Omaha, Nebraska 2011
Udara mengiris kulit, menyisakan
embun tipis di kaca jendela sekolah Ben High. Di lapangan parkir, suara mesin
mobil para orang tua perlahan menjauh, meninggalkan aroma bensin yang
menggantung di udara beku.
Lorong sekolah masih lengang. Hanya
suara langkah sepatu — tap… tap… tap… — bergema pelan dari ujung
koridor. Langkah itu ritmis, tenang, hampir seperti detak jam tua di ruang
kepala sekolah. Robert. Tubuhnya kurus, bahunya membungkuk sedikit karena beban
ransel hitam di punggung. Ia berjalan lurus, tanpa tergesa, tanpa ragu.
Cahaya neon di langit-langit
berkelip, menimbulkan bayangan panjang di lantai licin. Matanya kosong — bukan
tatapan dingin, tapi tatapan orang yang sudah tidak di sini. Tangannya bergetar
halus, tapi ia genggam erat tali ransel, seolah menggenggam kendali terakhir
atas sesuatu yang akan segera hilang.
Bel sekolah berbunyi.
Jerit besi dari speaker tua itu
memantul di dinding, memecah kesunyian. Suara pintu-pintu kelas terbuka,
langkah-langkah riuh, tawa, percakapan remaja. Lorong tiba-tiba hidup. Seolah
dunia masih normal.
Robert berhenti sejenak di depan
loker nomor 312.
Di dinding atasnya ada tulisan
spidol: “LOSER.”
Ia menatapnya lama. Nafasnya berat,
lalu tenang kembali. Ia menurunkan ransel, membuka resleting perlahan.
Beberapa siswa lewat, tak
memperhatikan. Seorang gadis sempat meliriknya — hanya sebentar, lalu berlalu
dengan headphone di telinga. Musik bocor samar: Pumped Up Kicks
terdengar lirih.
Robert membuka ranselnya
sepenuhnya. Suara logam bergesek halus. Sesuatu yang dingin dan berat.
Lalu — DOR!
Satu letusan memecah udara, bergema
keras di antara locker. Beberapa siswa menoleh, bingung. Teriakan pertama
terdengar lima detik kemudian — seorang anak laki-laki jatuh, darah menetes
dari bahunya.
Lorong yang tadi penuh tawa berubah
jadi jeritan dan langkah panik. Buku-buku beterbangan, pintu-pintu kelas
dibanting.
“Ada penembak! ADA PENEMBAK!”
Suara-suara tumpang tindih.
Seseorang memukul alarm kebakaran, sirene melolong panjang. Robert bergerak
maju, tenang seperti sedang berjalan di mimpi. Ia menembak lagi. Sekali. Dua
kali. Setiap dentuman terdengar seperti retakan di kaca besar.
Tiga anak laki-laki dari tim basket
— Travis, Jake, dan Derek — berlari ke arah tangga. Robert mengangkat senjatanya,
menembak tanpa bicara. Tubuh Travis terpental ke belakang, darah menodai
dinding. Jake mencoba menolong, tapi peluru kedua menghentikannya. Derek
berlari zig-zag, tapi tersandung troli pembersih. Letusan ketiga — hening
sejenak, lalu jatuh.
Suara tangisan terdengar dari ruang
kelas 2B. Guru sejarah, Mrs. Lillian, menahan napas di balik pintu sambil
menekan mulut murid-muridnya agar tidak bersuara. Langkah kaki Robert mendekat.
Bayangannya melintas di bawah celah pintu — perlahan, lalu berhenti. Hanya
bunyi pernapasan di luar. Seseorang di dalam menahan isak.
Robert menembak gagang pintu. Pintu
terbuka setengah, suara teriakan pecah seperti kaca. Ia menatap sebentar, lalu
menembak sekali lagi ke arah papan tulis. Kapur dan debu beterbangan seperti
salju putih. Ia berbalik tanpa bicara, melanjutkan langkahnya.
Lorong kini penuh asap tipis dari
bubuk mesiu. Lantai licin oleh darah dan air dari sprinkler yang otomatis
menyala. Sinar lampu merah berkedip dari sirene kebakaran — menimbulkan ilusi
dunia berdenyut, seolah sekolah itu hidup dan sekarat sekaligus.
Di ruang kantin, puluhan siswa
berdesakan di bawah meja. Ada yang menelpon 911 sambil gemetar, ada yang hanya
memeluk lutut, bibirnya berkomat-kamit memanggil nama ibu. Di luar jendela,
cahaya biru dari mobil polisi mulai menembus kabut.
Suara di pengeras sekolah berderak
hidup:
“Ini bukan latihan. Semua siswa
diminta bersembunyi dan menjauh dari jendela. Ini bukan latihan—”
Suara itu terpotong oleh letusan
dari arah lorong timur.
Di aula, seorang guru laki-laki,
Mr. Connor, mencoba menarik beberapa siswa keluar lewat pintu darurat. Robert
muncul di ujung koridor. Tatapan mereka bertemu sesaat. Tidak ada kata. Tidak
ada amarah. Hanya sepi.
Letusan keempat — Mr. Connor jatuh.
Satu siswa berteriak, lalu ditarik kembali oleh teman-temannya. Pintu darurat
terbuka setengah, udara dingin menerpa masuk.
Dunia seperti berhenti beberapa
detik. Hanya detak sepatu Robert dan gemericik air dari sprinkler yang masih
menetes di lantai.
Ia melangkah ke ruang seni.
Lukisan-lukisan siswa menggantung di dinding — potret keluarga, pemandangan,
gambar kartun. Satu peluru nyasar menembus kanvas bergambar langit biru,
meninggalkan lubang hitam di tengah matahari.
Suara sirene semakin dekat.
Helikopter mulai terdengar di atas gedung. Robert berhenti di tengah koridor.
Ia memejamkan mata. Di kejauhan, suara siswa menjerit, “Dia di sini! Dia di
sini!”
Tangannya perlahan menurunkan
senjata. Nafasnya berat, napas yang penuh debu, keringat, dan logam. Ia
melangkah menuju pintu keluar depan.
Di luar, jalan sudah dipenuhi mobil
polisi. Lampu-lampu merah dan biru berputar di udara berkabut. Angin dingin
memukul wajahnya, membawa aroma besi dan mesiu.
Robert berhenti di tangga sekolah,
menatap dunia yang hening di depannya.
Kemudian — ia meletakkan senjatanya
di lantai, mengangkat kedua tangannya. Tak ada perlawanan. Tak ada kata.
Polisi berteriak, “Tiarap! Letakkan
senjata!”
Tapi ia sudah melakukannya sebelum
diperintah.
Satu per satu, petugas mendekat,
menekuk tubuhnya ke tanah, memborgol tangannya. Kamera berita dari jauh
menangkap momen itu: seorang remaja berwajah pucat, mata kosong yang dingin dan
beku. Di belakangnya, sekolah Ben High terbakar oleh lampu darurat dan
tangisan. Dan di udara, sirene masih melolong — panjang, menusuk, seolah kota
itu menjerit bersama mereka.
Lampu neon di langit-langit
mendengung pelan, seperti suara lebah yang terjebak di dalam toples kaca.
Cahayanya putih, dingin, tak bersahabat. Dinding ruangan berwarna abu-abu
pucat; catnya mulai mengelupas di beberapa sisi, meninggalkan bekas lembap seperti
peta yang tak ingin dibaca siapa pun.
Suara tetesan air dari pendingin
udara terdengar di sudut ruangan — tik… tik… tik… — membentuk ritme yang
konstan, tak pernah berhenti. Di tengah ruangan, ada meja besi dengan dua kursi
berhadapan. Satu diisi oleh Detektif Harold McLean, pria berusia lima puluh-an,
wajahnya keras dan letih, jari-jarinya mengetuk meja tanpa sadar. Di seberangnya
duduk Robert.
Anak itu masih mengenakan pakaian saat
tragedi itu berlangsung — kaos putih dengan jaket abu-abu, noda darah di bagian
lengan, dan wajah tanpa ekspresi. Tangannya diborgol, namun ia duduk tenang,
matanya menatap kosong pada titik di dinding yang entah apa. Tidak kejam. Tidak
menyesal. Hanya… hampa.
Detektif McLean membuka map berisi
foto-foto dari lokasi kejadian. Ia menatapnya sejenak, lalu menutupnya
perlahan.
“Kenapa kau melakukannya, Robert?”
Tak ada jawaban. Hanya suara napas
mesin pendingin yang berat, dan tetesan air yang terus jatuh.
Detektif mencondongkan tubuh. “Tiga
temanmu tewas. Dua lainnya sekarat. Seorang guru tak akan bisa berjalan lagi
seumur hidup. Jadi aku tanya lagi—kenapa?”
Robert menatapnya pelan. Di
matanya, ada sesuatu yang samar—bukan kesedihan, bukan kemarahan, tapi seperti
bayangan lama yang baru saja menampakkan diri. Ia mengedip sekali, dan dunia
seolah meluruh.
Kilas balik.
Rumah itu bergetar oleh suara
hujan. Tahun 2008. Malam pekat, jam menunjukkan hampir tengah malam. Robert
kecil, usia 14 tahun, terbangun dari kamarnya di lantai dua, dengan selimut
tipis di bahunya. Televisi di ruang tamu masih menyala tanpa suara. Ia menatap
ke bawah, mendengar suara aneh dari kamar ibunya.
Suara desah samar dan bunyi tempat
tidur berderit.
Robert menelan ludah. Ia berjalan
mendekat, berhenti di depan pintu yang sedikit terbuka. Dari celah itu, ia
melihat punggung seorang pria — bukan ayahnya — dan ibunya yang sedang
terengah-engah. Cahaya lampu meja menyoroti kulit mereka, membuat semuanya
terlihat seperti mimpi yang tak pantas untuk ditonton anak seusianya.
Pintu mendadak terbuka lebar. Didorong
ayahnya yang tiba-tiba muncul di samping robert, wajah merah padam, napas
memburu.
“APA INI?!”
Jeritan itu memecah malam. Pria
bernama Eric buru-buru menarik celananya, melompat lewat jendela samping.
Ibunya menjerit, menarik selimut menutupi tubuhnya. Robert membeku di tempat,
tangannya gemetar.
Ayahnya menoleh padanya — tatapan
itu tajam, penuh rasa malu dan kebencian yang bercampur.
“Masuk ke kamarmu!”
Robert tidak bergerak. Ia hanya
memandangi ibunya yang menangis. Ayahnya mendekat, menampar wajahnya keras.
“Kau dengar, hah?! Masuk ke kamar!”
Ia berlari menaiki tangga. Tapi
dari atas, ia masih bisa mendengar suara pertengkaran yang makin brutal —
piring pecah, jeritan, suara pintu dibanting keras.
Lalu hening.
Hanya hujan yang menetes di luar
jendela.
Pagi harinya, ibu pergi. Kamar
berantakan. Tak ada surat. Tak ada pesan.
Beberapa minggu setelah itu,
ayahnya jarang pulang. Kadang muncul tengah malam dalam keadaan mabuk, membawa
bau alkohol yang menusuk. Di tangan kirinya selalu ada botol bir, di tangan
kanan — sabuk kulit.
Suatu malam, Robert memecahkan
gelas ketika sedang mencuci piring. Pecahan kaca kecil melukai jarinya, darah
menetes ke lantai. Ayahnya datang dengan langkah berat.
“Apa ini?”
“Maaf, aku—”
“Kau pikir uang jatuh dari langit,
hah?”
Tangan besar itu menampar pipinya.
Sekali, dua kali. Robert terhuyung.
“Kau mirip ibumu,” kata sang ayah
dengan suara serak. “Lemah. Pengecut.”
Malam itu, Robert menangis
diam-diam di kamar. Ia menatap langit-langit yang retak dan berpikir betapa
sunyinya dunia ini ketika orang yang seharusnya melindungi justru jadi monster
dalam bayangan lampu malam.
Suara detektif menariknya kembali
ke masa kini.
“Kau tahu apa yang kau lakukan itu
salah, kan?”
Robert masih menatap titik di
dinding. Tangannya yang diborgol sedikit bergerak — tidak untuk melawan, tapi
seperti ingin mengingat sesuatu yang dulu pernah ia genggam: mungkin tangan
ibunya.
“Mereka bilang kau pendiam di
sekolah,” lanjut detektif. “Tidak pernah bikin masalah. Tidak ada catatan
buruk. Lalu kenapa hari itu kau bawa senjata dan menembak teman-temanmu
sendiri?”
Robert menunduk. Suaranya pelan,
hampir seperti gumaman yang terbang bersama dengung lampu.
“Karena mereka tidak tahu.”
Detektif mengernyit. “Tidak tahu
apa?”
Robert mengangkat kepalanya
perlahan. Untuk pertama kalinya, matanya berisi sesuatu — campuran getir antara
kesadaran dan kehancuran.
“Tidak tahu rasanya jadi aku.”
Keheningan panjang. McLean
menatapnya, mencari sedikit penyesalan, tapi yang ia temukan hanya kelelahan.
Seolah anak itu telah menghabiskan seluruh tenaganya hanya untuk duduk di kursi
itu, menghadapi pertanyaan yang sudah tak berarti.
Robert menatap langit-langit.
Cahaya putih lampu neon membuat wajahnya tampak pucat seperti kapur. Dalam
pantulan cahaya di matanya, ada bayangan masa kecil yang jauh — ruang tamu
berantakan, hujan, ayah yang berteriak, ibu yang pergi.
“Aku tidak pernah ingin jadi
seperti mereka,” katanya lirih. “Tapi mereka terus membuatku seperti ini.”
Kata-kata itu jatuh pelan, tapi
menusuk.
McLean menatap anak itu lama,
kemudian menutup map di hadapannya. Ia mematikan perekam suara, berdiri tanpa
berkata apa pun.
Suara pintu besi berderit saat ia
keluar. Robert tetap duduk. Tetap menatap dinding kosong.
Lampu di atas kepalanya terus
berdengung. Tetesan air masih jatuh perlahan dari AC.
Dan di luar ruangan itu, dunia berjalan seperti biasa — tak menyadari betapa
sunyinya kepala seorang anak yang baru saja menghancurkan segalanya hanya untuk
membuat dunia mendengarnya sekali saja.
6 Bulan sebelum tragedi.
Langit Omaha tampak seperti lembar
kertas abu-abu kusam pagi itu. Embun menempel di kaca jendela kelas seni,
memburamkan dunia di luar. Di dalam ruangan, aroma cat air dan debu pensil
bercampur dengan bau kertas basah. Suara gesekan arang di atas kertas terdengar
lembut, hampir seperti bisikan.
Robert duduk di pojok ruangan, di
meja paling dekat dengan dinding. Ia menggambar sesuatu—bukan wajah, bukan
pemandangan, tapi bentuk-bentuk abstrak seperti pusaran angin. Sesuatu yang
hanya bisa dipahami oleh orang yang terlalu sering tenggelam dalam pikirannya
sendiri.
Guru seni, Mrs. Harper, sedang
berjalan memeriksa hasil kerja siswa. Ketika ia berhenti di meja Claire Hudson,
semua mata menoleh. Claire dikenal hampir semua orang: rambut pirang keemasan,
kacamata hitam tipis, cara bicara yang lembut tapi tegas. Ia bukan tipe gadis
populer yang sombong—lebih seperti seseorang yang tulus, namun tak sadar betapa
terang cahayanya di ruangan yang kusam.
Pensil Robert terjatuh ke lantai
dan berguling ke bawah meja Claire. Ia berjongkok pelan hendak mengambil, tapi
lebih dulu tangan lain menyentuh pensil itu. Claire menunduk, tersenyum kecil
sambil menyerahkan benda itu.
“Ini punyamu, kan?”
Robert hanya mengangguk, jantungnya
berdetak cepat entah kenapa.
“Terima kasih,” ucapnya pelan.
Claire tersenyum. “Sama-sama.”
Itu saja.
Tapi bagi Robert, itu seperti
seseorang menyalakan lampu kecil di ruang gelap yang selama ini ia tempati
sendirian.
Untuk pertama kalinya setelah
bertahun-tahun, sudut bibirnya sedikit terangkat.
Travis Nichols, yang duduk di sisi
lain ruangan, memperhatikan semuanya. Kapten tim basket, rambutnya dipotong
rapi, senyum sok ramah yang sering membuat para guru percaya ia “anak baik.”
Tapi di baliknya, Travis terbiasa mengatur siapa boleh dekat dengan siapa, dan
siapa “sampah.”
Ia melihat cara Robert menatap
Claire. Ia tidak suka. Ia bersiul pelan ke arah teman-temannya — Jake dan Derek
— lalu menirukan gaya Robert dengan wajah dibuat kikuk.
“Hei Claire,” katanya dengan nada
melambai, meniru suara lembut Robert. “Mau ikut dengar lagu sedihku sambil
gambar pusaran hitam?”
Tawa kecil terdengar dari pojok
kelas. Robert menunduk, wajahnya memanas. Claire menatap Travis kesal, tapi
tidak berkata apa-apa.
Hari-hari berikutnya, ejekan kecil
itu tumbuh seperti jamur di musim hujan. Di kantin, di lorong, di lapangan.
“Si penyendiri naksir Claire!”
“Lihat, Romeo versi gagal!”
Kadang Robert mencoba tidak peduli,
menatap lantai, berjalan cepat. Tapi suara mereka terus mengikuti, seperti gema
di kepala yang tidak bisa dimatikan.
Benjamin—satu-satunya teman yang ia
punya—sering menemaninya duduk di bawah pohon dekat lapangan, makan siang
sambil membaca buku komik. Benjamin bukan anak yang populer juga, tapi punya
keberanian sederhana yang kadang jadi pelindung bagi Robert.
Suatu sore, ketika Travis dan
gengnya lewat sambil tertawa, Benjamin berdiri.
“Kalian nggak capek ngelakuin itu
terus?” katanya lantang.
Travis menatapnya dengan senyum
miring.
“Capek? Belum, Ben. Masih seru.”
Jake mendorong bahu Benjamin
ringan—cukup membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Derek merekam adegan
itu dengan ponsel lipat kecil, merekam wajah Robert yang menunduk dan Benjamin
yang berusaha menahan marah.
“Lihat kamera dong, Freak!” seru
Jake. “Katakan: Aku cinta Claire, tapi Claire cinta Travis!”
Tawa mereka pecah.
Benjamin menarik tangan Robert dan
pergi. Robert tak berkata apa-apa sepanjang jalan pulang, hanya mengepalkan
tangan di dalam saku.
Malamnya, Benjamin mengirim pesan
lewat SMS pendek:
“Udah, Rob. Mereka nggak pantas
kamu pikirin. Fokus aja ke gambar atau musikmu.”
Robert menatap layar ponselnya
lama, lalu meletakkannya di meja. Musik, ya…
Satu-satunya hal yang bisa menenangkan pikirannya.
Ia menekan tombol on/off di PC,
menancapkan headset yang kabelnya terkelupas. Layar monitor menampilkan
MySpace—dunia virtual tempat ia sering mendengarkan lagu-lagu indie atau
berbagi karya sketsa digital. Lagu “Pumped Up Kicks” dari Foster The People
baru saja viral tahun itu; iramanya ringan, tapi liriknya gelap—tentang anak
yang menyimpan sesuatu berbahaya di kepalanya.
Robert mendengarkannya berulang
kali. Entah kenapa, ada bagian yang terasa terlalu dekat:
“All the other kids with the pumped
up kicks, you’d better run, better run, outrun my gun…”
Ia tidak berpikir untuk menyakiti
siapa pun. Tidak saat itu. Tapi kalimat itu menempel di pikirannya, seperti
bekas luka yang belum sembuh.
Keesokan harinya di sekolah, semua
orang menatap Robert. Bisik-bisik di lorong, senyum sinis. Ia tahu sesuatu
terjadi sebelum seseorang bahkan memberitahunya.
Di dinding loker ada tulisan
spidol:
“THE FREAK LOVES CLAIRE.”
Benjamin berusaha membersihkannya,
tapi terlalu banyak coretan.
Sore itu, saat Robert sampai rumah,
ia membuka MySpace seperti biasa. Di halaman depan, ada tautan baru dari akun anonim:
benhighfunnyvids. Judul videonya: “Si Freak dari Ben High.”
Klik.
Layar menampilkan video pendek: cuplikan dari kelas, rekaman saat Benjamin
berteriak dan Robert menunduk. Potongan suaranya dibuat ulang, diedit dengan
efek tawa latar, dan teks besar di bawahnya bertuliskan:
“FREAK IN LOVE.”
Komentar di bawahnya ratusan.
“Kasihan banget, suruh dia cari
pacar di bawah meja aja.”
“Dia kayak psycho!”
“Claire better watch out!”
Robert membaca semuanya satu per
satu. Tidak ada amarah di wajahnya, hanya kesunyian. Matanya kosong seperti
saat menatap jendela ketika kecil dulu, mendengar pertengkaran orang tuanya.
Benjamin menelepon malam itu, tapi
Robert tidak menjawab. Ia duduk di depan layar komputer, hanya mendengarkan
suara kipas CPU yang berputar pelan. Cahaya monitor memantul di wajahnya yang
pucat.
Sebuah lagu kembali berputar
otomatis—Pumped Up Kicks.
Ketika bagian reff mengalun lagi,
Robert menatap layar yang dipenuhi hinaan, lalu berbisik pelan,
“Mereka benar… aku memang aneh.”
Ia mematikan monitor. Kamar menjadi
gelap. Dari luar, suara truk melintas di jalan beku.
Dari dalam, hanya ada napas tertahan yang lama… dan keheningan yang perlahan
berubah jadi dingin.
Lampu kamar padam.
Rumah di ujung blok itu seperti
tubuh tua yang sudah kehilangan napasnya. Cat dinding mengelupas, atap bocor,
dan suara tikus kadang terdengar dari loteng. Tapi yang paling memekakkan bukan
suara dari atas rumah — melainkan dari dalamnya sendiri.
Suara botol kaca yang dibanting. Suara
langkah kaki berat. Dan teriakan nama yang tak lagi dijawab.
“Linda! Di mana kau, hah?!”
Suara itu menggelegar di ruang
tamu. Lelaki setengah baya dengan kemeja lusuh berdiri terpaku di depan
televisi yang sudah tak pernah menyala sejak musim panas lalu. Wajahnya merah,
mata buram oleh alkohol. Tangannya gemetar memegang botol whisky yang tinggal
setengah.
Di dapur, Robert mematung. Ia sudah
menyiapkan makan malam sederhana — macaroni keju instan dan sedikit salad —
sesuatu yang ia pikir cukup hangat untuk menenangkan ayahnya malam ini. Tapi
begitu ia menaruh piring di meja, suara keras itu datang lagi.
“Apa ini, hah? Kau pikir kau bisa
memperbaiki ini dengan makanan murahan?”
Robert menunduk, menahan napas.
Piring itu melayang — pecah di
lantai.
Cipratan saus oranye menodai lantai
dan celana panjangnya. Suara itu menggema dalam kepalanya lebih lama dari
seharusnya. Tak ada yang berkata apa-apa setelah itu. Hanya bunyi tetesan air
dari kran rusak dan desahan napas berat ayahnya yang mencoba membuka botol
lagi.
Robert perlahan memunguti pecahan
piring satu per satu. Jemarinya berdarah karena serpihan kecil. Tapi ia tetap
melanjutkan — tenang, seolah sudah terbiasa.
Di luar jendela, cahaya lampu jalan
masuk tipis ke ruang tamu. Di bawah sinar itu, wajah ayahnya tampak seperti
bayangan seseorang yang tak lagi punya bentuk manusia — hanya kebencian yang
tersisa.
Dan Robert, di sisi lain ruangan, berdiri tanpa kata. Ia tahu, apapun yang ia
ucapkan hanya akan memperpanjang malam.
Beberapa hari kemudian, Benjamin
datang. Teman satu-satunya yang masih berani mampir ke rumah itu.
Ia duduk di tangga depan dengan
sekotak CD dan dua kaleng soda.
“Bro, aku dapat CD baru — My
Chemical Romance. Dengerin, lagunya keren banget.”
Robert hanya mengangguk. Ia mengambil satu kaleng soda, menatapnya sebentar
sebelum membuka.
“Teenagers, ya?”
Ben tertawa. “Kau tahu, liriknya
agak mirip kau, Rob. Tentang dunia yang nggak ngerti remaja seperti kita.”
Robert tersenyum kecil. Hanya
sedikit, tapi itu sudah langka. Mereka berdua duduk lama di tangga itu. Udara
sore terasa lembap, bau asap rokok dari tetangga bercampur dengan tanah basah.
“Bagaimana sekolah?” tanya Ben.
“Biasa,” jawab Robert singkat.
“Travis masih nyusahin?” Robert
diam. Ia mengangkat bahu.
“Aku nggak peduli lagi.”
Ben menatapnya lama.
“Kau masih suka Claire?”
Robert menatap langit, tidak
menjawab seketika. “Mungkin. Tapi dia tak akan pernah melihatku.”
Suaranya datar, tapi di baliknya ada sesuatu yang rapuh — seperti kaca tipis
yang retak pelan.
Malamnya, Robert duduk di kamarnya
yang hanya diterangi lampu meja kecil. Di atas meja, tumpukan CD, beberapa
coretan lagu, dan potongan kertas dengan lirik yang ia coba tulis sendiri.
Ia menyalakan komputer tua yang berdengung pelan. Layarnya bergetar menampilkan
halaman MySpace.
Di pojok, playlist-nya berisi lagu-lagu yang hanya ia dengarkan seorang diri — The
Kill, Welcome to the Black Parade, Smells Like Teen Spirit. Setiap
lagu terdengar seperti jeritan dalam dirinya yang tak bisa keluar lewat kata.
Di bawah meja, seekor kecoak
melintas. Ia tak peduli. Kepalanya berat, tapi musik membuatnya tetap sadar —
seolah setiap nada bisa menahan dirinya untuk tidak meledak.
Ia memejamkan mata, membayangkan
dunia lain di mana tak ada teriakan, tak ada ejekan, tak ada rumah yang berbau
alkohol.
Namun suara itu kembali memecah
keheningan.
“ROBERT!”
Ia berlari kecil ke ruang tamu.
Ayahnya berdiri dengan botol di tangan, wajah merah padam.
“Kau pikir aku tak tahu apa yang kau dengarkan? Lagu-lagu setan itu!” Robert
tidak menjawab. Ia hanya berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat.
“Lihat kau sekarang — seperti
ibumu! Lemah, pengecut!”
Kata-kata itu seperti pisau dingin
yang menembus langsung ke dada. Robert memandang ayahnya lama — untuk pertama
kalinya tanpa ketakutan, hanya dingin.
“Dia pergi karena kau,” bisiknya,
hampir tak terdengar.
Ayahnya membeku sejenak, lalu
mendorong Robert hingga jatuh menabrak dinding.
Suara keras, kaca foto pecah — foto lama keluarga, diambil sebelum segalanya
runtuh.
Wajah ibunya tersenyum dari balik pecahan itu.
Robert menatapnya lama. Sesuatu di
dalam dirinya perlahan padam.
Keesokan harinya, Ben datang lagi.
Tapi Robert tak keluar dari kamarnya. Pintu terkunci, tirai tertutup rapat. Ben
mengetuk.
“Hei, Rob, aku bawa komik baru!”
Tak ada jawaban.
Di dalam, Robert menatap
bayangannya di cermin. Bibirnya kering, mata bengkak karena kurang tidur. Ia
menyentuh pipinya — masih ada bekas luka kecil di dekat rahang. Ia menatap
dirinya lama, seperti sedang melihat seseorang yang asing.
Musik dari Teenagers diputar
pelan dari speaker. “When the teenagers scare the living shit out of me…”
Ia tersenyum tipis. Ada sarkasme di sana, tapi juga semacam kenyataan pahit
yang ia terima begitu saja. Suara dari luar kamar terdengar lagi — ayahnya
berteriak memanggil nama ibunya, Linda, di antara isak mabuk. Robert menatap
langit-langit.
“Kapan ini berhenti,” gumamnya.
Suatu malam, listrik rumah padam.
Hujan turun deras, menetes dari atap bocor.
Robert menyalakan lilin, duduk sendirian di ruang tamu. Di luar, gemuruh petir
menyambar.
Ayahnya tertidur di sofa dengan botol di tangan.
Robert menatapnya lama — lama
sekali.
Wajah itu kini tampak rapuh, namun
tetap penuh kebencian bahkan saat terlelap.
Robert berpikir, mungkin ayahnya takkan pernah berubah. Dan mungkin, ia sendiri
juga sedang berubah — ke arah yang ia tak mengerti.
Lilin di meja perlahan mengecil,
cahaya memantul di mata Robert yang kosong.
Ia mengambil potongan kaca dari bingkai foto yang dulu pecah, menatap pantulan
dirinya di sana.
“Lihat kau,” bisiknya, suaranya pelan dan dingin. “Kau bahkan mulai mirip dia.”
Lilin padam.
Hujan masih turun.
Rumah itu kembali gelap, seperti
hati seseorang yang perlahan kehilangan bentuknya.
Lorong itu selalu dingin.
Cat dindingnya memudar, lampu neon
berkelip, dan di ujungnya, poster kegiatan sekolah tertempel setengah lepas.
Bau susu asam dan pembersih lantai bercampur, membentuk aroma yang hanya
dimiliki tempat-tempat di mana tawa sering berubah jadi ejekan.
Robert berjalan perlahan melewati
deretan loker. Langkahnya tenang, tapi matanya gelap — menatap lantai seperti
sedang menghitung retakan ubin satu per satu. Ia ingin segera keluar dari sini,
menyeberang halaman, lalu duduk di belakang perpustakaan tempat dunia sedikit
lebih sunyi.
Namun, tiga sosok sudah menunggunya
di ujung lorong.
Travis, dengan kaos lengan
panjangnya yang digulung sampai siku dan senyum yang tidak pernah berarti baik.
Dua kawannya, Derek dan Jake, berdiri di samping loker seperti penjaga gerbang
neraka kecil.
Mereka sudah melihat Robert sejak jam makan siang.
Travis melipat tangannya. “Hei, si
jenius. Ke mana buru-buru? Claire lagi nunggu kamu?”
Robert berhenti. Tidak menatap. Tidak menjawab.
Travis melangkah mendekat, menepuk
bahunya dengan cara yang pura-pura bersahabat.
“Kau tahu, kadang aku heran... kenapa orang seperti kau masih datang ke sekolah
ini? Tak ada yang suka kau, Bro.”
Robert menelan ludah. Suaranya
nyaris tak terdengar. “Aku cuma ingin lewat.”
Travis tertawa pelan, nada rendah tapi tajam. “Lewat, ya? Lewat aja udah salah
di sini, freak.”
Seketika, Jake membuka kotak makan
siangnya — segelas susu cair dingin — dan tanpa aba-aba menumpahkannya ke baju
Robert. Susu itu mengalir di kerah dan dadanya, dingin, lengket.
Mereka tertawa. Tawa yang bukan manusiawi — tawa yang membuat udara di lorong
itu ikut menyesak.
Robert berdiri diam. Air menetes
dari dagunya ke lantai. Ia tidak bereaksi.
Itu yang paling mereka benci — wajah tanpa ekspresi, seolah tak bisa disentuh.
“Lihat, dia bahkan nggak marah!”
seru Travis sambil menendang kotak susu yang tergeletak.
Derek mendekat. “Atau mungkin dia udah gila, Trav.”
Tiba-tiba, langkah kaki lain
terdengar dari arah tangga. Benjamin datang. Nafasnya sedikit tersengal,
membawa buku di tangan.
“Cukup, Travis! Sudah.”
Suara Ben keras, tapi terdengar
gemetar.
Travis menoleh perlahan.
“Wah, pahlawan datang menyelamatkan
freak-nya!”
Ia mendorong Ben ke dinding.
Buku-buku jatuh berserakan di lantai. Ben mencoba menepis, tapi pukulan pertama
sudah mendarat di pipinya.
Dentum kecil, lalu darah dari sudut
bibir.
“BERHENTI!” teriak Robert akhirnya.
Tapi itu justru membuat tawa mereka
makin keras.
“Lihat, si diam akhirnya bicara!”
Robert melangkah maju, mendorong
Travis dengan bahu. Tapi tubuhnya lebih kecil, lebih ringan. Sekali dorong
balik, ia jatuh ke lantai basah. Kepalanya hampir membentur loker.
Mereka pergi setelah puas —
meninggalkan tawa dan bau susu basi. Lorong kembali sunyi, hanya tersisa napas
dua remaja yang terengah.
Ben duduk di lantai, memegangi
pipinya.
“Kau... nggak apa?” katanya pelan.
Robert tidak menjawab. Ia hanya
menatap titik kosong di lantai, di mana tetesan susu bercampur dengan darah
Ben. Warnanya aneh — seperti simbol yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang
pernah terluka dan diam terlalu lama.
Sepuluh menit kemudian, langkah
sepatu terdengar mendekat. Guru olahraga, Mr. Davis, muncul di ujung lorong. Matanya
menyapu tempat itu, melihat noda susu, darah di lantai, dan dua siswa yang
masih duduk terdiam. Ia berhenti beberapa detik, lalu melanjutkan langkah —
berpura-pura tidak melihat apa-apa.
Tidak satu kata pun keluar darinya.
Robert menatapnya pergi. Ada
sesuatu di dalam dadanya yang bergetar pelan — bukan marah, bukan takut, tapi
kesadaran dingin: dunia memilih diam.
Keesokan paginya, Robert dipanggil
ke ruang kepala sekolah. Ruang itu wangi parfum murah dan penuh sertifikat
penghargaan. Kepala sekolah, Mr. Grayson, duduk di balik meja dengan ekspresi
formal seperti sedang membaca laporan keuangan.
“Robert,” katanya tanpa menatap.
“Beberapa guru mengkhawatirkan perilakumu belakangan ini. Kau sering sendirian.
Tidak mudah bergaul.”
Robert menatap karpet di bawah
kursinya. “Saya tidak melakukan apa-apa, Pak.”
Grayson mendesah, membuka berkas.
“Justru itu masalahnya. Kau terlihat... provokatif. Seolah menantang orang
lain.”
“Provokatif?
“Kau tahu, remaja lain bisa salah paham kalau kau terus bertingkah seperti
itu.”
Kata-kata itu menggantung seperti
pisau tumpul — tak menembus kulit, tapi meninggalkan nyeri dalam.
Robert mencoba bicara, tapi tenggorokannya kering.
“Travis—”
“Sudah, Robert. Kami tidak bicara soal siswa lain.”
Nada Grayson berubah menjadi dingin
dan administratif.
“Aku ingin kau menulis esai tentang
‘bagaimana menjadi bagian dari komunitas’. Itu bisa membantu memperbaiki
citramu.”
Citra.
Kata itu menggema dalam kepala Robert, memantul di ruang kosong di dadanya.
Ia mengangguk perlahan, berdiri,
lalu keluar tanpa bicara lagi. Pintu menutup di belakangnya — dan di saat itu,
sesuatu di dalam dirinya juga menutup.
Di toilet sekolah, ia berdiri di
depan wastafel, menatap bayangannya di cermin.
Bajunya masih lembap, sedikit bau susu yang tak hilang. Ia menyalakan keran,
mencuci wajahnya, tapi airnya terasa seperti dingin logam.
“Provokatif,” gumamnya pelan.
Ia menatap matanya sendiri —
sepasang mata yang mulai kehilangan batas antara marah dan mati rasa.
“Jadi salahku, ya?”
Pintu toilet terbuka. Beberapa
siswa masuk, tertawa, bercanda, tanpa sadar ia ada di sana.
Robert diam saja. Mereka lewat seperti bayangan.
Setelah mereka pergi, ia
mengeluarkan sesuatu dari saku — CD lama dari Ben, yang sudah tergores di
tepinya.
Ia memegangnya erat, lalu
memejamkan mata. Musik, satu-satunya hal yang masih membuat dunia terasa
sedikit masuk akal. Tapi bahkan lagu-lagu itu kini mulai terdengar berbeda —
bukan lagi penghiburan, tapi gema dari sesuatu yang mendidih di bawah
permukaan.
Sore harinya, Robert dan Ben duduk
di halaman belakang sekolah. Ben masih memegang es batu di pipinya.
“Mereka nggak akan berhenti,”
katanya pelan.
Robert menatap jauh ke lapangan
yang kosong. “Aku tahu.”
“Lalu apa yang akan kita lakukan?”
Robert tidak menjawab. Hanya
tatapannya yang berubah — dingin, terfokus, seperti seseorang yang mulai
melihat dunia bukan sebagai tempat tinggal, tapi medan perang.
Malam itu, di rumah, suara hujan
turun tipis.
Robert duduk di meja kecilnya,
menulis sesuatu di kertas bekas:
“Ada dua jenis orang di dunia —
yang menyakiti, dan yang diam.”
Tangannya berhenti.
Lalu ia menulis lagi satu baris:
“Kadang diam itu juga dosa.”
Ia menatap kalimat itu lama sekali.
Lampu kamar bergetar pelan.
Di luar, petir menyambar, menyorot
wajahnya yang kini tak lagi sama — bukan anak yang takut, tapi seseorang yang
sedang belajar cara membalas.
Malam di Omaha turun seperti kabut
yang menutup pelan seluruh kota. Udara musim dingin merayap dari jendela yang
retak, menyusup ke dalam kamar kecil dengan cat dinding yang mulai mengelupas.
Di luar, lampu jalan berkelip, seperti mata yang menatap tanpa tidur.
Robert duduk di kursinya. Jam di
dinding menunjukkan pukul 23.47. Di meja, hanya ada segelas air dingin,
buku catatan lusuh, dan ponsel tua dengan layar pecah di ujungnya. Tangannya
gemetar kecil, bukan karena takut, tapi karena kesunyian yang terlalu panjang.
Ia membuka pesan singkat dan
mengetik perlahan:
“Ben… jangan datang ke sekolah
besok.”
Kursor berkedip.
Ia menatap kalimat itu lama sekali,
seolah menimbang apakah masih ada alasan untuk menghapusnya.
Tidak ada.
Pesan terkirim.
Tanda centang muncul.
Lalu sunyi lagi.
Beberapa menit kemudian, ponselnya
bergetar.
Ben: “Apa maksudmu? Kau baik-baik
saja?”
Robert menatap layar itu tanpa
menjawab.
Ponselnya bergetar lagi — panggilan
masuk. Ia menatap nama di layar, Benjamin, lalu menekan tombol diam.
Panggilan berhenti.
Suara detik jam terdengar makin
keras.
Dengan langkah kaki yang pelan ia
menuju kamar ayahnya, ia membuka lemari di sudut kamar. Pakaian tergantung
tidak rapi, sebagian masih berbau alkohol dan asap rokok. Di rak paling bawah,
di balik tumpukan koran lama, ia menemukan kotak kayu yang sudah berdebu.
Ia tahu kotak itu — milik ayahnya.
Gesper logam di kotak berkarat.
Butuh dua kali tarikan untuk membukanya.
Di dalamnya, lapisan kain flanel abu-abu membungkus sesuatu yang dingin, berat,
dan berkilau samar di bawah cahaya lampu.
Tangannya menyentuh logam itu
perlahan, seperti menyentuh sesuatu yang hidup.
Ia tidak tersenyum. Tidak juga takut.
Hanya menatap — lama, penuh rasa
pasrah yang aneh.
Ia menaruh benda itu di atas meja,
tepat di samping foto ibunya. Dalam foto itu, wanita berambut pirang muda
sedang tersenyum di taman, memeluknya yang masih kecil. Senyumnya hangat, tapi
matanya tidak menatap kamera; seolah sedang melihat ke tempat lain.
Robert duduk.
Ia menatap foto itu.
“Kenapa kau pergi?” tanyanya lirih,
nyaris tanpa suara.
Tidak ada jawaban.
Hanya bunyi mesin pemanas tua yang
berdengung di sudut ruangan.
Ia mengambil buku catatannya —
halaman terakhir yang penuh coretan. Tulisan-tulisan itu campur aduk: potongan
lagu, kalimat tak selesai, dan satu paragraf yang digaris tebal:
“Kadang, satu-satunya cara membuat
dunia mendengar adalah dengan bunyi yang tak bisa mereka abaikan.”
Ia membaca kalimat itu beberapa
kali. Tidak ada kebencian di wajahnya. Tidak ada amarah besar.
Hanya ketenangan yang aneh — seperti seseorang yang sudah berdamai dengan
keputusan paling gelap dalam hidupnya.
Di pojok meja, ponselnya masih
menyala. Lagu yang pernah disarankan Ben, “Pumped Up Kicks,” ada di playlist
lama.
Ia menekan play.
Nada pertama terdengar — ringan,
ritmis, nyaris ceria.
Ironis.
Suara vokalnya bergema pelan di kamar kecil itu:
“All the other kids with the pumped
up kicks…”
Robert menutup mata.
Nada-nada itu seperti ironi yang
menertawakan dirinya.
Ia membiarkan lagu itu terus
berjalan, sementara pikirannya perlahan hanyut.
Sekitar pukul 01.00, ayahnya pulang.
Suara langkah kaki berat terdengar
dari ruang depan, diikuti bunyi botol jatuh.
Robert mematikan musik, menatap pintu kamar.
“ROBERT!” suara ayahnya serak,
mabuk. “Kau masih bangun?”
Robert diam.
Pintu diketuk keras, dua kali.
“Kau dengar aku, hah?”
Robert berdiri, mendekati pintu. Ia
tidak membukanya. Dari luar, suara ayahnya melemah, berubah menjadi gumaman tak
jelas.
Lalu hening.
Robert menempelkan dahinya ke
pintu, mendengarkan napas berat itu hingga perlahan menghilang.
Ada saat-saat di mana ia masih berharap semuanya bisa diperbaiki. Tapi malam
ini bukan salah satunya.
Pagi datang lambat.
Udara terlalu dingin untuk bulan
Maret. Robert berpakaian rapi: kaos putih, jaket abu-abu, celana jeans hitam,
sepatu yang sedikit rusak di ujungnya. Ia memasukkan buku catatan, sebotol air,
dan sesuatu yang berat ke dalam ransel. Menutup ritsleting perlahan, seperti
ritual yang harus dilakukan dengan tenang.
Sebelum keluar kamar, ia menatap
dirinya di cermin. Bayangan yang kembali menatap bukan lagi remaja. Ada sesuatu
yang mati di matanya — tapi juga sesuatu yang baru, dingin, stabil.
Ia mengambil foto ibunya dari meja.
Menyelipkannya ke saku jaket.
“Setidaknya kau akan bersamaku hari ini,” bisiknya.
Langkahnya di koridor rumah nyaris
tak bersuara. Ayahnya masih tertidur di sofa, televisi menyala tanpa suara. Robert
berhenti sebentar, menatap sosok itu dari jauh. Dalam cahaya samar, wajah
ayahnya tampak tua, kalah oleh hidup. Untuk sesaat, Robert hampir ingin
membangunkannya.
Tapi tidak.
Ia melangkah keluar, menutup pintu
perlahan. Udara luar menampar wajahnya. Lampu jalan di depan rumah tampak
seperti titik cahaya yang terperangkap.
Ia berjalan menyusuri trotoar.
Tasnya terasa berat, tapi langkahnya ringan. Setiap derap sepatunya terdengar
jelas di jalan yang sepi.
Beberapa burung melintas di atas. Mobil-mobil
melaju pelan; dunia masih seperti biasa. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang
curiga.
Di kejauhan, gedung Omaha Ben High
mulai terlihat — siluet kelabu dengan bendera Amerika yang menggantung lesu di
tiang depan. Angin bertiup, membuat kain itu berkibar setengah hati.
Robert berhenti di seberang jalan. Ia
menatap gedung itu lama sekali. Sebuah sekolah yang sama seperti kemarin — tapi
tidak akan sama setelah hari ini.
Ponselnya bergetar lagi.
Pesan dari Benjamin.
“Kau di mana? Aku serius, Robert.
Jawab aku.”
Ia membaca pesan itu.
Lalu menekan tombol off.
Layar ponsel mati.
Robert memasukkan ponsel ke
sakunya, lalu melanjutkan langkahnya melewati gerbang sekolah.
Tidak ada amarah di wajahnya, hanya tatapan kosong yang sulit ditebak: antara
tenang dan kehilangan arah.
Suara bel pertama terdengar dari
kejauhan — denting panjang yang menandai dimulainya hari pelajaran baru.
Semuanya tampak biasa.
Ia membuka pintu utama sekolah. Udara
hangat dari dalam menyambutnya. Lorong yang pernah jadi tempat penghinaan, tawa
ejekan, dan diam panjang — kini terasa seperti panggung terakhir yang
menunggunya.
Robert menarik napas panjang. Tangannya
perlahan meraih saku jaket.
Ia melangkah ke dalam, melewati suara langkah-langkah siswa lain yang belum
sadar akan apa yang akan terjadi.
Lalu — dari kejauhan, suara pertama
terdengar.
Letupan pendek, memantul di dinding
lorong sekolah.
Satu. Dua.
Teriakan pertama pecah di lorong sekolah.
September 2011
Televisi menyala di ruang tamu
rumah keluarga Hudson. Gambar berganti cepat—sirine polisi, garis kuning
membentang di depan gedung sekolah, wajah-wajah murid berlari ketakutan. Di
pojok layar, tulisan putih bergetar: “Penembakan di Omaha Ben High School
menewaskan tiga orang, dua lainnya kritis, pelaku adalah …”
Benjamin tak bergeming. Matanya
merah, ponsel di tangan bergetar karena panggilan yang tak berani ia jawab. Di
layar, foto Robert muncul—foto buku tahunan junior high school yang dulu mereka
ambil bersama. Senyum kaku, rambut berantakan, tatapan kosong yang kini jadi
wajah “pelaku tragedi.”
Reporter perempuan berbicara cepat:
“Robert Miller, 17 tahun, ditangkap
di lokasi kejadian setelah menyerahkan diri tanpa perlawanan…”
Benjamin menatap layar itu lama.
Dadanya sesak. Ia teringat pesan singkat semalam — “Besok… jangan datang ke
sekolah.”
Waktu itu ia kira Robert hanya
ingin bolos.
Di luar, hujan turun pelan. Aroma
tanah basah bercampur dengan bau asap dari sisa lilin-lilin memorial di depan
sekolah. Anak-anak menaruh bunga, boneka, dan surat-surat pendek di pagar
kawat. Seseorang menulis dengan spidol hitam:
“Kami seharusnya mendengarmu, Rob.”
Ayah Robert duduk di ruang tamu
yang berantakan. Botol bir kosong berjejer di meja. Televisi menyiarkan berita
yang sama, berulang-ulang, tapi ia hanya menatap kosong ke layar.
Ketika foto anaknya muncul, sesuatu di wajahnya retak. Tangannya yang kasar
bergetar. Ia berbisik pelan, hampir tak terdengar:
“Apa yang sudah kau lakukan, Rob…”
Ia mematikan televisi, tapi
pantulan layar hitam memperlihatkan wajahnya sendiri—mata merah, kulit pucat,
dan bayangan anaknya di kursi seberang. Dalam mabuk samar itu, ia merasa Robert
masih duduk di sana, diam seperti dulu setiap kali piring melayang di meja
makan.
“Aku cuma ingin kita makan malam,”
katanya, tapi udara tidak menjawab.
Tangannya menekan wajahnya sendiri.
Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, pria itu menangis.
Penjara remaja di pinggiran kota
Omaha terasa dingin. Dinding putih pucat tanpa suara.
Robert duduk di kursi logam, tangan terikat borgol tipis. Baju abu-abu
menggantikan jaket abu-abu yang dulu ia kenakan. Di depan meja besi, seorang
wanita dengan clipboard memperhatikannya. Seorang konselor—usia empat puluhan,
suara lembut namun tegas.
“Robert,” katanya pelan. “Kau tahu
kenapa aku di sini?”
Robert tak menjawab. Matanya
menatap ke jendela kecil di atas tembok—garis langit abu-abu yang nyaris tak
terlihat.
Konselor menarik napas.
“Banyak orang yang ingin tahu…
kenapa kau melakukannya.”
Ia mengangguk pelan, menulis
sesuatu di catatannya. “Kau menyesal?”
Hening.
Suara jam berdetak di ruangan itu terasa sangat keras. Robert perlahan menoleh,
menatap mata wanita itu dengan tenang, tanpa amarah, tanpa tangis.
Ia hanya berkata pelan, datar,
seolah sedang menyebut fakta cuaca:
“Tidak.”
Wanita itu menatapnya lama, mencari
sisa empati, tapi yang ia temukan hanyalah kehampaan—ketenangan yang
menakutkan.
Malamnya, di sel kecil itu, Robert
berbaring menatap langit-langit. Dari jauh, ia mendengar suara televisi di
ruang penjaga—berita yang sama, wajahnya yang sama. Ia memejamkan mata. Dalam
pikirannya, musik itu kembali terdengar samar: All the other kids with the
pumped up kicks…
Ia tersenyum tipis. Entah kenapa,
lagu itu tak lagi terdengar seperti lagu yang ia sukai. Sekarang, hanya gema
kosong—sebuah lagu dari dunia yang telah hancur. Di pikirannya, ia melihat
Claire di ruang seni, tersenyum sambil memungut pensilnya. Cahaya sore di
wajahnya.
Dan untuk sesaat, sebelum tidur,
Robert ingin percaya bahwa semuanya belum terjadi. Bahwa besok masih ada
sekolah, Benjamin masih menunggunya di gerbang, dan hidup masih bisa
diperbaiki.
Tapi dunia sudah lewat dari titik itu.