Persidangan Penyihir di Wittlich



Wittlich, Jerman Barat 1586.

Kabut tipis turun lebih cepat malam itu, menyelimuti desa Wittlich seperti selimut basah yang berat. Udara Oktober menusuk kulit, membawa aroma tanah lembap dan sisa anggur yang gagal dipanen. Jalanan berbatu yang biasanya masih ramai oleh pedagang menjelang senja kini sudah sunyi. Pasar di alun-alun ditutup lebih awal; meja kayu yang biasanya penuh dengan buah apel dan roti kini kosong, hanya menyisakan jejak lumpur dan serpihan daun anggur yang menempel.

Di ujung jalan, seorang lelaki paruh baya menutup jendela tokonya dengan terburu-buru. “Cepat masuk!” serunya kepada anak kecil yang masih berlari-lari di depan pintu. Sang anak menurut, wajahnya tegang meski belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi. Lonceng gereja belum lagi berdentang, tapi hampir semua pintu rumah sudah tertutup rapat, seolah-olah suara itu hanya tinggal formalitas, tanda terakhir sebelum desa benar-benar membeku dalam ketakutan.

Bisikan rumor sudah menyebar sejak pagi: iblis berkeliaran di sekitar Wittlich. Ada yang bersumpah melihat bayangan hitam di tepi hutan. Ada pula yang mengatakan seekor anjing hitam dengan mata merah berdiri di samping gereja lalu lenyap begitu saja. Semakin sore, kisah-kisah itu berkembang menjadi keyakinan; orang-orang tak lagi berani menyebutnya hanya gosip.

“Setan sedang berjalan di antara kita,” begitu bisikan yang berulang kali terdengar di pasar tadi siang, lirih namun cukup keras untuk merambat dari telinga ke telinga, menyalakan ketakutan di hati setiap orang.

Di tengah kabut yang makin pekat, langkah pelan seorang perempuan terdengar di jalan berbatu. Greta Bauer, janda tua berambut abu-abu, berjalan pulang dengan keranjang kosong di lengannya. Bajunya lusuh, kain wol tipis yang warnanya sudah pudar, dan tangannya gemetar karena udara dingin. Setiap langkahnya meninggalkan bunyi “krek” yang terdengar begitu jelas dalam kesunyian.

Orang-orang yang masih berada di luar rumah langsung mempercepat langkah mereka. Seorang ibu muda buru-buru menarik anaknya menjauh ketika Greta lewat. Tatapan mereka menusuk, penuh curiga, seakan-akan sosok janda tua itu membawa sesuatu yang tak terlihat bersama dirinya. Greta menunduk, pura-pura tak melihat. Ia tahu tatapan itu; ia sudah sering merasakannya.

“Lihat matanya,” bisik seorang pemuda di sudut jalan kepada temannya. “Seperti mata kucing. Tanda orang yang berhubungan dengan iblis.”

“Diamlah,” jawab temannya cepat, menoleh ke kiri dan kanan dengan cemas. “Kalau kau bicara terlalu keras, orang bisa mengira kau membelanya.”

Greta terus berjalan, keranjang kosongnya berayun pelan. Ia sebenarnya hanya pergi ke pasar untuk mencari sedikit roti kering. Namun tak ada pedagang yang mau menjual padanya. Beberapa hanya melirik, lalu pura-pura sibuk, seolah-olah tidak melihatnya. Di dalam hati, Greta tahu bahwa lapar yang ia rasakan bukan hanya di perut, tapi juga di hatinya: lapar akan tatapan manusiawi, lapar akan rasa percaya dari tetangganya.

Di kejauhan, lonceng gereja mulai berdentang. Suaranya berat, dalam, memantul dari dinding batu rumah-rumah, menghantam udara yang dingin. Dong… dong… dong… Setiap dentang seperti pukulan ke dada, mengingatkan semua orang bahwa malam telah tiba, dan bersama malam datang pula ketakutan yang semakin mencekik.

Greta berhenti sebentar, menoleh ke arah menara gereja yang samar terlihat di balik kabut. Di puncaknya, salib besi menjulang, tapi bukannya memberi rasa aman, ia justru merasa salib itu seperti mata besar yang mengawasi, menuduhnya dari ketinggian.

Seorang pria keluar dari rumahnya hanya untuk menutup pintu gerbang kayu, dan ketika melihat Greta berdiri di jalan, ia cepat-cepat membuat tanda salib di dadanya. “Tuhan melindungi kami,” bisiknya, lalu menghilang ke dalam rumah.

Greta menarik napas panjang dan melanjutkan langkahnya. Jalan ke rumahnya melewati gang sempit di mana kabut terasa lebih pekat, dan bayangan tampak lebih panjang dari biasanya. Ia mendengar suara pintu berderit, lalu bisikan samar dari balik jendela.

“Itu dia… lihat, dia pulang sendirian lagi.”

“Katanya, semalam ada api biru di belakang ladangnya.”

“Aku mendengar sapi Hans mati mendadak. Kau tahu siapa yang terakhir kali lewat di dekat kandang?”
“Greta…”

Greta menelan ludah. Ia ingin berteriak bahwa semua itu bohong, bahwa ladangnya kosong, bahwa ia bahkan tidak punya kekuatan untuk menyalakan api biru atau merah sekalipun. Tapi ia tahu percuma. Sekali orang-orang percaya pada sesuatu, kebenaran tak lagi penting.

Langkahnya makin cepat. Dalam hatinya, ia mengulang doa yang sama sejak suaminya meninggal: doa agar hari esok masih memberi secercah harapan. Tapi malam itu, doa terasa berat. Seperti tersangkut di tenggorokan, tak sampai ke langit.

Ia tiba di rumah kecilnya di tepi desa. Pagar kayunya sudah miring, atap jeraminya bocor, dan hanya ada satu jendela kecil yang tertutup kain lusuh. Greta menyalakan lampu minyak, cahayanya redup, lalu duduk di kursi goyah. Kesepian menyelimuti ruangan, hanya suara angin di luar yang berdesir seperti bisikan.

Dari jendela, ia bisa melihat siluet beberapa warga masih berkumpul di jalan. Mereka menunjuk-nunjuk ke arah rumahnya. Mungkin sedang membicarakan apa lagi yang bisa dijadikan bukti. Greta tahu, tak perlu alasan besar untuk menjatuhkan tuduhan. Seekor sapi mati, seorang anak sakit, atau panen yang gagal—semua bisa dengan mudah diarahkan padanya.

Di kejauhan, lonceng berdentang sekali lagi, lebih berat, seolah menutup hari dengan tanda kutuk. Greta menunduk, matanya berkaca-kaca. Ia tahu malam ini akan panjang, dan esok mungkin lebih buruk.

Sementara itu, di rumah lain, rasa takut menular cepat. Seorang ibu menyuruh anaknya berdoa lebih lama. Seorang ayah menyalakan lilin tambahan, meski minyaknya hampir habis, hanya agar cahaya bisa mengusir bayangan di sudut ruangan. Anak-anak mendengar cerita tentang penyihir dari orang tua mereka, lalu bermimpi buruk. Semua orang hidup dalam kepanikan yang sama, saling mencurigai, saling berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa mereka aman—asal bisa menemukan kambing hitam untuk dikorbankan.

Dan di tengah semua itu, Greta Bauer hanya duduk sendirian dalam rumah reyotnya, menjadi pusat bisikan yang tak pernah berhenti.

Kabut kian tebal, menelan desa Wittlich seperti rahang raksasa yang perlahan menutup. Dan dalam kegelapan itu, ketakutan tumbuh, berakar, dan bersiap menelan siapa pun yang berani terlihat berbeda.

 

Angin musim semi berhembus dingin pagi itu, membawa aroma lembap dari ladang basah. Desa Wittlich, yang biasanya dipenuhi suara sapi dan tawa anak-anak, mendadak hening. Semua mata tertuju pada halaman rumah Hans Fischer. Seekor sapi betina kesayangannya, yang sudah memberinya susu selama lima tahun, tergeletak kaku dengan busa putih di mulutnya.

Hans berdiri di dekat bangkai, wajahnya merah padam, matanya sembab karena kurang tidur. Baru seminggu lalu adiknya jatuh sakit misterius, demam tinggi tanpa sebab jelas. Kini, kematian sapi ini seolah menambah pukulan.

“Ini bukan kebetulan,” gumam Hans, suaranya pecah namun cukup keras untuk didengar tetangga yang mulai berdatangan.

Beberapa pria menatap sesama, tak berani bicara dulu. Namun ketika Hans menunduk, memandang bangkai sapinya dengan tangan gemetar, ia mengangkat kepalanya dengan sorot mata penuh amarah.

“Aku tahu siapa pelakunya,” katanya.

Keheningan menegang.

“Greta Bauer.”

Nama itu meluncur seperti belati, menancap dalam benak semua yang mendengar.

Greta—janda tua yang tinggal di pinggir desa, di rumah kayu kecil yang gelap. Seorang wanita yang jarang berbicara dengan orang lain, sering terlihat berjalan sendirian membawa keranjang kosong, dan kadang terdengar berbisik sendirian di malam hari. Bagi sebagian warga, ia sekadar perempuan kesepian. Bagi sebagian lain, ia sosok yang misterius, sedikit menakutkan.

Seorang ibu muda di kerumunan menutup mulutnya dengan tangan, seakan nama itu tidak pantas disebut keras-keras. Anak-anak kecil segera ditarik menjauh, seakan menyebut nama Greta bisa mendatangkan sial.

Hans menunjuk bangkai sapinya dengan tangan gemetar. “Tidak ada penyakit, tidak ada luka. Semalam sehat, pagi ini mati. Itu sihir! Dan siapa lagi kalau bukan dia? Dia selalu menatap sapiku… dengan cara aneh!”

Bisikan mulai berputar di antara kerumunan.

“Memang, aku pernah lihat Greta bicara sendiri di ladang…” kata seorang pria tua.
“Aku juga dengar dia suka jalan ke sumur saat tengah malam,” tambah yang lain.
“Bukankah putranya meninggal tiba-tiba beberapa tahun lalu? Ada yang bilang itu karena dia sendiri tak bisa melindungi keluarganya dari setan,” suara lain menimpali, setengah bisikan, setengah keyakinan.

Marta Klein, seorang pedagang anggur yang lidahnya lebih tajam daripada pisaunya, maju selangkah. Ia menyilangkan tangan di dada dan berkata dengan nada penuh kepastian:
“Greta terlalu sering berbisik-bisik sendiri. Aku pernah lewat rumahnya, kulihat cahaya lilin berkelip meski sudah larut. Dia bukan sekadar janda tua—dia sedang berhubungan dengan sesuatu.”

Bisikan berubah menjadi dengung. Wajah-wajah yang awalnya ragu kini perlahan mengeras, menyerap keyakinan dari suara Marta. Seperti api kecil yang menjilat jerami kering, gosip itu menyebar cepat, menyalakan imajinasi setiap orang.

Hans menatap Marta, seolah mendapat sekutu dalam amarahnya. “Kalian semua mendengarnya. Dia bukan orang biasa. Dia penyihir. Kalau dia bisa membunuh sapiku, besok siapa yang tahu? Mungkin anak-anak kita. Mungkin kita sendiri.”

Suasana menegang. Orang-orang mulai menoleh satu sama lain, mencari kepastian, mencari rasa aman dari tatapan sesama. Di balik kerumunan, seorang bocah kecil bertanya polos kepada ibunya:

“Ibu, kalau Greta benar penyihir… apakah dia bisa terbang di atas rumah kita?”

Sang ibu segera menempelkan tangan ke mulut anaknya, menunduk takut, lalu buru-buru menariknya pulang.

Dan seolah itu menjadi tanda, satu per satu warga mulai beranjak, membawa pulang cerita yang akan mereka bisikkan di dapur, di pasar, di kebun anggur. Desas-desus itu kini hidup, berdetak bersama denyut nadi desa Wittlich.

Hari-hari berikutnya, gosip kian berkembang. Di pasar, saat para ibu menawar harga roti, nama Greta selalu muncul.

“Semalam aku dengar anjingku menggonggong tanpa henti. Pasti ada bayangan lewat… siapa lagi kalau bukan dia.”

“Aku kehilangan ayam tiga ekor, padahal pintu kandang terkunci. Kalian tahu siapa yang mampu begitu.”

Di gereja, bahkan ketika Pastor Johann memimpin doa, beberapa jemaat mencuri-curi pandang ke arah bangku kosong tempat Greta biasanya duduk. Ketidakhadirannya bukan dianggap sakit atau lelah, tapi justru bukti: ia bersembunyi dari tatapan Tuhan.

Psikologi massa bekerja dengan cara yang sunyi tapi mematikan. Rasa takut yang awalnya samar kini menjadi keyakinan bulat. Setiap kejadian buruk, sekecil apapun, segera dicatatkan ke dalam “bukti tak kasatmata” tentang Greta.

Seorang anak jatuh dari tangga?

“Itu karena Greta sedang mengutuk keluarganya.”

Lilin di altar gereja padam ditiup angin?

“Setan yang dipanggil Greta ikut masuk.”

Orang-orang tak lagi bertanya apakah Greta bersalah. Pertanyaan itu sudah tak relevan. Yang penting hanyalah: kapan ia akan ditangkap.

Sementara itu, Greta menjalani hari-harinya dengan kebingungan yang semakin menyesakkan. Ia tidak tahu mengapa warga mulai menutup pintu lebih cepat setiap kali ia lewat. Ia tidak paham mengapa tatapan mata menjadi tajam, atau bisikan berhenti mendadak setiap kali ia masuk ke pasar.

Pada suatu sore, Greta berdiri di depan rumahnya, menatap langit yang kelabu. Dari kejauhan ia melihat sekelompok anak berlari sambil menjerit-jerit, lalu tiba-tiba berhenti begitu melihatnya. Salah satu anak melemparkan batu kecil ke tanah dekat kakinya, lalu mereka semua kabur sambil tertawa gugup.

Greta menunduk, melihat batu itu. Bibirnya bergetar. Ia ingin berteriak, ingin menjelaskan bahwa dirinya bukan apa-apa selain seorang wanita tua yang kesepian. Tapi kata-kata itu seolah tertelan udara dingin.

Di dalam hatinya, Greta mulai merasakan sesuatu yang jauh lebih menakutkan daripada kesepian: ia merasa tidak lagi hidup di antara manusia.

Pada malam keempat setelah sapi Hans mati, lonceng gereja berdentang. Desa Wittlich yang biasanya sunyi setelah gelap, kali itu penuh bisikan. Dari jendela-jendela, mata-mata mengintip. Dari lorong-lorong sempit, suara-suara rendah bergaung:

“Besok kita harus melapor ke pengadilan Wittlich.”

“Jangan biarkan dia bebas terlalu lama.”

“Kalau benar dia penyihir, siapa tahu kutukan berikutnya menimpa kita.”

Di balik dinding, rasa takut tumbuh menjadi obsesi.

Bagi Greta, malam itu terasa panjang. Angin mengguncang jendela rumah kayunya, membuat lilin kecil bergoyang. Ia duduk di kursi reyot, tangannya menggenggam rosario tua peninggalan suaminya. Bibirnya berbisik doa, memohon agar Tuhan memberinya kekuatan menghadapi apa pun yang datang.

Tapi di luar sana, doa-doa lain sedang dipanjatkan pula—doa dari tetangga-tetangganya yang memohon agar Greta diusir, dihukum, dimusnahkan demi keselamatan desa.

Doa-doa yang berlawanan itu beradu di udara Wittlich yang dingin.

Dan ketika fajar menyingsing, semua orang tahu: tuduhan pertama telah lahir, dan tidak ada jalan untuk kembali.

 

Langkah-langkah berat menggema di lorong batu. Greta Bauer berjalan diapit dua penjaga, rantai besi mengikat pergelangan tangannya. Nafasnya pendek-pendek, wajahnya pucat seperti kapur. Dari celah jendela sempit, cahaya suram masuk, menyorot wajahnya yang penuh kerut dan mata yang sembab.

Di ujung lorong, pintu kayu besar berukir salib dibuka dengan bunyi berderak. Ruangan pengadilan Wittlich menelan Greta dalam keheningan yang menakutkan.

Ruangan itu gelap, diterangi hanya oleh obor yang meneteskan cairan hitam ke lantai batu. Di dinding depan tergantung salib besar, bayangannya memanjang ke arah kursi-kursi kayu tempat orang-orang desa duduk, wajah mereka kaku, antara takut dan lega karena bukan mereka yang berdiri di sana.

Di tengah ruangan, di atas kursi tinggi, duduk Wilhelm Reuter, hakim gereja. Wajahnya keras, mata dingin, jubah hitamnya menambah aura mengancam. Di sampingnya ada beberapa penulis pengadilan, pena mereka siap mencatat setiap kata yang keluar.

“Greta Bauer,” suara hakim menggema, berat, bergema di ruang batu. “Engkau dituduh bersekongkol dengan setan, meracuni ternak warga Wittlich, dan menebar kutukan kepada saudara-saudaramu. Bagaimana kau menjawab tuduhan ini?”

Greta mengangkat wajahnya perlahan. Suaranya bergetar.

“Saya… tidak bersalah. Saya hanya seorang janda tua. Saya tidak tahu apa yang kalian bicarakan.”

Bisikan menyebar di kursi penonton. Beberapa orang saling menunduk, tidak berani menatap langsung. Dalam suasana itu, keheningan lebih menyeramkan daripada teriakan.

Hakim menatap ke arah pendeta yang berdiri di samping altar kecil.

“Franz Lukas, imam Wittlich. Naiklah ke mimbar. Kau telah mendengar desas-desus dari umatmu.”

Franz melangkah maju, wajahnya pucat. Jemarinya meremas rosario di tangan, matanya menatap sebentar ke arah Greta—ada keraguan, bahkan rasa iba. Namun tatapan puluhan pasang mata jemaat dari desanya menusuk punggungnya, menuntut ia berbicara.

Franz menarik napas. “Saya… saya telah mendengar bisikan umat tentang kebiasaan Greta Bauer. Ia sering terlihat berbisik sendiri di malam hari, dan sejak itu, banyak kejadian aneh menimpa desa. Sapi mati, ayam hilang, anak-anak jatuh sakit. Mereka percaya ini bukan kebetulan.”

“Apakah kau juga percaya demikian?” tanya hakim, nadanya menusuk.

Franz terdiam. Tenggorokannya kering. Kata “tidak” hampir meluncur dari bibirnya, tapi di belakang, ia mendengar suara seorang wanita berbisik: “Kalau dia membela Greta, mungkin dia juga penyihir.”

Keringat dingin mengalir di pelipis Franz. Ia menunduk.

“Aku… aku tidak bisa menolak keyakinan umatku. Mereka semua melihat tanda-tanda.”

Bisikan makin keras, berubah jadi dengungan persetujuan. Hakim mengangguk, lalu memanggil saksi berikutnya.

“Matthias Vogel, majulah.”

Matthias, seorang petani paruh baya dengan punggung bungkuk, melangkah ke depan. Tangannya gemetar, lututnya lemas. Greta menatapnya dengan mata penuh harap—mereka bertetangga bertahun-tahun. Ia pernah membantu istrinya melahirkan, pernah memberi sup saat anak Matthias sakit.

Hakim menatap tajam. “Apa yang kau ketahui tentang Greta Bauer?”

Matthias menelan ludah. Ia ingin berkata: Greta orang baik, dia tidak bersalah. Tapi suara-suara di sekitarnya berputar seperti badai. Ia ingat cerita Hans tentang sapinya, gosip Marta di pasar, bisikan bahwa siapa pun yang membela Greta akan dituduh ikut bersekongkol.

Ia menutup mata sejenak, lalu berkata dengan suara serak:

“Aku pernah melihat Greta berdiri di ladang saat tengah malam. Dia berbisik, aku tak tahu apa yang dia katakan. Besok paginya, ayamku mati tiga ekor.”

Kerumunan berbisik keras. Hakim mengangguk mantap, pena pengadilan menorehkan catatan.

Greta menjerit. “Itu bohong! Aku hanya berdoa! Aku berdoa di ladang karena di rumahku terlalu sesak!”

Tapi suaranya tak mampu menembus dinding keyakinan yang sudah dibangun. Matthias menunduk, matanya berair. Ia tahu ia mengkhianati Greta, tapi ketakutan menahan lidahnya.

Seorang demi seorang dipanggil. Marta Klein bersaksi dengan suara penuh percaya diri.

“Aku pernah melihat cahaya dari rumahnya tengah malam. Cahaya yang berkelip, bukan dari lilin biasa. Aku yakin itu ritual iblis.”

Warga lain ikut menambah cerita: suara aneh di sumur, bayangan bergerak di kebun, anak-anak yang sakit setelah lewat depan rumah Greta. Semua bercerita dengan nada pasti, meski dalam hati mereka sendiri penuh keraguan.

Greta hanya bisa berdiri, matanya merah, wajahnya basah oleh air mata. Ia berusaha bersuara, memohon, tapi setiap kata tenggelam dalam gelombang gosip yang sudah berubah jadi “kebenaran umum.”

Hakim mengetukkan palu kayu di meja. “Bukti-bukti dan kesaksian menunjukkan bahwa Greta Bauer bersalah. Namun demi hukum Tuhan dan gereja, kami akan melanjutkan pemeriksaan lebih lanjut. Jika dalam waktu dekat ia tidak mengakui perbuatannya, ia akan dihadapkan pada metode pengujian yang sahih.”

Ruangan bergemuruh pelan. Greta tahu maksud kata-kata itu: penyiksaan.

Setelah sidang ditutup, orang-orang keluar dari ruangan. Wajah mereka serius, tegang, sebagian lega karena Greta kini resmi menjadi kambing hitam.

Franz Lukas berjalan pelan, dadanya sesak. Ia merasa bersalah, tapi takut suaranya bisa menyeretnya sendiri ke tiang pembakaran.

Matthias berjalan sambil menunduk, merasa pengkhianat. Dalam hati ia berdoa agar Greta bisa selamat, tapi bibirnya terkunci oleh ketakutan.

Di balik jeruji besi, Greta duduk sendirian, tubuhnya bergetar. Ia tidak mengerti bagaimana bisikan bisa berubah jadi hukuman. Ia menatap salib kecil di dinding sel, berdoa lirih, tapi suara teredam oleh gema tuduhan yang terus berputar di luar sana.

Dan di desa Wittlich, gosip berubah jadi kepastian. Mereka berkata:

“Greta akan mengaku. Semua penyihir akhirnya mengaku.”

Mereka tidak sadar, pengakuan itu bukan kebenaran—melainkan hasil tekanan, hasil ketakutan yang mereka ciptakan sendiri.

Ketakutan yang kini lebih kuat daripada kebenaran.

 

Suara rantai berderak ketika Greta diseret ke ruang bawah tanah pengadilan. Ruangan itu sempit, dindingnya lembap, bau besi dan keringat menyesakkan dada. Di tengah, tergantung alat-alat penyiksaan: roda kayu, tali pengikat, dan besi membara. Api kecil di tungku memantulkan cahaya bergetar di wajah para penjaga.

Hakim Wilhelm Reuter berdiri di pintu, didampingi Pastor Franz Lukas yang menunduk, tidak sanggup menatap Greta. Algojo Johann Stein—seorang pria bertubuh besar, wajahnya tanpa ekspresi—mengikat tangan Greta ke bangku kayu.

“Greta Bauer,” suara hakim bergema, “engkau masih menyangkal persekutuanmu dengan Iblis. Demi keselamatan jiwamu, kami akan membantumu mengaku.”

Greta bergetar, wajahnya pucat. “Saya bersumpah demi Tuhan, saya tidak bersalah…”

Namun kata-katanya dipotong teriakan ketika Johann memutar roda kayu, menarik lengannya hingga otot-ototnya berderak. Greta menjerit, tubuhnya bergetar, napasnya tersengal.

Franz menggenggam rosarionya erat, berdoa dalam hati agar siksaan ini berhenti. Tapi ia tahu, semakin Greta menyangkal, semakin panjang penderitaannya.

Setelah berjam-jam siksaan, tubuh Greta lemas, suaranya nyaris hilang. Hakim mendekat, membisikkan kalimat yang lebih menyeramkan daripada api dan besi:

“Jika kau mengaku, penderitaanmu berakhir. Jika tidak… kau akan mati lebih kejam.”

Air mata mengalir di wajah Greta. Dalam kabut sakit dan keputusasaan, ia akhirnya berbisik, “Ya… aku… aku bersalah.”

Kalimat itu mengalir bukan sebagai kebenaran, melainkan sebagai jalan keluar dari penderitaan. Catatan pengadilan menuliskan pengakuan palsu itu, sementara Greta hanya bisa terisak, menyadari bahwa kata-katanya baru saja menandatangani kematiannya sendiri.

Alun-Alun Wittlich

Musim dingin menutup Wittlich dengan langit kelabu. Di alun-alun, panggung kayu besar telah dibangun. Di tengahnya berdiri tiang-tiang, tumpukan kayu kering menunggu untuk dibakar. Bau damar bercampur udara dingin menusuk hidung, sementara lonceng gereja berdentang memanggil warga.

Kerumunan berbondong-bondong datang: petani, pedagang, bahkan anak-anak. Mereka berdesakan, wajah mereka penuh rasa takut sekaligus penasaran. Ada doa lirih, ada tangis tertahan, tapi juga ada sorakan.

Greta Bauer dibawa naik dengan rantai di leher. Tubuhnya ringkih, langkahnya gemetar. Di belakangnya, tiga orang lain ikut diarak:

  • Katarina Müller, seorang bidan desa yang dituduh karena terlalu banyak membantu kelahiran bayi dengan “cara aneh.”
  • Peter Hoffmann, seorang tukang kayu miskin, dituduh karena istrinya sakit jiwa dan orang percaya itu akibat kutukan.
  • Elsbeth Keller, seorang ibu muda, yang disiksa hingga mengaku bahwa dirinya penyihir—dan bahwa suaminya pun tahu rahasianya.

Di tepi kerumunan, berdiri Anna Keller, putri Elsbeth. Gadis itu berusia empat belas tahun, matanya membesar melihat ibunya dipaksa menaiki panggung. Tangannya menggenggam erat lengan kakaknya, tubuhnya gemetar.

“Kenapa mereka membawa Ibu?” suaranya bergetar.

“Diam, Anna,” kakaknya berbisik, “kalau kita bersuara, mereka akan menuduh kita juga.”

Algojo Johann Stein maju, membawa obor. Wajahnya tetap dingin, tanpa emosi. Di sampingnya, Pastor Franz berdiri dengan kitab di tangan, membacakan doa. Suaranya bergetar, seakan lidahnya sendiri enggan mengucapkan ayat yang kini digunakan untuk membenarkan pembantaian.

Hakim Reuter naik ke mimbar, mengumumkan putusan.

“Demi nama Tuhan, demi kebersihan jiwa dan tanah ini, para terhukum akan disucikan oleh api. Biarlah roh-roh jahat dibakar bersama mereka, dan desa kita terbebas dari kutukan.”

Sorakan campur tangis meledak dari kerumunan. Ada yang berseru “Amin!”, ada yang menutup wajah dengan tangis. Api dipandang sebagai simbol pembersihan, tapi di mata Greta, api itu hanya kegilaan.

Tali pengikat melilit tubuh Greta dan yang lain di tiang kayu. Di samping Greta, Elsbeth Keller menangis histeris, suaranya serak. Hakim mendekat dan memaksa:

“Akui siapa lagi yang menjadi penyihir bersama kalian!”

Elsbeth terisak, wajahnya hancur. Tatapan Anna menembus kerumunan, memohon belas kasih. Tapi suara massa lebih keras daripada suara hati seorang ibu.

Dengan tangis terputus-putus, Elsbeth berteriak, “Marta Klein… dia juga penyihir… dia menyuruhku!”

Kerumunan bergemuruh. Marta, yang berdiri di kerumunan, terkejut, wajahnya memucat. Ia menjerit, “Bohong! Itu fitnah!” Tapi tatapan orang-orang segera beralih padanya. Tuduhan yang dilemparkan dari bibir terbakar ketakutan kini menempel padanya, tak peduli benar atau tidak.

Anna menutup telinganya, menangis. Ia tidak bisa lagi mendengar ibunya berteriak, tidak sanggup melihat api yang mulai menyala.

Johann menyalakan obor ke kayu kering di bawah tiang. Api menjilat perlahan, menyebar, menelan udara dengan bunyi berderak. Asap hitam mengepul ke langit kelabu.

Greta menutup mata, berdoa lirih, tubuhnya bergetar. Katarina Müller menjerit panjang, suaranya berubah serak seiring asap memenuhi paru-parunya. Peter Hoffmann hanya terdiam, menerima nasibnya dengan tatapan kosong.

Kerumunan berteriak, sebagian bersorak seolah menonton hiburan, sebagian lagi menangis, menutup wajah dengan tangan. Ada yang berdoa keras-keras, ada pula yang menyebut nama setan, yakin bahwa dengan setiap kobaran api, Iblis terusir dari Wittlich.

Tapi di antara semua itu, mata Greta terbuka sejenak. Ia melihat wajah-wajah tetangganya—orang yang dulu berbagi roti dengannya, orang yang dulu menerima bantuannya. Kini mereka semua bersatu, bukan karena keyakinan, tapi karena ketakutan. Mereka lebih takut pada kecurigaan daripada pada dosa.

Api semakin besar, menelan suara jeritan. Wajah-wajah yang bersorak terlihat gila dalam cahaya merah.

Ketika tiang-tiang kayu hanya menyisakan abu, kerumunan perlahan bubar. Bau daging terbakar masih menyelimuti udara, tapi orang-orang menyebutnya sebagai bau “pembersihan.” Mereka berkata, desa kini akan aman. Mereka berkata, Tuhan akan memberkati tanah Wittlich.

Namun di mata Anna Keller, yang berdiri gemetar sambil menggenggam tangan kakaknya, itu bukan berkat. Itu hanya kegilaan. Ia tahu, ibunya mati bukan karena setan, tapi karena manusia yang memilih takut daripada berani mengatakan kebenaran.

Malam itu, di setiap rumah, orang berdoa dengan suara lebih keras dari biasanya. Bukan doa syukur, melainkan doa agar nama mereka tidak pernah disebut di pengadilan berikutnya.

Dan di Wittlich, hakim-hakim kembali menulis daftar baru, nama-nama baru, saksi-saksi baru. Api di alun-alun belum padam, karena selalu ada bahan bakar: ketakutan yang tak pernah habis.

Greta Bauer mati bukan karena ia penyihir, tetapi karena ia terlalu lemah melawan gelombang kebencian. Katarina, Peter, dan Elsbeth ikut terbakar, korban lain dari psikologi massa yang lapar akan kambing hitam.

Api di Wittlich memang membakar tubuh mereka, tapi yang lebih mengerikan adalah api yang membakar hati manusia: api ketakutan, api fitnah, api kegilaan kolektif.

Dan selama api itu ada, setiap orang di Wittlich tahu—hari ini Greta, besok bisa saja mereka.

 

Malam itu, setelah api padam di alun-alun Wittlich, udara masih menyimpan sisa bau kayu terbakar bercampur daging yang hangus. Asap tipis menempel pada pakaian orang-orang yang pulang dengan wajah muram, sebagian dengan sorot mata puas seakan keadilan telah ditegakkan, sebagian lain membawa rasa takut yang lebih besar daripada sebelumnya.

Di sudut kamar kecil di rumahnya di Wittlich, Anna Keller duduk memeluk lutut di ranjang jerami. Rambutnya kusut, wajahnya masih merah karena tangis yang tak berhenti sejak sore. Kakaknya, yang lebih tua dua tahun, berbaring membelakangi, berusaha tidur dengan terisak tertahan. Mereka baru saja kehilangan ibunya, Elsbeth Schneider, yang dituduh bersekongkol dengan Greta Bauer dan dibakar di alun-alun.

Beberapa hari sebelum eksekusi, di ruang pengadilan Wittlich, Anna dipaksa berdiri di hadapan hakim Wilhelm Reuter. Imam Franz Lukas menatapnya dengan sorot mata yang penuh dorongan, sementara pejabat mencatat setiap kata.

“Apakah ibumu pernah membisikkan doa-doa aneh saat bulan purnama?” tanya hakim dengan nada dingin.

Anna yang masih berusia 14 tahun kala itu, hanya bisa gemetar. Ia tak paham maksud pertanyaan itu, hanya tahu kalau ia harus menjawab. Di belakangnya, seorang penjaga menggeram, seolah siap menarik rambutnya bila ia tak patuh. Kakaknya sudah lebih dulu bicara: “Ya, saya pernah melihatnya.” Sebuah kebohongan yang terpaksa keluar, demi bertahan.

Anna ingin berteriak “Tidak, itu tidak benar! Ibu hanya berdoa kepada Tuhan seperti yang diajarkan di gereja!” Namun suara itu terkunci di tenggorokannya. Ketakutan membekap dirinya. Ia mengangguk lemah, dan di detik itu juga seolah palu pengadilan jatuh di hatinya.

Kini, setiap kali lonceng katedral Wittlich berdentang, Anna terbangun dengan keringat dingin. Suara itu menyerupai pekikan ibunya saat api mulai menjilat gaun lusuhnya.

Ia menutup telinga dengan kedua tangannya, berbisik:

“Maaf, Ibu... aku tak berani...”

Namun kata-kata itu hanya tenggelam dalam kesunyian malam, tidak pernah sampai pada wanita yang telah lenyap dalam api.

Sementara itu, di rumah lain, Matthias Vogel, tetangga yang pernah dekat dengan Greta Bauer, juga tak bisa tidur. Ia membolak-balik tubuhnya di ranjang, wajah Greta terus muncul dalam pikirannya: Greta yang tua, lemah, dengan mata penuh air, menatapnya ketika ia bersaksi di pengadilan.

Ia teringat bagaimana Greta sempat berbisik dengan suara serak: “Matthias, katakan yang sebenarnya... kau tahu aku bukan penyihir.”

Namun ketakutan akan dituduh serupa membuat Matthias justru mengangguk setuju pada setiap tuduhan hakim.

Kini, bayangan itu menghantam batinnya. Ia merasakan semacam noda di dalam dada, noda yang tak bisa dibersihkan doa sekalipun.

Bukannya mereda, eksekusi Greta dan Elsbeth justru menyalakan bara kecurigaan yang lebih luas. Warga Wittlich dan desa-desa sekitarnya mulai saling mencurigai lebih intens.

Di pasar, seorang ibu yang anaknya jatuh sakit mendadak langsung menuding tetangganya: “Ia pasti yang mengutuk anakku! Aku melihatnya memandang aneh kemarin!”

Di kebun anggur milik Marta Klein, beberapa pekerja berbisik bahwa Marta sendiri terlalu sering “menambah” cerita gosip tentang Greta. Apakah itu caranya menutupi dosa sendiri? Desas-desus pun merayap, pelan namun pasti.

Sapi-sapi yang mati karena penyakit musim dingin, ladang yang gagal panen akibat hujan deras, semua dianggap bukti ada penyihir baru yang harus disingkirkan.

Orang-orang yang tadinya bersorak puas saat api menyala kini justru lebih cemas. Jika Greta bisa dibakar hanya karena gosip, siapa yang selanjutnya?

Hari-hari setelah eksekusi menjadi neraka bagi Anna Keller. Di sekolah gereja, teman-temannya menjauh. Beberapa anak berbisik: “Itu anak penyihir.”

Anna menutup wajahnya dengan syal lusuh setiap kali berjalan di jalanan. Setiap tatapan terasa seperti pisau yang menusuk kulitnya. Ia mulai berbicara pada dirinya sendiri di malam hari, memanggil nama ibunya berulang-ulang, hingga suaranya habis menjadi isakan.

Dalam mimpinya, ia melihat api lagi, tapi kali ini bukan ibunya yang terbakar, melainkan dirinya sendiri. Dan yang bersorak adalah wajah-wajah tetangganya. Ia terbangun dengan jeritan, membuat kakaknya ikut menangis ketakutan.

Di kedai anggur, Matthias mencoba menenggelamkan rasa bersalah dengan minuman. Namun setiap kali ia meneguk, wajah Greta muncul di dasar gelas. Ia melihat bagaimana tubuh renta itu dipaksa mengaku di bawah penyiksaan: kuku dicabut, air mendidih diteteskan ke kulit. Hingga akhirnya Greta berteriak: “Ya! Aku penyihir! Aku bersetubuh dengan iblis!” — pengakuan palsu yang ia tahu lahir dari penderitaan.

Matthias merasa dirinya bagian dari mesin kejam itu. Ketika warga desa mulai menuduh orang baru, ia tak lagi berani ikut bersuara. Namun diamnya juga tak membuatnya bersih—justru membuatnya semakin hancur di dalam.

Pada musim gugur 1588, jumlah tuduhan meningkat drastis. Catatan pengadilan Wittlich menunjukkan ratusan nama mulai masuk daftar. Beberapa adalah petani miskin, beberapa bahkan bangsawan rendah yang tak disukai saudaranya.

Semua orang hidup dalam ketegangan konstan. Gereja yang tadinya menjadi tempat perlindungan kini berubah jadi tempat di mana orang mencari kambing hitam.

Lonceng katedral bukan lagi panggilan doa, melainkan tanda pengumuman siapa yang berikutnya akan diadili.

Anna duduk di tepi ranjang pada suatu malam, menatap kakaknya yang tertidur. Ia berbisik, nyaris tak terdengar:

“Jika mereka datang menjemput kita... jangan jawab apa-apa.”

Air matanya mengalir tanpa henti. Ia sadar, gelombang ketakutan ini takkan berhenti di Greta atau ibunya saja. Ia sendiri bisa jadi korban berikutnya, bukan karena dosa, melainkan karena bisikan massa yang semakin haus darah.

Matthias, di rumahnya, berdoa keras-keras, bukan lagi memohon keselamatan, melainkan agar ingatan Greta hilang dari benaknya. Namun semakin ia memohon, semakin jelas bayangan itu hadir. Ia mulai merasa mendengar suara Greta di balik pintu, menyebut namanya berulang: “Matthias... Matthias...”

Eksekusi Greta Bauer dan Elsbeth Schneider seharusnya menutup lembaran. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: ibarat api yang menjalar di ladang kering, ketakutan merembet tanpa kendali.

Anak-anak tumbuh dengan bisikan bahwa iblis ada di sekitar mereka. Orang dewasa hidup dengan paranoia bahwa tetangganya bisa mengutuk mereka kapan saja.

Anna dan Matthias, dua jiwa yang berbeda usia dan peran, sama-sama terjebak dalam belenggu rasa bersalah. Bagi mereka, yang mati di api bukan hanya tubuh Greta atau Elsbeth, melainkan juga rasa percaya satu sama lain di dalam desa.

Dan sejak saat itu, Wittlich tak pernah benar-benar tidur nyenyak lagi.

 

Tahun berganti, namun luka Wittlich tak kunjung sembuh. Desa itu kini terasa setengah mati, seperti tubuh yang kehilangan darah. Banyak rumah berdiri kosong, pintu dan jendela tertutup rapat dengan papan kayu. Ladang-ladang terbengkalai, gandum yang dulu bergoyang diterpa angin kini hanya menyisakan tanah kering bercampur gulma. Burung gagak sering hinggap di atap-atap rumah, seolah-olah mengumumkan bahwa roh penghuni lama tak pernah benar-benar pergi.

Di jalan utama, suara anak-anak yang bermain bola jerami terdengar sebentar, tapi begitu bayangan Johann Stein, algojo Wittlich, melintas, permainan langsung terhenti. Bocah-bocah itu menatap tanah, pura-pura mencari batu atau mencabut rumput liar. Johann berjalan dengan langkah berat, membawa kapak di pinggangnya. Ia tak perlu melakukan apa-apa; cukup kehadirannya membuat orang-orang tercekat. Di mata mereka, Johann bukan sekadar manusia—ia simbol api, simbol maut, simbol ingatan pahit yang tak bisa dihapus.

Nama-nama yang pernah diucapkan di pengadilan kini hanya tinggal bisikan samar. Namun di antara warga Wittlich, wajah mereka tetap hidup dalam kenangan.

Katharina Weiss, seorang bidan yang dikenal suka membantu ibu melahirkan, ditangkap setelah seorang bayi meninggal dua hari setelah lahir. Padahal, semua tahu ibunya sudah lemah sejak lama. Namun saat rumor beredar bahwa Katharina menggunakan ramuan “gelap”, tidak ada satu pun tetangga yang berani membela. Ia digiring ke pengadilan, dan tak pernah kembali. Rumahnya kini sepi, penuh debu dan bau obat-obatan herbal yang tertinggal di lemari kayu.

Jakob Meinhardt, seorang petani muda, pernah dituduh karena hasil panennya anehnya tetap baik ketika ladang lain gagal. Keberuntungan itu dianggap bukti bahwa ia meminta bantuan iblis. Padahal, ia hanya bekerja lebih tekun, menggali tanah lebih dalam, dan merawat ladangnya dengan sabar. Namun di mata massa, tekun bisa dibaca sebagai kesepakatan dengan setan. Jakob dibakar bersama beberapa orang lain, meninggalkan istri yang kemudian mati kelaparan karena dijauhi tetangga.

Margarethe Braun, gadis berusia 17 tahun, dituduh karena terlalu cantik. Seorang pemuda terpikat padanya, namun lamaran ditolak. Pemuda itu, dalam kemarahan dan rasa malu, menyebarkan gosip bahwa Margarethe bisa “mengikat hati” laki-laki dengan sihir. Ketika ia diinterogasi, Margarethe menangis keras-keras, memohon agar ia hanya dianggap gadis biasa. Namun air mata tidak bisa memadamkan api yang menantinya. Kini, di dekat sumur desa, orang-orang masih melihat gelang kecilnya yang tertinggal di tanah, setengah terkubur lumpur.

Mereka yang selamat hidup dalam ketakutan berlapis. Setiap percakapan dilakukan dengan suara berbisik. Orang tua mengingatkan anak-anak: “Jangan bicara terlalu keras. Jangan menatap mata orang lain terlalu lama.”

Pasar yang dulu ramai kini lengang. Pedagang menjual barang dengan cepat, mata terus waspada memantau sekeliling. Hampir tak ada yang berani berkumpul lebih dari dua orang, takut kerumunan dianggap sebagai pertemuan rahasia untuk sihir.

Bahkan gereja, tempat yang seharusnya memberi ketenangan, terasa seperti ruang pengadilan kedua. Setiap khotbah tentang dosa dan iblis terdengar seperti ancaman samar: siapa pun bisa ditunjuk kapan saja.

Anna Keller masih hidup, namun jiwanya seakan terbelah. Setiap kali ia melihat perempuan tua berjalan sendirian, ia teringat Greta Bauer. Setiap kali ia mendengar nama ibunya dibisikkan, tubuhnya gemetar hebat. Malam-malamnya dipenuhi mimpi buruk: api, jeritan, dan tatapan kosong ibunya saat tubuhnya mulai terbakar.

Kakaknya memilih bungkam total, jarang bicara, seolah-olah kata-kata bisa membangunkan setan. Mereka berdua hidup dalam rumah yang kian dingin, dengan bayangan ibunya seakan masih duduk di sudut dapur.

Matthias Vogel tak lebih baik. Ia mencoba bekerja di ladang, namun setiap kali menggenggam cangkul, tangannya terasa berat, seakan beban dosa menempel di lengannya. Ia sering berdiri lama menatap gereja dari kejauhan, ragu apakah Tuhan masih mendengar doa orang yang telah berkhianat. Terkadang, ia merasa mendengar suara Greta yang memanggil namanya dari antara pepohonan.

Semakin lama, orang-orang Wittlich menyadari sesuatu yang mengerikan: iblis yang mereka takuti bukan datang dari hutan, bukan dari kegelapan malam, melainkan dari dalam diri mereka sendiri.

Iblis itu berwujud rasa curiga, rasa ingin menyelamatkan diri dengan mengorbankan orang lain. Iblis itu muncul dalam bisikan yang memutarbalikkan kebenaran menjadi tuduhan.

Tak ada yang berani menyebutnya secara terbuka, tapi semua merasakan: penyihir yang paling nyata adalah ketakutan kolektif yang telah membuat mereka membakar sesama manusia.

Tahun 1589 menutup Wittlich dalam sunyi yang mencekam. Ladang tetap kosong, gereja tetap berdiri dengan lonceng yang dingin, dan anak-anak tumbuh dengan cerita bahwa setan bisa muncul kapan saja—kadang di tubuh tetangga, kadang di dalam keluarga sendiri.

Ketika Johann Stein berjalan melewati jalan utama, anak-anak berhenti bermain, dan orang dewasa menunduk. Tak seorang pun menyapanya, tapi tak seorang pun juga berani mengusirnya. Kehadirannya menjadi tanda bahwa bara ketakutan belum padam.

Wittlich berubah menjadi desa hantu yang dihuni manusia hidup—mereka berjalan, bekerja, dan bernafas, tapi jiwa mereka sudah terkubur bersama korban-korban yang pernah dibakar.

Dan sejak itu, di setiap malam berkabut, orang-orang bersumpah mendengar suara samar di ladang kosong: jeritan Greta, tangis Elsbeth, rintihan Katharina, suara Margarethe yang muda, dan doa Jakob yang tak pernah selesai. Suara-suara itu bergema, bukan dari dunia lain, melainkan dari ingatan yang tak pernah bisa mereka buang.

 

Di sudut kamar sempit, di balik jeruji yang berbau karat, Anna Keller duduk bersandar pada dinding dingin yang lembab. Ia tahu waktunya semakin dekat. Suara langkah penjaga sesekali terdengar, disertai derit pintu yang membuat tubuhnya bergidik. Namun ketakutannya bukan lagi pada api yang akan menelannya, melainkan pada manusia yang dengan mata terbuka tega menyeret orang lain ke dalam kobaran itu.

Di genggamannya ada sepotong kain lusuh yang dulu menutupi bahunya saat malam-malam dingin. Kini, kain itu menjadi satu-satunya lembaran untuk menuliskan isi hatinya. Ia mengambil arang sisa dari obor yang redup di luar jeruji, lalu mulai menorehkan huruf-huruf. Tangannya gemetar, tapi kata-kata tetap keluar.

“Aku, Anna Keller, menulis ini agar dunia tahu. Aku tidak takut pada api. Api hanya memakan tubuhku. Yang kutakuti adalah manusia—tetanggaku, temanku, bahkan keluargaku—yang karena rasa takut berubah menjadi monster. Mereka berteriak demi keselamatan, namun setiap teriakan melahirkan kematian baru. Aku melihat bagaimana ibuku, Elsbeth Schneider, terbakar bukan oleh dosa, melainkan oleh bisikan yang mereka yakini sebagai kebenaran. Aku bersaksi palsu, dan dosa itu akan kubawa sampai akhir.”

Air mata menetes, membuat arang sedikit luntur di kain. Namun ia tetap menulis, meski huruf-hurufnya semakin kabur.

“Jika suatu hari catatan ini ditemukan, ketahuilah: iblis bukan datang dari hutan, bukan dari langit, bukan dari bayangan malam. Iblis itu lahir dari ketakutan yang kita pelihara di hati kita sendiri. Ketakutan itu membuat kita buta, membuat kita haus darah, membuat kita rela melihat tetangga kita terbakar asal kita selamat sehari lebih lama. Aku tidak ingin dunia lupa. Jangan biarkan suara orang yang dibakar tenggelam tanpa jejak.”

Suara langkah mendekat. Anna menutup kain itu dengan cepat, menyelipkannya di bawah batu longgar di sudut lantai. Ia menatap ke arah jeruji, lalu memejamkan mata.

Di luar, lonceng katedral Wittlich berdentang, lambang yang pernah jadi panggilan doa, kini jadi tanda ajal.

Waktu berlalu, generasi berganti. Ladang kembali ditanami, rumah-rumah yang kosong dihuni oleh wajah-wajah baru. Namun sejarah yang penuh darah tetap membayang.

Seorang anak laki-laki yang sedang bermain di reruntuhan penjara lama menemukan sehelai kain lusuh, terlipat dan kaku oleh waktu. Saat dibentangkan, huruf-huruf arang yang pudar masih bisa terbaca.

Pendeta desa yang kemudian membacanya terdiam lama. Kata-kata Anna seakan hidup kembali, berbisik dari masa lalu: “Aku tidak takut pada api, aku takut pada manusia yang berubah jadi monster karena ketakutan.”

Catatan itu menjadi saksi bisu tragedi Wittlich—pengingat bahwa kejahatan paling besar bukanlah sihir yang tak pernah terbukti, melainkan ketakutan kolektif yang membakar akal sehat dan belas kasih manusia.

Sejak saat itu, nama-nama Greta Bauer, Elsbeth Schneider, Katharina Weiss, Jakob Meinhardt, Margarethe Braun, Anna Keller dan yang lainnya bukan lagi sekadar korban. Mereka menjadi cermin—bahwa dalam setiap manusia, ada kemungkinan untuk berubah menjadi algojo atau saksi bisu, jika ketakutan dibiarkan berkuasa.

Dan mungkin, suara Anna yang terperangkap di kain lusuh itu masih bergema sampai hari ini, menembus abad, bertanya dengan lirih namun tajam:

“Api sudah padam. Tapi apakah hatimu masih menyala oleh ketakutan?”

Share:
Lokasi: 54516 Wittlich, Jerman