Kabut tipis turun lebih cepat malam
itu, menyelimuti desa Wittlich seperti selimut basah yang berat. Udara Oktober
menusuk kulit, membawa aroma tanah lembap dan sisa anggur yang gagal dipanen.
Jalanan berbatu yang biasanya masih ramai oleh pedagang menjelang senja kini
sudah sunyi. Pasar di alun-alun ditutup lebih awal; meja kayu yang biasanya
penuh dengan buah apel dan roti kini kosong, hanya menyisakan jejak lumpur dan
serpihan daun anggur yang menempel.
Di ujung jalan, seorang lelaki
paruh baya menutup jendela tokonya dengan terburu-buru. “Cepat masuk!” serunya
kepada anak kecil yang masih berlari-lari di depan pintu. Sang anak menurut,
wajahnya tegang meski belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.
Lonceng gereja belum lagi berdentang, tapi hampir semua pintu rumah sudah
tertutup rapat, seolah-olah suara itu hanya tinggal formalitas, tanda terakhir
sebelum desa benar-benar membeku dalam ketakutan.
Bisikan rumor sudah menyebar sejak
pagi: iblis berkeliaran di sekitar Wittlich. Ada yang bersumpah melihat
bayangan hitam di tepi hutan. Ada pula yang mengatakan seekor anjing hitam
dengan mata merah berdiri di samping gereja lalu lenyap begitu saja. Semakin
sore, kisah-kisah itu berkembang menjadi keyakinan; orang-orang tak lagi berani
menyebutnya hanya gosip.
“Setan sedang berjalan di antara
kita,” begitu bisikan yang berulang kali terdengar di pasar tadi siang, lirih
namun cukup keras untuk merambat dari telinga ke telinga, menyalakan ketakutan
di hati setiap orang.
Di tengah kabut yang makin pekat,
langkah pelan seorang perempuan terdengar di jalan berbatu. Greta Bauer, janda
tua berambut abu-abu, berjalan pulang dengan keranjang kosong di lengannya.
Bajunya lusuh, kain wol tipis yang warnanya sudah pudar, dan tangannya gemetar
karena udara dingin. Setiap langkahnya meninggalkan bunyi “krek” yang terdengar
begitu jelas dalam kesunyian.
Orang-orang yang masih berada di
luar rumah langsung mempercepat langkah mereka. Seorang ibu muda buru-buru
menarik anaknya menjauh ketika Greta lewat. Tatapan mereka menusuk, penuh
curiga, seakan-akan sosok janda tua itu membawa sesuatu yang tak terlihat
bersama dirinya. Greta menunduk, pura-pura tak melihat. Ia tahu tatapan itu; ia
sudah sering merasakannya.
“Lihat matanya,” bisik seorang
pemuda di sudut jalan kepada temannya. “Seperti mata kucing. Tanda orang yang
berhubungan dengan iblis.”
“Diamlah,” jawab temannya cepat,
menoleh ke kiri dan kanan dengan cemas. “Kalau kau bicara terlalu keras, orang
bisa mengira kau membelanya.”
Greta terus berjalan, keranjang
kosongnya berayun pelan. Ia sebenarnya hanya pergi ke pasar untuk mencari
sedikit roti kering. Namun tak ada pedagang yang mau menjual padanya. Beberapa
hanya melirik, lalu pura-pura sibuk, seolah-olah tidak melihatnya. Di dalam
hati, Greta tahu bahwa lapar yang ia rasakan bukan hanya di perut, tapi juga di
hatinya: lapar akan tatapan manusiawi, lapar akan rasa percaya dari
tetangganya.
Di kejauhan, lonceng gereja mulai
berdentang. Suaranya berat, dalam, memantul dari dinding batu rumah-rumah,
menghantam udara yang dingin. Dong… dong… dong… Setiap dentang seperti
pukulan ke dada, mengingatkan semua orang bahwa malam telah tiba, dan bersama
malam datang pula ketakutan yang semakin mencekik.
Greta berhenti sebentar, menoleh ke
arah menara gereja yang samar terlihat di balik kabut. Di puncaknya, salib besi
menjulang, tapi bukannya memberi rasa aman, ia justru merasa salib itu seperti
mata besar yang mengawasi, menuduhnya dari ketinggian.
Seorang pria keluar dari rumahnya
hanya untuk menutup pintu gerbang kayu, dan ketika melihat Greta berdiri di
jalan, ia cepat-cepat membuat tanda salib di dadanya. “Tuhan melindungi kami,”
bisiknya, lalu menghilang ke dalam rumah.
Greta menarik napas panjang dan
melanjutkan langkahnya. Jalan ke rumahnya melewati gang sempit di mana kabut
terasa lebih pekat, dan bayangan tampak lebih panjang dari biasanya. Ia
mendengar suara pintu berderit, lalu bisikan samar dari balik jendela.
“Itu dia… lihat, dia pulang
sendirian lagi.”
“Katanya, semalam ada api biru di
belakang ladangnya.”
“Aku mendengar sapi Hans mati
mendadak. Kau tahu siapa yang terakhir kali lewat di dekat kandang?”
“Greta…”
Greta menelan ludah. Ia ingin
berteriak bahwa semua itu bohong, bahwa ladangnya kosong, bahwa ia bahkan tidak
punya kekuatan untuk menyalakan api biru atau merah sekalipun. Tapi ia tahu
percuma. Sekali orang-orang percaya pada sesuatu, kebenaran tak lagi penting.
Langkahnya makin cepat. Dalam
hatinya, ia mengulang doa yang sama sejak suaminya meninggal: doa agar hari
esok masih memberi secercah harapan. Tapi malam itu, doa terasa berat. Seperti
tersangkut di tenggorokan, tak sampai ke langit.
Ia tiba di rumah kecilnya di tepi
desa. Pagar kayunya sudah miring, atap jeraminya bocor, dan hanya ada satu
jendela kecil yang tertutup kain lusuh. Greta menyalakan lampu minyak,
cahayanya redup, lalu duduk di kursi goyah. Kesepian menyelimuti ruangan, hanya
suara angin di luar yang berdesir seperti bisikan.
Dari jendela, ia bisa melihat
siluet beberapa warga masih berkumpul di jalan. Mereka menunjuk-nunjuk ke arah
rumahnya. Mungkin sedang membicarakan apa lagi yang bisa dijadikan bukti. Greta
tahu, tak perlu alasan besar untuk menjatuhkan tuduhan. Seekor sapi mati,
seorang anak sakit, atau panen yang gagal—semua bisa dengan mudah diarahkan
padanya.
Di kejauhan, lonceng berdentang
sekali lagi, lebih berat, seolah menutup hari dengan tanda kutuk. Greta
menunduk, matanya berkaca-kaca. Ia tahu malam ini akan panjang, dan esok
mungkin lebih buruk.
Sementara itu, di rumah lain, rasa
takut menular cepat. Seorang ibu menyuruh anaknya berdoa lebih lama. Seorang
ayah menyalakan lilin tambahan, meski minyaknya hampir habis, hanya agar cahaya
bisa mengusir bayangan di sudut ruangan. Anak-anak mendengar cerita tentang
penyihir dari orang tua mereka, lalu bermimpi buruk. Semua orang hidup dalam
kepanikan yang sama, saling mencurigai, saling berusaha meyakinkan diri sendiri
bahwa mereka aman—asal bisa menemukan kambing hitam untuk dikorbankan.
Dan di tengah semua itu, Greta
Bauer hanya duduk sendirian dalam rumah reyotnya, menjadi pusat bisikan yang
tak pernah berhenti.
Kabut kian tebal, menelan desa
Wittlich seperti rahang raksasa yang perlahan menutup. Dan dalam kegelapan itu,
ketakutan tumbuh, berakar, dan bersiap menelan siapa pun yang berani terlihat
berbeda.
Angin musim semi berhembus dingin
pagi itu, membawa aroma lembap dari ladang basah. Desa Wittlich, yang biasanya
dipenuhi suara sapi dan tawa anak-anak, mendadak hening. Semua mata tertuju
pada halaman rumah Hans Fischer. Seekor sapi betina kesayangannya, yang sudah
memberinya susu selama lima tahun, tergeletak kaku dengan busa putih di
mulutnya.
Hans berdiri di dekat bangkai,
wajahnya merah padam, matanya sembab karena kurang tidur. Baru seminggu lalu
adiknya jatuh sakit misterius, demam tinggi tanpa sebab jelas. Kini, kematian
sapi ini seolah menambah pukulan.
“Ini bukan kebetulan,” gumam Hans,
suaranya pecah namun cukup keras untuk didengar tetangga yang mulai
berdatangan.
Beberapa pria menatap sesama, tak
berani bicara dulu. Namun ketika Hans menunduk, memandang bangkai sapinya
dengan tangan gemetar, ia mengangkat kepalanya dengan sorot mata penuh amarah.
“Aku tahu siapa pelakunya,”
katanya.
Keheningan menegang.
“Greta Bauer.”
Nama itu meluncur seperti belati,
menancap dalam benak semua yang mendengar.
Greta—janda tua yang tinggal di
pinggir desa, di rumah kayu kecil yang gelap. Seorang wanita yang jarang
berbicara dengan orang lain, sering terlihat berjalan sendirian membawa
keranjang kosong, dan kadang terdengar berbisik sendirian di malam hari. Bagi
sebagian warga, ia sekadar perempuan kesepian. Bagi sebagian lain, ia sosok
yang misterius, sedikit menakutkan.
Seorang ibu muda di kerumunan
menutup mulutnya dengan tangan, seakan nama itu tidak pantas disebut
keras-keras. Anak-anak kecil segera ditarik menjauh, seakan menyebut nama Greta
bisa mendatangkan sial.
Hans menunjuk bangkai sapinya
dengan tangan gemetar. “Tidak ada penyakit, tidak ada luka. Semalam sehat, pagi
ini mati. Itu sihir! Dan siapa lagi kalau bukan dia? Dia selalu menatap sapiku…
dengan cara aneh!”
Bisikan mulai berputar di antara
kerumunan.
“Memang, aku pernah lihat Greta
bicara sendiri di ladang…” kata seorang pria tua.
“Aku juga dengar dia suka jalan ke sumur saat tengah malam,” tambah yang lain.
“Bukankah putranya meninggal tiba-tiba beberapa tahun lalu? Ada yang bilang itu
karena dia sendiri tak bisa melindungi keluarganya dari setan,” suara lain
menimpali, setengah bisikan, setengah keyakinan.
Marta Klein, seorang pedagang
anggur yang lidahnya lebih tajam daripada pisaunya, maju selangkah. Ia
menyilangkan tangan di dada dan berkata dengan nada penuh kepastian:
“Greta terlalu sering berbisik-bisik sendiri. Aku pernah lewat rumahnya,
kulihat cahaya lilin berkelip meski sudah larut. Dia bukan sekadar janda
tua—dia sedang berhubungan dengan sesuatu.”
Bisikan berubah menjadi dengung.
Wajah-wajah yang awalnya ragu kini perlahan mengeras, menyerap keyakinan dari
suara Marta. Seperti api kecil yang menjilat jerami kering, gosip itu menyebar
cepat, menyalakan imajinasi setiap orang.
Hans menatap Marta, seolah mendapat
sekutu dalam amarahnya. “Kalian semua mendengarnya. Dia bukan orang biasa. Dia
penyihir. Kalau dia bisa membunuh sapiku, besok siapa yang tahu? Mungkin
anak-anak kita. Mungkin kita sendiri.”
Suasana menegang. Orang-orang mulai
menoleh satu sama lain, mencari kepastian, mencari rasa aman dari tatapan
sesama. Di balik kerumunan, seorang bocah kecil bertanya polos kepada ibunya:
“Ibu, kalau Greta benar penyihir…
apakah dia bisa terbang di atas rumah kita?”
Sang ibu segera menempelkan tangan
ke mulut anaknya, menunduk takut, lalu buru-buru menariknya pulang.
Dan seolah itu menjadi tanda, satu
per satu warga mulai beranjak, membawa pulang cerita yang akan mereka bisikkan
di dapur, di pasar, di kebun anggur. Desas-desus itu kini hidup, berdetak
bersama denyut nadi desa Wittlich.
Hari-hari berikutnya, gosip kian
berkembang. Di pasar, saat para ibu menawar harga roti, nama Greta selalu
muncul.
“Semalam aku dengar anjingku
menggonggong tanpa henti. Pasti ada bayangan lewat… siapa lagi kalau bukan
dia.”
“Aku kehilangan ayam tiga ekor,
padahal pintu kandang terkunci. Kalian tahu siapa yang mampu begitu.”
Di gereja, bahkan ketika Pastor
Johann memimpin doa, beberapa jemaat mencuri-curi pandang ke arah bangku kosong
tempat Greta biasanya duduk. Ketidakhadirannya bukan dianggap sakit atau lelah,
tapi justru bukti: ia bersembunyi dari tatapan Tuhan.
Psikologi massa bekerja dengan cara
yang sunyi tapi mematikan. Rasa takut yang awalnya samar kini menjadi keyakinan
bulat. Setiap kejadian buruk, sekecil apapun, segera dicatatkan ke dalam “bukti
tak kasatmata” tentang Greta.
Seorang anak jatuh dari tangga?
“Itu karena Greta sedang mengutuk
keluarganya.”
Lilin di altar gereja padam ditiup
angin?
“Setan yang dipanggil Greta ikut
masuk.”
Orang-orang tak lagi bertanya
apakah Greta bersalah. Pertanyaan itu sudah tak relevan. Yang penting hanyalah:
kapan ia akan ditangkap.
Sementara itu, Greta menjalani
hari-harinya dengan kebingungan yang semakin menyesakkan. Ia tidak tahu mengapa
warga mulai menutup pintu lebih cepat setiap kali ia lewat. Ia tidak paham
mengapa tatapan mata menjadi tajam, atau bisikan berhenti mendadak setiap kali
ia masuk ke pasar.
Pada suatu sore, Greta berdiri di
depan rumahnya, menatap langit yang kelabu. Dari kejauhan ia melihat sekelompok
anak berlari sambil menjerit-jerit, lalu tiba-tiba berhenti begitu melihatnya.
Salah satu anak melemparkan batu kecil ke tanah dekat kakinya, lalu mereka
semua kabur sambil tertawa gugup.
Greta menunduk, melihat batu itu.
Bibirnya bergetar. Ia ingin berteriak, ingin menjelaskan bahwa dirinya bukan
apa-apa selain seorang wanita tua yang kesepian. Tapi kata-kata itu seolah
tertelan udara dingin.
Di dalam hatinya, Greta mulai
merasakan sesuatu yang jauh lebih menakutkan daripada kesepian: ia merasa tidak
lagi hidup di antara manusia.
Pada malam keempat setelah sapi
Hans mati, lonceng gereja berdentang. Desa Wittlich yang biasanya sunyi setelah
gelap, kali itu penuh bisikan. Dari jendela-jendela, mata-mata mengintip. Dari
lorong-lorong sempit, suara-suara rendah bergaung:
“Besok kita harus melapor ke
pengadilan Wittlich.”
“Jangan biarkan dia bebas terlalu
lama.”
“Kalau benar dia penyihir, siapa
tahu kutukan berikutnya menimpa kita.”
Di balik dinding, rasa takut tumbuh
menjadi obsesi.
Bagi Greta, malam itu terasa
panjang. Angin mengguncang jendela rumah kayunya, membuat lilin kecil
bergoyang. Ia duduk di kursi reyot, tangannya menggenggam rosario tua
peninggalan suaminya. Bibirnya berbisik doa, memohon agar Tuhan memberinya
kekuatan menghadapi apa pun yang datang.
Tapi di luar sana, doa-doa lain
sedang dipanjatkan pula—doa dari tetangga-tetangganya yang memohon agar Greta
diusir, dihukum, dimusnahkan demi keselamatan desa.
Doa-doa yang berlawanan itu beradu
di udara Wittlich yang dingin.
Dan ketika fajar menyingsing, semua
orang tahu: tuduhan pertama telah lahir, dan tidak ada jalan untuk kembali.
Langkah-langkah berat menggema di
lorong batu. Greta Bauer berjalan diapit dua penjaga, rantai besi mengikat
pergelangan tangannya. Nafasnya pendek-pendek, wajahnya pucat seperti kapur.
Dari celah jendela sempit, cahaya suram masuk, menyorot wajahnya yang penuh
kerut dan mata yang sembab.
Di ujung lorong, pintu kayu besar
berukir salib dibuka dengan bunyi berderak. Ruangan pengadilan Wittlich menelan
Greta dalam keheningan yang menakutkan.
Ruangan itu gelap, diterangi hanya
oleh obor yang meneteskan cairan hitam ke lantai batu. Di dinding depan
tergantung salib besar, bayangannya memanjang ke arah kursi-kursi kayu tempat
orang-orang desa duduk, wajah mereka kaku, antara takut dan lega karena bukan
mereka yang berdiri di sana.
Di tengah ruangan, di atas kursi
tinggi, duduk Wilhelm Reuter, hakim gereja. Wajahnya keras, mata dingin, jubah
hitamnya menambah aura mengancam. Di sampingnya ada beberapa penulis
pengadilan, pena mereka siap mencatat setiap kata yang keluar.
“Greta Bauer,” suara hakim
menggema, berat, bergema di ruang batu. “Engkau dituduh bersekongkol dengan
setan, meracuni ternak warga Wittlich, dan menebar kutukan kepada
saudara-saudaramu. Bagaimana kau menjawab tuduhan ini?”
Greta mengangkat wajahnya perlahan.
Suaranya bergetar.
“Saya… tidak bersalah. Saya hanya
seorang janda tua. Saya tidak tahu apa yang kalian bicarakan.”
Bisikan menyebar di kursi penonton.
Beberapa orang saling menunduk, tidak berani menatap langsung. Dalam suasana
itu, keheningan lebih menyeramkan daripada teriakan.
Hakim menatap ke arah pendeta yang
berdiri di samping altar kecil.
“Franz Lukas, imam Wittlich.
Naiklah ke mimbar. Kau telah mendengar desas-desus dari umatmu.”
Franz melangkah maju, wajahnya
pucat. Jemarinya meremas rosario di tangan, matanya menatap sebentar ke arah
Greta—ada keraguan, bahkan rasa iba. Namun tatapan puluhan pasang mata jemaat
dari desanya menusuk punggungnya, menuntut ia berbicara.
Franz menarik napas. “Saya… saya
telah mendengar bisikan umat tentang kebiasaan Greta Bauer. Ia sering terlihat
berbisik sendiri di malam hari, dan sejak itu, banyak kejadian aneh menimpa
desa. Sapi mati, ayam hilang, anak-anak jatuh sakit. Mereka percaya ini bukan
kebetulan.”
“Apakah kau juga percaya demikian?”
tanya hakim, nadanya menusuk.
Franz terdiam. Tenggorokannya
kering. Kata “tidak” hampir meluncur dari bibirnya, tapi di belakang, ia
mendengar suara seorang wanita berbisik: “Kalau dia membela Greta, mungkin
dia juga penyihir.”
Keringat dingin mengalir di pelipis
Franz. Ia menunduk.
“Aku… aku tidak bisa menolak
keyakinan umatku. Mereka semua melihat tanda-tanda.”
Bisikan makin keras, berubah jadi
dengungan persetujuan. Hakim mengangguk, lalu memanggil saksi berikutnya.
“Matthias Vogel, majulah.”
Matthias, seorang petani paruh baya
dengan punggung bungkuk, melangkah ke depan. Tangannya gemetar, lututnya lemas.
Greta menatapnya dengan mata penuh harap—mereka bertetangga bertahun-tahun. Ia
pernah membantu istrinya melahirkan, pernah memberi sup saat anak Matthias
sakit.
Hakim menatap tajam. “Apa yang kau
ketahui tentang Greta Bauer?”
Matthias menelan ludah. Ia ingin
berkata: Greta orang baik, dia tidak bersalah. Tapi suara-suara di
sekitarnya berputar seperti badai. Ia ingat cerita Hans tentang sapinya, gosip
Marta di pasar, bisikan bahwa siapa pun yang membela Greta akan dituduh ikut
bersekongkol.
Ia menutup mata sejenak, lalu
berkata dengan suara serak:
“Aku pernah melihat Greta berdiri
di ladang saat tengah malam. Dia berbisik, aku tak tahu apa yang dia katakan.
Besok paginya, ayamku mati tiga ekor.”
Kerumunan berbisik keras. Hakim
mengangguk mantap, pena pengadilan menorehkan catatan.
Greta menjerit. “Itu bohong! Aku
hanya berdoa! Aku berdoa di ladang karena di rumahku terlalu sesak!”
Tapi suaranya tak mampu menembus
dinding keyakinan yang sudah dibangun. Matthias menunduk, matanya berair. Ia
tahu ia mengkhianati Greta, tapi ketakutan menahan lidahnya.
Seorang demi seorang dipanggil.
Marta Klein bersaksi dengan suara penuh percaya diri.
“Aku pernah melihat cahaya dari
rumahnya tengah malam. Cahaya yang berkelip, bukan dari lilin biasa. Aku yakin
itu ritual iblis.”
Warga lain ikut menambah cerita:
suara aneh di sumur, bayangan bergerak di kebun, anak-anak yang sakit setelah
lewat depan rumah Greta. Semua bercerita dengan nada pasti, meski dalam hati
mereka sendiri penuh keraguan.
Greta hanya bisa berdiri, matanya
merah, wajahnya basah oleh air mata. Ia berusaha bersuara, memohon, tapi setiap
kata tenggelam dalam gelombang gosip yang sudah berubah jadi “kebenaran umum.”
Hakim mengetukkan palu kayu di
meja. “Bukti-bukti dan kesaksian menunjukkan bahwa Greta Bauer bersalah. Namun
demi hukum Tuhan dan gereja, kami akan melanjutkan pemeriksaan lebih lanjut.
Jika dalam waktu dekat ia tidak mengakui perbuatannya, ia akan dihadapkan pada
metode pengujian yang sahih.”
Ruangan bergemuruh pelan. Greta
tahu maksud kata-kata itu: penyiksaan.
Setelah sidang ditutup, orang-orang
keluar dari ruangan. Wajah mereka serius, tegang, sebagian lega karena Greta
kini resmi menjadi kambing hitam.
Franz Lukas berjalan pelan, dadanya
sesak. Ia merasa bersalah, tapi takut suaranya bisa menyeretnya sendiri ke
tiang pembakaran.
Matthias berjalan sambil menunduk,
merasa pengkhianat. Dalam hati ia berdoa agar Greta bisa selamat, tapi bibirnya
terkunci oleh ketakutan.
Di balik jeruji besi, Greta duduk
sendirian, tubuhnya bergetar. Ia tidak mengerti bagaimana bisikan bisa berubah
jadi hukuman. Ia menatap salib kecil di dinding sel, berdoa lirih, tapi suara
teredam oleh gema tuduhan yang terus berputar di luar sana.
Dan di desa Wittlich, gosip berubah
jadi kepastian. Mereka berkata:
“Greta akan mengaku. Semua penyihir
akhirnya mengaku.”
Mereka tidak sadar, pengakuan itu
bukan kebenaran—melainkan hasil tekanan, hasil ketakutan yang mereka ciptakan
sendiri.
Ketakutan yang kini lebih kuat
daripada kebenaran.
Suara rantai berderak ketika Greta
diseret ke ruang bawah tanah pengadilan. Ruangan itu sempit, dindingnya lembap,
bau besi dan keringat menyesakkan dada. Di tengah, tergantung alat-alat
penyiksaan: roda kayu, tali pengikat, dan besi membara. Api kecil di tungku
memantulkan cahaya bergetar di wajah para penjaga.
Hakim Wilhelm Reuter berdiri di
pintu, didampingi Pastor Franz Lukas yang menunduk, tidak sanggup menatap
Greta. Algojo Johann Stein—seorang pria bertubuh besar, wajahnya tanpa
ekspresi—mengikat tangan Greta ke bangku kayu.
“Greta Bauer,” suara hakim bergema,
“engkau masih menyangkal persekutuanmu dengan Iblis. Demi keselamatan jiwamu,
kami akan membantumu mengaku.”
Greta bergetar, wajahnya pucat.
“Saya bersumpah demi Tuhan, saya tidak bersalah…”
Namun kata-katanya dipotong
teriakan ketika Johann memutar roda kayu, menarik lengannya hingga otot-ototnya
berderak. Greta menjerit, tubuhnya bergetar, napasnya tersengal.
Franz menggenggam rosarionya erat,
berdoa dalam hati agar siksaan ini berhenti. Tapi ia tahu, semakin Greta
menyangkal, semakin panjang penderitaannya.
Setelah berjam-jam siksaan, tubuh
Greta lemas, suaranya nyaris hilang. Hakim mendekat, membisikkan kalimat yang
lebih menyeramkan daripada api dan besi:
“Jika kau mengaku, penderitaanmu
berakhir. Jika tidak… kau akan mati lebih kejam.”
Air mata mengalir di wajah Greta.
Dalam kabut sakit dan keputusasaan, ia akhirnya berbisik, “Ya… aku… aku
bersalah.”
Kalimat itu mengalir bukan sebagai
kebenaran, melainkan sebagai jalan keluar dari penderitaan. Catatan pengadilan
menuliskan pengakuan palsu itu, sementara Greta hanya bisa terisak, menyadari
bahwa kata-katanya baru saja menandatangani kematiannya sendiri.
Alun-Alun Wittlich
Musim dingin menutup Wittlich dengan
langit kelabu. Di alun-alun, panggung kayu besar telah dibangun. Di tengahnya
berdiri tiang-tiang, tumpukan kayu kering menunggu untuk dibakar. Bau damar
bercampur udara dingin menusuk hidung, sementara lonceng gereja berdentang
memanggil warga.
Kerumunan berbondong-bondong
datang: petani, pedagang, bahkan anak-anak. Mereka berdesakan, wajah mereka
penuh rasa takut sekaligus penasaran. Ada doa lirih, ada tangis tertahan, tapi
juga ada sorakan.
Greta Bauer dibawa naik dengan
rantai di leher. Tubuhnya ringkih, langkahnya gemetar. Di belakangnya, tiga
orang lain ikut diarak:
- Katarina
Müller, seorang bidan desa yang dituduh karena terlalu banyak membantu
kelahiran bayi dengan “cara aneh.”
- Peter
Hoffmann, seorang tukang kayu miskin, dituduh karena istrinya sakit jiwa
dan orang percaya itu akibat kutukan.
- Elsbeth
Keller, seorang ibu muda, yang disiksa hingga mengaku bahwa dirinya
penyihir—dan bahwa suaminya pun tahu rahasianya.
Di tepi kerumunan, berdiri Anna
Keller, putri Elsbeth. Gadis itu berusia empat belas tahun, matanya membesar
melihat ibunya dipaksa menaiki panggung. Tangannya menggenggam erat lengan
kakaknya, tubuhnya gemetar.
“Kenapa mereka membawa Ibu?”
suaranya bergetar.
“Diam, Anna,” kakaknya berbisik,
“kalau kita bersuara, mereka akan menuduh kita juga.”
Algojo Johann Stein maju, membawa
obor. Wajahnya tetap dingin, tanpa emosi. Di sampingnya, Pastor Franz berdiri
dengan kitab di tangan, membacakan doa. Suaranya bergetar, seakan lidahnya
sendiri enggan mengucapkan ayat yang kini digunakan untuk membenarkan
pembantaian.
Hakim Reuter naik ke mimbar,
mengumumkan putusan.
“Demi nama Tuhan, demi kebersihan
jiwa dan tanah ini, para terhukum akan disucikan oleh api. Biarlah roh-roh
jahat dibakar bersama mereka, dan desa kita terbebas dari kutukan.”
Sorakan campur tangis meledak dari
kerumunan. Ada yang berseru “Amin!”, ada yang menutup wajah dengan tangis. Api
dipandang sebagai simbol pembersihan, tapi di mata Greta, api itu hanya
kegilaan.
Tali pengikat melilit tubuh Greta
dan yang lain di tiang kayu. Di samping Greta, Elsbeth Keller menangis
histeris, suaranya serak. Hakim mendekat dan memaksa:
“Akui siapa lagi yang menjadi
penyihir bersama kalian!”
Elsbeth terisak, wajahnya hancur.
Tatapan Anna menembus kerumunan, memohon belas kasih. Tapi suara massa lebih
keras daripada suara hati seorang ibu.
Dengan tangis terputus-putus,
Elsbeth berteriak, “Marta Klein… dia juga penyihir… dia menyuruhku!”
Kerumunan bergemuruh. Marta, yang
berdiri di kerumunan, terkejut, wajahnya memucat. Ia menjerit, “Bohong! Itu
fitnah!” Tapi tatapan orang-orang segera beralih padanya. Tuduhan yang
dilemparkan dari bibir terbakar ketakutan kini menempel padanya, tak peduli
benar atau tidak.
Anna menutup telinganya, menangis.
Ia tidak bisa lagi mendengar ibunya berteriak, tidak sanggup melihat api yang
mulai menyala.
Johann menyalakan obor ke kayu
kering di bawah tiang. Api menjilat perlahan, menyebar, menelan udara dengan
bunyi berderak. Asap hitam mengepul ke langit kelabu.
Greta menutup mata, berdoa lirih,
tubuhnya bergetar. Katarina Müller menjerit panjang, suaranya berubah serak
seiring asap memenuhi paru-parunya. Peter Hoffmann hanya terdiam, menerima
nasibnya dengan tatapan kosong.
Kerumunan berteriak, sebagian
bersorak seolah menonton hiburan, sebagian lagi menangis, menutup wajah dengan
tangan. Ada yang berdoa keras-keras, ada pula yang menyebut nama setan, yakin
bahwa dengan setiap kobaran api, Iblis terusir dari Wittlich.
Tapi di antara semua itu, mata
Greta terbuka sejenak. Ia melihat wajah-wajah tetangganya—orang yang dulu
berbagi roti dengannya, orang yang dulu menerima bantuannya. Kini mereka semua
bersatu, bukan karena keyakinan, tapi karena ketakutan. Mereka lebih takut pada
kecurigaan daripada pada dosa.
Api semakin besar, menelan suara
jeritan. Wajah-wajah yang bersorak terlihat gila dalam cahaya merah.
Ketika tiang-tiang kayu hanya
menyisakan abu, kerumunan perlahan bubar. Bau daging terbakar masih menyelimuti
udara, tapi orang-orang menyebutnya sebagai bau “pembersihan.” Mereka berkata,
desa kini akan aman. Mereka berkata, Tuhan akan memberkati tanah Wittlich.
Namun di mata Anna Keller, yang
berdiri gemetar sambil menggenggam tangan kakaknya, itu bukan berkat. Itu hanya
kegilaan. Ia tahu, ibunya mati bukan karena setan, tapi karena manusia yang
memilih takut daripada berani mengatakan kebenaran.
Malam itu, di setiap rumah, orang
berdoa dengan suara lebih keras dari biasanya. Bukan doa syukur, melainkan doa
agar nama mereka tidak pernah disebut di pengadilan berikutnya.
Dan di Wittlich, hakim-hakim
kembali menulis daftar baru, nama-nama baru, saksi-saksi baru. Api di alun-alun
belum padam, karena selalu ada bahan bakar: ketakutan yang tak pernah habis.
Greta Bauer mati bukan karena ia
penyihir, tetapi karena ia terlalu lemah melawan gelombang kebencian. Katarina,
Peter, dan Elsbeth ikut terbakar, korban lain dari psikologi massa yang lapar
akan kambing hitam.
Api di Wittlich memang membakar
tubuh mereka, tapi yang lebih mengerikan adalah api yang membakar hati manusia:
api ketakutan, api fitnah, api kegilaan kolektif.
Dan selama api itu ada, setiap
orang di Wittlich tahu—hari ini Greta, besok bisa saja mereka.
Malam itu, setelah api padam di
alun-alun Wittlich, udara masih menyimpan sisa bau kayu terbakar bercampur
daging yang hangus. Asap tipis menempel pada pakaian orang-orang yang pulang
dengan wajah muram, sebagian dengan sorot mata puas seakan keadilan telah
ditegakkan, sebagian lain membawa rasa takut yang lebih besar daripada
sebelumnya.
Di sudut kamar kecil di rumahnya di
Wittlich, Anna Keller duduk memeluk lutut di ranjang jerami. Rambutnya kusut,
wajahnya masih merah karena tangis yang tak berhenti sejak sore. Kakaknya, yang
lebih tua dua tahun, berbaring membelakangi, berusaha tidur dengan terisak
tertahan. Mereka baru saja kehilangan ibunya, Elsbeth Schneider, yang dituduh
bersekongkol dengan Greta Bauer dan dibakar di alun-alun.
Beberapa hari sebelum eksekusi, di
ruang pengadilan Wittlich, Anna dipaksa berdiri di hadapan hakim Wilhelm
Reuter. Imam Franz Lukas menatapnya dengan sorot mata yang penuh dorongan,
sementara pejabat mencatat setiap kata.
“Apakah ibumu pernah membisikkan
doa-doa aneh saat bulan purnama?” tanya hakim dengan nada dingin.
Anna yang masih berusia 14 tahun
kala itu, hanya bisa gemetar. Ia tak paham maksud pertanyaan itu, hanya tahu
kalau ia harus menjawab. Di belakangnya, seorang penjaga menggeram, seolah siap
menarik rambutnya bila ia tak patuh. Kakaknya sudah lebih dulu bicara: “Ya,
saya pernah melihatnya.” Sebuah kebohongan yang terpaksa keluar, demi
bertahan.
Anna ingin berteriak “Tidak, itu
tidak benar! Ibu hanya berdoa kepada Tuhan seperti yang diajarkan di gereja!”
Namun suara itu terkunci di tenggorokannya. Ketakutan membekap dirinya. Ia
mengangguk lemah, dan di detik itu juga seolah palu pengadilan jatuh di
hatinya.
Kini, setiap kali lonceng katedral Wittlich
berdentang, Anna terbangun dengan keringat dingin. Suara itu menyerupai pekikan
ibunya saat api mulai menjilat gaun lusuhnya.
Ia menutup telinga dengan kedua
tangannya, berbisik:
“Maaf, Ibu... aku tak berani...”
Namun kata-kata itu hanya tenggelam
dalam kesunyian malam, tidak pernah sampai pada wanita yang telah lenyap dalam
api.
Sementara itu, di rumah lain,
Matthias Vogel, tetangga yang pernah dekat dengan Greta Bauer, juga tak bisa
tidur. Ia membolak-balik tubuhnya di ranjang, wajah Greta terus muncul dalam
pikirannya: Greta yang tua, lemah, dengan mata penuh air, menatapnya ketika ia
bersaksi di pengadilan.
Ia teringat bagaimana Greta sempat
berbisik dengan suara serak: “Matthias, katakan yang sebenarnya... kau tahu
aku bukan penyihir.”
Namun ketakutan akan dituduh serupa
membuat Matthias justru mengangguk setuju pada setiap tuduhan hakim.
Kini, bayangan itu menghantam
batinnya. Ia merasakan semacam noda di dalam dada, noda yang tak bisa
dibersihkan doa sekalipun.
Bukannya mereda, eksekusi Greta dan
Elsbeth justru menyalakan bara kecurigaan yang lebih luas. Warga Wittlich dan
desa-desa sekitarnya mulai saling mencurigai lebih intens.
Di pasar, seorang ibu yang anaknya
jatuh sakit mendadak langsung menuding tetangganya: “Ia pasti yang mengutuk
anakku! Aku melihatnya memandang aneh kemarin!”
Di kebun anggur milik Marta Klein,
beberapa pekerja berbisik bahwa Marta sendiri terlalu sering “menambah” cerita
gosip tentang Greta. Apakah itu caranya menutupi dosa sendiri? Desas-desus pun
merayap, pelan namun pasti.
Sapi-sapi yang mati karena penyakit
musim dingin, ladang yang gagal panen akibat hujan deras, semua dianggap bukti
ada penyihir baru yang harus disingkirkan.
Orang-orang yang tadinya bersorak
puas saat api menyala kini justru lebih cemas. Jika Greta bisa dibakar hanya
karena gosip, siapa yang selanjutnya?
Hari-hari setelah eksekusi menjadi
neraka bagi Anna Keller. Di sekolah gereja, teman-temannya menjauh. Beberapa
anak berbisik: “Itu anak penyihir.”
Anna menutup wajahnya dengan syal
lusuh setiap kali berjalan di jalanan. Setiap tatapan terasa seperti pisau yang
menusuk kulitnya. Ia mulai berbicara pada dirinya sendiri di malam hari,
memanggil nama ibunya berulang-ulang, hingga suaranya habis menjadi isakan.
Dalam mimpinya, ia melihat api
lagi, tapi kali ini bukan ibunya yang terbakar, melainkan dirinya sendiri. Dan
yang bersorak adalah wajah-wajah tetangganya. Ia terbangun dengan jeritan,
membuat kakaknya ikut menangis ketakutan.
Di kedai anggur, Matthias mencoba
menenggelamkan rasa bersalah dengan minuman. Namun setiap kali ia meneguk,
wajah Greta muncul di dasar gelas. Ia melihat bagaimana tubuh renta itu dipaksa
mengaku di bawah penyiksaan: kuku dicabut, air mendidih diteteskan ke kulit.
Hingga akhirnya Greta berteriak: “Ya! Aku penyihir! Aku bersetubuh dengan
iblis!” — pengakuan palsu yang ia tahu lahir dari penderitaan.
Matthias merasa dirinya bagian dari
mesin kejam itu. Ketika warga desa mulai menuduh orang baru, ia tak lagi berani
ikut bersuara. Namun diamnya juga tak membuatnya bersih—justru membuatnya
semakin hancur di dalam.
Pada musim gugur 1588, jumlah
tuduhan meningkat drastis. Catatan pengadilan Wittlich menunjukkan ratusan nama
mulai masuk daftar. Beberapa adalah petani miskin, beberapa bahkan bangsawan
rendah yang tak disukai saudaranya.
Semua orang hidup dalam ketegangan
konstan. Gereja yang tadinya menjadi tempat perlindungan kini berubah jadi
tempat di mana orang mencari kambing hitam.
Lonceng katedral bukan lagi
panggilan doa, melainkan tanda pengumuman siapa yang berikutnya akan diadili.
Anna duduk di tepi ranjang pada
suatu malam, menatap kakaknya yang tertidur. Ia berbisik, nyaris tak terdengar:
“Jika mereka datang menjemput
kita... jangan jawab apa-apa.”
Air matanya mengalir tanpa henti.
Ia sadar, gelombang ketakutan ini takkan berhenti di Greta atau ibunya saja. Ia
sendiri bisa jadi korban berikutnya, bukan karena dosa, melainkan karena
bisikan massa yang semakin haus darah.
Matthias, di rumahnya, berdoa
keras-keras, bukan lagi memohon keselamatan, melainkan agar ingatan Greta
hilang dari benaknya. Namun semakin ia memohon, semakin jelas bayangan itu
hadir. Ia mulai merasa mendengar suara Greta di balik pintu, menyebut namanya
berulang: “Matthias... Matthias...”
Eksekusi Greta Bauer dan Elsbeth
Schneider seharusnya menutup lembaran. Namun, yang terjadi justru sebaliknya:
ibarat api yang menjalar di ladang kering, ketakutan merembet tanpa kendali.
Anak-anak tumbuh dengan bisikan
bahwa iblis ada di sekitar mereka. Orang dewasa hidup dengan paranoia bahwa
tetangganya bisa mengutuk mereka kapan saja.
Anna dan Matthias, dua jiwa yang
berbeda usia dan peran, sama-sama terjebak dalam belenggu rasa bersalah. Bagi
mereka, yang mati di api bukan hanya tubuh Greta atau Elsbeth, melainkan juga
rasa percaya satu sama lain di dalam desa.
Dan sejak saat itu, Wittlich tak
pernah benar-benar tidur nyenyak lagi.
Tahun berganti, namun luka Wittlich
tak kunjung sembuh. Desa itu kini terasa setengah mati, seperti tubuh yang
kehilangan darah. Banyak rumah berdiri kosong, pintu dan jendela tertutup rapat
dengan papan kayu. Ladang-ladang terbengkalai, gandum yang dulu bergoyang
diterpa angin kini hanya menyisakan tanah kering bercampur gulma. Burung gagak
sering hinggap di atap-atap rumah, seolah-olah mengumumkan bahwa roh penghuni
lama tak pernah benar-benar pergi.
Di jalan utama, suara anak-anak
yang bermain bola jerami terdengar sebentar, tapi begitu bayangan Johann Stein,
algojo Wittlich, melintas, permainan langsung terhenti. Bocah-bocah itu menatap
tanah, pura-pura mencari batu atau mencabut rumput liar. Johann berjalan dengan
langkah berat, membawa kapak di pinggangnya. Ia tak perlu melakukan apa-apa;
cukup kehadirannya membuat orang-orang tercekat. Di mata mereka, Johann bukan
sekadar manusia—ia simbol api, simbol maut, simbol ingatan pahit yang tak bisa
dihapus.
Nama-nama yang pernah diucapkan di
pengadilan kini hanya tinggal bisikan samar. Namun di antara warga Wittlich,
wajah mereka tetap hidup dalam kenangan.
Katharina Weiss, seorang bidan yang
dikenal suka membantu ibu melahirkan, ditangkap setelah seorang bayi meninggal
dua hari setelah lahir. Padahal, semua tahu ibunya sudah lemah sejak lama.
Namun saat rumor beredar bahwa Katharina menggunakan ramuan “gelap”, tidak ada satu
pun tetangga yang berani membela. Ia digiring ke pengadilan, dan tak pernah
kembali. Rumahnya kini sepi, penuh debu dan bau obat-obatan herbal yang
tertinggal di lemari kayu.
Jakob Meinhardt, seorang petani
muda, pernah dituduh karena hasil panennya anehnya tetap baik ketika ladang
lain gagal. Keberuntungan itu dianggap bukti bahwa ia meminta bantuan iblis.
Padahal, ia hanya bekerja lebih tekun, menggali tanah lebih dalam, dan merawat
ladangnya dengan sabar. Namun di mata massa, tekun bisa dibaca sebagai
kesepakatan dengan setan. Jakob dibakar bersama beberapa orang lain,
meninggalkan istri yang kemudian mati kelaparan karena dijauhi tetangga.
Margarethe Braun, gadis berusia 17
tahun, dituduh karena terlalu cantik. Seorang pemuda terpikat padanya, namun
lamaran ditolak. Pemuda itu, dalam kemarahan dan rasa malu, menyebarkan gosip
bahwa Margarethe bisa “mengikat hati” laki-laki dengan sihir. Ketika ia
diinterogasi, Margarethe menangis keras-keras, memohon agar ia hanya dianggap
gadis biasa. Namun air mata tidak bisa memadamkan api yang menantinya. Kini, di
dekat sumur desa, orang-orang masih melihat gelang kecilnya yang tertinggal di
tanah, setengah terkubur lumpur.
Mereka yang selamat hidup dalam
ketakutan berlapis. Setiap percakapan dilakukan dengan suara berbisik. Orang
tua mengingatkan anak-anak: “Jangan bicara terlalu keras. Jangan menatap
mata orang lain terlalu lama.”
Pasar yang dulu ramai kini lengang.
Pedagang menjual barang dengan cepat, mata terus waspada memantau sekeliling.
Hampir tak ada yang berani berkumpul lebih dari dua orang, takut kerumunan
dianggap sebagai pertemuan rahasia untuk sihir.
Bahkan gereja, tempat yang
seharusnya memberi ketenangan, terasa seperti ruang pengadilan kedua. Setiap
khotbah tentang dosa dan iblis terdengar seperti ancaman samar: siapa pun bisa
ditunjuk kapan saja.
Anna Keller masih hidup, namun
jiwanya seakan terbelah. Setiap kali ia melihat perempuan tua berjalan sendirian,
ia teringat Greta Bauer. Setiap kali ia mendengar nama ibunya dibisikkan,
tubuhnya gemetar hebat. Malam-malamnya dipenuhi mimpi buruk: api, jeritan, dan
tatapan kosong ibunya saat tubuhnya mulai terbakar.
Kakaknya memilih bungkam total,
jarang bicara, seolah-olah kata-kata bisa membangunkan setan. Mereka berdua
hidup dalam rumah yang kian dingin, dengan bayangan ibunya seakan masih duduk
di sudut dapur.
Matthias Vogel tak lebih baik. Ia
mencoba bekerja di ladang, namun setiap kali menggenggam cangkul, tangannya
terasa berat, seakan beban dosa menempel di lengannya. Ia sering berdiri lama
menatap gereja dari kejauhan, ragu apakah Tuhan masih mendengar doa orang yang
telah berkhianat. Terkadang, ia merasa mendengar suara Greta yang memanggil
namanya dari antara pepohonan.
Semakin lama, orang-orang Wittlich
menyadari sesuatu yang mengerikan: iblis yang mereka takuti bukan datang dari
hutan, bukan dari kegelapan malam, melainkan dari dalam diri mereka sendiri.
Iblis itu berwujud rasa curiga,
rasa ingin menyelamatkan diri dengan mengorbankan orang lain. Iblis itu muncul
dalam bisikan yang memutarbalikkan kebenaran menjadi tuduhan.
Tak ada yang berani menyebutnya
secara terbuka, tapi semua merasakan: penyihir yang paling nyata adalah
ketakutan kolektif yang telah membuat mereka membakar sesama manusia.
Tahun 1589 menutup Wittlich dalam
sunyi yang mencekam. Ladang tetap kosong, gereja tetap berdiri dengan lonceng
yang dingin, dan anak-anak tumbuh dengan cerita bahwa setan bisa muncul kapan
saja—kadang di tubuh tetangga, kadang di dalam keluarga sendiri.
Ketika Johann Stein berjalan
melewati jalan utama, anak-anak berhenti bermain, dan orang dewasa menunduk.
Tak seorang pun menyapanya, tapi tak seorang pun juga berani mengusirnya.
Kehadirannya menjadi tanda bahwa bara ketakutan belum padam.
Wittlich berubah menjadi desa hantu
yang dihuni manusia hidup—mereka berjalan, bekerja, dan bernafas, tapi jiwa
mereka sudah terkubur bersama korban-korban yang pernah dibakar.
Dan sejak itu, di setiap malam
berkabut, orang-orang bersumpah mendengar suara samar di ladang kosong: jeritan
Greta, tangis Elsbeth, rintihan Katharina, suara Margarethe yang muda, dan doa
Jakob yang tak pernah selesai. Suara-suara itu bergema, bukan dari dunia lain,
melainkan dari ingatan yang tak pernah bisa mereka buang.
Di sudut kamar sempit, di balik
jeruji yang berbau karat, Anna Keller duduk bersandar pada dinding dingin yang
lembab. Ia tahu waktunya semakin dekat. Suara langkah penjaga sesekali
terdengar, disertai derit pintu yang membuat tubuhnya bergidik. Namun ketakutannya
bukan lagi pada api yang akan menelannya, melainkan pada manusia yang dengan
mata terbuka tega menyeret orang lain ke dalam kobaran itu.
Di genggamannya ada sepotong kain
lusuh yang dulu menutupi bahunya saat malam-malam dingin. Kini, kain itu
menjadi satu-satunya lembaran untuk menuliskan isi hatinya. Ia mengambil arang
sisa dari obor yang redup di luar jeruji, lalu mulai menorehkan huruf-huruf.
Tangannya gemetar, tapi kata-kata tetap keluar.
“Aku, Anna Keller, menulis ini agar
dunia tahu. Aku tidak takut pada api. Api hanya memakan tubuhku. Yang kutakuti
adalah manusia—tetanggaku, temanku, bahkan keluargaku—yang karena rasa takut
berubah menjadi monster. Mereka berteriak demi keselamatan, namun setiap
teriakan melahirkan kematian baru. Aku melihat bagaimana ibuku, Elsbeth
Schneider, terbakar bukan oleh dosa, melainkan oleh bisikan yang mereka yakini
sebagai kebenaran. Aku bersaksi palsu, dan dosa itu akan kubawa sampai akhir.”
Air mata menetes, membuat arang
sedikit luntur di kain. Namun ia tetap menulis, meski huruf-hurufnya semakin
kabur.
“Jika suatu hari catatan ini
ditemukan, ketahuilah: iblis bukan datang dari hutan, bukan dari langit, bukan
dari bayangan malam. Iblis itu lahir dari ketakutan yang kita pelihara di hati
kita sendiri. Ketakutan itu membuat kita buta, membuat kita haus darah, membuat
kita rela melihat tetangga kita terbakar asal kita selamat sehari lebih lama.
Aku tidak ingin dunia lupa. Jangan biarkan suara orang yang dibakar tenggelam
tanpa jejak.”
Suara langkah mendekat. Anna
menutup kain itu dengan cepat, menyelipkannya di bawah batu longgar di sudut
lantai. Ia menatap ke arah jeruji, lalu memejamkan mata.
Di luar, lonceng katedral Wittlich berdentang,
lambang yang pernah jadi panggilan doa, kini jadi tanda ajal.
Waktu berlalu, generasi berganti.
Ladang kembali ditanami, rumah-rumah yang kosong dihuni oleh wajah-wajah baru.
Namun sejarah yang penuh darah tetap membayang.
Seorang anak laki-laki yang sedang
bermain di reruntuhan penjara lama menemukan sehelai kain lusuh, terlipat dan
kaku oleh waktu. Saat dibentangkan, huruf-huruf arang yang pudar masih bisa
terbaca.
Pendeta desa yang kemudian
membacanya terdiam lama. Kata-kata Anna seakan hidup kembali, berbisik dari
masa lalu: “Aku tidak takut pada api, aku takut pada manusia yang berubah
jadi monster karena ketakutan.”
Catatan itu menjadi saksi bisu
tragedi Wittlich—pengingat bahwa kejahatan paling besar bukanlah sihir yang tak
pernah terbukti, melainkan ketakutan kolektif yang membakar akal sehat dan
belas kasih manusia.
Sejak saat itu, nama-nama Greta
Bauer, Elsbeth Schneider, Katharina Weiss, Jakob Meinhardt, Margarethe Braun, Anna
Keller dan yang lainnya bukan lagi sekadar korban. Mereka menjadi cermin—bahwa
dalam setiap manusia, ada kemungkinan untuk berubah menjadi algojo atau saksi
bisu, jika ketakutan dibiarkan berkuasa.
Dan mungkin, suara Anna yang
terperangkap di kain lusuh itu masih bergema sampai hari ini, menembus abad,
bertanya dengan lirih namun tajam:
“Api sudah padam. Tapi apakah hatimu masih menyala oleh ketakutan?”