stanisław, yang
menyerahkan jiwanya pada iblis, kini hidup bergelimang gandum emas. Katakan
padaku, Tuhan… apakah aku yang salah?”
Tangisannya makin keras, sampai
seorang biarawan tua datang, meletakkan tangan di bahunya.
“Anakku, jangan meragukan Tuhan,” kata sang biarawan lirih.
Jakub menoleh, matanya merah.
“Bagaimana aku bisa percaya, Bapa? Bagaimana aku bisa percaya jika mereka yang
memilih kejahatan justru hidup makmur, sementara kami yang mencoba setia malah
sengsara?”
Biarawan itu terdiam. Ia tidak
punya jawaban. Dan dalam keheningan itulah, Jakub semakin hancur.
Di luar gereja, ada yang mengamati.
Boruta berdiri di bawah pohon
pinus, tubuhnya samar di balik kabut. Matanya menyala merah redup, tapi
wajahnya penuh senyum geli. Ia mendengarkan setiap kata ratapan Jakub, setiap
kalimat putus asa.
“Oh, betapa mudahnya manusia
meratap,” gumamnya. “Dia tidak menandatangani kontrak denganku, tapi lihatlah…
ia sudah hampir menyerahkan imannya hanya dengan mengeluh. Sungguh
menyenangkan. Aku bahkan tidak perlu bekerja keras.”
Boruta menoleh ke ladang-ladang di
kejauhan, tempat para petani lain sibuk dengan kehidupan masing-masing. Dari
sana, ia melihat sesuatu yang membuatnya tertawa kecil.
Dua petani sedang bertengkar hebat.
Yang satu menuduh tetangganya mencuri sekantong gandum dari lumbung. Suara
mereka meninggi, saling memaki. Dalam sekejap, adu mulut itu berubah menjadi
perkelahian. Tinju menghantam wajah, cangkul terayun, dan darah menetes di
tanah yang dingin.
Boruta menggeleng pelan, terkekeh.
“Ah, manusia… kalian bahkan tidak perlu iblis untuk menghancurkan diri sendiri.
Aku hanya menawarkan ladang yang subur, tapi lihatlah kalian: rela mengkhianati
tetangga sendiri demi sekarung gandum busuk.”
Ia melangkah perlahan, mendekati
mereka tanpa terlihat. Bisikan tipis keluar dari bibirnya, hampir seperti
hembusan angin.
“Ambil hakmu… jangan biarkan dia
mencurinya darimu… balas, jangan kalah…”
Petani yang marah itu semakin
kalap, matanya merah penuh kebencian. Ia mengayunkan cangkulnya lebih keras,
hingga kepala tetangganya retak. Tubuh korban jatuh tergelak, darah mengalir
deras.
Boruta tertawa kecil, suaranya
serupa gemerisik daun. “Begitulah… betapa lucunya manusia. Aku hanya perlu
menyentuh sedikit, sisanya mereka lakukan sendiri. Lebih kejam dari iblis,
lebih haus dari api neraka.”
Malam itu, Jakub masih berlutut di
gereja. Tubuhnya gemetar, doa-doanya tak terjawab. Ia mendongak ke salib,
suaranya serak. “Jika Kau mendengarku, beri aku tanda. Atau… atau mungkin aku
harus mencari Boruta. Mungkin ia satu-satunya yang bisa menolongku.”
Boruta, yang berdiri tak jauh dari
jendela gereja, tersenyum puas. “Akhirnya,” bisiknya. “Tak perlu kupaksa.
Mereka datang padaku sendiri.”
Ia melangkah mundur, membiarkan
bayangannya larut dalam kabut. Tapi matanya berkilat—ada rencana lain yang
sudah ia siapkan.
Keesokan harinya, kabar tentang
pembunuhan antar petani menyebar ke seluruh desa. Orang-orang ketakutan, tapi
juga saling curiga. Persaudaraan yang dulu erat kini mulai retak. Semua orang
memandang satu sama lain dengan rasa iri, takut, dan marah.
Boruta berdiri di tepi hutan,
menyaksikan semua itu.
“Betapa indahnya,” katanya pelan.
“Aku hanya menawarkan satu kontrak pada satu orang, tapi seluruh desa mulai
retak. Bahkan Jakub, si saleh itu, sudah mulai meragukan Tuhannya. Sungguh,
manusia lebih pintar menghancurkan dirinya sendiri daripada aku yang
berabad-abad jadi iblis.”
Ia menatap ke arah gereja sekali
lagi, lalu tersenyum penuh misteri. “Mari lihat siapa yang lebih dulu menyerah…
Stanisław yang terikat padaku, atau Jakub yang berusaha melawan. Pada akhirnya,
mereka sama saja: rapuh, lapar, dan haus.”
Malam turun perlahan. Angin hutan
pinus berdesir membawa bisikan samar. Di gereja kecil itu, Jakub masih
berlutut, air matanya kering, tubuhnya lunglai. Dan di kejauhan, Boruta
menatapnya dengan sabar, seperti pemangsa menunggu mangsanya kelelahan.
Di balik senyum liciknya, ada
kekaguman jujur yang muncul sekejap.
“Kadang, aku tak perlu melakukan
apa pun. Manusia sendiri yang menunjukkan bahwa mereka bisa lebih buruk dari
iblis.”
Kabut turun tebal malam itu,
menyelimusti Desa Brzeziny hingga hampir tak ada cahaya yang mampu menembusnya.
Suara serigala dari kejauhan terdengar samar, bercampur dengan desir angin yang
membuat ranting-ranting pinus berderit menyeramkan.
Di tepi desa, kuburan tua
terbentang, dipenuhi batu nisan lumut yang miring dan salib kayu yang rapuh.
Lilin-lilin kecil yang ditinggalkan keluarga untuk mendoakan leluhur padam
ditiup angin. Tempat itu jarang dikunjungi, kecuali oleh mereka yang membawa
duka.
Malam itu, dua sosok berjalan ke
arah yang sama tanpa saling mengetahui.
Stanisław datang dengan langkah
gontai. Wajahnya pucat, tubuhnya tidak sebesar sebelumnya meski lumbung penuh gandum. Sudah
berminggu-minggu ia diganggu mimpi buruk—bayangan api neraka, tangan-tangan
hitam yang menarik kakinya, tawa Boruta yang memekakkan telinga. Tubuhnya kini
mulai melemah, batuk darah setiap malam, seakan jiwanya terkikis perlahan.
Ia datang ke kuburan bukan untuk
mendoakan leluhur, melainkan mencari tempat sepi untuk menangis. “Apalah
gunanya ladang yang subur,” gumamnya, “jika aku tak lagi punya jiwa. Apa
gunanya kemakmuran, bila tidurku dipenuhi jeritan neraka?”
Pada waktu yang sama, Jakub
berjalan dari arah lain. Ia menggendong tubuh kecil anak bungsunya, Marek, yang
dingin tak bernyawa. Bocah itu meninggal sore tadi, perutnya kempis, matanya
terpejam tanpa pernah lagi terbuka. Jakub dan istrinya sudah mencoba segalanya:
sup tipis dari akar-akar liar, roti kering yang dibagi menjadi serpihan kecil.
Tapi tubuh Marek terlalu lemah.
Jakub terisak, suaranya pecah.
“Anakku… mengapa kau harus pergi? Mengapa ayahmu terlalu miskin untuk
menyelamatkanmu?” Air matanya jatuh membasahi wajah pucat sang bocah.
Ia menggali tanah dengan sekop
berkarat di bawah sinar bulan redup, tepat di samping nisan lama. Suara sekop
menghantam tanah beku terdengar lirih, seakan bumi enggan menerima jasad mungil
itu.
Dan di situlah, kedua pria itu
bertemu.
Stanisław menoleh ketika mendengar
isak tangis Jakub. Untuk sesaat, mereka saling tatap dalam kabut. Dua wajah
yang berbeda jalan, namun sama-sama hancur.
“Jakub…” suara Stanisław parau.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Jakub tidak langsung menjawab. Ia
hanya menatap tubuh kecil anaknya, lalu menoleh dengan mata basah. “Aku
mengubur anakku. Ia mati karena lapar.”
Stanisław terdiam. Kata-kata itu
menusuk hatinya lebih dalam dari tawa Boruta. Ia melangkah mendekat, tubuhnya
gemetar. “Aku… aku punya lumbung penuh gandum. Aku bisa saja menolongmu… tapi
aku terlalu sibuk menjaga kekayaanku. Aku terlalu takut kehilangan.”
Jakub menunduk, menggenggam tanah
di tangannya. “Dan aku… terlalu keras kepala. Malam itu di hutan, aku menolak
tawaran Boruta. Aku pikir aku sedang setia pada Tuhan. Tapi kini anakku mati.
Apa gunanya kesetiaan, jika keluargaku terkubur?”
Keduanya terdiam, hanya angin malam
yang melolong. Kuburan itu menjadi saksi dua hati yang sama-sama menyesal,
meski dengan jalan berbeda.
Stanisław jatuh berlutut, batuk
darah yang membasahi tanah. “Aku menukar jiwaku demi ladang yang subur, tapi
kini tubuhku busuk, jiwaku ditarik ke neraka. Aku iri padamu, Jakub. Kau
mungkin miskin, tapi jiwamu masih bersih.”
Jakub menoleh dengan tatapan
kosong. “Bersih? Katakan itu pada anakku yang mati karena kebersihan jiwa
ayahnya. Aku iri padamu, Stanisław. Kau setidaknya bisa memberi makan
keluargamu, meski harus menggadaikan jiwa.”
Kedua pria itu sama-sama menunduk,
tertelan penyesalan masing-masing. Tidak ada pemenang. Tidak ada yang benar.
Dari balik bayangan nisan tua,
sepasang mata merah menyala memperhatikan mereka. Boruta berdiri diam, wajahnya
teduh tapi senyumnya sinis. Ia mendengar setiap kata, setiap keluhan, dan
setiap pengakuan.
“Oh, betapa indahnya,” bisiknya.
“Dua manusia, dua pilihan berbeda, namun keduanya hancur. Aku hanya menunjukkan
jalan, tapi mereka sendiri yang melangkah menuju jurang.”
Ia melangkah keluar dari kegelapan,
namun tetap samar dalam kabut. Dua petani itu tidak menyadari kehadirannya.
Boruta hanya tersenyum puas, lalu menoleh ke gereja kecil di kejauhan.
Tepat saat itu, lonceng gereja
berdentang. Suaranya berat, panjang, menyerupai ratapan. Gong… gong… gong…
Suara itu menggema ke seluruh desa,
memberi tahu semua orang bahwa ada jiwa yang baru saja pergi.
Stanisław berbaring di tanah,
tubuhnya menggigil hebat. Jakub memeluk tubuh anaknya yang kaku, terisak tanpa
suara. Dan Boruta hanya tertawa kecil, suaranya lebih dingin dari angin malam.
“Pada akhirnya,” gumamnya, “kedua
jalan sama saja. Gelap.”
Kabut masih menggantung di atas
Desa Brzeziny. Malam itu, setelah lonceng gereja selesai berdentang, suasana
desa tenggelam dalam hening yang berat. Tidak ada suara tawa, tidak ada doa.
Hanya kelelahan, lapar, dan bayangan kematian yang merayap di tiap rumah.
Boruta berjalan perlahan ke ladang,
langkahnya nyaris tak menimbulkan jejak di tanah beku. Gandum-gandum kering
berdiri kaku, seolah ikut menyaksikan penderitaan manusia. Ia berhenti di
tengah kabut, menatap ke arah beberapa petani yang masih terjaga, duduk di
dekat api kecil sambil berdebat lirih tentang nasib mereka.
Mata Boruta berkilat merah, tapi
wajahnya tenang, hampir penuh kasih. Ia mendengar keluh kesah mereka: lapar,
iri, dendam, ketakutan. Semua rasa itu mengalir seperti musik indah di
telinganya.
Boruta tersenyum tipis. Ia tahu tak perlu terburu-buru. Manusia selalu membawa benih kehancurannya sendiri. Ia hanya perlu mengingatkan, membuka pintu, lalu membiarkan mereka melangkah dengan kaki sendiri.
Para petani itu terdiam, saling pandang dengan wajah pucat. Tak ada yang benar-benar melihat Boruta, tapi mereka merasakan sesuatu yang menusuk ke dalam hati mereka. Bisikan itu terdengar akrab, seakan datang dari dalam diri mereka sendiri.
Dengan suara rendah, nyaris
menyerupai bisikan angin, ia melontarkan kata-kata yang sudah ribuan kali ia
ucapkan sepanjang sejarah manusia.
“Mari buat perjanjian.”