Jakarta, sore itu, tenggelam dalam
hujan yang turun seperti benang-benang kaca. Rintik-rintik mengetuk atap seng
minimarket kecil di dekat kampus tempat Cindy biasa mampir sehabis kuliah.
Jalanan becek, lampu kendaraan memantul di genangan air seperti serpihan cahaya
yang goyah.
Cindy berdiri di depan etalase
minuman dingin, menunggu hujan reda sambil memeluk tasnya. Di luar, angin
membawa aroma aspal basah dan gorengan dari warung sebelah. Ia hanya ingin
menunggu, membeli roti dan teh botol sebelum pulang ke kos. Tak ada yang istimewa—sampai
sesuatu menarik perhatiannya.
Dari sudut lorong camilan, ia
melihat seorang anak laki-laki. Tubuhnya kecil, kira-kira tujuh tahun,
mengenakan kaus kusam warna abu-abu dan celana pendek kebesaran. Kainnya lusuh,
menempel di kulit karena hujan, dan yang paling mencolok: ia tidak memakai
jaket di tengah udara dingin menusuk. Rambutnya meneteskan air, menutupi
sebagian wajah pucat yang tampak gelisah.
Anak itu berdiri lama di depan rak
cokelat, menatap merek-merek mahal dengan mata kosong. Cindy tak tahu kenapa ia
memperhatikan begitu lama—mungkin karena cara anak itu menatap bukan seperti
anak kecil yang ingin jajan, tapi seperti seseorang yang sedang berperang
dengan dirinya sendiri.
Lalu, perlahan, tangan mungil itu
bergerak. Cindy melihat jelas: cokelat kecil diselipkan cepat ke saku celana.
“Eh—!” serunya spontan.
Anak itu menoleh kaget, matanya
membesar seperti rusa tersorot lampu. Ia mundur selangkah, hampir menjatuhkan
rak permen, lalu berlari. Cindy refleks mengejar.
“Hey! Tunggu!”
Anak itu mendorong pintu kaca dan
berlari keluar ke jalan yang basah. Klakson motor meraung—pengendara membanting
setang, hampir menabrak bocah itu. Cindy menjerit, “Awas!” dan berlari menembus
hujan.
Dalam detik-detik kacau itu, ia
berhasil menangkap bahu si anak. Tubuh mungil itu gemetar, dingin, dan kurus
sekali. Nafasnya tersengal.
“Hei… kamu kenapa?” suara Cindy
melunak, tapi anak itu berontak kecil. “Lepasin! Aku cuma mau—”
“Kamu nyuri, ya?” Cindy menatap
saku celananya yang menonjol. “Kamu ambil cokelat itu?”
Anak itu diam. Matanya merah, entah
karena tangis atau air hujan. Cindy menghela napas panjang, lalu menurunkan
nada suaranya. “Kamu lapar?”
Anak itu tidak menjawab. Ia hanya
menunduk, bibirnya gemetar. Cindy memperhatikan tangannya—penuh luka kecil. Di
lengannya ada sayatan halus, sebagian sudah mengering, sebagian masih merah
muda. Seperti bekas benda tajam, bukan luka karena jatuh.
Perasaan aneh merayapi dada Cindy. Ada
sesuatu yang salah di sini.
Ia menggandeng pelan bahu bocah
itu, menuntunnya ke teras minimarket di bawah kanopi plastik. Hujan menetes
dari ujung rambut Cindy, matanya lembut tapi tegas.
“Kamu tahu nggak, nyuri itu salah?”
tanyanya hati-hati.
Anak itu masih diam. Tangannya
memegangi cokelat yang sekarang sudah basah setengah, bungkusnya robek sedikit.
“Aku nggak marah, kok,” lanjut
Cindy pelan. “Tapi kamu nggak boleh begini. Kalau lapar, minta aja. Pasti ada
yang bantuin.”
Tiba-tiba bocah itu mengangkat
wajahnya, dan matanya membuat Cindy tertegun. Ada sesuatu di sana—bukan sekadar
takut ketahuan, tapi ketakutan yang lebih dalam, yang menempel di dasar sorot
matanya.
“Aku… aku nggak punya uang,”
bisiknya nyaris tak terdengar. “Aku cuma pengin makan sedikit aja…”
Suara itu gemetar, terpotong hujan yang menetes dari atap seng. Cindy menunduk
sedikit, berusaha menangkap setiap katanya.
Anak itu menggenggam cokelat itu lebih
erat, seolah takut dirampas.
“Aku cuma mau cokelat ini,” katanya
lagi, suaranya lirih, hampir seperti doa. “Aku belum pernah makan yang kayak
gini. Dulu pernah lihat di TV… katanya manis banget.”
Ia menunduk lebih dalam, air
matanya bercampur hujan. “Aku cuma pengen ngerasain sekali aja, Kak. Aku janji
nggak bakal minta apa-apa lagi.”
Kata-kata itu jatuh seperti pisau
kecil di dada Cindy. Bukan nada manja anak kecil yang ingin jajan, tapi suara
seseorang yang tahu dunia takkan memberi apa pun dengan cuma-cuma.
Keinginan sederhana yang terdengar mustahil di mulut bocah tujuh tahun — hanya
ingin sebatang cokelat, sesuatu yang bagi kebanyakan orang begitu sepele, tapi
baginya tampak seperti kemewahan yang jauh, nyaris tak tersentuh.
Cindy menelan ludah. Rasa iba
mencuat, tapi juga kebingungan.
“Orang tuamu di mana?”
“Di rumah,” jawabnya singkat.
“Kamu sering ke sini?”
Gelengan kecil.
“Kamu sekolah?”
Kali ini anak itu tak menjawab,
hanya menatap hujan di depan mereka. Tatapan kosong itu seperti melihat sesuatu
yang jauh lebih berat daripada usia tujuh tahun.
Cindy memaksa meminta coklat itu dan anak itu dengan ragu memberikannya, lalu Cindy pergi ke kasir membawa cokelat
yang dicuri itu dan membayar, memberikannya kepada anak itu. “Nih, makan ini. Tapi
janji ya, nggak boleh nyuri lagi. Kamu lapar, bilang aja sama orang dewasa,
atau ke warung deket rumahmu.”
Anak itu menatap cokelat
itu, lalu menggeleng pelan. “Aku nggak bisa, Kak. Nanti… nanti Bapak marah.”
Cindy terdiam. Kata Bapak keluar begitu saja, tapi nadanya mengandung sesuatu yang dingin—bukan takut
karena salah, tapi takut akan amarah.
“Nanti Bapak marah kalau kamu
makan?”
Anak itu menunduk, bahunya
menegang. “Aku nggak boleh jajan. Katanya, anak nakal nggak pantas makan enak.”
Perut Cindy serasa diikat. Ia ingin
memeluk bocah itu, tapi menahan diri. Hujan makin deras, orang-orang mulai
berlari kecil menyeberang jalan. Suara hujan di atap plastik terdengar seperti
ribuan jarum menabuh dunia.
“Kamu namanya siapa?” tanya Cindy
lembut.
“Rio,” jawabnya lirih.
“Rio…” Cindy mengulang pelan,
seakan menegaskan nama itu agar tak hilang dari kepalanya. “Aku Cindy. Kamu
tahu nggak, Rio, semua orang pernah salah. Tapi yang penting itu gimana kita
benerin.”
Rio menatapnya lama, matanya basah,
entah karena hujan atau air mata. Cindy menatap balik, mencoba tersenyum. “Ayo,
aku antar pulang, ya?”
Rio menggeleng cepat, panik.
“Jangan! Jangan ke rumah!”
“Kenapa?”
Ia menggigit bibirnya, menunduk
lagi. “Bapak bakal marah kalau aku pulang sama orang lain.”
Cindy ingin bertanya lebih jauh,
tapi ia tahu anak ini seperti berdiri di tepi jurang ketakutan. Terlalu cepat
menanyai bisa membuatnya lari lagi. Jadi ia hanya menghela napas, lalu jongkok agar sejajar dengannya.
“Baiklah, Rio. Tapi janji ya, lain
kali kalau lapar, datang ke sini. Cari aku. Aku sering ke minimarket ini
sore-sore. Oke?”
Rio diam sebentar, lalu mengangguk pelan. Cindy tersenyum, lalu berdiri.
“Sekarang
pulanglah. Hujan makin deras.”
Anak itu melangkah pelan menembus
hujan, menoleh sekali—sekilas, seolah ingin mengingat wajah Cindy. Lalu
bayangannya menghilang di tikungan, menyisakan genangan air dan suara hujan
yang seperti berbisik samar di antara gemuruh petir.
Cindy menatap ke arah kepergian itu
lama sekali, merasa dadanya berat. Ia tahu ia baru saja menyaksikan sesuatu
yang lebih dari sekadar pencurian kecil. Ada luka di balik tatapan Rio, luka
yang belum sempat ia pahami.
Dan entah kenapa, sejak sore itu,
bayangan anak kecil dengan lengan penuh sayatan itu terus datang dalam
mimpinya.
Hujan belum juga berhenti. Cindy
masih berdiri di depan minimarket, menatap jalan yang mulai gelap.
Rintik-rintik air menetes dari ujung rambutnya, sementara jaket yang dikenakannya tak sanggup menahan dingin yang merayap ke kulit. Ia menatap arah Rio
tadi menghilang, berharap anak itu sudah sampai rumah dengan selamat.
Namun perasaan itu aneh—seperti ada
sesuatu yang tertinggal. Entah rasa khawatir, entah sesuatu yang lebih berat.
Beberapa menit kemudian, pintu kaca
minimarket terbuka lagi. Seorang pria dan wanita masuk tergesa, keduanya basah
kuyup. Pria itu mengenakan jaket tambal sulam, warnanya pudar, resletingnya
rusak. Wanita di sebelahnya memakai masker lusuh yang sudah lembap, menutupi
hampir seluruh wajahnya. Keduanya tampak canggung, saling bertukar pandang
sebelum mendekat ke meja kasir.
“Permisi, Mbak…” suara pria itu
parau dan berat, terdengar seperti orang yang sudah terlalu sering menahan
lelah. “Barusan ada anak kecil ke sini? Bawa… cokelat, mungkin?”
Kasir menatap ke arah mereka, tampak ragu. Sebelum sempat menjawab, Cindy yang ikut masuk ke minimarket langsung menyela.
“Anak laki-laki kecil? Umur sekitar
tujuh tahun?” tanyanya pelan.
Pria itu segera menatap Cindy,
wajahnya menegang. “Iya, betul. Namanya Rio.”
Nada suaranya rendah, tapi ada nada getir di sana—antara malu dan khawatir.
Suara itu membuat napas Cindy
tercekat sejenak. Ia tak menyangka orang tuanya akan datang secepat itu. Pria
itu menunduk dalam, kedua tangannya gemetar menahan rasa malu. “Maaf banget,
Mbak. Anak saya bikin repot. Kami… kami nggak tahu dia keluar rumah waktu hujan
begini.”
Cindy buru-buru menenangkan. “Tidak
apa-apa, Pak. Saya sudah bayar cokelatnya tadi. Nggak usah khawatir.”
Tapi pria itu menggeleng keras.
“Nggak, nggak bisa begitu. Anak saya harus tanggung jawab. Kami memang miskin,
Mbak, tapi kami masih tahu malu.” Ia menoleh ke arah pintu. “Rio!”
Anak itu muncul beberapa detik
kemudian, berdiri di ambang pintu dengan baju basah menempel di tubuh kecilnya.
Rambutnya meneteskan air, wajahnya pucat, dan di pipinya tampak merah
samar—seperti bekas tamparan yang belum lama.
Rio menunduk. Di tangannya masih
tergenggam cokelat yang sudah sobek bungkusnya.
“Balikin,” suara bapaknya pelan tapi
tegas. “Minta maaf.”
Anak itu tak bergerak. Hanya
menggigit bibir, bahunya gemetar halus. Cindy melihat matanya—kosong, seperti
tadi sore.
“Sudah, Rio,” desak bapaknya. Nada
suaranya berubah tajam, menekan. “Kamu bikin malu Bapak.”
“Iya, Pak,” bisik Rio akhirnya. Ia
berjalan pelan ke Cindy, mengulurkan cokelat itu dengan tangan gemetar. “Maaf,
Kak…”
Cindy cepat-cepat menggeleng.
“Tidak perlu, Rio. Aku yang udah—”
Belum sempat ia menyelesaikan
kalimatnya, tangan bapak itu menarik bahu Rio agak keras. “Jangan dibela, Mbak,”
katanya datar. “Anak ini harus belajar. Kalau terus dimanja, nanti makin
rusak.”
Nada bicaranya bukan marah
meledak-ledak, melainkan dingin dan tegas—jenis kemarahan yang diam tapi
menakutkan. Cindy bisa merasakan hawa tegang mengisi udara sempit minimarket
itu.
Beberapa pengunjung menoleh
diam-diam, berpura-pura memilih barang padahal memperhatikan mereka.
Kasir menunduk, pura-pura sibuk.
Cindy berusaha bicara dengan
lembut. “Pak, sungguh, cokelat itu sudah saya bayar. Rio cuma—”
“Tidak, Mbak,” potong si bapak.
“Anak ini harus tahu konsekuensi. Kalau dia salah, dia harus malu. Itu cara
saya mendidik.”
Cindy menatap Rio. Anak itu berdiri
diam, menunduk dalam, air matanya menetes satu-satu. Dalam genggamannya,
cokelat itu sudah hancur separuh. Ia memberikannya kepada Cindy dan berusaha
menyeka pipinya tapi justru menyingkap luka merah yang baru.
Perlahan, ibunya mendekat.
Perempuan itu tampak lebih tenang, tapi lelah. Masker lusuh di wajahnya
menutupi ekspresi sebenarnya, tapi matanya basah. “Maaf ya, Mbak,” katanya
pelan, “kami benar-benar malu. Rio ini anaknya keras kepala.”
Cindy menggigit bibir. “Tidak
apa-apa, Bu. Mungkin dia cuma lapar.”
Wanita itu terdiam sejenak, lalu
menunduk lebih dalam. “Terima kasih, Mbak. Maaf sudah merepotkan.”
Saat Cindy hendak menanggapi, bapak Rio sudah menepuk bahu anaknya agak keras. “Ayo pulang.”
Rio menatap Cindy sekilas. Tatapan
itu membuat waktu serasa berhenti. Ada campuran ketakutan dan… permohonan?
Seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tak punya suara untuk melakukannya.
Cindy melangkah setengah maju.
“Tunggu, Pak—”
Namun tatapan bapaknya membuat
langkah itu terhenti. Tatapan tajam, seperti peringatan tanpa kata. Datar, tapi
dingin sekali.
“Anak ini memang bandel, Mbak. Biar
saya urus di rumah,” katanya pelan, lalu menarik lengan Rio.
Hujan mengguyur lagi saat mereka
keluar. Payung reyot terbuka di tangan ibunya, menutupi sebagian kecil tubuh
mereka bertiga. Cindy hanya bisa berdiri di depan pintu, menatap punggung kecil
yang menunduk di bawah deras air.
Rio tidak menoleh lagi. Hanya
langkah kecilnya yang menimbulkan cipratan air di jalan, lalu perlahan
menghilang di tikungan.
Di dada Cindy, perasaan bersalah
tumbuh seperti batu basah yang menekan tanpa henti. Ia tahu, seharusnya membiarkan saja sejak awal. Tapi kalau ia membiarkan, Rio
mungkin akan tetap mencuri, atau malah disalahkan lebih keras lagi. Namun
setelah melihat mata itu—mata yang seolah minta tolong dalam diam—ia merasa
telah melakukan hal yang terlalu sedikit.
Cindy berdiri lama di sana, bahkan
setelah hujan berhenti. Orang-orang sudah berlalu. Tapi pikirannya masih
tertinggal pada wajah anak kecil itu, dan kata-kata dingin bapaknya.
“Anak ini memang bandel…”
Kalimat itu bergema di kepalanya,
menggantikan suara hujan. Ia teringat luka di lengan Rio, sayatan kecil yang
tampak bukan kecelakaan. Ia teringat tatapan ibunya yang menahan sesuatu,
seperti ingin bicara tapi tak berani.
Ada sesuatu yang tidak beres.
Cindy tahu itu. Tapi apa yang bisa
ia lakukan? Ia hanya seorang mahasiswi, bukan siapa-siapa. Dunia orang-orang
seperti Rio sering kali tertutup rapat oleh kemiskinan, ketakutan, dan rahasia
yang tidak ingin dibuka.
Namun malam itu, saat ia pulang ke
kos dan mengganti bajunya yang basah, bayangan Rio kembali hadir di benaknya.
Anak kecil itu berdiri di bawah hujan, menggenggam cokelat remuk, menunduk di
depan bapaknya.
Entah kenapa, pemandangan itu
terasa seperti luka yang tertinggal di hatinya sendiri. Dan di antara suara
hujan yang belum sepenuhnya pergi, Cindy tahu satu hal: ia belum bisa tenang
sebelum tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik keluarga itu.
Sudah beberapa hari berlalu sejak
kejadian itu, tapi wajah anak kecil di minimarket tak kunjung hilang dari
pikiran Cindy. Setiap kali ia menatap langit mendung atau mendengar suara hujan
menetes di atap, bayangan bocah itu kembali muncul—dengan mata besar yang
kosong, pipi tirus, dan tangan mungil yang bergetar saat menggenggam sebatang
cokelat.
Saat kuliah berlangsung, ia sering
melamun. Tatapannya kosong ke arah papan tulis, sementara pikirannya terjebak
di satu adegan yang berulang seperti kaset rusak: tangan kecil itu, dengan luka
sayatan di pergelangan, yang gemetar ketika ia berkata lirih “Aku cuma
pengin cokelat ini…”
Cindy bisa mendengarnya jelas, bahkan hingga kini. Sebuah permintaan
sederhana—tapi diucapkan dengan nada yang begitu dalam, seperti berasal dari
tempat yang telah lama kehilangan harapan.
Dalam narasi batinnya, Cindy merasa
marah. Bukan hanya pada dirinya sendiri, tapi pada dunia yang seolah tak lagi
memiliki ruang untuk belas kasihan.
Kenapa anak sekecil itu tidak ada
yang peduli?
pikirnya setiap kali melewati jalanan penuh mobil mewah dan papan iklan
bertuliskan “Hidup yang lebih baik dimulai di sini.”
Ironis, pikirnya. Semua orang
mengejar hidup yang lebih baik, tapi entah mengapa yang paling lemah justru
ditinggalkan di belakang.
Suatu sore, di halte bus, Cindy
melihat seorang anak penjual tisu. Entah kenapa, wajah anak itu menyalakan
ingatan yang sama. Ia langsung teringat pada Rio—pada pandangan matanya yang
redup namun jujur. Ia membeli satu bungkus tisu, lalu menatap anak itu cukup
lama hingga membuatnya kikuk. “Kamu sekolah?” tanya Cindy lembut.
Anak itu hanya menggeleng pelan. Setelah
bus datang, Cindy masih menatap dari jendela—merasa dadanya ditarik sesuatu
yang berat.
Sejak malam itu, ia tak bisa tidur
nyenyak. Mimpi-mimpinya selalu sama: anak kecil itu berdiri di bawah hujan, di
depan minimarket yang samar diselimuti kabut. Lampu toko berkedip, sementara
anak itu menatap Cindy dari kejauhan tanpa suara. Air hujan menetes dari
rambutnya, menyatu dengan air mata yang nyaris tak terlihat. Ia tidak bergerak,
hanya berdiri—menunggu.
Namun semakin ia mencoba melupakan,
semakin kuat kenangan itu menancap. Ketika ia berjalan melewati etalase toko
permen, matanya langsung terpaku pada rak berisi cokelat batangan. Warna
bungkusnya sama persis seperti yang dipegang anak itu. Cindy menatapnya lama,
tanpa sadar menggenggam tasnya erat. Seketika hatinya bergetar—ia ingat
bagaimana anak itu menatap cokelat itu bukan sebagai barang, tapi sebagai keinginan
yang tak mungkin digapai.
Sore itu, ia duduk di taman kampus
sendirian. Angin lembut berhembus, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di
sekelilingnya, mahasiswa lain bercanda, memotret, tertawa. Tapi dunia Cindy
terasa jauh berbeda. Ada sesuatu di dalam dirinya yang berubah. Ia sadar, hidup
yang nyaman dan “cukup” yang selama ini ia jalani ternyata bisa terasa hampa
ketika di luar sana, seseorang bahkan tak mampu membeli sebatang cokelat.
Dan di sudut pikirannya, suara
lirih itu kembali bergema:
“Aku cuma pengin cokelat ini…”
Kata-kata itu menempel di hati
Cindy, seperti doa yang menuntunnya untuk bertindak. Mungkin ia tidak bisa mengubah dunia. Tapi mungkin, pikirnya, ia bisa mencari
anak itu—atau setidaknya, mulai dengan tidak berpaling lagi saat melihat
seseorang yang membutuhkan.
Sekitar dua minggu telah berlalu
sejak kejadian di minimarket itu, dan meski waktu terus berjalan, bayangan anak
kecil bernama Rio masih menghantui benak Cindy. Ia mulai berusaha mencari—tanpa
benar-benar tahu ke mana harus melangkah. Setiap kali melewati kawasan sekitar
kosnya, Cindy memperhatikan taman-taman kecil, trotoar, dan warung di pinggir
jalan. Sebagian dirinya merasa itu sia-sia, tapi entah kenapa, ia tidak bisa
berhenti.
Suatu sore yang lembap setelah
hujan, langkah Cindy terhenti di depan taman kecil di ujung jalan kosnya.
Rumput masih basah, udara lembab berembus dari arah selokan, dan suara tawa
anak-anak bergema di udara. Di antara mereka, ada satu sosok yang tidak ikut
bermain—duduk diam di bangku besi berkarat, menatap tanpa ekspresi.
Cindy berhenti bernapas sesaat. Anak
itu—baju lusuh, rambut acak-acakan, wajah tirus yang tak asing.
Rio.
Ia duduk dengan tangan di pangkuan,
memperhatikan anak-anak lain yang bermain bola bersama orang tua mereka. Setiap kali
salah satu orang tua itu menggendong anaknya, mata Rio mengikuti dengan pandangan
kosong—campuran iri dan putus asa. Sesekali bibirnya bergerak, seolah menirukan
tawa mereka, tapi tanpa suara.
Cindy berdiri di kejauhan cukup
lama. Ia bisa saja memanggilnya langsung, tapi ada sesuatu yang menahan.
Apa yang harus ia katakan?
Bahwa ia merasa bersalah?
Bahwa ia masih memikirkan anak itu setiap malam?
Akhirnya, tanpa banyak pikir, Cindy berbalik ke arah
kafe kecil di seberang taman. Ia membeli dua minuman cokelat hangat—yang satu
untuknya, yang lain untuk bocah itu. Saat uap minuman masih mengepul, ia
kembali menyeberang dan melangkah pelan mendekat.
“Rio?” suaranya pelan, nyaris
tenggelam oleh suara hujan yang menetes dari daun.
Anak itu menoleh cepat, lalu
tubuhnya menegang. Ia tampak hendak berlari, tapi Cindy segera mengangkat
tangannya pelan, menunjukkan gelas kertas yang dipegangnya.
“Aku cuma mau ngobrol,” katanya lembut. “Kamu masih inget aku, kan?”
Rio menatapnya lama. Ada rasa
curiga di matanya, tapi juga pengakuan samar—ia tahu wajah itu. Wajah perempuan
yang waktu itu menatapnya iba di minimarket. Setelah beberapa detik, Rio
menunduk lagi.
“Aku nggak nyuri lagi,” gumamnya
pelan.
Cindy tersenyum, duduk di ujung
bangku yang sama. “Aku tahu. Aku juga nggak datang buat marahin kamu, kok.” Ia
mengulurkan minuman hangat itu. “Nih, masih panas.”
Rio menatapnya ragu.
“Gratis?” tanyanya lirih.
Cindy mengangguk. “Nggak ada yang
minta bayar. Aku cuma pengen kamu minum biar nggak kedinginan.”
Pelan-pelan, bocah itu meraih
gelasnya. Tangannya dingin dan sedikit gemetar. Ia menyesap pelan, lalu
menghela napas panjang. Wajahnya sedikit melunak.
“Terima kasih,” katanya tanpa
menatap Cindy.
Mereka duduk dalam diam cukup lama.
Hujan turun lagi, rintik kecil yang menari di dedaunan. Cindy tak ingin memaksa
bicara, hanya menatap taman yang sepi.
“Bapak kamu mana?” tanyanya
hati-hati.
Rio diam sejenak. “Kerja… katanya.
Kadang lama, kadang nggak pulang.”
“Terus kamu di rumah sama siapa?”
“Sendiri. Kadang sama Ibu, tapi Ibu
sering sakit.”
Jawaban itu membuat Cindy
menggenggam tangan di pangkuannya lebih erat. Ada suara lirih di dalam dirinya
yang ingin memeluk bocah itu, tapi ia tahu itu bukan saatnya.
Hari-hari berikutnya, Cindy kembali
ke taman yang sama. Kadang Rio ada, kadang tidak. Tapi setiap kali mereka
bertemu, percakapan kecil mulai mengisi jarak di antara mereka.
Dari obrolan itu, Cindy tahu Rio suka menggambar. Ia sering mencoret-coret di
sobekan kardus bekas dengan pensil tumpul. Gambarnya sederhana—rumah kecil,
langit, dan sebatang pohon dengan dua orang berdiri di bawahnya.
“Itu kamu sama siapa?” tanya Cindy
suatu kali.
Rio tersenyum kecil. “Sama Ibu.
Dulu Ibu suka ajarin aku gambar sebelum sakit.”
Sejak hari itu, Cindy mulai
membawakan hal-hal kecil: roti keju, susu kotak, dan plester untuk luka di
tangan Rio yang sering terbuka. Luka-luka itu tampak lama sembuh—seperti bekas
kerja kasar, atau mungkin sesuatu yang lebih menyakitkan dari sekadar jatuh di
jalan.
Setiap kali ia menempelkan plester baru, Cindy berusaha tidak memperlihatkan
ekspresi iba. Ia hanya berkata, “Supaya nggak perih, ya,” sambil tersenyum
kecil.
Perlahan, Rio mulai lebih banyak
bicara. Kadang ia bercerita tentang burung yang bersarang di pohon taman,
kadang tentang mimpinya punya buku gambar sungguhan. Cindy mendengarkan dengan
sabar, mencoba menyembunyikan perih di dadanya setiap kali bocah itu berbicara
dengan nada polos namun getir.
Suatu sore, ketika matahari mulai
tenggelam dan langit berwarna jingga keemasan, Cindy memperhatikan Rio menatap
langit dengan pandangan kosong.
“Kakak pernah kangen sesuatu?”
tanya bocah itu tiba-tiba.
Cindy menoleh. “Maksudnya?”
“Kayak… pengen sesuatu banget, tapi
tahu nggak bakal bisa punya.”
Cindy menatapnya lama. Ada sesuatu
dalam kalimat itu—gema dari masa lalu, dari suara lirih anak kecil di
minimarket yang hanya ingin sebatang cokelat.
“Iya,” jawabnya pelan. “Aku tahu
rasanya.”
Mereka berdua terdiam. Angin sore
berembus pelan, membawa bau tanah basah dan daun gugur.
Dalam diam itu, Cindy tahu: luka anak itu belum sembuh. Tapi mungkin, untuk
pertama kalinya, ada seseorang yang mau duduk di sebelahnya tanpa menghakimi.
Hari itu langit mendung, dan taman
terasa lebih sepi dari biasanya. Cindy duduk di bangku biasa, menunggu Rio yang
datang dengan langkah kecil dan wajah lesu. Baju lusuhnya makin pudar warnanya,
dan rambutnya tampak belum disisir.
“Rio, kamu nggak apa-apa?” tanya
Cindy lembut.
Anak itu hanya mengangguk pelan,
lalu duduk di sampingnya tanpa suara.
Beberapa menit berlalu dalam diam.
Hanya terdengar gesekan daun dan suara jauh kendaraan yang melintas. Hingga
tiba-tiba, tanpa menatap Cindy, Rio berkata pelan, hampir seperti gumaman yang
tertiup angin.
“Bapak suka marah kalau Ibu salah
ngomong…”
Cindy menoleh, tapi anak itu tetap
menatap tanah.
“Dia mukul pakai sabuk,” lanjutnya
datar. “Kadang aku juga kena.”
Suara kecil itu mengguncang dada
Cindy. Ia ingin segera memeluknya, tapi takut membuatnya menjauh. Jadi ia hanya
menatap ujung sepatu Rio yang kotor dan becek, berusaha menahan air mata yang
mulai menggenang.
“Tapi…” Rio tersenyum tipis, senyum
yang anehnya justru paling menyayat.
“Tapi Bapak baik kok kalau lagi
nggak marah.”
Cindy hampir tak sanggup menjawab.
Ia menatap bocah itu lama—menyadari bagaimana kalimat sederhana itu
menggambarkan hidup yang penuh luka, tapi masih diwarnai harapan kecil seorang
anak yang hanya ingin dicintai.
“Rio…” suaranya nyaris bergetar,
“kamu pernah cerita ini ke siapa?”
Anak itu menggeleng. “Nggak boleh.
Bapak bilang, kalau aku ngomong sama orang, Ibu bakal tambah dimarahin.”
Ada hening yang panjang setelah
itu. Cindy menunduk, memejamkan mata.
Ia merasa terjebak — antara keinginan untuk menolong dan ketakutan membuat
semuanya jadi lebih buruk. Bagaimana jika laporan justru membuat Rio makin
disiksa? Bagaimana jika anak itu diambil dari keluarganya dan harus hidup
sendiri di panti yang dingin?
Tapi di sisi lain, ia tahu benar:
luka-luka di tangan kecil itu bukan karena jatuh. Bekas sayatan halus dan lebam
di lengan Rio bukan sekadar akibat kenakalan anak-anak. Itu jejak dari
malam-malam panjang penuh tangis, dari kekerasan yang menjadi rutinitas di
balik pintu rumah.
Rio menatap langit yang kelabu.
“Aku cuma pengen Ibu nggak sakit lagi,” katanya pelan. “Kalau Bapak marah, aku
pengen bisa gantiin Ibu aja biar dia nggak dipukul.”
Cindy akhirnya tak bisa menahan
diri. Ia menarik napas panjang, menatap bocah itu dengan mata basah. “Kamu anak
yang kuat sekali, Rio,” bisiknya. “Tapi nggak seharusnya kamu harus kuat
sendirian.”
Hujan mulai turun perlahan, menetes
di antara kata-kata yang tidak sanggup lagi diucapkan.
Dan dalam keheningan sore itu, Cindy tahu—kisah Rio bukan lagi sekadar rasa
iba. Ini sudah menjadi bagian dari hidupnya sendiri.
Langit sore itu berwarna jingga
pucat. Taman kecil di dekat kos Cindy mulai sepi, hanya tersisa suara burung
yang pulang dan tawa anak-anak yang perlahan menjauh bersama orang tua mereka.
Cindy duduk di bangku biasa, sementara Rio duduk di sebelahnya, menggoyang-goyangkan
kaki kecilnya yang kotor oleh debu.
Ia tampak lebih ceria hari itu,
meski tatapan matanya masih menyimpan sesuatu yang kosong. Tangannya memegang
es krim cokelat yang Cindy belikan dari warung dekat taman—lembut meleleh di
jari-jarinya, tapi entah kenapa, wajahnya justru tampak sendu.
“Kak,” katanya tiba-tiba, tanpa
menatap Cindy. “Kalau aku punya Bapak kayak yang di sana, aku mau peluk tiap
hari.”
Cindy menoleh. Di seberang taman,
seorang pria muda sedang jongkok di depan anaknya, membersihkan lutut kecil
yang lecet sambil tertawa. Adegan itu sederhana, tapi di mata Rio—terlihat
seperti sesuatu yang mustahil dimiliki.
“Bapak itu nggak marah, ya,”
lanjutnya pelan. “Padahal anaknya jatuh, tapi malah diketawain. Lucu, ya, Kak?”
Ia tersenyum, tapi suaranya pecah di ujung kalimat.
Cindy menelan ludah. “Iya, lucu
banget.” Ia mencoba tersenyum, tapi gagal. Ada benjolan panas di
tenggorokannya.
Di pikirannya, kalimat Rio berputar
terus seperti gema: ‘Kalau aku punya Bapak kayak gitu…’
Ia menunduk, menatap jemari Rio
yang kini hanya menggenggam batang es krim kosong. Bocah itu tampak berpikir
keras, seperti berusaha memahami sesuatu yang bahkan dunia orang dewasa pun
sering tak sanggup mengerti.
“Kak, kenapa Bapakku nggak bisa
kayak gitu, ya?” tanyanya lirih.
Cindy terdiam lama. Hatinya serasa
disayat. Ia ingin menjawab bahwa tidak semua bapak tahu cara mencintai, tapi
bagaimana menjelaskan kebengisan tanpa menghancurkan sisa keyakinan seorang
anak?
Ia akhirnya hanya berkata lembut,
“Kadang… ada orang yang lupa gimana caranya sayang.”
Rio menatapnya. “Lupa?”
“Iya,” jawab Cindy, tersenyum
getir. “Tapi bukan berarti kamu salah karena tetap pengen disayang.”
Anak itu terdiam, matanya menatap
langit yang mulai gelap. Ada kilatan cahaya di sana—entah dari matahari
terakhir, entah dari air mata yang belum sempat jatuh.
Lalu, dengan suara yang hampir tak
terdengar, Rio berkata,
“Kadang aku pura-pura tidur biar
Bapak nggak marah. Tapi kalau mimpi, aku suka bayangin Ibu, Bapak, sama aku jalan
bareng, beli es krim kayak gini.”
Cindy menatapnya lama, dadanya
sesak. Ia ingin bicara, tapi tidak ada kata yang cukup. Akhirnya ia hanya
mengulurkan tangan, mengacak pelan rambut kusut anak itu.
“Rio,” katanya pelan, “ada
anak-anak yang iri bukan karena nggak punya mainan, tapi karena nggak pernah
dipeluk.”
Bocah itu tersenyum kecil, senyum
yang terlalu tenang untuk anak seusianya.
“Kalau gitu,” bisiknya, “aku iri
banget, Kak.”
Dan sore itu, dunia seolah berhenti
sejenak—membiarkan dua jiwa yang terluka duduk di bawah langit Jakarta yang
perlahan gelap, berbagi keheningan yang lebih jujur daripada kata-kata.
Sudah seminggu Cindy datang ke
taman kecil di dekat kosnya. Setiap sore, sekitar pukul lima, ia duduk di
bangku yang biasa mereka tempati — bangku kayu di bawah pohon flamboyan yang
mulai meranggas. Ia menatap jalan setapak yang dulu selalu dilalui Rio, menenteng
buku gambar lusuh dan tas kecil yang sudah robek di ujungnya. Tapi hari demi
hari berlalu, dan bayangan kecil itu tak pernah muncul lagi.
Awalnya, Cindy mencoba berpikir
positif. Mungkin Rio sedang sakit ringan, atau sedang diajak orang tuanya pergi.
Namun, setiap sore yang datang hanya membawa angin kosong dan suara anak-anak
lain bermain di kejauhan — tawa yang dulu membuat mata Rio berbinar sekaligus
terluka.
Ia mulai menyadari sesuatu yang
aneh. Anak itu tak pernah benar-benar bercerita tentang ibunya lagi. Biasanya,
Rio akan menyebut “Ibu suka masak nasi goreng tapi jarang ada telur.” Namun,
dalam beberapa pertemuan terakhir, setiap kali Cindy menyinggung tentang rumah,
Rio hanya terdiam lama, lalu bergumam lirih, “Bapak lagi nggak kerja… Bapak sering marah.”
Kata-kata itu terngiang-ngiang di
kepala Cindy sepanjang minggu. Setiap kali lewat depan taman, matanya
mencari-cari sosok kecil itu. Ia bahkan bertanya ke beberapa pedagang di
sekitar taman, tapi tidak ada yang tahu siapa anak itu, atau di mana ia tinggal.
Malam itu, hujan turun deras. Cindy
baru pulang dari kampus, payungnya rusak diterpa angin, jaketnya basah hingga
ke bahu. Di depan kos, ia sempat menoleh ke arah taman yang gelap, hanya
diterangi satu lampu jalan yang berkelap-kelip. Ia hampir melangkah ke sana,
hanya untuk memastikan… siapa tahu Rio datang terlambat. Tapi tubuhnya terlalu
lelah, dan pikirannya diselimuti keraguan: Ah, mungkin besok aku ke sana
lagi.
Namun “besok” itu tidak pernah
datang.
Keesokan paginya, dunia Cindy
berubah dalam sekejap. Ia sedang menyeruput kopi instan sambil membuka portal
berita daring di laptop-nya. Pandangannya awalnya kosong, lalu tiba-tiba
berhenti di satu judul yang membuat jantungnya seperti diremas.
“Anak berusia 7 tahun ditemukan
meninggal di rumah kontrakan daerah Manggarai, Jakarta Selatan. Diduga akibat kekerasan dalam
rumah tangga.”
Tenggorokannya tercekat. Ia menatap
layar lebih dekat, seperti ingin memastikan bahwa matanya salah. Namun foto
yang menyertai berita itu — buram, gelap, hanya memperlihatkan bayangan tubuh
kecil dibungkus kain tipis — membuat napasnya tercekat di dada.
Lalu ada satu kalimat di bawah
foto:
“Korban dikenal warga sekitar
dengan panggilan R.”
Cindy menjatuhkan cangkirnya. Bunyi
pecahannya memecah keheningan kamar kos, namun suara itu nyaris tak terdengar
dibandingkan dengan detak jantungnya yang berpacu gila. Ia menatap layar itu
lama sekali, mencoba menolak kenyataan. Tidak mungkin… bukan Rio yang kukenal. Mungkin
nama yang sama, anak lain… Tapi hatinya tahu — dunia terlalu kecil untuk
kebetulan sekejam itu.
Tubuhnya gemetar, jemarinya kaku.
Ia membaca ulang isi berita berkali-kali, meski setiap kalimat terasa seperti
belati yang menoreh luka baru:
“Korban mengalami luka memar di
beberapa bagian tubuh. Diduga pelaku adalah ayah kandung yang saat ini telah
diamankan pihak kepolisian.”
Cindy menutup mulutnya, menahan
jeritan yang hampir keluar. Air matanya jatuh tanpa bisa dikendalikan. Ia
teringat tangan kecil dengan luka sayatan di pergelangan — luka yang dulu ia
plester dengan hati-hati. Ia teringat suara pelan anak itu ketika berkata,
“Bapak suka marah kalau Ibu salah ngomong…”
Semua potongan kenangan datang
bertubi-tubi, menyayat pikirannya:
Tawa kecil Rio ketika menggambar burung di kertas robek.
Cara ia menatap anak-anak lain
bermain bola sambil berbisik, “Kak, kalau aku punya Bapak kayak gitu, aku mau
peluk tiap hari.”
Senyumnya yang kecil — senyum yang
lebih mirip upaya untuk bertahan hidup.
Cindy jatuh bersimpuh di lantai,
menatap kosong ke layar laptop yang kini menampilkan berita lanjutan. Dunia di
sekelilingnya kabur, seakan waktu berhenti.
Malamnya, Cindy tidak bisa tidur.
Ia hanya duduk di ranjang, memandangi jendela yang memantulkan bayangan dirinya
— pucat, mata sembab, rambut berantakan. Di luar, hujan turun lagi. Hujan yang
sama seperti malam-malam ketika Rio sering bercerita sambil menggambar awan.
Suara hujan itu seperti
menghidupkan kembali gema kecil dalam pikirannya:
“Kak, aku cuma pengen coklat itu
aja…”
“Kak, aku nggak mau Bapak marah
lagi…”
Ia memeluk lututnya, berbisik di
antara isak,
“Maaf, Rio… Aku sibuk menunggu
bukti, padahal luka di matamu sudah cukup jadi panggilan.”
Kalimat itu berulang di kepalanya,
menghantam batin seperti gelombang tak henti. Ia teringat bagaimana ia dulu
menenangkan diri sendiri dengan alasan, Aku cuma mahasiswa, aku nggak bisa
campur tangan masalah keluarga orang. Tapi kini semua alasan itu terdengar
seperti kebohongan yang kejam.
Cindy menatap ke luar jendela,
melihat lampu jalan di kejauhan — satu-satunya cahaya yang masih menyala di
bawah hujan. Ia membayangkan sosok kecil berdiri di sana, menatapnya seperti
dalam mimpi-mimpi lamanya. Bedanya, kali ini tidak ada lagi kesempatan untuk
berlari menghampiri.
Dalam keheningan yang panjang,
Cindy merasa sesuatu dalam dirinya retak. Sebuah bagian yang tak akan pernah
utuh lagi. Ia tahu, rasa bersalah itu akan menjadi bayangan yang menemaninya
sepanjang hidup — bayangan yang tidak bisa dihapus oleh waktu atau air mata.
Ketika dini hari tiba, ia akhirnya
memejamkan mata. Di ambang antara sadar dan lelap, ia mendengar suara lembut —
entah nyata atau hanya dari pikirannya sendiri:
“Kak Cindy… makasih ya, udah mau
dengerin aku…”
Air matanya jatuh lagi, membasahi
bantal. Malam itu menjadi malam yang tak akan pernah terlupakan — malam di mana
Cindy kehilangan seorang anak kecil yang tidak pernah benar-benar punya
kesempatan untuk tumbuh.
Dan di lubuk hatinya yang paling
dalam, Cindy berjanji: Selama ia masih hidup, ia akan menyalakan satu lilin
kecil — untuk setiap anak yang terluka dan tak pernah sempat meminta tolong.
Karena ia tahu sekarang, kadang
yang paling mematikan bukanlah kekerasan itu sendiri, melainkan keheningan orang-orang baik yang terlalu lama menunggu bukti.
Beberapa minggu telah berlalu sejak
malam itu, tapi rasa kehilangan masih menggantung di dada Cindy seperti kabut
yang enggan pergi. Suatu sore, ia kembali ke taman kecil di dekat kosnya —
taman yang dulu selalu dipenuhi suara anak-anak dan tawa Rio yang pelan tapi
tulus.
Bangku kayu di bawah pohon
flamboyan itu masih di tempatnya, sedikit lembap oleh sisa hujan pagi. Cindy
duduk perlahan, menatap jalan setapak yang dulu menjadi jalur kecil Rio datang
dengan langkah ragu. Tangannya menggenggam sesuatu di dalam saku: sebatang
cokelat kecil, merek yang dulu diinginkan Rio dengan mata berbinar.
Tanpa berkata apa-apa, ia
meletakkan cokelat itu di atas bangku. Bungkusnya sedikit basah, tapi Cindy
membiarkannya. Ia menatapnya lama, seolah di sanalah semua kenangan tertambat —
tawa kecil, luka di tangan mungil, dan kata “terima kasih” yang tak pernah
sempat diucapkan.
Langit mendung kembali meneteskan
hujan, pelan, lembut, seperti mengulang hari pertama mereka bertemu. Suara titik-titik air jatuh di dedaunan membuat dunia seakan berhenti
sesaat.
Dalam diam, Cindy tersenyum tipis.
Di antara suara hujan dan hiruk pikuk jauh dari jalan raya, ia seolah mendengar
gema tawa kecil — tawa yang dulu dipenuhi harapan dan ketakutan.
Jakarta tetap bising, pikirnya. Tapi di antara hujan
sore itu, aku mendengar tawa kecil — mungkin Rio, akhirnya tenang di tempat
yang tak ada sabuk, tak ada tangisan.
Cindy menatap cokelat di bangku itu
untuk terakhir kali sebelum pergi. Hujan turun lebih deras, menenggelamkan
suara langkahnya, tapi di hatinya, ada sesuatu yang akhirnya terasa ringan —
bukan karena luka itu sembuh, tapi karena ia tahu, Rio tak lagi sendirian di
bawah hujan.
