Tokyo 2003
Hujan turun seperti serpihan kaca.
Dari balik kaca depan mobil, aku
hanya melihat garis-garis putih yang terurai menjadi dunia lain—seakan semua
yang kami lewati hanyalah sisa kenangan yang menolak padam. Aya duduk di
sebelahku, memutar radio pelan, lagu lama dari era 80-an yang tak kukenal.
Tangannya yang kurus mengetuk-ngetuk setir mengikuti irama, dan sesekali ia
menoleh padaku sambil tersenyum kecil, senyum yang seolah tahu sesuatu yang aku
tidak.
“Jalan malam seperti ini selalu
membuatku tenang,” katanya.
Aku mengangguk, meski sebenarnya
tidak. Hujan membuatku gelisah. Lampu-lampu mobil dari arah berlawanan memantul
di kaca dan membentuk garis merah panjang, seperti urat darah yang ditarik
paksa. Aya masih tersenyum, tapi matanya tampak jauh, menatap keluar jendela,
ke arah bayangan gedung-gedung gelap di kejauhan. Tokyo dari pinggiran selalu
tampak lebih sunyi, seperti kota yang berusaha mengingat dirinya sendiri.
Aku ingin mengatakan sesuatu
padanya—tentang betapa aku khawatir, betapa aku takut ia terlalu sering
menyetir malam-malam seperti ini, tapi kata-kata itu membeku di ujung lidah.
Aya dan aku, meski kembar identik, tidak pernah benar-benar tahu bagaimana harus
bicara satu sama lain tanpa menyentuh luka lama.
Mungkin karena terlalu mirip, kami
saling memantul sampai tak tahu siapa bayangan siapa.
“Jangan diam saja,” katanya lagi.
“Kau terlihat seperti sedang memikirkan hal aneh.”
Aku tertawa kecil. “Aku cuma
lelah.”
“Lelah jadi Miyu?” ia menatapku
sekilas, lalu tersenyum lagi. “Atau lelah jadi aku?”
Mobil sedikit oleng.
Suara air menghantam aspal makin
keras, dan wiper bergerak terburu-buru, tak sempat membersihkan kaca yang terus
diselimuti kabut.
Lalu, semuanya terjadi begitu
cepat.
Sinar putih.
Benturan logam.
Jerit ban.
Dan tubuhku melayang.
Seketika, semua suara lenyap.
Aku hanya mendengar napasku
sendiri, lalu tidak lagi.
Gelap menelan segalanya.
Ketika aku membuka mata, dunia
terasa dingin dan berat. Langit-langit putih di atas kepalaku bergoyang pelan,
lampu neon berpendar samar. Aku mendengar suara mesin—beep pelan yang
teratur, seperti detak jantung buatan. Aku ingin menggerakkan tangan, tapi
tidak bisa. Rasanya seperti tubuhku tertahan di antara dua lapisan udara.
Seorang pria berseragam putih
mendekat, wajahnya kabur karena silau cahaya di belakangnya.
“Kau sudah sadar,” katanya.
Suaranya datar, terlalu tenang
untuk keadaan seperti ini.
Aku ingin bertanya di mana aku,
tapi suaraku keluar serak dan patah.
“…Aya…”
Itu satu-satunya kata yang bisa keluar.
Dokter menatapku, seolah sedang
menimbang sesuatu.
“Beristirahatlah dulu, Nona
Kawashima,” katanya akhirnya. “Kau beruntung selamat.”
Aku menelan ludah, tenggorokanku
kering seperti debu.
“Siapa di antara kami yang
selamat?” tanyaku pelan.
Ia tak menjawab.
Hanya diam beberapa detik yang
terasa seperti tahun, lalu mencatat sesuatu di clipboard-nya dan pergi begitu
saja.
Aku menatap ke jendela di sisi
tempat tidur—dan di sanalah aku melihatnya.
Bayangan dua wajah.
Satu wajahku sendiri, pucat dan
kusut. Dan satu lagi… tersenyum samar dari sisi yang lebih gelap kaca, seolah
berdiri di luar ruangan. Aku berkedip, dan hanya ada pantulan lampu kamar.
Tapi udara mendadak lebih dingin, dan aku tahu sesuatu yang tak bisa dijelaskan
sudah menempel di dalam ruang ini.
Hari-hari setelah itu berjalan
seperti mimpi buruk yang terlalu lembut untuk ditolak.
Setiap pagi, suster datang mengganti perban di tanganku, menanyakan kabar,
mengucapkan ohayou gozaimasu dengan suara yang berusaha ceria tapi
matanya menunduk. Aku tak tahu berapa lama aku telah di sini; jam di dinding
seolah selalu menunjukkan waktu yang sama: 07.42.
Kadang aku mendengar langkah kaki
lain di koridor, berhenti tepat di depan pintu kamarku. Tapi tak pernah ada
yang masuk. Kadang aku melihat bayangan dua orang di refleksi kaca jendela
setiap sore, saat matahari jatuh di balik gedung tua di depan klinik.
Malam hari, aku bermimpi tentang
suara air—suara hujan, suara wiper, suara tubuh melayang.
Dalam mimpi itu, Aya menoleh ke arahku dari kursi pengemudi dan berkata, “Kalau
kita mati, kita akan tetap sama, kan?” Aku ingin menjawab tidak,
tapi mulutku tak bisa bergerak.
Dan setiap kali aku bangun, aku mendengar gema pertanyaan itu di kepalaku
sendiri.
Tetap sama.
Selamanya sama.
Sama.
Dokter yang merawatku—Dr.
Harada—akhirnya datang menjenguk dua hari kemudian. Ia pria berumur lima
puluhan, wajahnya tirus dan suaranya lembut, tapi matanya tampak terlalu jernih
untuk dipercaya.
“Bagaimana perasaanmu hari ini?”
tanyanya sambil membuka catatan.
Aku menatap jari-jariku. “Masih
terasa aneh.”
“Bagian mana yang aneh?”
“Tubuhku. Aku merasa… terlalu
ringan di sisi kanan.”
Ia menulis sesuatu tanpa menatapku.
“Trauma bisa menimbulkan persepsi yang menipu. Kadang tubuhmu belum menerima
kenyataan yang sebenarnya.”
Aku terdiam.
Kenyataan yang sebenarnya?
“Aku masih melihatnya,” kataku.
“Aya.”
Baru kali ini matanya berhenti
menulis dan menatapku.
“Saudara kembarmu?”
Aku mengangguk.
“Dia di mana?”
Aku menatap jendela, di mana hujan
mulai turun lagi sore itu.
“Di sisi lain,” jawabku pelan.
“Tapi terkadang dia di sini juga.”
Ia tidak mengatakan apa-apa lagi.
Ia menutup buku catatannya,
berdiri, dan sebelum keluar ruangan ia menatapku sekali lagi, seperti hendak
memastikan sesuatu.
“Kadang bayangan orang yang kita
cintai tetap tinggal, terutama jika ada sesuatu yang belum selesai,” katanya.
Aku tidak tahu apakah ia sedang
menghiburku atau memperingatkanku.
Malam itu, listrik sempat mati
beberapa detik. Cahaya darurat menyala, ruangan berubah menjadi abu-abu dingin.
Aku menatap jendela—dan di sana lagi, dua bayangan. Kali ini bayangan itu
jelas: aku dan Aya berdiri berdampingan, tapi hanya satu yang bernafas. Kupandangi
lama, sampai mataku perih. Bayangan Aya menoleh padaku, bibirnya bergerak
pelan. Aku tak mendengar suara, tapi tahu apa yang ia katakan.
"Kau yakin kau Miyu?"
Aku memejamkan mata, berharap
semuanya berhenti. Ketika kubuka lagi, hanya ada satu bayangan. Namun dada
kiriku terasa berat—seperti ada seseorang yang menempel dari dalam kulitku
sendiri.
Besok paginya, aku meminta cermin. Suster
membawakannya dengan enggan, tapi aku bersikeras. Aku ingin melihat wajahku,
memastikan bahwa aku masih aku. Tapi saat cermin kecil itu kuangkat, aku tak
langsung mengenali diriku sendiri.
Bekas luka di pelipis, garis halus
di dagu—itu semua milik Aya, bukan aku. Aku menelusuri wajahku dengan jari,
berusaha mencari sesuatu yang membedakan, tapi semakin kutatap, semakin aku tak
yakin siapa yang sedang menatap balik.
Aku ingin berteriak, tapi suaraku
tak keluar. Di cermin, bibirku bergerak sedikit lebih cepat dari yang
seharusnya—seolah ada seseorang yang sudah lebih dulu mencoba mengucapkan kata
yang sama.
Dan untuk pertama kalinya sejak
kecelakaan itu, aku merasa bukan aku yang hidup.
“Kau beruntung selamat, Nona
Kawashima.”
Tapi mungkin ia tak pernah tahu
siapa yang sebenarnya dimaksud.
Hari itu matahari sore menyelinap
masuk melalui kisi jendela klinik, membentuk garis-garis cahaya di lantai ubin
yang retak. Warna oranye yang biasanya hangat terasa dingin di dinding pucat
itu, seperti cahaya yang lupa cara menghibur manusia. Sudah hampir seminggu aku
di sini, tapi waktu di tempat ini tak pernah bergerak seperti seharusnya.
Setiap jam berdetak tanpa tujuan.
Setiap langkah terasa mengarah ke tempat yang sama.
Dokter Harada memintaku datang ke
ruang terapi pukul tiga, di sayap timur gedung. Tapi papan petunjuk di koridor
tampak aneh—huruf-hurufnya pudar, sebagian huruf diganti dengan tulisan tangan
suster yang berbeda-beda gaya. Aku mengikuti tanda panah bertuliskan Psychiatric
Counseling Wing, tapi lorong yang kutemui berakhir pada pintu kayu tua
tanpa pegangan.
Aku berhenti di sana, menatap papan
kecil berkarat di samping pintu itu: Hongo ShinryĆjo – Sayap Lama Ditutup
Permanen, 1981.
Lalu mengapa ada lampu menyala
samar di bawah pintu?
Aku menekan daun pintunya perlahan.
Berderit. Bau lembap langsung menyergap, seperti kertas tua dan obat yang sudah
kedaluwarsa. Cahaya yang kulihat tadi berasal dari jendela tinggi di ujung
lorong—cahaya sore yang memantul dari kaca buram, menembus tirai debu.
Langkahku bergema di lantai, suara
hak sandal karet seperti gema air di ruang kosong. Di dinding, catnya
terkelupas membentuk pola seperti peta yang tak kukenal. Aku menelusuri
perlahan, tangan menyentuh dinding dingin, merasa seolah ruangan itu mengenal
tekstur kulitku.
Aku tidak tahu mengapa aku terus
berjalan. Mungkin aku hanya ingin tahu, atau mungkin bagian dari diriku sudah
tahu aku memang harus ke sini.
Di ujung lorong, ada papan besar
berbingkai kayu. Foto-foto lama tertempel di sana—hitam-putih, sebagian mulai
pudar, beberapa sudah kehilangan wajah karena waktu.
Tulisan di atasnya: “Pasien Rawat
Tahun 1972 – Program Rehabilitasi Mental dan Identitas.”
Aku mendekat.
Ada belasan foto, laki-laki dan
perempuan, kebanyakan masih muda. Senyum mereka tampak kaku, seperti terpaksa,
seperti ada sesuatu di luar bingkai yang menahan mereka agar tidak bergerak
terlalu jauh.
Dan di baris paling bawah, di sisi
kiri, mataku berhenti.
Dua wajah.
Dua gadis muda berambut panjang,
berdiri bersebelahan di kamar pasien, mengenakan gaun putih dengan kerah tinggi.
Di bawahnya tertulis: “Aya &
Mayu Kawashima – 21 Tahun.”
Aku menatap tulisan itu lama.
Kawashima. Nama kami.
Aya dan Mayu.
Bukan Miyu, tapi hanya selisih satu
huruf.
Semuanya terasa seperti kebetulan
yang terlalu presisi. Aku menatap lebih dekat. Cahaya sore dari jendela
memantul di permukaan kaca bingkai, menciptakan bayangan samar. Saat aku
sedikit bergerak, pantulan itu ikut bergeser—tetapi salah satu wajah di foto
tetap menatap lurus padaku, matanya seperti mengikuti gerakanku.
Aku berkedip.
Bayangan di kaca bergetar sedikit,
lalu berhenti.
Aku menahan napas. Ruang itu
terlalu sunyi.
“Aku pernah ke sini…” Kalimat itu
keluar begitu saja, meski aku tahu itu mustahil. Tahun 1972 bahkan belum ada
aku.
Tapi semakin kupandangi foto itu,
semakin aku merasa mengenal ekspresi di wajah gadis yang tersenyum di sebelah
kanan—senyum yang menahan sesuatu di belakangnya. Persis seperti senyum Aya
sebelum kecelakaan malam itu.
Dan gadis di sebelahnya… ia menatap
dengan tatapan kosong, seperti aku ketika menatap kaca kamar beberapa hari
lalu.
Aku menyentuh kaca bingkai itu
dengan ujung jari. Dingin. Tapi dari balik dingin itu, aku bisa merasakan
sesuatu—sebuah denyut halus, seperti jari lain di sisi seberang kaca sedang
menyentuhku balik.
Suara sesuatu jatuh di ujung lorong
membuatku tersentak. Ketika aku menoleh, bayangan seseorang tampak bergerak di
ujung sana. Tubuh tinggi, langkah lambat, dan suara kain perawat yang
bergesekan dengan lantai.
Aku terpaku di tempat.
Seseorang muncul dari balik
tikungan—seorang wanita tua dengan seragam perawat berwarna kelabu, topinya
sudah usang, dan langkahnya pelan. Ia membawa senter kecil yang redup, wajahnya
keriput tapi matanya tajam.
“Lorong ini sudah ditutup,” katanya
tanpa menatapku langsung. Suaranya pelan, tapi tidak ramah.
“Maaf,” jawabku terbata. “Saya… mencari ruang terapi. Saya tersesat.”
Ia menatapku sekilas.
“Oh. Kau pasien baru, ya?”
Aku mengangguk.
Ia mendekat, berhenti di depan
papan foto itu, lalu berkata dengan nada nyaris seperti bisikan:
“Tempat ini seharusnya sudah kosong.”
Aku tak tahu apakah ia berbicara
padaku atau pada foto-foto itu. Matanya tertuju pada wajah kembar dalam foto,
dan untuk sepersekian detik, aku melihat sesuatu di matanya—seperti rasa takut
yang terlalu lama disembunyikan.
“Siapa mereka?” tanyaku.
Ia diam lama, lalu menjawab lirih,
“Mereka… pasien di masa sebelum rumah sakit ini diambil alih. Mereka sering
bicara sendiri, saling menyalahkan. Sampai suatu hari… salah satunya ditemukan
tidak bernyawa di ruang mandi, dan satu lagi menghilang begitu saja.”
“Yang mati… siapa?” tanyaku lagi,
hampir tanpa sadar.
Ia memandangku, lama sekali.
“Aku sudah terlalu tua untuk
mengingat dengan benar,” katanya. “Tapi kurasa, mereka hanya berganti tempat.”
Aku menggigil tanpa tahu kenapa.
Perawat itu lalu menepuk bahuku
perlahan. “Kau tidak seharusnya di sini, Nona Kawashima. Sayap ini ditutup
bukan karena rusak. Ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan diam.”
Aku mencoba tersenyum sopan, tapi
suaraku serak saat menjawab, “Saya hanya tersesat.”
“Semua yang datang ke sini bilang
begitu,” katanya sebelum berbalik.
Ia berjalan perlahan ke ujung
lorong. Setiap langkahnya terdengar bergema panjang, semakin jauh, semakin
samar, sampai akhirnya hilang di tikungan.
Aku masih berdiri di depan foto
itu. Bayangan sore mulai memudar, kaca tak lagi memantulkan cahaya, tapi wajah
dua gadis itu tetap jelas, seperti baru saja difoto kemarin. Entah kenapa aku
merasa mereka menatapku, bukan dari masa lalu, tapi dari tempat yang lebih
dekat—dari sisi ruang yang tak bisa kucapai.
Aku mengusap permukaan kaca,
menghapus debu tipis yang menempel.
Lalu aku berhenti.
Di ujung bawah bingkai, ada bekas
tulisan tangan yang pudar, mungkin bekas spidol lama:
“Jangan biarkan mereka saling bertukar.”
Aku mundur satu langkah. Lorong
mendadak lebih dingin. Lampu di atas kepalaku berkedip dua kali sebelum padam
sebentar, lalu menyala lagi dengan cahaya lebih lemah. Dalam pantulan kaca
bingkai, aku melihat bayangan diriku—tapi kali ini tidak sendiri.
Di belakangku, samar, tampak sosok lain berdiri. Wajahnya mirip sekali denganku. Rambutnya sedikit lebih panjang. Matanya merah lembut, seperti mata yang baru saja selesai menangis. Aku berbalik cepat. Lorong kosong. Tak ada siapa pun.
Ketika kutatap lagi pantulan di
kaca, sosok itu sudah tak ada, hanya tersisa wajahku sendiri yang tiba-tiba
terasa asing.
Aku berjalan mundur pelan, lalu
keluar dari sayap itu tanpa menoleh lagi. Begitu menyeberang ke koridor utama,
udara kembali hangat, dan suara langkah suster-suster lain terdengar normal.
Tapi di balik dinding itu, aku tahu
sesuatu masih menatapku.
Sejak sore itu, setiap kali aku
berjalan di depan kaca atau cermin, aku selalu merasa pantulanku tersenyum
sedikit lebih dulu.
Aku mulai mencatat mimpi-mimpiku
setiap pagi, tapi catatan itu selalu berubah ketika aku membacanya ulang.
Baris-baris yang kutulis dengan tangan sendiri seakan diganti oleh seseorang
yang tahu lebih banyak dariku. Pagi ini, di halaman yang mestinya berisi
tanggal dan catatan singkat, hanya ada satu kalimat, huruf-hurufnya tegak dan
rapi, bukan gaya tulisanku:
"Jangan biarkan dia menulis
lagi."
Aku menatap lama tulisan itu.
Hening. Udara di kamar asrama klinik terasa berat, seperti ruangan ini
menyimpan napas seseorang yang tak mau pergi. Lampu neon di langit-langit
bergetar pelan, menghasilkan dengung halus yang menembus kepala. Aku tak yakin sejak
kapan bunyinya ada di sana.
Sejak hari pertama aku masuk
program terapi di klinik di pinggiran Tokyo ini, aku diberi kamar 303.
Dokternya bilang, “Kamar ini tenang, cocok untuk istirahat panjang.” Tapi aku
tak merasa tenang sedikit pun. Ada sesuatu tentang kamar ini yang membuatku
ingin menatap ke cermin setiap kali aku merasa sendirian—karena setiap kali
kulakukan, aku selalu menemukan sesuatu yang... tidak seharusnya di sana.
Malam itu aku bermimpi lagi.
Aku duduk di meja kayu yang tampak
kuno, dengan tinta dan pena di depan. Di jendela, salju turun pelan—aneh,
karena seingatku masih bulan Mei. Di hadapanku ada surat setengah jadi.
Aku menulis:
"Aya, aku rindu—"
Tapi sebelum aku sempat
menyelesaikannya, tanganku mulai bergerak sendiri, menulis cepat dengan goresan
yang bukan milikku:
"Aku bukan yang kau kira. Aku
yang tersisa setelah kau hilang."
Aku mencoba berhenti, tapi
jari-jariku kaku. Pena itu menari liar, mencoret, melingkar, hingga tinta
tumpah. Lalu wajah seseorang muncul di permukaan tinta—bayangan samar dengan
rambut panjang menutupi separuh wajahnya. Ia tersenyum, seolah aku baru saja
memanggilnya pulang.
Aku terbangun dengan napas
tersengal. Keringat dingin membasahi tengkukku. Tapi yang membuatku membeku
bukan mimpi itu... melainkan kenyataan: di meja kecil kamar 303, ada selembar
kertas. Tulisannya sama persis dengan yang ada di mimpiku.
“Aku yang tersisa setelah kau
hilang.”
Aku menatap sekeliling. Jendela
tertutup, tirai tak bergoyang. Aku tahu aku sendiri, tapi di cermin kecil di
sisi tempat tidur, pantulan tubuhku berdiri sedikit lebih lambat daripada
gerakku.
Aku menoleh. Ia masih menatap.
Pagi harinya, aku menemui dokter.
Dr. Harada duduk di kursinya dengan
ekspresi yang terlalu tenang. Di belakangnya, dinding klinik dipenuhi catatan
pasien dan foto lama yang entah kenapa semua warnanya tampak pudar ke arah
merah muda pucat.
“Aku tidak bisa tidur,” kataku.
“Dan aku… menemukan tulisan yang bukan dariku.”
Ia mengangkat alis. “Miyu, kau tahu
otakmu sedang memulihkan diri. Kadang ia menciptakan sesuatu untuk menutupi
kehilangan.”
“Aku paham itu,” ujarku. “Tapi
bagaimana jika yang menulis itu bukan aku? Bagaimana kalau yang menulis… dia?”
“Dia siapa?”
Aku diam lama. Nama itu menempel di
lidahku tapi sulit keluar.
“Aya.”
Dokter menghela napas.
“Miyu, kau tahu apa itu delusi
identitas ganda? Kadang otak menolak kenyataan kematian orang yang sangat
dekat, dan mulai meminjam identitas itu untuk bertahan.”
Aku menatap lantai, tapi suaranya
terasa jauh.
“Lalu kenapa lubangnya membentuk
wajahnya?”
Dr. Harada menatapku lebih lama
dari biasanya.
“Karena kau memandang ke dalam
lubang yang sama terlalu lama,” katanya pelan.
Siang itu aku kembali ke kamar.
Lorong menuju lantai tiga terasa lebih sempit daripada biasanya. Dindingnya
lembap, dengan bau karbol yang samar bercampur sesuatu yang manis—seperti bunga
yang sudah lama membusuk.
Ketika aku membuka pintu kamar 303,
cahaya dari jendela menerobos masuk, membuat ruangan tampak putih berlebihan.
Overexposed, kata fotografer. Tapi bukan hanya cahaya—ada kabut halus yang
menempel di kaca, seolah jendela itu memisahkan dua cuaca berbeda.
Aku duduk di tepi ranjang. Di
cermin, bayanganku tampak sedikit miring, seolah lantainya tak rata. Aku
mencoba tersenyum, hanya untuk melihat refleksi itu tersenyum setengah detik
lebih lambat.
Aku berbisik, “Aya?”
Refleksi itu tak menjawab. Tapi
bahunya bergerak naik, seperti sedang menarik napas. Aku memejamkan mata,
berharap ilusi itu hilang.
Ketika kubuka lagi, aku tak lagi
berada di kamar. Aku berdiri di ruangan lain—masih 303, tapi lebih tua. Cat
dinding mengelupas, tempat tidur logam berkarat, dan di lantai ada noda yang
tak pernah benar-benar kering. Dari jendela, terlihat langit abu-abu.
Di meja kecil dekat ranjang, ada
foto lama: dua perempuan muda dengan wajah identik. Di bawahnya tertulis Aya
& Mayu Kawashima, 1972.
Aku menatapnya lama.
Rasanya aku pernah melihat wajah
mereka… di kaca, di mimpi, di pantulan bayangan sendiri.
Seseorang berbisik di telingaku,
suara lembut tapi terlalu dekat:
“Itu bukan foto. Itu jendela.”
Aku terhuyung mundur.
Ketika kulihat lagi, bingkai foto
itu kosong—kaca bening, tapi di baliknya… aku melihat diriku, tersenyum dari
sisi lain.
Aku terbangun di ranjang klinik.
Dokter Harada berdiri di sisi, perawat muda menulis sesuatu di clipboard.
“Berapa lama aku tertidur?”
tanyaku.
“Dua hari,” jawabnya. “Kami
menemukamu pingsan di lantai tiga. Kau harusnya tidak berada di sayap lama itu.
Sudah ditutup bertahun-tahun.”
Aku ingin menjelaskan, tapi lidahku
kaku. Aku ingin mengatakan tentang kamar 303, tentang surat tinta hitam,
tentang wajah di cermin. Tapi ketika kulihat ke dinding—ada plakat kecil
bertuliskan Kamar 203.
“Maaf,” kataku pelan, “apa kamar
ini bukan 303?”
Dokter menatapku sebentar.
“Tidak ada kamar bernomor 303 di
gedung ini, Miyu.”
Malamnya aku sendirian lagi. Lampu
redup, suara jam berdetak lambat. Aku menulis di buku catatan, mencoba menahan
tangan agar tidak bergetar.
Aku Miyu Kawashima. Aku hidup.
Tapi pena di tanganku tiba-tiba
berhenti, lalu bergerak sendiri. Huruf-huruf baru muncul, berlapis di atas
tulisanku sendiri:
Tidak. Aku Aya. Kau yang mati di
jalan itu.
Kertas itu robek di ujung, tapi
tinta masih mengalir, membentuk garis panjang seperti nadi yang pecah.
Aku mendongak ke arah cermin di
seberang tempat tidur. Refleksi di sana menatapku—dan kali ini, ia yang
memegang pena.
Ia tersenyum. Dan aku tahu, esok
pagi, hanya satu dari kami yang akan bangun.
Suara lift tua itu bergema lama
sebelum pintunya terbuka. Angin dari dalam porosnya dingin dan berdebu, membawa
aroma besi karat dan sesuatu yang seperti obat tidur yang sudah basi. Aku
menatap angka yang berkilat samar di panel: B2. Ruang arsip klinik, katanya.
Aku tak yakin kenapa datang ke sini
malam-malam, hanya membawa senter kecil dan rasa ingin tahu yang menyesakkan
dada. Tapi setelah kejadian di kamar itu—atau ruang kosong yang katanya tak
pernah ada—aku merasa jawabannya pasti tertinggal di tempat yang lebih tua
daripada aku sendiri.
Begitu lift berhenti, lampu di
langit-langit menyala redup, berkedip setiap beberapa detik. Lorongnya panjang
dan sempit, dindingnya lembap seperti gua. Di ujung lorong, ada pintu logam
bertanda Medical Records — Restricted Access.
Aku mendorong perlahan. Engselnya
berderit nyaring, menelan dengung listrik dari atas.
Ruang arsip itu seperti perut dunia
yang menelan waktu. Rak-rak tinggi berjejer, dipenuhi kotak dan map lusuh
berlabel tangan. Beberapa tulisan sudah pudar, sebagian lagi ditulis dengan
tinta yang sudah berubah kecokelatan. Setiap langkahku menimbulkan gema
aneh—seolah suara langkah lain mengikuti dari jarak satu detik di belakang.
Aku menyalakan senter, sinarnya
menelusuri tumpukan dokumen berdebu. Nama-nama pasien melintas: Kobayashi,
Tanaka, Fujiwara. Semua terasa asing, sampai satu berkas di bagian bawah
rak menarik perhatianku—sampulnya lebih tebal, kertasnya kuning keemasan
seperti disimpan lebih lama dari yang lain.
Tulisan di label itu: “Mayu
Kawashima, 1972 — Case 303.”
Tanganku membeku.
Kawashima. Nama keluargaku. Tapi
Mayu?
Aku mencoba mengingat, tapi tak
pernah ada nama itu dalam keluargaku. Hanya aku… dan Aya.
Aku membuka map itu. Kertas pertama
adalah catatan medis kuno, ditulis dengan mesin tik, tapi ada tulisan tangan di
margin—huruf-huruf miring seperti goresan terburu-buru:
“Pasien mengaku terjebak dalam
waktu yang berputar. Mengklaim dirinya hidup di masa depan.”
Aku membaca ulang kalimat itu.
Hidup di masa depan.
Tinta di kertas itu menembus sampai
halaman belakang, seolah penulisnya menekan pena terlalu kuat—atau terlalu
cemas.
Di bawah catatan utama, ada
tambahan lain, tulisan tangan berbeda, lebih kecil, nyaris seperti catatan
pribadi:
“Kita hanya berganti peran. Yang
terjaga bukan selalu yang hidup.”
Aku menatap kalimat itu lama.
Tulisan itu… aku mengenalnya. Itu
tulisan tanganku.
Aku menjatuhkan map itu tanpa
sadar. Kertas-kertasnya beterbangan pelan, suara gesekan halus seperti napas
seseorang yang berdesir di telingaku. Aku menunduk, berusaha memungutnya satu
per satu. Tapi di setiap halaman yang kuambil, kata-kata mulai berubah.
Huruf-hurufnya menulis sendiri, seolah tinta mengalir hidup:
“Jangan biarkan aku terhapus,
Miyu.”
“Aku masih di sini.”
“Aku masih di dalam dirimu.”
Tanganku bergetar. Aku menatap ke
sekeliling. Rak-rak seolah makin tinggi, lorong makin sempit. Udara di ruang
arsip menebal dengan debu yang menari di udara. Lampu neon di langit-langit
berkedip lebih cepat, lalu berhenti. Hanya senter kecil di tanganku yang masih
hidup, sinarnya goyah karena aku tak bisa berhenti gemetar.
Aku mendengar sesuatu di belakang.
Langkah pelan—ritmenya sama persis
dengan napasku sendiri.
Aku menahan diri untuk tidak
menoleh. Tapi langkah itu berhenti tepat di belakangku, terlalu dekat. Aku bisa
merasakan udara dingin menyentuh tengkuk, seperti seseorang menunduk dan
berbisik.
“Baca sampai akhir.”
Aku menoleh. Tak ada siapa pun.
Tapi di lantai, di antara tumpukan
kertas, ada halaman terakhir dari map itu. Aku mengambilnya dengan tangan
gemetar.
Di pojok kanan bawah, ada foto
hitam putih: dua perempuan berdiri berdampingan, mengenakan pakaian pasien
rumah sakit. Wajah mereka identik. Di belakang mereka, papan nama bertuliskan Klinik
Koganei — Tokyo Prefecture, 1972.
Tulisan di bawah foto itu:
“Pasien Mayu (kanan) menunjukkan
tanda-tanda disosiasi. Ia memanggil refleksi dirinya ‘Aya’.”
Darah di tubuhku serasa berhenti
mengalir.
Foto itu kabur, tapi semakin
kutatap, wajah kanan di foto berubah. Rambutnya lebih pendek sedikit. Senyumnya mirip
punyaku.
Aku melepaskan foto itu, tapi
kertasnya menempel di telapak tanganku, seperti menolak pergi. Saat kuarahkan
senter ke bawah, bayangan tanganku di lantai—tidak satu. Dua.
Aku berlari ke arah pintu. Nafasku
berat, setiap langkah terasa menembus udara yang kental. Ruangan seolah
bergoyang pelan, seperti perut kapal tua. Aku tak tahu mana arah keluar; semua
rak terlihat sama.
Lalu di ujung pandangan, aku
melihat sesuatu—papan kayu kecil dengan tulisan STAFF ONLY. Aku
menubruknya, membuka paksa, dan keluar ke koridor sempit yang menanjak ke atas.
Tangga itu gelap, dindingnya
lembap. Suara langkahku bergema aneh, seperti ruang di belakangku masih
mengulang bunyi yang sama, terlambat setengah detik. Aku berhenti di tengah
tangga, mencoba menenangkan diri.
Hening.
Lalu—klik.
Suara langkah lain, pelan, menapak di lantai bawah.
Aku memejamkan mata. Napasku
tersengal. Lampu senter di tangan berkedip-kedip, lalu padam. Dalam kegelapan,
aku bisa mendengar langkah itu naik satu tangga… lalu berhenti.
Satu napas lagi.
Langkah lain.
Berhenti lagi.
Dan tiba-tiba aku sadar:
langkah-langkah itu berhenti tepat di bawah kakiku, tapi bayangan di lantai
tangga—dua.
Yang satu milikku, yang lain
berdiri berseberangan arah.
Aku berhasil keluar dari ruang itu,
tapi rasanya tidak sama. Cahaya sore di luar jendela terlalu putih, hampir
tidak nyata. Ketika aku lewat di depan kaca lorong, pantulan diriku berhenti
sedikit lebih lama dari langkahku sendiri, lalu perlahan mengangkat tangan,
seolah melambai.
Aku memalingkan wajah, pura-pura
tidak melihat.
Tapi di ujung pandangan, di
refleksi kaca yang memudar, bibirnya bergerak.
“Kita hanya berganti peran.”
Aku tidak tahu kapan mulai
menyadari bahwa lorong klinik ini tak lagi sama. Awalnya hanya perasaan
samar—lampu di langit-langit tampak bergeser beberapa inci dari tempat
seharusnya, jam dinding yang biasanya menggantung di dekat ruang suster kini
berpindah ke sisi kanan. Tapi setiap kali aku mencoba mengingat letak
sebelumnya, kepalaku berdenyut, seperti otakku menolak menata ulang peta yang
berubah-ubah.
Aku mencoba menenangkan diri.
Menghitung langkah dari ruang perawatan menuju aula depan. Dua puluh langkah,
belok kanan, tujuh langkah lagi. Tapi kali ini, setelah langkah ke-20, bukan
belokan yang muncul, melainkan koridor lurus yang berakhir pada dinding putih
tanpa pintu.
Aku menatapnya lama.
Dinding itu memantulkan sedikit
bayangan—aku sendiri, samar, tapi ada sesuatu yang salah: pantulan itu sedikit
miring, seolah berdiri di tanah yang berbeda. Aku melangkah mundur, dan
bayangan di sana tidak mundur bersamaku. Ia tetap di tempat, menunduk perlahan,
seperti menatap seseorang di luar bingkai pandangan.
Aku berbalik. Tak ada siapa pun.
Dari pengeras suara di
langit-langit, suara statis terdengar, diikuti nada dingin seperti dari masa
lalu:
“Pasien Kawashima Aya, harap
kembali ke kamar 303.”
Aku berhenti.
Suara itu datar, tanpa emosi, tapi
setiap kata menusuk dadaku.
Aya.
Aku melihat ke arah speaker, seolah bisa menemukan asalnya, tapi di sepanjang
koridor, tidak ada satu pun pengeras suara yang terlihat.
Aku menelan ludah.
Itu bukan nama yang bisa disebut
begitu saja.
Aku mulai berjalan cepat, lalu
berlari. Tak ada alasan jelas, hanya dorongan seperti naluri purba—seolah suara
itu memanggil sesuatu yang lebih tua dari tubuhku sendiri. Tapi semakin aku
berlari, koridor semakin panjang. Jendela-jendela di sisi kiri menunjukkan
pemandangan yang tak konsisten: kadang senja, kadang gelap malam, kadang hujan,
lalu tiba-tiba langit pagi yang terlalu biru.
Aku berhenti sejenak, menempelkan
punggung ke dinding. Aku menutup mata, mencoba menarik napas panjang. Tapi
udara di sini terasa berbeda—tidak seperti oksigen, lebih mirip sesuatu yang
lama tertahan di paru-paru seseorang yang sudah lama tak bernapas.
Saat aku membuka mata, koridor di
depanku sudah berubah lagi. Lampu-lampu meredup menjadi cahaya kekuningan, ubin
lantai berganti menjadi kayu tua, dan di ujung lorong berdiri sebuah cermin
besar.
Aku tidak ingat pernah melihat
cermin sebesar itu di klinik ini. Bingkainya dari kayu gelap, berukir motif
bunga sakura layu. Cerminnya sendiri sedikit buram, tapi cukup jelas untuk
memantulkan sosokku.
Aku mendekat perlahan.
Sinar dari lampu di langit-langit
menyorot wajahku di permukaan kaca. Tapi ada sesuatu yang ganjil: refleksi itu
tampak lebih tenang, lebih… sadar. Aku mencondongkan kepala ke kanan, dan
pantulanku terlambat sepersekian detik.
Aku mengangkat tangan, dan ia
menirukan, tapi tidak sejajar. Gerakannya sedikit lebih lambat—lebih lembut,
lebih berirama, seolah sengaja menunggu.
Aku menatap matanya, dan saat itu
juga aku tahu: yang menatapku dari seberang bukanlah aku.
“Siapa kau?” suaraku keluar nyaris
tak terdengar.
Refleksi itu tidak menjawab. Ia
hanya tersenyum—senyum kecil, samar, tapi terlalu akrab untuk ditolak.
Kemudian, perlahan, ia membuka mulut. Bibirnya bergerak tanpa suara, tapi aku
bisa membaca bentuk katanya dengan jelas.
“Aya.”
Aku mundur satu langkah.
Suaraku tercekat di tenggorokan.
Cermin di depanku bergetar pelan,
seperti air yang tersentuh batu kecil.
Refleksi itu menatapku lebih dalam,
lalu mengangkat tangannya ke permukaan kaca.
Tanpa berpikir, aku ikut mengangkat tanganku—dan ujung jari kami bertemu, hanya
terpisah oleh lapisan dingin itu.
Sensasinya nyata. Terlalu nyata.
Kaca terasa hangat di bawah ujung
jariku.
Kemudian aku mendengar suara
lain—dari arah lorong, samar, seperti langkah seseorang berjalan cepat.
Aku menoleh.
Tak ada siapa pun.
Tapi saat menatap kembali ke
cermin, refleksi itu sudah berubah: matanya kini berwarna merah samar, bibirnya
membentuk senyum yang lebih lebar, terlalu lebar untuk wajah manusia.
Lalu retakan kecil muncul di
tengah permukaan kaca, memanjang perlahan ke atas.
Retakan itu membelah pantulan kami
menjadi dua garis simetris, seperti luka halus di wajah dunia.
Dari balik retakan itu, suara tawa
muncul.
Lembut, seperti tawa seseorang yang
menertawakan sesuatu yang tidak seharusnya lucu.
Tawa itu bukan dari mulut pantulan, bukan juga dari lorong di belakangku—tapi
dari dalam kepalaku sendiri.
Ia mengalir bersama detak
jantungku, membesar setiap kali aku mencoba berpikir jernih.
“Kau masih belum mengerti, Miyu.”
“Kita hanya menukar tempat.”
Aku memejamkan mata, menekan
telingaku, tapi tawa itu tetap ada, berputar di dalam tengkorak.
Ketika kubuka mata lagi, cermin itu sudah retak sepenuhnya. Retakannya
membentuk pola seperti akar pohon—menyebar ke seluruh permukaan hingga wajah di
sana terpecah menjadi serpihan-serpihan kecil.
Namun satu hal masih tetap utuh: matanya.
Dua mata di tengah retakan,
menatapku lurus, tidak berkedip.
Lalu suara itu datang lagi, kali
ini dari pengeras suara di langit-langit:
“Pasien Kawashima Aya, harap
kembali ke kamar 303.”
Suara itu diulang.
Sekali lagi.
Dan lagi.
Hingga kata Aya berubah
menjadi gema yang berlapis-lapis, seperti puluhan suara yang saling meniru.
Aku berlari, tapi ruang di
sekitarku ikut bergerak. Koridor memanjang tanpa ujung, dindingnya melipat ke
arah yang tidak logis. Setiap kali aku belok, aku kembali ke tempat yang sama:
di depan cermin yang sudah pecah, tapi kini tanpa pantulan sama sekali.
Aku menyentuh permukaannya.
Dingin.
Tapi dari balik retakan-retakan kaca itu, aku bisa merasakan sesuatu bernafas
perlahan.
Dan untuk pertama kalinya, aku
sadar bahwa mungkin yang ada di sisi lain bukan menunggu…
melainkan mencoba keluar.
Ketika aku menatap lagi ke
permukaan yang berantakan itu, bayangan samar muncul dari kedalaman—dua sosok,
bukan satu. Yang pertama menatap lurus ke arahku, dengan wajah tegang seperti
milikku. Yang kedua, berdiri sedikit di belakang, tersenyum lembut dengan mata
yang terlalu merah.
Lalu kaca bergetar pelan, dan suara
yang sama berbisik dari semua arah:
“Kini kau yang di seberang.”
Sebelum aku sempat bereaksi, lampu
di koridor padam. Dan dalam kegelapan total itu, satu-satunya yang tersisa
hanyalah tawa—pelan, teredam, seperti seseorang tertawa di dalam air.
Pagi itu datang seperti sesuatu
yang tidak seharusnya nyata. Cahaya menembus kaca jendela klinik, jatuh ke
lantai putih yang baru dipel, dan memantul di dinding yang bersih dari retakan.
Lorong yang dulu berdebu kini terasa seperti garis waktu yang sudah
disetrika—rapi, steril, dan tanpa cela.
Dokter itu berjalan perlahan,
sepatu karet beradu dengan lantai vinyl, menimbulkan bunyi lembut chik, chik
di antara dengung lampu neon. Ia sudah bekerja di klinik itu lebih dari dua
puluh tahun. Tapi hari ini, saat melewati lorong menuju kamar pasien, sesuatu
terasa berbeda.
Bukan pada ruangnya — melainkan
pada udara. Seolah setiap tarikan napas membawa fragmen yang tak ingin ia
hirup.
Ia membuka pintu kamar 303.
Hening.
Ruangan itu bersih. Hanya satu
ranjang, sprei putih mulus tanpa kerut, seakan tak pernah ditiduri. Di sisi
ranjang, ada meja kecil dengan vas berisi bunga lili yang masih segar. Tidak
ada foto, tidak ada buku, tidak ada tanda kehidupan selain secarik kertas di
bawah kaca meja: Formulir pasien masuk — 2003.
Nama pasien: Kawashima, Aya.
Usia: 21.
Keterangan: trauma
pascakecelakaan, kehilangan saudara kembar.
Dokter menatap tulisan tangan itu
lama.
Ia tidak tahu kenapa, tapi
huruf-huruf itu terasa familiar, seperti pernah ia lihat di arsip yang lama
hilang. Huruf K yang miring, tanda titik kecil di atas huruf i
yang terlalu tinggi—semuanya terasa akrab.
Ia menoleh ke arah dinding, pada
papan nama kecil di depan pintu kamar: 303 — KAWASHIMA, AYA.
Tidak ada nama lain di bawahnya.
Beberapa tahun lalu, katanya, kamar
ini digunakan untuk pasien dengan gangguan identitas. Lalu sayap bangunan
ditutup karena renovasi. Kini, sayap itu dibuka lagi — dan ruangan itu tampak
seperti baru dilahirkan. Namun, di dalam ketenangan itu, ada sesuatu yang aneh.
Dokter merasa seolah sedang memasuki mimpi orang lain.
Ia menunduk, memeriksa catatan di
clipboard. Tapi di antara halaman-halaman itu, terselip sebuah foto lama —
kertasnya sudah menguning, sudutnya terlipat.
Ia menatapnya, perlahan.
Foto hitam putih, tahun 1972.
Dua perempuan muda berdiri di depan
bangunan yang sama, mengenakan gaun pasien.
Di bawah foto tertulis:
Pasien terapi: Miyu & Aya
Kawashima.
Dokter terdiam.
Matanya menelusuri wajah-wajah itu:
dua perempuan identik, tapi salah satunya tampak sedikit lebih pucat, matanya
menatap kosong ke arah kamera.
Ia tidak ingat pernah melihat foto
ini di arsip mana pun.
Tapi bagaimana foto itu bisa ada di
sini, di dalam catatan pasien baru?
Ia meletakkannya di meja.
Lalu menatap cermin di dinding
seberang ranjang.
Cahaya pagi menembus ruangan,
membuat cermin itu berkilau samar.
Dokter berdiri di sana lama,
memperhatikan bayangannya sendiri — wajah lelah dengan rambut yang mulai
memutih. Tapi semakin lama ia menatap, semakin ia merasa sesuatu yang lain ikut
muncul di balik pantulan itu.
Mula-mula samar: seolah kabut tipis
membentuk siluet kedua di belakangnya. Kemudian, lebih jelas. Seorang
perempuan, rambut panjang, mengenakan pakaian pasien putih. Wajahnya tak asing.
Ia menatap dari dalam cermin, bukan ke arah dokter, melainkan melalui
dirinya — seperti sedang mencari sesuatu di sisi lain dunia.
Dokter mundur setengah langkah. Cermin
tidak retak, tidak bergetar, hanya berdiam. Tapi pantulan itu tetap ada. Dan
kini, di sebelah perempuan itu, muncul satu lagi — wajah identik, tersenyum
lembut.
Mereka berdua berdiri berdampingan.
Miyu dan Aya. Atau mungkin Aya dan Miyu.
Dokter tidak tahu mana yang mana,
dan entah kenapa, ia merasa hal itu memang tak perlu diketahui.
Beberapa hal, pikirnya, memang diciptakan agar tetap kabur.
Ia menunduk lagi pada foto di meja.
Dua wajah itu sama persis dengan yang di cermin. Namun di bagian belakang foto,
kini ada tulisan tangan — baru, tinta masih basah:
“Kau yang menulis ini. Aku yang
membaca. Tapi kita yang mengingat.”
Lampu di langit-langit bergetar
pelan.
Udara berubah dingin, dan suara
angin dari luar terdengar samar — seperti seseorang berbisik di antara daun.
Dokter melangkah keluar kamar,
perlahan. Lorong terasa lebih panjang dari biasanya. Cahaya dari jendela di
ujung tampak terlalu putih, seperti potongan mimpi yang tumpah ke dunia nyata.
Ia menoleh sekali lagi ke papan nama kamar 303.
Kawashima, Aya — Admitted 2003.
Namun ketika ia berjalan menjauh,
huruf-huruf itu tampak bergeser pelan, seolah bayangan di baliknya ikut menulis
ulang:
Kawashima, Miyu — Discharged 1973.
Ia berhenti.
Tidak yakin apakah itu benar-benar
berubah, atau hanya efek cahaya.
Di kejauhan, jam tua di ujung
lorong berdetak tiga kali, pelan dan berat.
Lalu hening.
Semuanya kembali seperti semula.
Lorong itu tetap bersih.
Papan nama tetap sama.
Dan cermin di kamar 303 hanya
memantulkan ruang kosong yang tenang.
Namun jika seseorang berdiri cukup
lama di depan cermin itu — sampai napasnya membentuk kabut di permukaannya — kadang
bisa terlihat dua bayangan.
Satu menatap lurus.
Satu tersenyum lembut.
Dan dari kejauhan, suara lembut
seorang perempuan terdengar seolah dari masa lalu:
"Delusi hanyalah cara otak
menambal lubang kenyataan..."
Sunyi.
Angin di luar berhembus lembut,
membawa bau antiseptik dan bunga lili.
Layar seolah memudar pelan.
Dan waktu, seperti ruangan itu,
berhenti sejenak untuk menatap dirinya sendiri.
