Punya temen (nama dirahasiakan)
on Mei 29, 2013
Sebenernya ini cerita singkat temen sekelas gue tapi gue pos aja disini. isinya sebenarnya fakta yg digabungkan beberapa fantasi dari imajinasi yg ada diotak sipembuat cerpen ini. tokoh2nya juga berasal dari temen sekelas...
{Reza Gustiar}
Memory..
"ayo sayang, kita
pulang." seorang gadis jelita dengan langkah riang dan senyum manis
terkembang berjalan mendekatiku, merangkul lenganku, dan kami berjalan pulang.
Namanya ilia, dia
kekasihku, nafasku, segalaku.
Dan namaku rezta.
Hari terakhir di bulan
februari..
"rez, dimana
ilia?" tanya sahabatku elric. Saat itu kami sedang melakukan kegiatan
bakti sosial dari sekolah dengan membagikan nasi bungkus kepada penghuni jalan
yang membutuhkan.
"dia sakit."
jawabku.
Kami menyusuri jalan
membagikan makanan sampai mataku berhenti di sebuah warung tenda roti bakar.
"rez Itu
ilia?" tunjuk elric ke arah seorang gadis yang tengah bercanda mesra
bersama pria sebaya kami.
"iya, itu ilia...
Aduh hehe kau jangan bilang wali kelas kita yang galak itu ya ilia membolos
bakti sosial ini? Dia bisa dimarahi... Ayo.." jawabku.
"melihatnya
bersama pria lain. Melihatnya tertawa karena pria lain. Kejadian itu sudah
sering terjadi. Dia dan pria lainnya...
Tapi kusimpan kesedihan
itu dalam senyum.
Karena aku
mencintainya..." curhatku pada marini sahabat baikku.
marini membisikkan
sesuatu padaku.
"cinta tidak bodoh
rez.. Lebih baik kau sendirian daripada bersama seseorang yang hanya membuatmu
seperti sendirian."
ya, aku bodoh... Dan
sendirian.
Karena terlalu salah
mencintai dan mengartikan hidup ini.
Kutulis dalam memori,
"aku belajar
banyak dalam hidup yang singkat ini.
Cara memberi, dan
menghargai..
Namun ada 2 hal
pelajaran yang takkan kulupakan dalam 1 bulan ini..
Aku belajar untuk mencintai,
dan melepasnya.."
Forever..
Beberapa bulan
setelahnya..
"bengong liat cewe
berjilbab yang mirip sama dia?" ejek demanto padaku.
"aku penasaran,
seperti apa rambut ilia?" elric nimbrung.
"kudengar dia
pindah ya?" tanya aldio dan ahmas berbarengan.
"ya.."
jawabku lesu. "bisa ganti topik? Atau aku harus mengiris telingaku agar
tak mendengar kalian menyebut namanya?"
elric menyodorkan pisau
warung padaku.
Sial, aku dikelilingi
teman teman yang bodoh.
"kau bercanda
kan?!" tanpa sadar kudorong alrpian ke tembok. Lengannya lecet berdarah.
Aku berlari tak tentu
arah, dan berakhir di ujung sore di pinggir pantai desa.
Kubuka lagi lembaran
kertas yang diberi alrpian..
"rez apa kabarmu?
Semoga baik selalu ya?
Rez, bagiku kau adalah
tipe pria yang akan terus berjuang untuk cintanya. Takkan menyerah apapun yang
terjadi.
Itulah sesuatu yang
kucintai dan kutakuti dalam dirimu..
Aku sakit.
Sejak kecil aku tahu
sampai mana batas hidupku.
Sejak kecil aku takut
jatuh cinta dan dicintai.
Sejak kecil aku takut
kehilangan.
Sampai aku bertemu
denganmu..
Aku begitu mencintaimu.
Terlalu menyayangimu..
Bisakah kau memaafkanku
jika kukatakan alasan sebenarnya? Aku dan pria lainnya?
Karena aku ingin kau
pergi dan melanjutkan hidupmu tanpaku..
Aku tak bisa
membayangkan kau menangisi jasadku..
Rez..
Sejauh apapun hidup
memisahkan kita..
Percayalah..
Takkan ada yang bisa
mencintaimu, sebesar aku mencintaimu...
Ilia."
hari berlalu..
ilia mungkin tersenyum
saat aku mendatangi makamnya tanpa tangis...
"tuhan, jaga
ilia.. Saat aku tak bisa.."
{Eldo Ricardo}
Darkness..
"menurutku tuhan
adalah maha segalanya, sekaligus komedian terbesar yang pernah ada."
Namaku elric.
"kenapa setan
kakinya ga napak?" tanyaku.
"belom bayar
pajak!" jawab aldio.
"ya! Salah."
"takut
cacingan!" aldio lagi.
"salaaah!"
"yaudah apaan?
Hmm." tanya demanto sambil diam diam memasukkan korek ahmas ke sakunya.
"karena setan ga
punya uang buat beli sepatu macbeth! Hahaha!"
Aldio mangap, ahmas
lanjut mengetik, demanto garuk garuk si otong.
"hahaha! Ketawa
ateuh kutu tongo! Kan kita mau bantuin elric biar siap di panggung festival
desa!" roy marah marah.
"materi kurang tuh
ric, tema horror bukan?"
"bukan,
pemandangan sama sex bebas." aldio mencengkram bokong ahmas dan
menggoyangnya. Ahmas teriak teriak, "@$%#&!!"
"roy,
terjemahin."
"katanya 'god oh
yes no' de."
"bwahaha!"
semuanya tertawa. Para
sahabatku yang agak miring ini..
"kita dukung kau
ric. Kita bakal ketawa paling keras."
"kau pasti bisa.
Kau berbakat nak." puji aldio dengan nada suara bijak ala bintang iklan
sabun colek.
Ketika malam, di jalan
setapak menuju rumahku.
Aku berceloteh sendiri
dalam hati.
Tertawa adalah sebuah
mukjizat. Komedian adalah para nabi. Dan orang kafir adalah mereka yang tak
tertawa saat menyaksikanku tampil nanti!
Tuhan, berilah penduduk
desa pencerahan dan jauhkan dari kekafiran. Amin.
"ah..!"
keluhku tiba tiba di depan pintu rumahku.
Hening, dingin, sendirian.
3 unsur itu, ditambah
pekat gelap malam, memanggil 'dirinya' untuk datang.
Gelombang gelap itu
menerkam dan membuatku jatuh tak sadarkan diri.
Show..
"tau ga kalo
senyum nyawa kita nambah 1 menit?" tanya ahmas.
"engga."
semua kompak.
Entah ilmu gaib atau
apa, yang jelas aku sering mengalami hal seperti ini. Aku sering tiba tiba
jatuh tak sadarkan diri.
"udah enakan?
Jangan sakit ya, kamu kan janji mau menang di festival nanti." ucap
seorang wanita berkaca mata yang tengah mengusap dahiku.
Kekasihku, tessy.
Di hari pertunjukkan.
"medis!!!"
roy berteriak panik.
Tessy membentur ujung
kursi saat menahanku yang tiba tiba tak sadarkan diri seperti biasa. Luka di
kepalanya cukup serius.
"tessy?!" aku
memanggil namanya, refleks setelah akhirnya tersadar. Rezta meyakinkanku agar
tenang.
"dia di kamar
sebelah. Keadaannya kritis." jelas demanto.
Oh tuhan..
"de ada televisi
di ruangan tessy?" tanyaku.
"ada ric."
Aku berlari keluar
ruangan, keluar rumah sakit, menuju festival desa.
Aku harus menepati
janjiku!
Saat malam tiba.
"ric... Tessy,
ric... Tessy..." ucap demanto pilu sesampainya aku di rumah sakit.
Tidak!
Kuterobos pintu
ruangannya.
"selamat!!"
tessy tersenyum manis, "kamu menepatinya. Aku senyum aku ketawa di 10
menit pertunjukan kamu! Kamu berhasil memperpanjang nyawa aku.. Hehe..
Cinta.. Kamu bakal jadi
orang yang hebat!"
kubuka mataku. Aku
terbaring di depan pintu ruangan tessy.
Apa?
Jadi tadi...
Teman temanku
merangkulku agar aku tenang. Namun air mata ini tak bisa berhenti saat melihat
dirinya diselimuti oleh kain putih itu.
Kutancapkan piala
festival di atas makamnya..
"kamu selalu jadi
senyum aku..
Alasan aku buat tetap
maju..."
{Asep Royani}
Stupid..
Aku memandanginya dari
jauh...
Tersenyum saat dirinya
tersenyum...
Gelisah saat dirinya
bersedih...
"woy si roy bikin
puisi!!!" alrpian merebut kertasku dan mengedarkannya ke komplotan
bajingan yang merupakan sahabat sahabatku. Mereka semua tertawa terpingkal.
Namaku roy.
Ingatanku melayang pada
kejadian hari itu...
Hari dimana semuanya
berubah...
Hari dimana ia mulai
membenciku.
'Gadis sekelasku itu
bernama belle.
Dia selalu tersenyum
padaku. Perhatian padaku..
Aku mengartikan itu
semua dengan nama cinta. Tapi agaknya tidak dengannya. Baginya, kami hanyalah
sahabat. Dan akan terus begitu..
Waktu itu hari hujan.
Kami pulang bersama dan berteduh di pos jaga yang kosong.
Kulihat belle menggigil
kedinginan, kudekap dirinya tanpa basa basi. Kupandangi lekat wajahnya yang
bingung, kudekatkan bibirku untuk menciumnya..
Tamparan keras yang
berbunyi lebih nyaring dari petir mendarat di pipiku.
Tanpa berkata apa apa
belle pergi..
Sejak saat itu, dia tak
pernah berbicara denganku lagi...'
di sekolah. Waktu
istirahat.
"hidup itu kaya
gambar, bakalan lebih indah kalo pake senyum!" sapa dita, sahabat
perempuan yang cukup dekat denganku.
"ah kau..."
ucapku tak bersemangat lalu membuang muka.
"roy, ini kue
buatanku, kau mau mencobanya?" dita menawariku sekotak kue.
Aku menguap ngantuk,
saat itu tanganku tak sengaja mendepak tangannya yang tengah menggenggam kotak
kue itu.
"oh maaf. Sampai
nanti." aku pergi dengan sikap dingin dan bahkan tak melirik kue kue yang
jatuh berceceran di lantai karena ulahku.
Destiny..
3 tahun berlalu, namun
perasaanku terhadapnya sama sekali tidak terusik waktu.
Penyesalanku pun masih
terus menyengat jiwa..
"woy si roy bikin
puisi!!!" seru alrpian. Teman teman bodohku langsung mengelilingiku dan
tertawa bersama sama.
Ini kisah 3 tahun lalu.
Kusemprotkan minyak
wangi favorit di baju baruku.
Kuminyaki rambutku yang
memang terbatas di bagian depan.
Aku siap. Akan kurebut
hati belle! Aku akan minta maaf padanya. Dan mencurahkan segalanya.
Kuputar gagang pintuku.
"hey." sapa
belle di depan pintuku.
"ini." belle
menyerahkan undangan pernikahannya.
"sampai
jumpa." pamit belle.
Aku berdiri tak
bergerak selama 2 jam kedepan didepan pintu.
Aku hancur saat itu..
Sampai dia datang...
"dita?"
"ini. Kuharap kau
akan menyukainya kali ini.. Aku ikut les tata boga sejak lulus. Semua
untukmu.." dita memberiku sekotak kue.
Selama ini..
Dita lah yang perhatian
padaku..
Kemana saja aku selama
ini?
Akhirnya hari itu.
"dita?"
"ya?"
kugenggam tangannya
erat.
"menikahlah
denganku.."
di hari pernikahan.
Aku menunggu cintaku
yang selama ini tertutup kebodohanku.. Dita.. Sebentar lagi sayang..
"anda pak
roy?" tanya seorang petugas.
"ya, saya
roy."
"maaf pak,
rombongan mempelai wanita, beserta ibu dita mengalami kecelakaan serius..
Tidak ada yang
selamat..."
Cincin pernikahanku
jatuh berdenting bersama air mataku..
Aku hanya menatap acara
pemakamanmu dari jauh... Karena aku tak sanggup.
"jika semua
penyesalan ini tiba di awal..
Mungkin sekarang..
Kita telah hidup
bahagia berdua..."
The message from up above (By : Daka Primantafiziah)
part I
"baiklah, silahkan bunuh aku, dengan begitu
takkan ada lagi yang terluka. Ayo, silahkan." kataku sesopan mungkin.
Kerumunan polisi kota bertubuh gemuk yang saat itu -di imajinasiku- terlihat
seperti pasukan pasukan kerajaan yang gagah, membeku di tempatnya masing
masing. Tidak ada yang
berani melangkahkan pijakannya lebih dekat lagi ke arahku karena di bawah
patung kokoh berseragam prajurit yang keras menunjuk ke satu arah ini, yaitu patung sang kapten muslihat, kudekap
gadis yang merupakan keluarga dari bapak walikota yang terhormat dari kota
penghujan ini dan memamerkan pisau dapur yang mengilat tajam di depan lehernya.
"pengecut." cemoohku pada mereka.
Meski kakiku terendam air dari kolam taman itu hingga
betis, namun para pasukan kerajaan itu -polisi polisi gemuk itu- pasti tau
resikonya jika mereka ceroboh mengambil tindakan.
Mereka kini menunggu bantuan pasukan angkatan
bersenjata dan tim khusus lainnya -yang kusebut dalam imajinasiku sebagai royal
guardian- untuk sampai ke lokasi ini.
Bagiku, pelataran tempat yang dinamakan taman topi ini
tak asal kupilih, seperti tempat lainnya, ini memiliki apa yang kusebut 'box'.
"sayang.. Katakan, buah jeruk, atau apel?"
bisikku pada sandera didekapanku ini yang hanya menangis tak memberi jawaban.
Kuhela nafas dalam dalam saat jam hitam tuaku sudah
berbunyi tak sabar karena alarm aktif menandakan sebuah waktu khusus.
"baiklah..." kataku santai.
Dengan satu gerakan, kurobek leher gadis malang ini
sampai nyaris putus.
Part II
Air kolam yang memantulkan kelabu warna langit ini
beriak kental. Warna merah kehitaman dari rekahan leher gadis itu mengucur dan
sesekali muncrat menyembur ke depan. Lehernya kukoyak sekali lagi dengan pisau
ini hingga kepalanya kini kupegang dengan tangan kiriku. Kutendang tubuhnya ke
depan, yang setelah mengejang beberapa kali langsung terdiam mengambang kaku. Kejadian
itu berlangsung cepat dan tak diduga sama sekali, para pasukan kerajaan itu
kini sediam patung kapten muslihat.
"wah, wah, wah.. Berantakan sekali?" kataku dengan mimik sebal sambil melemparkan
kepala gadis berambut panjang itu jauh ke depan ke tempat kerumunan polisi
polisi gemuk bersiaga. Teriakan histeris para warga dan keributan lainnya
pecah. Berkali kali polisi polisi itu berkata jangan bergerak! Jangan bergerak!
Bodoh.. Aku takkan kemana mana ko.
Satu satu polisi itu mendekatiku sambil tetap
menodongkan senjata apinya. Kujatuhkan pisau tajam dilenganku. Kuangkat tinggi
tinggi kedua lenganku. Dan ketika hampir sedikit lagi mereka mendekati kolam
ini..
"sayonara. Mr. Stupid police." kuiringi
ledakan bom yang kutanam tak jauh di depan kolam itu dengan hormat tegap dan
muka serius yang dibuat buat, lalu tertawa terbahak bahak melihat kepingan
potongan tubuh para pasukan kerajaan yang tercerai berai terjatuh bagai hujan.
"ini. Yang seperti ini yang SEHARUSNYA KALIAN
LAKUKAN!! !" teriakku pada mereka yang terkejut kejut menyaksikan ini
semua. "bunuh mereka, kita mulai yang baru."
Part III
gemuruh ricuh di taman topi dan sekitarnya kini sudah meluas
hingga jauh.Kemacetan mengular panjang. Dari kejauhan kudengar bising suara
yang berasal dari satuan pasukan khusus yang terjepit kemacetan padat. Namun
ada satu lagi yang 'berisik' dan baru saja tiba tepat beberapa puluh meter dari
atas kepalaku.
"payah... Jemputan datang." kataku merajuk
lalu mengambil sepotong permen karet dari saku lalu mengunyahnya.
"bermain main dengan badut babi, senang?"
sapa sahabatku yang bernama defranda, gadis keturunan italia.
"def?! Hentikan itu! Lagi lagi kau melompat langsung!
Coba kau hitung jaraknya! Kakimu bisa patah!" ucap satu lagi manusia yang
berseragam sama denganku. Temanku juga setidaknya. Pria tampan bernama romeo.
Dia pun berdarah asing, darah jerman.
"baiklah nona nona ayo masuk, atau akan ada
banyak mayat lagi disini." kata suara yang berasal dari tubuh kekar
dibelakangku, albert, pria berdarah inggris.
"dimana letak keindahan saat membunuh mangsamu?
Berantakan sekali..." ucap terry, temanku dari prancis.
"hey bung! Turun dari patung itu! Itu salah satu
kebanggaan kotaku!" kataku sambil memasang raut marah yang berlebihan pada
terry yang tengah duduk di pundak kapten muslihat.
"hehe pardon, mon sieur." jawabnya lalu
turun.
"ayo, mika sudah menunggu kita di mobil."
kata defranda sambil menggandeng tanganku. Romeo cemberut.
"dimana dia?" tanyaku celingak celinguk.
"hmm coba kuingat. Kalau tidak salah.. Di
sana." defranda menunjuk tempat makan fast food di seberang jalan.
"kfc?" kata albert.