Claire de Beaumont

 


Lyon, Perancis 1827.

Musim gugur telah tiba di Lyon dengan cara yang hanya dikenal oleh kota itu sendiri — lembut, melankolis, dan penuh aroma kastanye panggang. Jalan-jalan berbatu di sekitar distrik Fourvière mulai basah oleh embun malam, dan dedaunan dari pohon-pohon platan jatuh satu per satu seperti serpihan emas yang lelah menahan waktu.

Di antara semua rumah besar di distrik itu, tak ada yang lebih ramai malam itu selain kediaman keluarga Beaumont, bangsawan tua yang hidup dari kemegahan masa lalu. Dinding marmer dan pilar klasiknya diterangi ratusan lilin kristal. Malam itu mereka mengadakan salon musique et peinture — sebuah perayaan seni, sekaligus cara Madame de Beaumont mempertahankan reputasi keluarganya di tengah zaman yang mulai berubah.

Kuda-kuda berhenti satu per satu di depan gerbang, dan para tamu turun dengan gaun sutra serta mantel panjang. Para pria mencium tangan wanita, membungkuk dengan sopan, sementara pelayan berlarian membawa nampan perak berisi anggur Bordeaux.

Di ruangan besar yang menghadap taman belakang, deretan lukisan baru dipajang di dinding. Sebagian adalah karya para pelukis muda yang baru pulang dari Paris — mereka berharap akan diperhatikan oleh patron kaya atau setidaknya oleh seorang kolektor yang berselera. Salah satu dari mereka adalah Adrien Marchand.

Adrien berdiri agak di pinggir ruangan, tubuhnya tegak tapi canggung, mengenakan jas hitam sederhana yang sedikit usang di bagian kerah. Ia bukan bangsawan, bukan pula pelukis terkenal; hanya asisten dari seorang maestro bernama Jules Moreau yang malam itu tidak hadir karena sakit. Adrien ditugaskan membawa dua lukisan gurunya, namun atas izin sang maestro, ia juga membawa satu karyanya sendiri — “Femme au Pont,” lukisan seorang perempuan muda berdiri di sisi sungai dengan latar jembatan sambil memandangi sungai yang berkilau dalam cahaya senja.

Lukisan itu tak sebesar karya para seniman lain, tapi entah mengapa memancarkan kehangatan yang berbeda — ada sesuatu yang lembut, hampir seperti doa yang tak diucapkan.

Adrien tidak banyak bicara malam itu; ia lebih banyak mengamati. Ia melihat dunia yang bukan miliknya: wanita-wanita dengan kalung mutiara, tawa ringan yang menyembunyikan kehampaan, dan percakapan-percakapan yang berputar di sekitar nama-nama besar Paris. Ia merasa seperti penonton di tepi panggung kehidupan yang tak pernah mengundangnya naik.

Namun di antara gemuruh musik waltz dan aroma parfum bunga mawar, pandangannya tertumbuk pada satu sosok — Claire de Beaumont, putri tuan rumah.

Claire mengenakan gaun berwarna biru pucat yang memantulkan cahaya lilin seperti cahaya bulan di air. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi pita putih kecil. Ia berdiri di antara para tamu, menahan senyum sopan yang telah ia pelajari sejak kecil, namun matanya... matanya tampak mencari sesuatu yang lain, sesuatu di luar pesta dan keanggunan.

Dan pada momen yang tak terduga, tatapan mereka bertemu.

Adrien menunduk cepat-cepat, merasa tak pantas menatap terlalu lama. Tapi Claire telah memperhatikannya. Ada sesuatu dalam cara pria itu memandang dunia — bukan tatapan seorang pengagum, melainkan seorang pengamat yang diam-diam memahami segalanya. Ia merasa seperti sedang diperhatikan bukan karena keindahan gaunnya, tapi karena dirinya sendiri.

Beberapa saat kemudian, Claire beralasan kepada ibunya untuk “melihat karya seni lebih dekat,” dan berjalan perlahan ke arah dinding tempat lukisan Adrien tergantung. Ia berhenti di depan “Femme au Pont.”

Lukisan itu tampak sederhana, tapi setiap sapuan kuasnya mengandung keheningan yang mendalam. Seakan sang pelukis tahu bagaimana mengubah cahaya sore menjadi emosi manusia. Claire tak bisa menjelaskan perasaan itu — semacam keharuan halus, seperti ketika seseorang mendengar melodi yang seolah pernah didengar di kehidupan lain.

“Lukisan itu bukan karya Monsieur Moreau,” katanya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

Adrien, yang berdiri tak jauh di belakang, menjawab dengan gugup, “Tidak, Nona. Itu karya saya sendiri.”

Claire berbalik. Untuk pertama kalinya, mereka saling menatap dari jarak yang begitu dekat.

“C’est magnifique…” bisiknya. “Wanita itu — siapa dia?”

Adrien menelan ludah sebelum menjawab, “Seseorang yang tidak pernah benar-benar ada. Tapi saya melukisnya karena saya merasa... pernah menunggu seseorang di sana.”

Claire menunduk, tersenyum samar. “Mungkin setiap perempuan pernah menunggu di dekat jembatan seperti itu, entah siapa yang akan datang.” Lalu menatap dalam Adrien “Lalu siapa namamu?”

“Adrien... Marchand.” jawab Adrien dengan gugup.

Mereka berbicara hanya sebentar, tapi kata-kata mereka terasa seperti percakapan yang sudah lama tertunda. Tak ada godaan murahan atau basa-basi pesta; hanya dua jiwa yang kebetulan saling mengenali dalam keheningan yang ramai.

Adrien tidak tahu harus berkata apa. Ia ingin bertanya siapa gadis ini, tapi suara musik waltz yang kembali bergema membuatnya kehilangan nyali. Claire hendak kembali ke kelompok tamunya, tapi sebelum pergi ia menatap lukisan itu sekali lagi, seolah menyimpannya dalam hati.

“Teruslah melukis,” katanya. “Dunia terlalu sering lupa pada keindahan yang tenang.”

Adrien hanya sempat membungkuk, dan Claire pun berlalu.

Namun sesuatu telah berubah di dalam dirinya — seolah ruangan itu kini terasa lebih terang, lebih hidup, lebih manusiawi. Adrien kemudian mengetahui siapa gadis yang sempat berbicara dengannya. Ketika ia melihat sebuah lukisan yang begitu mirip dengan wajah Claire — lembut, terang, dan anggun — ia pun bertanya pada seorang pelayan. Dengan nada penuh hormat, pelayan itu menjawab bahwa perempuan dalam lukisan tersebut tak lain adalah Mademoiselle Claire de Beaumont, putri Monsieur Étienne de Beaumont.

Malam makin larut. Para tamu berdansa, anggur mengalir, tawa bergema. Tapi Adrien tak mampu menyingkirkan wajah Claire dari pikirannya. Ia membereskan beberapa bingkai kosong di ruang belakang, namun matanya terus melirik ke arah pintu, berharap gadis itu muncul lagi.

Ketika pesta mulai usai, Adrien membantu pelayan menurunkan beberapa lukisan. Ia berjalan ke ruang galeri untuk mengambil kanvasnya — dan di situlah ia menemukannya.

Di antara kain penutup dan pigura, tergeletak sapu tangan sutra putih yang terlipat rapi. Di sudutnya terjahit huruf kecil dengan benang biru: C. de B.

Ia menatapnya lama. Aroma halus parfum mawar tercium dari kain itu, lembut tapi nyata. Adrien memegangnya seolah memegang sesuatu yang lebih rapuh dari kaca — tanda kecil, tapi cukup untuk membuat malam itu abadi dalam ingatannya.

Ia menatap lukisannya sekali lagi. Perempuan di pinggir jembatan itu kini tampak berbeda — seolah bayangan Claire telah masuk ke dalam setiap garis dan warna.

Ketika Adrien keluar dari rumah keluarga Beaumont, langit Lyon telah memucat oleh embun dini hari. Cahaya lilin dari jendela terakhir yang masih menyala memantulkan sinar di trotoar basah. Ia berjalan perlahan menyusuri jalan berbatu, menggenggam sapu tangan itu di sakunya.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi esok, atau apakah ia akan melihat gadis itu lagi. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa dunia — betapapun keras dan tidak adil — masih menyisakan ruang kecil untuk keajaiban.

Dan di balik jendela kamar atas rumah itu, Claire berdiri di dekat tirai, menatap ke luar. Ia melihat sosok lelaki berpakaian gelap berjalan menjauh, membawa sesuatu dari malam itu yang tak akan pernah bisa ia ambil kembali.

Ia memegang dadanya pelan, menyadari getaran lembut yang belum pernah ia rasakan. Entah mengapa, lukisan itu, percakapan singkat itu, dan pandangan mata yang tak disengaja telah mengguncang sesuatu dalam dirinya — sesuatu yang selama ini dikurung oleh aturan, silsilah, dan nama keluarga.

“Adrien,” ia mengucap nama itu perlahan — tanpa menyadari betapa nama itu akan menjadi takdirnya.

Musim gugur di Lyon terus bergulir. Daun-daun jatuh di halaman rumah Beaumont seperti surat-surat cinta yang tak pernah terkirim. Tapi di dalam hati dua orang itu, telah tumbuh benih kecil yang tak dapat dipadamkan oleh jarak, waktu, ataupun status sosial.

Sebuah cinta yang lahir dari kebetulan, tapi ditakdirkan menjadi bencana yang indah.

 

Hari-hari setelah pesta itu berjalan lambat, seolah musim gugur menahan napas. Di bengkel kecilnya di distrik Croix-Rousse, Adrien Marchand kembali melukis, namun setiap goresan kuasnya terasa seperti menulis surat kepada seseorang yang tak bisa ia jumpai. Dinding bata bengkel itu dingin dan lembap, tapi di dalam kepalanya masih berputar bayangan gaun biru muda dan aroma mawar dari malam di rumah Beaumont.

Ia tak berani berharap banyak. Claire de Beaumont berasal dari dunia lain — dunia di mana nama keluarga lebih berat dari perasaan, dan cinta tak pernah punya hak bicara. Tapi keheningan itu justru membakar hatinya lebih dalam.

Suatu sore, Adrien menulis sebuah surat.

Tanpa sapaan resmi, tanpa nama. Hanya kalimat pertama yang bergetar di kertas lusuh:

“Kepada perempuan yang berdiri di pinggir jembatan hatiku,

bila cahaya sore menyentuh air,

aku berpikir tentang pandangan matamu di antara lilin-lilin yang padam.”

Ia menulis bukan seperti pria yang berharap jawaban, melainkan seperti penyair yang berdoa. Surat itu dilipat dengan hati-hati dan diselipkannya dalam amplop cokelat kecil. Tapi bagaimana mengirimnya?

Di kafe kecil dekat bengkel, Adrien memiliki seorang sahabat bernama Henri Duval — seorang pemuda ceria yang bekerja sebagai kurir barang dan kadang suka menulis sajak sendiri meski tak pernah dibaca siapa pun. Ketika Adrien menceritakan malam di salon dan memperlihatkan sapu tangan dengan huruf C. de B., Henri menatapnya dengan campuran takjub dan prihatin.

“Adrien, kau jatuh cinta pada bintang yang tak bisa kau sentuh,” katanya, menyalakan rokok tipis.

“Tapi bukankah cahaya bintang tetap bisa menghangatkan hati kita meski jauh?” jawab Adrien pelan.

Henri tertawa lirih. “Baiklah, filsuf miskin. Aku tahu satu pelayan yang bekerja di rumah Beaumont. Mungkin—hanya mungkin—ia bisa menjadi jembatan antara langit dan tanah.”

Dan begitulah cara surat pertama itu sampai ke tangan Claire.

Di rumah besar keluarga Beaumont, hari-hari Claire terasa seperti tarian tanpa musik. Ayahnya, Monsieur Étienne de Beaumont, sibuk membicarakan politik dan keuangan, sementara ibunya mengatur daftar undangan untuk pesta berikutnya. Claire lebih banyak menghabiskan waktu di taman, membaca atau menulis di bangku marmer dekat kolam kecil yang dingin.

Ketika pelayan kepercayaannya, Jeanne, menyelipkan amplop tanpa nama di antara buku-buku puisinya, Claire sempat tertegun. Ia membuka perlahan, dan aroma tinta yang lembap menyergapnya seperti angin dari dunia lain.

Surat itu ringkas tapi indah. Setiap kata terasa seperti lukisan yang hidup — lembut, tapi penuh kerinduan yang berani. Ia membaca berulang kali, lalu menyimpannya di antara halaman Les Méditations Poétiques karya Lamartine.

Malamnya, Claire menulis balasan. Ia tak berani menyebut nama, hanya menulis puisi:

“Jika hatimu adalah sungai,

biarkan aku menjadi daun yang hanyut di atasnya.

Bila dunia melarangku menyeberang,

biarlah air membawaku padamu diam-diam.”

Ia menutup surat itu dengan bunga kering — mawar kecil dari taman belakang, simbol rahasia antara dua dunia. Jeanne, pelayan setia itu, menjadi kurir cinta pertama mereka, tanpa sepatah pun pertanyaan. Tapi di matanya mulai tumbuh kekhawatiran, sebab ia tahu rumah besar itu menyimpan mata dan telinga yang tak bisa diam.

Beberapa minggu berlalu. Surat-surat pun bersilang antara Croix-Rousse dan distrik Fourvière, melewati tangan Henri dan Jeanne, seperti doa yang menembus tembok status sosial. Adrien menulis tentang langit, tentang debu bengkel yang terasa indah bila membayangkan wajah Claire. Claire menulis tentang kesepian di antara pesta, tentang gaun-gaun indah yang tak bisa menghangatkan hati.

Mereka berdua hidup dalam dunia yang sama sekali berbeda, namun huruf-huruf kecil itu membuat jarak seolah hilang.

Suatu hari, dalam surat keempatnya, Adrien menulis:

“Bila lukisan bisa menghapus batas, aku akan melukis jembatan yang menghubungkan dua dunia kita — dan kita berdiri di tengahnya, menolak semua nama dan uang.”

Balasan Claire datang tiga hari kemudian:

“Aku tak tahu bagaimana dunia memandangmu, Adrien. Tapi bagiku, setiap sapuan kuasmu adalah doa yang lebih jujur dari seribu doa yang kulafalkan di kapel rumah kami.”

Akhirnya, pada suatu sore mendung, mereka berani mengambil langkah yang lebih gila daripada menulis surat: bertemu diam-diam.

Jeanne mengatur pertemuan itu di taman kecil di dekat Gereja Saint-Jean, di kaki bukit Fourvière. Tempat itu tenang, hanya terdengar lonceng gereja dan suara burung merpati. Adrien datang lebih dulu, membawa buku sketsa dan pensil arang.

Claire tiba dengan kerudung panjang dan mantel sederhana agar tak dikenali. Saat langkah kakinya terdengar di antara batu-batu basah, Adrien menatapnya — dan untuk sesaat, waktu berhenti.

Tak ada kata pertama, hanya senyum yang menghapus segala ketakutan.

Mereka duduk di bangku taman yang sepi. Adrien mulai menggambar garis wajahnya perlahan, dengan tangan gemetar tapi mata penuh cahaya. Claire menatap dengan rasa takjub; belum pernah ia merasa dilihat dengan cara seperti itu — seolah seluruh jiwanya ditransfer ke kertas lewat sebatang arang.

“Bagaimana kau bisa menggambar dengan begitu lembut?” tanya Claire.

“Karena aku takut membuat garis yang menyakitimu,” jawab Adrien.

Claire tertawa pelan, lalu membuka buku puisinya. Ia membacakan bait Ronsard dengan suara lembut, nyaris seperti nyanyian:

“Quand vous serez bien vieille, au soir, à la chandelle,

assise auprès du feu, dévidant et filant,

direz, chantant mes vers, en vous émerveillant :

Ronsard me célébrait du temps que j'étais belle…”

Adrien terdiam. “Kau membaca seolah waktu berhenti,” katanya.

“Karena aku ingin berhenti di sini,” bisik Claire. “Hanya di sini.”

Mereka berbicara lama: tentang lukisan, tentang puisi, tentang dunia yang tak pernah mau mendengar suara hati mereka. Kadang mereka hanya diam, mendengarkan lonceng gereja berdentang seperti penanda waktu yang sia-sia.

Sebelum berpisah, Claire mengambil tangan Adrien. “Janji padaku,” katanya lirih. “Bahwa cinta kita akan melampaui nama dan uang. Bahwa bahkan jika dunia menolak kita, kita tetap akan menjadi diri kita sendiri.”

Adrien menggenggam tangannya erat. “Aku berjanji. Sampai nafas terakhir.”

Hari-hari berikutnya, Lyon terasa lebih indah daripada sebelumnya. Adrien melukis lebih giat, seolah setiap kanvas adalah surat untuk Claire. Di bengkelnya yang sederhana, kini selalu ada bunga kering di atas meja — pemberian terakhir dari pertemuan mereka.

Namun, cinta yang tumbuh di bawah bayangan selalu menarik perhatian. Jeanne mulai resah; ia tahu betapa tajamnya lidah para pelayan lain, dan betapa cepatnya gosip bisa sampai ke telinga Madame de Beaumont.

Suatu sore, ketika Claire sedang menulis surat di kamarnya, ibunya masuk tanpa mengetuk. Ia menatap selembar kertas dengan tulisan puitis yang belum sempat disembunyikan.

“Dari siapa surat itu, Claire?” tanyanya dengan nada datar tapi dingin.

Claire terdiam. Tangan kecilnya gemetar, namun ia mencoba tersenyum. “Puisi… hanya puisi yang aku tulis.”

Madame de Beaumont mengamati sejenak, lalu menunduk mengambil amplop kosong di meja. Tidak ada nama, tapi aroma tinta yang asing membuatnya curiga. Ia tak berkata apa-apa, hanya berbalik dengan wajah kaku.

Setelah pintu tertutup, Claire jatuh terduduk. Ia tahu, masa tenang mereka mungkin segera berakhir.

Malam itu, di Croix-Rousse, Adrien menunggu surat yang tak kunjung datang. Henri datang membawa kabar samar — Jeanne tampak ketakutan, dan rumah Beaumont mulai diawasi oleh kepala pelayan. Adrien hanya duduk di dekat jendela bengkel, menatap langit Lyon yang mulai berawan.

Ia teringat janjinya di taman Saint-Jean.

“Cinta kita akan melampaui nama dan uang.”

Tapi apakah cinta juga bisa melampaui ketakutan?

Ia menulis satu surat terakhir malam itu — surat yang tak akan segera dikirim:

“Claire,

jika dunia menutup pintu untuk kita, maka biarlah kita membuat jendela di langit. Bila aku tak bisa datang padamu sebagai pelukis, aku akan datang sebagai bayangan dalam lukisanmu.”

Ia menyegel surat itu, mencium sapu tangan sutra yang dulu ditinggalkan Claire di pesta keluarganya, dan menatap api lilin sampai padam.

Di sisi lain kota, Claire berdiri di balkon kamarnya, menatap ke arah Croix-Rousse yang hanya tampak sebagai kilatan lampu jauh. Ia memeluk buku puisinya erat, seolah di sanalah Adrien bersembunyi.

Di bawah langit Lyon yang muram, dua hati yang tak seharusnya bersatu terus berdenyut dalam diam — saling mencari lewat huruf, lewat bayangan, lewat janji yang mulai terasa mustahil.

Dan di antara surat-surat itu, dunia yang memisahkan mereka mulai mendekat dengan perlahan… seperti badai yang tak bisa dihindari.

 

Malam di Lyon menggantungkan dirinya seperti lonceng yang belum sempat berbunyi. Di rumah keluarga Beaumont, udara dipenuhi aroma lavender dan damar dari perapian yang menyala lembut di ruang utama. Namun di balik keharuman itu, tersembunyi ketegangan halus—sebuah bisikan gelap yang mengintai dari balik tirai sutra dan langkah-langkah yang ditahan di koridor panjang.

Élise Lambert, pendamping pribadi Claire sejak masa gadis kecil, mulai memperhatikan sesuatu yang tidak biasa. Ia mengenal setiap denyut kebiasaan nona muda itu—jam minumnya, cara ia menulis di ruang baca, bahkan nada kecil yang sering ia siulkan saat menyulam. Tetapi sejak pesta di musim gugur itu, Élise memperhatikan perubahan halus: Claire sering keluar malam dengan alasan “ingin merasakan udara dingin”, atau berlama-lama menulis sesuatu di atas meja tulisnya, lalu buru-buru menyembunyikannya di lipatan kitab Mazmur milik ibunya.

Awalnya Élise ragu. Namun, pada suatu malam, ketika bulan menggantung redup, ia melihat bayangan Claire dari celah jendela ruang tulis—menangis sambil mencium selembar kertas.

Lalu, suara lembut tapi putus asa terdengar:

“Adrien… mengapa dunia ini begitu sempit bagi kita?”

Nama itu membuat Élise tercekat. Adrien—nama yang dulu sempat ia dengar dibisikkan para pelayan setelah pesta besar keluarga Beaumont. Seorang pelukis muda yang katanya miskin tapi tampan, dengan mata kelabu dan tangan berlumur warna. Élise tahu, di dunia mereka, cinta seperti itu bukan sekadar tabu; ia adalah bencana.

Beberapa hari kemudian, Élise mendekati Étienne Beaumont dengan tatapan berat. Ia tidak menyukai pengkhianatan, namun rasa tanggung jawabnya pada keluarga mengalahkan simpati kecil yang tersisa untuk Claire.

“Monsieur,” katanya dengan suara bergetar lembut, “ada hal yang perlu Anda ketahui tentang putri Anda…”

Étienne menatapnya, dahi berkerut. “Apa maksudmu, Élise?”

“Surat-surat, Tuan… surat dari seorang pemuda bernama Adrien. Ia pelukis, bukan dari kalangan kita.”

Kata “pelukis” diucapkan Élise seperti noda di atas linen putih. Étienne membisu beberapa saat. Ia lalu berjalan ke arah jendela besar yang menghadap kebun, di mana bunga mawar Claire yang sedang mekar tampak bergetar oleh angin. “Adrien siapa?” tanyanya perlahan.

“Saya tidak tahu nama lengkapnya, Tuan. Tapi ia sering terlihat di daerah Croix-Rousse.”

Étienne menggenggam tongkat kayunya lebih erat. “Kau sudah melakukan dengan benar, Élise. Aku akan menyelesaikannya malam ini.”

Adrien sedang menatap lukisan di bengkelnya saat dua orang pelayan dari keluarga Beaumont datang. Lukisan itu adalah potret samar Claire di taman Saint-Jean—dengan cahaya pagi menembus rambutnya seperti emas lembut. Adrien baru saja menyelesaikan bayangan di sudut kanvas saat suara keras mengetuk pintu.

“Tuan Adrien Marchand?”

Adrien menoleh, sedikit gugup. “Ya. Ada apa?”

Namun sebelum sempat mendapat jawaban, dua pelayan itu menyeretnya keluar. Salah satu meninju perutnya, membuat tubuhnya terbungkuk.

“Itu untuk Nona Claire,” desis mereka. “Kau mempermalukan keluarga Beaumont!”

Adrien mencoba melawan, tapi sia-sia. Mereka menyeretnya ke gerbang rumah besar di Rue Saint-Just. Di sana, Étienne Beaumont sudah menunggu dengan wajah seperti patung marmer, dingin dan tak bernyawa.

“Jadi ini kau, pemuda miskin yang berani menulis surat pada putriku?”

Adrien terengah, menatap Étienne tanpa rasa takut. “Saya tidak bermaksud mempermalukan siapa pun, Tuan. Saya hanya mencintainya.”

Étienne tersenyum getir, lalu menamparnya dengan punggung tangan. “Cinta? Cinta tak memberi makan orang miskin. Kau hanyalah noda di kehidupan putriku!”

Adrien terdiam, darah menetes dari bibirnya. Tapi dalam tatapan matanya, ada sesuatu yang membuat Étienne gusar—bukan kemarahan, melainkan keyakinan yang tidak bisa dihapus dengan kekuasaan.

“Cinta kami bukan tentang nama atau uang,” jawab Adrien lirih. “Ia tumbuh karena keindahan yang sama yang Anda sendiri ajarkan dalam seni, Tuan.”

Étienne menarik napas panjang, menahan amarah. “Keluarlah dari Lyon. Jika kau masih berani menulis padanya, aku akan pastikan tak ada galeri di kota ini yang akan menampung karyamu lagi.”

Adrien menunduk, lalu melangkah pergi. Hujan mulai turun—rintik kecil seperti air mata yang tak diundang.

Sementara itu, Claire dikurung di kamarnya di lantai dua. Jendela besar yang biasanya menjadi tempat ia menatap taman kini tertutup rapat oleh tirai tebal.

Ibunya, Madame Beaumont, mencoba menenangkannya. “Claire, kau masih muda. Semua ini hanya kekeliruan hati.”

Namun Claire menjawab lirih, “Jika cinta adalah kekeliruan, maka biarlah aku salah seumur hidup.”

Madame Beaumont menunduk, tak sanggup menatap mata anaknya. Ia tahu dunia tidak seindah sajak Ronsard yang sering dibacakan Claire. Di balik setiap pesta dansa dan parfum mawar, ada rantai panjang yang mengikat mereka pada kehormatan keluarga.

Beberapa jam kemudian, Étienne masuk membawa setumpuk surat dan kertas.

“Ini, semua surat dari pemuda itu.”

Ia menatap Claire dengan tatapan dingin, lalu melempar surat-surat itu ke dalam perapian. Api menyala, melahap tinta dan kertas yang sebelumnya menjadi jembatan dua hati muda.

“Lihat baik-baik, Claire. Itulah yang terjadi jika kau menodai nama Beaumont.”

Claire berlari hendak mengambilnya, tapi ibunya menahan. Air matanya menetes deras saat aroma kertas terbakar memenuhi kamar. Di matanya, ia melihat bukan api—melainkan kenangan: tangan Adrien yang lembut, suara lirihnya di taman, dan puisi yang pernah ia bisikkan:

“Cintaku padamu seperti sungai Saône—tak bisa dikurung tembok mana pun.”

Sejak malam itu, Claire tidak lagi menulis surat terbuka. Ia menyembunyikan perasaannya di balik kitab Mazmur, menulis di sela-sela ayat suci:

“Tuhan, jika cinta ini dosa, biarlah aku menanggungnya seperti salib yang indah.”

Setiap malam, ia menulis satu baris kecil—seolah berdoa, namun sesungguhnya memanggil nama Adrien di antara bayang api lilin.

Sementara itu, di Croix-Rousse, Adrien mencoba bertahan dengan semangat yang terkoyak. Henri Duval, sahabatnya, menatapnya dengan prihatin.

“Kau tahu, Adrien, para bangsawan itu takkan pernah mengizinkanmu.”

Adrien menatap kanvas kosong di depannya. “Tapi bagaimana mungkin aku melukis matahari jika aku harus berpura-pura tidak melihat cahayanya?”

Henri menghela napas panjang. “Kau terlalu puitis untuk dunia yang keras ini.”

Adrien hanya tersenyum pahit. “Mungkin. Tapi cinta, Henri, adalah satu-satunya hal yang membuat dunia ini layak dilihat.”

Ia lalu mengambil kuasnya dan mulai melukis—tidak lagi wajah Claire, tapi bayangannya di jendela, samar dan rapuh, seolah terbuat dari cahaya yang terperangkap di kaca.

Di bawah lukisan itu ia menulis satu kalimat:

“Bayangmu adalah cahaya terakhir yang kutemukan di dunia yang memadamkan namamu.”

Di rumah Beaumont, waktu terus berjalan lambat. Étienne mulai membicarakan rencana pertunangan Claire dengan seorang bangsawan muda dari Avignon, putra sahabat lamanya yang baru diangkat menjadi anggota parlemen.

Madame Beaumont hanya mengangguk lesu. Ia tahu Claire tidak akan bahagia, tapi dalam dunia mereka, kebahagiaan bukan tujuan—melainkan kemewahan yang hanya boleh dirasakan sesekali, diam-diam.

Sementara Claire duduk di tepi jendela, menatap langit sore yang membara di atas atap-atap Lyon. Di bawah sana, mungkin Adrien sedang menatap langit yang sama, menunggu jawaban yang takkan datang.

Tapi cinta mereka belum mati—ia hanya berpindah bentuk. Dari surat menjadi doa, dari pertemuan menjadi kenangan, dan dari kata menjadi lukisan yang tak bisa dibakar.

Dan di suatu tempat, di balik riuh Croix-Rousse yang penuh suara pekerja tenun dan palu besi, Adrien bersumpah dalam hati:

“Jika dunia melarangku mencintainya, maka aku akan membuat dunia ini mengingatnya.”

Ia menatap ke arah bukit Fourvière yang jauh di sana, di mana rumah keluarga Beaumont berdiri angkuh di bawah cahaya senja. Dalam diam, dua hati masih saling mencari, meski dunia mencoba memisahkan mereka.

 

Pagi di Lyon turun perlahan dan suara lonceng Gereja Saint-Jean menggema lembut, melingkari kota tua yang masih basah oleh embun musim dingin. Di depan altar batu yang dingin, Adrien berlutut. Jemarinya yang biasa menggenggam kuas kini saling merapat, bergetar di atas lutut yang bersentuhan dengan marmer dingin. Ia tidak datang sebagai pelukis hari itu, melainkan sebagai manusia yang kehilangan arah antara cinta dan iman.

Père Augustin—pastor paruh baya dengan wajah teduh dan jubah hitam lusuh—menatap pemuda itu dari ruang pengakuan dosa. Suaranya berat dan perlahan, seperti air sungai yang mengalir di bawah es.

“Anakku,” katanya dari balik kisi-kisi kayu, “apa yang membuatmu datang kepada Tuhan pagi ini?”

Adrien menarik napas panjang. “Aku datang karena aku mencintai seseorang yang dilarang kucintai, Père.”

“Larangan manusia, atau larangan Tuhan?”

Adrien terdiam sejenak. “Keduanya, mungkin. Ia berasal dari dunia yang bukan milikku. Tapi… jika cinta datang dari cahaya yang sama, mengapa harus disebut dosa?”

Père Augustin memejamkan mata sejenak. “Cinta, anakku, bisa menjadi berkat atau racun. Yang satu membawa kita pada Tuhan, yang lain menjauhkan kita darinya. Kau harus tahu perbedaannya.”

“Tapi aku tidak tahu, Père,” jawab Adrien, lirih. “Sebab saat aku mencintainya, aku justru merasa paling dekat dengan Tuhan. Setiap kali aku menatap matanya, aku seperti melihat lukisan ciptaan-Nya yang paling sempurna.”

Père Augustin menunduk dalam. Kata-kata itu seperti kilatan yang mengingatkannya pada masa mudanya sendiri, saat iman dan hasrat bertarung dalam satu tubuh manusia yang fana. “Dan perempuan itu?” tanyanya pelan.

“Ia dikurung, Père. Tapi aku masih menulis, meski hanya untuk mengingat bagaimana rasanya menjadi hidup.”

Di luar gereja, cahaya pagi masuk menembus kaca patri berwarna biru dan merah, membentuk corak samar di wajah Adrien—seolah surga sendiri ragu apakah hendak memberkatinya atau mengutuknya.

Père Augustin akhirnya berkata dengan nada lembut namun tegas:

“Lepaskan dia, Adrien. Cinta yang melawan dunia tak akan membawa damai. Kau akan hancur, dan mungkin juga dia. Terkadang, Tuhan meminta kita menyerah pada hal yang paling kita cintai agar kita bisa menyelamatkan jiwa kita sendiri.”

Adrien menatap lantai marmer di hadapannya, di mana bayangan salib jatuh tepat di dadanya.

“Tapi bagaimana jika jiwa itu tak ingin diselamatkan tanpa dirinya?”

Père Augustin tidak menjawab. Hanya suara napas berat yang terdengar di balik kisi kayu itu.

Akhirnya, dengan nada nyaris seperti doa, Adrien berkata,

“Aku tidak tahu apakah aku masih percaya pada surga yang menolak cinta seindah ini.”

Lalu ia berdiri, memberi hormat singkat, dan melangkah keluar.

Di sisi lain kota, di rumah besar keluarga Beaumont, Claire duduk sendirian di kamarnya. Tirai tebal yang dulu menutup jendela kini sedikit terbuka, membiarkan cahaya siang yang redup masuk ke dalam ruangan. Di meja kecil di hadapannya tergeletak kitab Mazmur—buku yang menjadi saksi dari setiap air mata dan kalimat tersembunyi yang ia tulis di antara ayat-ayat kudus.

Hari itu, ia tidak menulis apa pun. Tangannya gemetar, pikirannya kosong. Hanya doa yang datang, lemah dan tersendat:

“Tuhan… aku tidak tahu harus mencintai siapa terlebih dulu—Engkau atau dia.”

Ia menatap salib kecil di dinding kamarnya, salib yang dulu diberkati pada hari pernikahan orang tuanya. “Apakah aku berdosa karena mencintai orang miskin, Tuhan? Atau karena aku menolak kebahagiaan yang mereka pilihkan untukku?”

Di luar kamar, Madame Beaumont berbicara dengan seorang pelayan tentang rencana kunjungan keluarga Dubois—keluarga bangsawan Avignon yang akan datang minggu depan untuk membicarakan pertunangan. Claire mendengar nama itu berulang kali, seperti belenggu yang diulang agar lebih dalam menancap di hatinya.

Ia ingin menolak, berteriak, melarikan diri. Tapi di dunia Claire Beaumont, seorang perempuan tidak melarikan diri; ia hanya tunduk dengan elegan. Maka satu-satunya tempat yang tersisa baginya untuk melawan adalah doa.

Malam itu, ia berjalan diam-diam menuju Gereja Saint-Jean—gereja yang sama tempat Adrien mengaku dosa pagi tadi.

Gereja tampak sepi. Lilin-lilin di altar tinggal beberapa batang, menyala goyah diterpa angin dari pintu yang sedikit terbuka. Suara langkah sepatu Claire bergema di lantai marmer. Ia berlutut di depan altar yang sama, di tempat Adrien berdoa.

“Jika ia datang ke sini hari ini, Tuhan,” bisiknya, “maka biarlah doa kami bertemu di udara, meski kami tak bisa bertemu di dunia.”

Ia menundukkan kepala, lalu menangis—bukan tangis lemah seorang wanita yang menyerah, melainkan tangis seorang jiwa yang menolak dilupakan.

Père Augustin, yang kebetulan masih berada di ruang sakristi, melihat sosok itu dari kejauhan. Ia mengenali wajahnya—putri dari keluarga Beaumont, gadis yang disebut Adrien pagi tadi. Seketika, batinnya berguncang. Dua manusia muda ini datang ke tempat yang sama, memohon hal yang sama pada Tuhan yang sama, tapi dari dua arah yang berlawanan: satu memohon kekuatan untuk melepaskan, satu memohon mukjizat agar tak dipisahkan.

Ia tidak menghampiri Claire. Ia hanya berdiri di kejauhan, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. Dalam hati, ia berdoa agar Tuhan berbelas kasih pada cinta yang terlalu murni untuk dibiarkan hidup di dunia yang penuh aturan.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti langit tanpa matahari. Adrien tidak lagi ke bengkel lukisannya. Ia lebih sering berjalan menyusuri tepi Sungai Saône, membawa buku sketsa dan secarik kertas kosong. Dalam dirinya, ada pergulatan yang terus berdenyut: antara iman yang diajarkan Père Augustin dan cinta yang hidup dalam darahnya.

Di setiap orang yang ia lihat—sepasang kekasih, seorang ibu, seorang pengemis—ia mencoba mencari jawaban: apakah cinta hanyalah bentuk lain dari kesombongan manusia, ataukah satu-satunya jalan untuk memahami kasih Tuhan?

Suatu sore, ia kembali ke Gereja Saint-Jean. Ia berdiri di bawah lengkung batu besar yang berlumut, menatap langit-langit tinggi yang tampak seperti memenjarakan cahaya.

Ia berbisik lirih,

“Père Augustin salah. Cinta ini tidak melawan Tuhan; justru karena cinta inilah aku mulai mengerti siapa Dia.”

Kemudian ia duduk di bangku belakang gereja, menulis surat terakhirnya kepada Claire. Tidak panjang, tidak puitis seperti biasanya. Hanya satu kalimat:

“Mari kita bertemu di tempat yang tak bisa memisahkan kita lagi.”

Ia melipat surat itu dengan hati-hati, menyerahkannya pada Henri untuk dikirim lewat pelayan yang masih berani mengambil risiko itu.

Di rumah Beaumont, Claire menerima surat itu malam berikutnya. Ia membukanya dengan tangan gemetar. Satu kalimat saja—tidak ada tanda tangan, tidak ada tanggal. Tapi ia tahu, ia tak butuh lebih dari itu.

Ia memejamkan mata, mencium kertas itu, dan untuk pertama kalinya sejak dikurung, ia tersenyum.

Namun di balik senyum itu, air mata jatuh pelan ke pipinya. Ia tahu kalimat itu bukan janji untuk bertemu di taman atau di kota lain. Itu adalah panggilan yang lebih sunyi, lebih dalam. Adrien tidak mengajak lari—ia mengajak berpisah dari dunia yang menolak mereka.

Malam itu, Claire kembali berdoa di depan salib kamarnya.

“Tuhan, jika cinta ini salah, maka biarlah Engkau sendiri yang memisahkan kami. Tapi jika Engkau menciptakan cinta untuk menunjukkan bagaimana manusia harus mengasihi, maka tolong biarkan kami bertemu sekali lagi—meski bukan di dunia ini.”

Dan ketika lilin terakhir padam, Lyon tampak seperti kota yang menahan napas. Di kejauhan, lonceng Saint-Jean berdentang sekali—dalam, berat, seperti doa yang tak kunjung dikabulkan.

 

Lyon terlelap dalam senyap yang tidak suci. Di atas langit kelam, bulan menggantung sendirian seperti lilin di ruang pemakaman yang luas. Sungai Saône berkilau pucat, memantulkan bayangan jembatan-jembatan batu yang seolah menahan napas. Angin membawa aroma lembap dari tepi air, bercampur dengan suara ranting yang bergesekan, menyerupai bisikan doa yang terlupakan.

Di sisi lain kota, di halaman belakang rumah keluarga Beaumont, tiga bayangan bergerak cepat di antara pagar dan taman. Henri Duval, dengan langkah mantap namun wajah tegang, memimpin dua sosok yang menunduk di belakangnya.

Adrien memegang tangan Claire erat-erat di bawah jubah hitam panjang yang menutupi tubuhnya. Wajahnya disembunyikan oleh tudung kain tipis. Degup jantung mereka berdua berpacu dengan waktu dan rasa takut. Setiap langkah terasa seperti mencuri sesuatu yang bukan milik mereka — malam itu, mereka mencuri kebebasan.

“Cepat,” bisik Henri, sambil menoleh. “Gerbang belakang tak dikunci, tapi penjaga sering lewat tiap seperempat jam. Setelah itu, aku tak bisa lagi menolong kalian.”

Adrien menatap sahabatnya. “Henri, aku tidak tahu bagaimana membalas semua ini.”

“Jangan bicara tentang balasan,” jawab Henri pelan, namun matanya berkaca. “Aku hanya ingin kau menepati kata-katamu: kalau dunia menolak cinta kalian, maka buatlah dunia baru — meski hanya sebentar.”

Claire menatap Henri. “Terima kasih,” katanya lirih. “Kalau aku dilahirkan kembali, aku ingin kita bertiga bertemu tanpa nama, tanpa gelar, tanpa ketakutan.”

Henri mengangguk cepat, menunduk, lalu mundur perlahan ke balik bayangan pohon. Adrien menggenggam tangan Claire lebih kuat, dan mereka pun menyelinap keluar dari rumah itu — dari dunia yang telah menolak mereka.

Malam itu dingin tapi indah. Di bawah jembatan Saint-Vincent, air Saône mengalir pelan, berkilau di bawah cahaya bulan. Suara gereja Saint-Jean di kejauhan berdentang satu kali, menandakan jam kesepuluh.

Adrien dan Claire berjalan tanpa suara di sepanjang tepi sungai. Langkah mereka meninggalkan jejak di tanah lembap. Claire menengadah, memandangi langit Lyon yang kelabu. “Adrien,” katanya pelan, “aku tidak tahu apakah aku sedang hidup atau sudah mati malam ini.”

“Kita masih hidup,” jawab Adrien, suaranya lembut. “Justru ini pertama kalinya kita benar-benar hidup, Claire.”

Ia berhenti di tepi sungai, membuka tas kulit kecil yang ia bawa. Di dalamnya, terbungkus rapi dalam kain beludru, ada dua gelas kecil dan botol berleher sempit berisi cairan berwarna tembaga gelap.

“Larutan opium dan belladonna,” katanya, hampir seperti seorang seniman yang memperkenalkan karyanya. “Père Augustin bilang cinta bisa menjadi racun, tapi aku kira racun ini justru akan mengembalikan cinta kita kepada asalnya — pada yang abadi.”

Claire menatap cairan itu lama. Ia tidak ketakutan. Ada ketenangan di matanya, seperti seseorang yang sudah lama berdamai dengan takdir.

“Adrien,” bisiknya, “apakah kita akan diampuni?”

“Jika cinta ini dosa,” jawabnya, “maka biarlah Tuhan yang menjawab di sisi lain sungai.”

Mereka duduk di rerumputan basah, berhadap-hadapan. Di antara mereka, dua gelas kecil kini penuh hingga setengah. Adrien menatap wajah Claire lama-lama — rambutnya yang keemasan memantulkan cahaya bulan, kulitnya yang pucat seperti marmer muda di kapel, dan matanya yang penuh keyakinan, seperti sedang menatap akhir yang suci.

“Maukah kau menggambar aku untuk terakhir kali?” tanya Claire tiba-tiba.

Adrien tertegun. “Sekarang?”

“Ya. Aku ingin kau mengingatku bukan sebagai gadis dari rumah Beaumont, tapi sebagai perempuan yang pernah kau cintai di tepi Saône.”

Adrien tersenyum kecil. Ia mengeluarkan buku sketsanya, yang telah lusuh dan basah di pinggir. Dengan tangan gemetar tapi lembut, ia mulai menggambar wajah Claire dalam cahaya bulan. Setiap goresan terasa seperti perpisahan yang lembut: garis rambutnya, lekuk bibirnya, bayangan lembut di lehernya.

Claire memandangi Adrien dengan mata yang berkilat basah.

“Kau tahu,” katanya perlahan, “ibuku selalu bilang cinta itu seperti musik. Indah hanya jika dimainkan di waktu yang tepat. Tapi kita... mungkin kita memilih lagu yang salah, ya?”

Adrien berhenti menggambar dan tersenyum getir. “Tidak, Claire. Kita hanya memainkan lagu yang terlalu indah untuk dunia ini.”

Ia menutup buku sketsa, menaruhnya di samping. Kemudian ia mengambil salah satu gelas kecil, menyerahkannya kepada Claire.

“Untuk kebebasan,” katanya.

Claire menerima gelas itu. “Untuk cinta,” jawabnya.

Mereka saling menatap. Waktu berhenti. Angin di tepi Saône seolah menahan hembusannya, dan air sungai menjadi cermin yang memantulkan wajah dua manusia yang berani menentang dunia.

Mereka mengangkat gelas mereka, menyentuhkan bibir pada tepi kaca. Cairan itu pahit, berbau bunga dan kematian. Claire meneguknya perlahan, seperti mencicipi air kehidupan yang dijanjikan. Adrien meneguk setelahnya, tak ada keraguan.

Setelah itu, mereka saling berpelukan.

Adrien menarik tubuh Claire ke dadanya. “Aku ingin kau ingat satu hal,” bisiknya di telinganya.

“Tidak ada dunia tanpa engkau di dalamnya.”

Claire menatap matanya — dan di sana, ia melihat bukan kematian, tapi cahaya yang menenangkan, seperti matahari pagi di atas lembah.

“Kalau begitu,” katanya lirih, “biarlah dunia berhenti malam ini.”

Waktu berjalan pelan setelah itu. Efek racun datang dengan lembut seperti kantuk. Claire bersandar di bahu Adrien, sementara bintang-bintang di langit tampak bergetar.

“Mungkin nanti kita akan terlahir kembali di tempat yang tak mengenal nama,” bisik Claire. “Aku ingin jadi awan, dan kau jadi sungai — agar aku bisa terus melihatmu dari langit.”

Adrien tersenyum. “Kalau begitu, aku akan terus mengalir di bawahmu, sampai dunia berhenti berputar.”

Tubuh Claire semakin lemah, napasnya semakin lambat. Adrien mencium keningnya, lalu memejamkan mata. Dalam diam, ia merasakan tubuh mereka menyatu dalam dingin yang tenang, dalam cinta yang tidak membutuhkan restu siapa pun.

Suara lonceng gereja Saint-Jean berdentang dua kali — berat, dalam, seperti nadi terakhir kota yang ikut berduka.

Dan di antara gema lonceng itu, dua sosok di tepi Saône perlahan membeku dalam pelukan mereka.

Menjelang pagi, di tepi Sungai Saône—udara terasa lebih berat, seolah membawa rahasia yang enggan diucapkan. Dari perahu kayunya, seorang nelayan bernama Baptiste melihat sesuatu di antara sisi sungai: dua tubuh, terbaring saling berdekapan. Tangan mereka masih saling menggenggam. Di rambut perempuan itu terselip sehelai bunga kering.

Di samping mereka, sebuah buku sketsa terbuka, di dalamnya gambar seorang perempuan tersenyum lembut, dengan catatan kecil di bawahnya:

“Cinta yang benar tak mati — ia hanya berpindah tempat.”

Ketika kabar menyebar ke kota, Lyon seakan berhenti bernafas. Orang-orang dari Croix-Rousse hingga Bellecour berkumpul di tepian sungai. Seorang ibu berbisik lirih, “Mereka tampak damai, bukan?”—dan air matanya jatuh tanpa tahu untuk siapa. Orang-orang berbicara dengan nada campur antara terkejut dan simpati, sementara Gereja Saint-Jean menyalakan lilin untuk dua jiwa muda yang “tersesat dalam kasih.”

Polisi kota menutupi tubuh mereka dengan kain.

 

Claire Beaumont dan Adrien Marchand. Dua nama yang, bagi sebagian orang, hanya berarti gadis bangsawan dan pelukis miskin. Tapi pagi itu, di bawah cahaya redup Fourvière, keduanya menjadi lambang yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Ketika tubuh mereka diangkat, Étienne Beaumont berdiri kaku di pinggir dermaga. Wajahnya pucat, seperti batu nisan yang tak pernah mengenal penyesalan. Élise Lambert berlutut di belakangnya, menggenggam rosario sambil memalingkan wajah—tak sanggup memandang anak majikannya yang kini tampak seperti patung marmer di altar.

Henri Duval berdiri di tepi Saône, menatap tempat di mana sahabat dan kekasih sahabatnya berakhir. Angin menggoyangkan air perlahan, seolah menyembunyikan rahasia mereka. Di tanah, ia menemukan sapu tangan putih dengan inisial C. de B, masih harum lavender. Ia mengambilnya, menggenggam kuat-kuat, lalu berbisik ke langit:

“Kalian memang menolak tunduk. Tapi kalian telah menang. Dunia ini terlalu sempit untuk cinta seagung itu.”

Ia meletakkan sapu tangan itu di atas air, membiarkannya terbawa arus. Dalam diam, Lyon kembali berdenyut seperti biasa, tapi di tepi Saône, cinta dua manusia masih bergetar lembut — abadi dalam kesunyian malam yang menolak melupakannya.

Para biarawan dari Gereja Saint-Jean datang. Namun Père Augustin hanya berdiri, menatap keduanya mayat itu lama sekali. Di dalam dirinya, ia tahu: mungkin Tuhan sendiri menangis malam itu, karena melihat dua manusia yang mencintai-Nya dengan cara yang tak dimengerti dunia.

Ils sont partis sans sacrement,” katanya lirih.

Tapi di matanya yang basah, ada sesuatu yang menyerupai pengampunan.

Pemakaman mereka diadakan di pemakaman kecil di kaki bukit Fourvière. Gereja menolak upacara penuh, sebab bunuh diri dianggap dosa. Tapi penduduk datang dalam diam—para pelukis miskin, pelayan-pelayan rumah tangga, hingga anak-anak yang pernah melihat Claire memberi sedekah di pasar. Mereka menaburkan bunga di atas tanah yang masih basah.

Henri berdiri di tepi kubur, membaca sepenggal kalimat dari surat terakhir Adrien yang sempat ia temukan:

“Cinta yang sejati tidak berakhir di dunia, ia hanya berpindah tempat di mana waktu tak lagi menua.”

Kata-kata itu bergema di antara gumam doa dan tangis tertahan. Bahkan beberapa biarawan muda yang dilarang hadir tetap datang, berdiri jauh di belakang, memegangi salib kecil di dada.

Di rumah besar keluarga Beaumont, tirai-tirai diturunkan selama berminggu-minggu. Étienne memerintahkan agar nama Adrien tak lagi disebut di rumah itu. Namun setiap malam, suara denting piano dari kamar Claire masih terdengar samar—entah gema kenangan, entah halusinasi. Kadang Élise Lambert, pelayan yang dulu melapor pada sang ayah, berdiri di depan pintu kamar itu dengan wajah menyesal. Ia bersumpah mendengar seseorang berbisik dari dalam: “Je suis là, Adrien…”

Musim berganti. Lyon kembali hidup. Pasar Croix-Rousse ramai lagi, pameran seni digelar di balai kota, dan orang-orang mulai lupa tragedi itu—atau setidaknya berpura-pura lupa. Namun di tepian Saône, setiap malam Jumat pertama musim gugur, selalu ada sepasang bunga anyelir putih mengapung di permukaan air. Tak ada yang tahu siapa yang meletakkannya.

Père Augustin menuliskan catatan di buku paroki Saint-Jean:

“Claire Beaumont dan Adrien Marchand, wafat pada fajar keempat Oktober, tahun 1827. Mereka mati tanpa sakramen, tapi barangkali lebih dekat pada surga daripada kita yang hidup.”

Kalimat itu kelak dibaca oleh murid-murid seminari muda yang menangis diam-diam. Dalam hati mereka, lahirlah simpati baru terhadap cinta—cinta yang mungkin berdosa di mata hukum, tapi suci di mata hati.

Henri Duval membuka galeri kecil di Rue Mercière beberapa tahun kemudian. Di dinding utamanya, tergantung lukisan terakhir Adrien: “Femme au Pont.” Lukisan itu kini dikelilingi oleh bingkai dedaunan emas, dengan keterangan kecil di bawahnya:

“Didedikasikan untuk C. de B., yang menatap dunia dengan cahaya yang tak pernah padam.”

Setiap kali pameran dibuka, para pengunjung berdiri lama di depan lukisan itu. Beberapa wanita muda mengusap air mata mereka. Beberapa pria menyebutnya romantisme berlebihan. Tapi Henri tahu, setiap orang yang berhenti di sana merasakan hal yang sama: kehangatan yang menusuk seperti rindu yang tak selesai.

Di luar galeri, para penyair Lyon mulai menulis tentang mereka.

Les Amants de la Saône,” begitu sebutan yang melekat sejak itu—Para Kekasih dari Saône.

Lagu-lagu rakyat muncul di kedai anggur: tentang gadis bangsawan yang turun dari menara untuk mengejar pelukis miskin, tentang dua jiwa yang menolak tunduk pada dunia. Anak-anak di Fourvière bahkan bermain di tepi sungai sambil bernyanyi pelan:

“Mereka meninggal di tepi sungai, tapi hati mereka jadi bintang.”

Dan setiap kali matahari tenggelam di Lyon, kilau di permukaan Saône seperti dua cahaya kecil yang berkejaran—satu emas, satu putih. Orang-orang bilang, itu roh mereka, masih berjalan beriringan.

Dua puluh tahun berlalu.

Étienne Beaumont meninggal dalam kesunyian. Di ruang kerjanya ditemukan surat yang tak pernah dikirim, tertulis dengan tinta memudar:

“Aku tidak pernah tahu cinta bisa seindah sekaligus sekejam itu. Jika aku punya kesempatan kedua, mungkin aku akan memeluk mereka, bukan memisahkan.”

Surat itu dimakamkan bersama dirinya, atas permintaan terakhir sang imam.

Di bukit Fourvière, dekat basilika yang belum rampung dibangun, ada batu kecil tanpa nama. Di atasnya, setiap musim gugur, seseorang selalu menaruh dua bunga anyelir putih dan selembar kanvas kecil bergambar jembatan.

Orang-orang Lyon memanggil tempat itu Le Jardin des Silences—Taman Keheningan.

Mereka datang bukan untuk berdoa, tapi untuk mengingat.

Dan di antara segala yang hilang dari abad ke-18 itu—revolusi, perang, kebangkrutan bangsawan, dan pudar aristokrasi—kisah mereka tetap hidup seperti nyala lilin di jendela yang tak pernah padam.

Para seniman muda menyebut nama mereka ketika bicara tentang cinta yang menolak tunduk.

Para biarawati kadang menyebutnya dalam doa, dengan nada yang tak lagi mengutuk, melainkan iba.

Dan di hati para warga Lyon, les amants de la Saône menjadi legenda yang tak lekang oleh waktu: kisah dua jiwa yang gagal hidup bersama di dunia yang kejam, tapi berhasil menyatu di tempat di mana tak ada nama, tak ada kasta, dan tak ada larangan.

“Mereka gagal hidup bersama di dunia yang kejam, tapi di keheningan Saône, nama mereka menjadi satu.”

Apakah sungai mengingat mereka?

Mungkin tidak. Tapi setiap kali fajar datang di Fourvière, kabut di atas air tampak berputar lembut, seperti dua siluet yang menari. Dan bagi mereka yang peka pada keheningan, di sana terdengar bisikan yang tak bisa ditulis oleh siapa pun "Je t'aime, pour toujours."

Share:
Location: Lyon, Prancis