Jakarta, 2021.
Aku masih percaya bahwa stabilitas
adalah segalanya. Dalam hidup, dalam cinta, dalam setiap hal yang bergerak di
antara dua keputusan. Namaku Hengky, aku seorang freelancer yang bekerja dari kantor
kecil di kawasan Kuningan, memandangi jendela dengan pemandangan kabel listrik,
langit kelabu, dan billboard vitamin C. Pandemi membuat dunia terasa seperti
ruangan tanpa jendela—waktu berjalan, tapi udara tak berubah. Di tengah semua
keteraturan yang menjemukan itu, aku bertemu Una Veronica.
Dia muncul pertama kali di sebuah
kafe di Setiabudi, sore yang sunyi di antara dua PPKM. Una duduk di sudut ruangan, rambut pirang dan modis, mengenakan kaus panjang
pink dan rok krem panjang, aroma sabun hotelnya samar terbawa angin dari
pendingin ruangan. Rambutnya lurus, jatuh teratur, dan setiap gerakannya
seperti direncanakan: menyesap, menatap, menunduk, menghela napas.
Kalimat pertamanya padaku adalah,
“Kamu terlihat seperti orang yang
masih percaya pada stabilitas.”
Aku tersenyum, tak tahu apakah itu
pujian atau sindiran.
“Apa salahnya percaya pada hal yang
stabil?” tanyaku.
Dia menatapku lama.
“Tak ada yang salah. Tapi
stabilitas itu membosankan. Sama seperti mandi dengan sabun yang sama setiap
hari.”
Kami tertawa kecil. Aku tidak tahu
mengapa percakapan itu terasa penting. Mungkin karena di tengah kekacauan dunia, ada seseorang yang berbicara dengan
tenang, teratur, dan menatap lurus seolah tidak takut pada apa pun.
Beberapa minggu kemudian, kami jadi
akrab.
Una punya gaya bicara yang seimbang antara kehangatan dan kalkulasi. Dia tak pernah menanyakan hal-hal remeh, tapi selalu ingin tahu soal prinsip: apa arti kerja, apa arti uang, apa arti tenang. Kami sering berjalan kaki di sekitar Setiabudi sore-sore, mengenakan masker dan membawa kopi dingin.
“Menurutmu dunia akan pulih?” tanyanya suatu kali.
“Entahlah,” jawabku. “Tapi aku rasa
kita bisa tetap hidup meski tidak tumbuh.”
“Kamu bicara seperti direktur lama
yang takut ambil risiko,” katanya sambil tersenyum.
Aku tak tersinggung.
Dia menyukai keteraturan, dan aku
menyukai caranya merangkai kata. Kadang aku berpikir, kalau cinta bisa diukur,
maka cintaku padanya adalah grafik datar yang konstan di atas garis stabil.
Tidak tinggi, tapi pasti.
Kami tinggal bersama akhirnya—tanpa
rencana, tanpa upacara. Apartemenku jadi lebih harum, handuk terlipat lebih
rapi, kulkas lebih terisi.
Setiap pagi Una menyapaku dengan
suara lembut:
“Sarapan sudah di meja. Jangan lupa
vitamin.”
Dia seperti simbol dari masa depan
yang bisa kutebak. Tidak mengagetkan, tapi menenangkan.
Aku mengira itu adalah cinta.
Atau sesuatu yang menyerupai cinta.
Namun yang stabil, seperti kata
Una, bisa membosankan. Aku mulai merasa jarak yang aneh di antara kami. Dia
sering pulang lebih malam dari biasanya. Katanya, “meeting tambahan.” Kadang dia
menatap ponselnya lama, lalu tersenyum kecil yang bukan untukku. Aku tak ingin
curiga. Aku terlalu percaya pada fundamental cinta kami—pada hal-hal rasional
yang tak butuh pembuktian.
Suatu malam, hujan deras mengguyur
Jakarta. Aku pulang lebih cepat, membawa nasi goreng kesukaannya.
Apartemen gelap.
Sepatunya tak ada di rak.
Kemejanya yang biasa tergantung di
kamar mandi juga hilang.
Yang tersisa hanya aroma sabun
hotel itu, samar, menempel di udara seperti jejak yang menolak hilang.
Keesokan harinya, ponselnya tak
bisa dihubungi.
Seminggu berlalu, lalu dua.
Aku mulai mencari-cari alasan: mungkin dia butuh ruang, mungkin dia sakit, mungkin ini cuma jeda kecil dalam hubungan panjang. Tapi yang kutemukan hanyalah berita samar dari teman lamanya: Una sudah pergi bersama pria lain—seorang pengusaha paruh baya, katanya, lebih mapan, lebih “pasti.”
Dan yang paling menyakitkan: Una
sedang hamil.
Aku menatap layar ponsel lama,
menunggu sesuatu yang tak akan datang.
Satu pesan pun tidak.
Bahkan tidak ada kata perpisahan.
Malam-malam setelah itu terasa
seperti nilai yang terus turun tanpa dasar. Aku duduk di depan laptop, mencoba
bekerja, tapi semua angka tampak sama: merah. Kepalaku penuh kenangan yang
menolak dilupakan. Aku ingat caranya menata piring, caranya menyisir rambut,
caranya mengucapkan “ya” dengan intonasi lembut seolah itu kontrak jangka
panjang.
“Aku percaya padanya lebih lama
dari yang seharusnya,” tulisanku di buku catatan.
“Mungkin itu kesalahanku — atau
kesetiaanku yang bodoh.”
Ada rasa malu yang aneh di balik
luka itu.
Aku bukan hanya kehilangan
seseorang, tapi juga kehilangan prinsip yang selama ini kujaga. Seperti
investor yang terlalu yakin pada laporan keuangan, tak sadar fondasinya rapuh.
Jakarta sore itu seperti ikut
bersedih.
Langit kelabu, genangan air di tepi
jalan, suara klakson yang terdengar lebih jauh dari biasanya. Aku berjalan
tanpa arah di sepanjang Jalan Rasuna Said, melewati gedung-gedung kaca yang
memantulkan cahaya lampu seperti grafik yang jatuh ke bawah.
Aku teringat ucapan Una di hari
pertama kami bertemu:
“Kamu terlihat seperti orang yang
masih percaya pada stabilitas.”
Kini aku tahu, stabilitas hanyalah
ilusi yang dijual kepada orang-orang yang takut kehilangan.
Dan aku membelinya dengan seluruh yang kupunya.
Malam itu aku memutuskan untuk
tidak mencarinya lagi. Bukan karena sudah kuat, tapi karena sudah terlalu lemah
untuk berharap. Aku menutup semua pesan, semua foto, semua hal yang masih
menyebut namanya. Tapi bayangannya tetap muncul di antara gelas kopi, di sudut
tempat tidur, di aroma sabun yang masih menempel di bantal.
Beberapa bulan kemudian, seseorang
mengirimkan fotonya.
Una mengenakan gaun sederhana,
wajahnya lebih tenang, tapi matanya tampak kosong. Di sebelahnya berdiri pria
yang jauh lebih tua, memegang tangannya tanpa senyum. Aku menatap gambar itu
lama, lalu menutup layar. Entah kenapa aku tidak marah lagi. Hanya ada rasa
dingin yang lambat-lambat tumbuh, seperti tembok kaca yang memisahkan aku dari
dunia.
Aku sadar, mungkin aku tak
benar-benar mencintai Una. Mungkin aku hanya mencintai gagasan tentang
keteraturan yang dia bawa. Dan ketika dia pergi, yang benar-benar runtuh bukan
hatiku, melainkan sistem kepercayaanku sendiri.
Hujan turun lagi malam itu. Aku
berdiri di balkon, memandangi lampu-lampu kota yang berpendar seperti lilin di
pasar yang sepi. Air menetes dari atap dan aku pun berpikir, mungkin cinta
memang tidak bisa dihitung. Tapi kalaupun bisa, hasilnya akan selalu sama:
kerugian yang tak bisa dikonversi ke bentuk apa pun.
Aku menarik napas panjang, menatap
kosong ke jalan raya. Mobil-mobil melintas, satu-satu, seperti ide-ide yang
terlambat disadari. Di kejauhan, sirene ambulans meraung, memotong kesunyian
seperti garis vertikal ke bawah.
Mungkin suatu hari aku akan lupa
bagaimana rasanya dicintai dengan rapi. Tapi untuk saat ini, aku masih berdiri
di sini, bersama hujan dan bayangan sabun hotel yang tertinggal di udara. Dan
untuk pertama kalinya, aku mengakui dalam hati—bahwa dunia tidak jatuh
sekaligus. Ia runtuh perlahan, seolah malu, sambil memastikan tak ada yang
memperhatikan.
“Aku menyerah padamu, Una,” bisikku
pada malam yang dingin.
“Tapi aku belum menyerah pada
keyakinan bahwa suatu hari, takdir ini akan berbalik arah.”
Hujan berhenti.
Namun aroma sabun hotel itu masih
menggantung lama di udara, seperti kenangan yang menolak turun harga.
Jakarta, awal tahun 2022.
Musim hujan datang lebih lambat
tahun itu, seolah menunggu sesuatu meledak lebih dulu. Di kafe-kafe
berpendingin udara yang terlalu dingin, orang-orang berbicara dengan suara
tinggi, tentang hal-hal yang besar, cemerlang, dan akan mengubah dunia. Aku tidak
benar-benar mengerti apa yang mereka bicarakan — hanya tahu bahwa setiap kata
terasa seperti percikan listrik.
Dan di tengah percikan itu,
datanglah Pani Natasya.
Dia muncul di sebuah acara kecil di
bilangan Sudirman, di mana semua orang sibuk memperkenalkan diri sambil menatap
layar ponsel. Pani tidak membawa ponsel hari itu. Rambutnya berwarna hitam dan dicepol
rapi. Dia datang dengan gaun berwarna kuning keemasan, seperti matahari sore
yang menolak tenggelam. Tatapannya tajam tapi hangat, seolah dia bisa membakar
sekaligus menenangkan dalam waktu yang sama.
“Aku benci hal-hal yang stabil,”
katanya padaku malam itu. “Mereka membuatku mengantuk.”
Aku tertawa. Aku pikir dia
bercanda. Tapi Pani bukan tipe perempuan yang bercanda tentang apa pun.
Dua minggu setelah itu, kami
bertemu lagi. Kali ini dia yang mengundang. Sebuah restoran rooftop di atas
gedung yang baru selesai direnovasi — belum ada papan nama, belum ada pelanggan
tetap.
“Aku suka tempat-tempat yang belum
punya sejarah,” katanya sambil menyalakan rokok tipis.
“Mereka masih punya ruang untuk
jadi siapa saja.”
Aku menatapnya lama. Ada sesuatu di
wajahnya yang membuatku percaya pada ide-ide gila. Mungkin karena caranya
berbicara seperti orang yang selalu hidup dua langkah di depan kenyataan.
Dia bicara tentang masa depan —
bukan masa depan yang kabur dan romantik, tapi masa depan yang konkret dan
penuh peta. Tentang kota-kota yang akan berubah, sistem-sistem baru, cara
berpikir yang lebih cepat, lebih efisien. Setiap kata darinya seperti undangan
untuk ikut menumpang di kendaraan yang belum selesai dirakit.
“Aku ingin membangun sesuatu yang
tak bisa dilupakan,” ujarnya. “Bukan karena ukurannya, tapi karena
kecepatannya.”
Aku tidak yakin apakah dia bicara
tentang cinta atau karier. Tapi malam itu, aku hanya bisa mengangguk. Ada
sesuatu dalam dirinya yang membuatku ingin menjadi bagian dari apa pun yang dia
percayai.
Hubungan kami tumbuh seperti bunga liar di atas aspal. Cepat, indah, dan berbahaya.
Kami sering bertemu tanpa rencana — kadang di tengah hujan, kadang di antara
rapat yang kuabaikan. Dia selalu datang dengan cerita baru: orang-orang
berpengaruh yang ditemui, proyek yang sedang ia mulai, dunia yang katanya akan
“bergeser sebentar lagi.”
“Semua ini cuma soal waktu,”
katanya suatu malam.
Aku bertanya, “Waktu untuk apa?”
Pani tersenyum. “Untuk membuktikan
siapa yang lebih dulu percaya.”
Aku tidak tahu mengapa kalimat itu
membuatku merasa seperti sedang memegang bara api.
Semakin lama bersamanya, aku mulai
kehilangan arah. Dia terlalu cepat, terlalu hangat, terlalu yakin. Kadang bicara
tentang hal-hal yang belum terjadi, seolah sudah berlalu. Kadang dia marah
tanpa alasan, lalu menangis karena hal yang bahkan tak pernah disebutkan. Tapi
di balik semua itu, ada sesuatu yang jujur — mungkin hasrat untuk hidup tanpa
rem.
Suatu malam di apartemennya, dia
tiba-tiba bertanya, “Kau mencintaiku, kan?”
Aku diam.
“Jujurlah. Aku tahu kau mencintaiku
seperti orang mencintai matahari — dari jauh, karena takut terbakar.”
Aku menatapnya lama. Di bawah lampu
redup, kulitnya tampak berkilau seperti tembaga panas.
“Aku tidak tahu apa itu cinta,”
jawabku akhirnya. “Tapi aku tahu aku tidak ingin kehilanganmu.”
Dia tertawa kecil, suara yang
menggema seperti gelas pecah.
“Kalau begitu, kau akan kehilanganku
cepat atau lambat.”
Dan benar saja.
Hubungan kami menguap seperti kabut
di atas sungai. Aku mulai menjauh tanpa sadar — bukan karena bosan, tapi karena
takut tenggelam di dalam ritmenya. Dia terlalu intens; hidupnya seperti garis yang
terus naik tanpa pernah tahu kapan harus turun. Aku mulai merasa cukup. Cukup
melihatnya tertawa, cukup mendengar janji-janji masa depan yang tak pernah
sempat diwujudkan.
Lalu aku pergi.
Tidak ada pertengkaran. Tidak ada
air mata. Hanya kesunyian di antara dua pesan terakhir yang tak dibalas.
Beberapa bulan setelah itu, aku
mendengar dia pindah ke luar negeri. Mendirikan sesuatu — entah apa.
Orang-orang membicarakannya dengan semangat, seolah dia legenda yang baru saja
tumbuh di tanah tandus. Aku pura-pura tidak peduli, tapi setiap kali melihat
langit kuning di sore hari, aku teringat gaunnya malam pertama kami bertemu.
Waktu berjalan cepat, seperti arah
yang terus menanjak tanpa melihat ke belakang. Tahun berganti — 2023, 2024.
Jakarta mulai terasa asing bagiku.
Banyak hal berubah tanpa aku sadari.
Lalu suatu sore, di akhir tahun
2024, aku melihatnya lagi.
Pani muncul di layar televisi di
sebuah lounge bandara. Rambutnya lebih panjang, suaranya lebih tenang, tapi
matanya masih sama — mata orang yang tahu ke mana dunia akan berbelok.
Orang-orang di sekelilingku berhenti berbicara ketika ia muncul. Semua menatap,
terpikat. Dia tampak luar biasa. Lebih dewasa, lebih berkelas, dan lebih jauh
dari jangkauan.
Dan di detik itu aku tahu, aku
telah melepaskannya terlalu cepat.
Ada semacam ironi yang tenang
menelusup di dada. Dulu aku meninggalkannya karena pikir aku sudah cukup bersamanya. Tapi kini,
melihatnya begitu tinggi, aku merasa seperti penumpang yang ditinggal oleh
kereta terakhir malam itu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menatap ke arah
rel kosong dan berharap suara roda itu masih bisa kudengar.
Beberapa peluang hanya datang
sekali, lalu terbang tinggi dan tak menoleh lagi.
Pani Natasya adalah satu dari
peluang itu.
Dan kadang-kadang, saat aku duduk
sendirian di kafe lama yang pernah kami datangi, aku masih bisa mencium aroma
buah tropis yang samar di udara. Sedikit manis, sedikit menipu — seperti janji
yang tak sempat ditepati.
Tahun sebelumnya (2023), aku sering
terbangun tengah malam dengan dada berdebar tanpa sebab. Mungkin bukan karena
cinta yang tersisa, tapi karena sensasi kehilangan yang terlalu cepat.
Jakarta berubah — lebih panas, lebih berisik, lebih haus. Semua orang bicara
tentang ekspansi, energi, dan kekuasaan baru. Aku merasa kecil di tengah
gelombang yang terus meninggi.
Suatu malam, di bar kecil di SCBD,
aku duduk sendirian memandangi gelas yang setengah kosong. Udara pengap
bercampur aroma parfum mahal dan asap rokok. Saat itulah seseorang lewat —
langkahnya berat, tapi teratur. Rambut kuning ikal dengan jaket blazer hitam
berkilau menyapu lantai seperti nyala api yang memantul dari kaca. Dia berhenti
di sampingku dan tersenyum.
“Nama aku Byanca.”
Suaranya dalam, tenang, tapi
menyala.
Dan aku tahu — ini bukan sekadar
pertemuan biasa. Ini adalah awal dari sesuatu yang berbahaya.
Tahun 2023 datang dengan hawa panas
yang aneh. Bahkan di bulan Januari, udara Jakarta terasa seperti bara yang
belum padam. Orang-orang bicara tentang masa keemasan, tentang peluang baru
yang katanya tak akan terulang. Tapi di mataku, semuanya hanya tampak seperti
api — indah dari jauh, tapi bisa melahap siapa pun yang terlalu dekat.
Byanca datang seperti percikan
pertama dari kebakaran besar itu.
Kami bertemu lagi di sebuah acara
galeri — ruang penuh kilau dan tawa palsu. Dia memakai gaun hitam berpotongan
tajam, bibirnya merah gelap, dan matanya seolah mengancam sekaligus mengundang.
“Sudah lama aku tidak melihat orang
yang duduk sendirian,” katanya sambil menuang minuman ke gelasku tanpa diminta.
Aku hanya mengangguk.
Dia tersenyum, seperti seseorang
yang baru saja memenangkan sesuatu yang belum dimulai.
Byanca berbeda dari siapa pun yang
kutemui. Dia tidak punya waktu untuk basa-basi. Langsung bicara tentang
kekuasaan, tentang hasrat untuk menjadi pusat gravitasi. Dia tidak berlari
mengejar mimpi — hanya membuat orang lain berlari mengejarnya.
Setiap kalimatnya seperti percikan
api di udara kering: cepat, panas, berbahaya. Aku tahu seharusnya menjauh, tapi
ada daya tarik dalam kehancuran yang sedang tumbuh. Malam itu kami pulang
bersama. Dia tidak meminta izin, hanya menatapku, lalu berkata :
“Kalau kau tidak ikut, nanti kau
menyesal.”
Sejak saat itu, aku tinggal di
rumahnya — sebuah apartemen tinggi dengan jendela menghadap langit barat.
Setiap sore, matahari tenggelam seperti bola api raksasa yang terperangkap di
kaca, membuat semuanya berwarna emas. Byanca suka berdiri di sana, berbalut
jubah tipis, menatap kota seolah seluruh dunia adalah panggungnya.
“Lihat,” katanya suatu kali,
“semuanya panas sekarang. Tidak ada yang mau dingin.”
Aku memeluknya dari belakang.
Tubuhnya hangat, terlalu hangat.
“Apa kau tidak takut terbakar?”
tanyaku.
“Yang takut terbakar tidak akan
pernah menyala,” jawabnya tanpa menoleh.
Hari-hari bersama Byanca berjalan
seperti mimpi yang mendidih. Kami hampir tidak tidur. Kami bicara, bercinta,
bertengkar, tertawa — semua dalam satu napas. Dia menuntut kehadiran penuh,
seolah cinta baginya adalah transaksi energi: siapa yang memberi lebih banyak,
siapa yang bertahan lebih lama. Aku mencoba menandinginya, tapi setiap kali ia
menatapku, aku tahu aku yang kalah.
“Cinta itu bukan keseimbangan,”
katanya suatu pagi, “tapi supremasi. Siapa yang menguasai siapa.”
Aku hanya diam, memandangi kulitnya
yang berkilau di bawah sinar pagi. Aku tahu byanca benar, tapi kebenaran itu
terasa seperti pisau yang perlahan menembus kulit. Ada malam-malam ketika ia
duduk di balkon, menatap kota tanpa suara.
“Aku ingin jadi sesuatu yang tak
bisa dipadamkan,” ujarnya lirih.
“Kau sudah seperti itu,” jawabku.
Dia tersenyum samar, lalu menatapku
— tajam, nyaris dingin.
“Jangan terlalu percaya, nanti kau
hangus.”
Dan memang, perlahan aku mulai
terbakar. Bukan oleh amarah, tapi oleh obsesi. Setiap sentuhan darinya seperti
tegangan listrik. Setiap jarak kecil di antara kami seperti sumbu yang menunggu
api.
Suatu malam kami bertengkar —
alasan sepele, tapi meledak seperti petir. Ia melempar gelas, serpihannya
berkilau di udara seperti bunga api.
“Aku tidak mau dikendalikan!”
teriaknya.
“Aku juga tidak!” sahutku.
Lalu kami tertawa, lalu berciuman,
lalu saling diam — karena tahu bahwa di balik semua itu, kami sama-sama
terbakar.
Aku mulai kehilangan kendali.
Pekerjaan berantakan. Teman-teman menjauh. Tapi aku tidak peduli. Dunia di luar terasa dingin, dan aku lebih memilih tinggal di dalam panas yang ia ciptakan. Namun api tidak pernah memberi tanpa mengambil. Semakin aku bersamanya, semakin aku merasa kosong. Dia selalu bergerak, selalu lebih tinggi, lebih cepat. Aku tertinggal, seperti abu yang tak sempat ikut terbang. Hingga suatu sore, dia berkata dengan tenang,
“Besok aku pergi.”
Aku menatapnya. “Ke mana?”
“Tak penting,” jawabnya. “Aku hanya
ingin mencari udara yang belum kau hirup.”
Aku tidak bertanya lagi. Karena di
matanya, aku sudah tahu jawabannya: aku bagian dari masa lalunya yang sudah
hangus.
Keesokan paginya, ia benar-benar
pergi. Tidak ada pesan, tidak ada jejak. Hanya aroma kayu manis yang tertinggal
di sprei, samar tapi menusuk. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama,
apartemen itu terasa dingin.
Minggu-minggu setelah kepergian
Byanca, aku kempali ke apartemenku dan mulai terbiasa dengan keheningan. Tidak
ada lagi tawa yang meledak, tidak ada lagi piring pecah, tidak ada lagi ciuman
yang terasa seperti badai. Hanya sunyi yang menunggu di setiap sudut ruangan.
Kadang aku menatap langit senja
dari balkon. Warna oranye gelap perlahan berubah jadi hitam — seperti gaun yang
dulu ia kenakan. Aku berpikir, mungkin begitulah nasib segala sesuatu yang
terlalu panas: indah di awal, tapi tak bisa bertahan lama.
Aku mencintai kebesarannya, tapi
lupa bahwa panas juga bisa membakar. Dan kini, yang tersisa hanya abu — ringan,
berkilau, dan mudah hilang ditiup angin.
Pagi datang tanpa suara. Hanya
notifikasi yang terus hidup.
“Meeting jam sepuluh.”
“Lihat story gue!”
Semua terasa bising, tapi aku diam.
Kopi dingin di meja kerja. Email
masuk—dihapus tanpa dibaca. Jendela apartemen tinggi memantulkan wajahnya
sendiri, buram oleh cahaya neon. Aku pikir kehilangan itu tragedi. Ternyata
cuma jeda—di antara dua percakapan baru. Kota ini tak pernah menunggu yang
patah. Di bawah, lalu lintas mengalir seperti aliran pikiran: cepat, berganti,
tak ada yang benar-benar berhenti.
Seseorang menelpon, suaranya ceria:
“Bro, lo harus kenalan sama Chua.
Lucu banget orangnya.” Chua Nirmala—tertawa seperti notifikasi yang tak
habis-habis.
Beberapa jam kemudian, pesan lain
datang:
“Dian mau ketemu lo. Tapi
hati-hati, dia bisa baca pikiran.” Dian Swastika—kalimatnya pelan, tapi
meninggalkan gema panjang.
Dan malam berikutnya, muncul tag di
media sosial:
“@dicia.illayla mentioned you in
her story.”
Wajah dengan filter glitch, teks
berkedip: let’s talk future. Dicia Illayla—berpikir seperti mesin, tapi
matanya hidup.
Aku menatap layar ponsel. Tiga
nama. Tiga frekuensi baru. Kepalaku berdenyut cepat, seperti grafik yang akan
naik—atau mungkin jatuh lagi. Kehilangan sudah lewat. Yang datang berikutnya:
fase uji coba.
Oktober 2024
Kehilangan mengubah banyak hal.
Aku kini berjalan lebih cepat,
berbicara lebih singkat, tertawa lebih keras. Seolah waktu menjadi mata uang
baru, dan setiap pertemuan hanyalah transaksi antara dua orang yang sama-sama
takut sepi.
Aku mulai sering pergi ke bar-bar
atap gedung. Tempat di mana lampu kota menyerupai bintang palsu, dan setiap
meja punya cerita setengah benar. Di sana, aku bertemu Chua Nirmala — rambut kuning
kecoklatan sebahu dengan sweater hijau muda kesukaannya. Dia adalah perempuan
dengan suara yang selalu naik satu oktaf lebih tinggi dari orang lain, seakan
ingin didengar dunia.
“Lo tau gak, hidup tuh kayak
konten. Kalau lo gak update, lo dianggap mati,” kata Chua, sambil menyesap
mocktail merah muda.
Dia berbicara cepat, penuh gestur,
memegang ponselnya seperti senjata. Dalam semalam, ia menertawakan segalanya,
termasuk dirinya sendiri. Aku terpesona. Bukan karena cintanya, tapi karena
energi itu — liar, instan, dan menular.
Aku sering bertemu dengannya pagi-pagi.
Chua datang dengan blazer hijau muda cerah dan sepatu kasual, rambutnya selalu
baru ditata, wangi parfum yang bertahan lama di udara. Dia menyalakan musik,
menari sebentar di depan jendela apartemenku sambil berkata,
“Gue suka lo, tapi jangan pernah
bikin gue bosan.”
Dan setiap kali Chua pergi, ia
meninggalkan sisa make-up di cermin dan rasa riuh yang lama-lama menjemukan. Tapi
aku tahu — ia akan kembali. Karena setiap kali hidupku sepi, suara Chua selalu
terdengar seperti notifikasi yang menenangkan.
Malamnya, dunia beralih nada.
Dian Swastika datang — rambut hitam
panjang misterius. Diam, sederhana, tapi dengan sorot mata yang seperti membaca
niat. Ia tak suka bicara panjang. Pertemuanku dengannya lebih sering terjadi di
ruang hening, lampu temaram, aroma dupa menggantung di udara.
“Kenapa lo selalu cari pelarian?”
tanya Dian, sekali waktu.
Aku tersenyum. “Gue gak lari. Gue
cuma… bergerak.”
Dian tidak membalas, hanya menatapku
lama, lalu menulis sesuatu di buku kecilnya.
“Semua yang lo sentuh jadi cermin,”
katanya pelan, “dan lo takut lihat pantulannya.”
Malam itu, kami tak bicara banyak
lagi. Hanya diam, panjang, seperti dua orang yang saling membaca tapi memilih
tutup halaman. Aku merasa nyaman — bukan karena cinta, tapi karena keteraturan
Dian menenangkanku. Dian seperti titik keseimbangan di hidupku yang liar.
Tapi keseimbangan, seperti biasa,
tak pernah bertahan lama.
Beberapa hari kemudian, Aku terbang
ke Bali bersama Dicia Illayla. Perempuan itu seperti badai: rambut pendek
kecoklatan. Wanita karir namun selalu punya waktu senggang, di acara
resmi dia selalu menggunakan blazzer biru muda dengan rok yang warnanya
selaras. Dia cepat, digital, tak punya bentuk pasti. Dia berbicara tentang metaverse,
tentang masa depan tanpa tubuh, tentang cinta yang bisa diunduh dalam bentuk
data.
“Cinta tuh cuma algoritma,” katanya
sambil tertawa. “Kalau lo ngerti polanya, lo bisa ngatur hasilnya.”
Aku menatap wajahnya yang diterangi
layar ponsel. Aku ingin tidak percaya, tapi sebagian diriku mengatakan setuju.
Kami menghabiskan seminggu
berpindah dari pantai ke rooftop bar. Setiap tempat punya vibe, dan Dicia
tahu cara memainkan psikologisku.
Hari pertama penuh tawa.
Hari kedua, percakapan serius
tentang eksistensi.
Hari ketiga, kami berdebat soal
arti kesetiaan — lalu bercinta, lalu diam, terlalu lelah untuk mencari jawaban.
Hari keempat, kami hanya berbaring
dikasur dan membiarkan waktu lewat.
Ketika pesawat kembali ke Jakarta, aku
merasa ringan. Aku tidak jatuh cinta — tapi merasa berfungsi. Ada semacam
efisiensi emosional di sana. Aku belajar bahwa kebersamaan tidak selalu berarti
keterikatan.
Hari berganti cepat.
Pagi dengan Chua, malam dengan
Dian, akhir pekan dengan Dicia. Aku mencatat jadwal di ponsel: bukan dengan
nama, tapi dengan warna.
Merah untuk Chua.
Biru untuk Dian.
Hijau untuk Dicia.
Aku menyebutnya: diversifikasi.
“Lo gak bisa taruh semua perasaan
di satu tempat,” aku bergumam pada bayangan di cermin. “Risikonya terlalu
besar.”
Cinta, rupanya, bisa diatur seperti
portofolio: dibagi, dicatat, dikontrol. Kali ini aku tak ingin kehilangan lagi
— memilih untuk tidak benar-benar memiliki apa pun, setidaknya tak rakus namun
tak juga takut.
Namun, logika kadang bocor. Satu
malam, Dicia datang tanpa kabar. Pintu apartemen terbuka, lampu masih menyala,
dan aku tidak sempat menyembunyikan jejak.
Di sofa — sisa parfum Chua dipagi
hari yang masih melekat.
Di dapur — gelas kopi Dian yang
masih hangat. 20 menit sebelumnya Dian pulang dengan wajah yang mendadak kesal,
mungkin mencium aroma parfum Chua, mungkin juga prediksinya tentang sesuatu
yang akan terjadi 30 menit kedepan.
Dicia menarikku pergi ke kamar lalu
menanggalkan pakaiannya, duduk di sisi ranjang, menatapku sambil tersenyum
samar.
“Kayaknya ada yang lupa lo hapus ya,
Ky,” katanya.
Ia menatap cermin di seberang
tempat tidur — bayangan Chua memantul di sana.
Detik berikutnya, pintu terbuka
keras.
Chua tiba-tiba hadir, berdiri di
ambang, terengah, matanya membulat.
Dunia berhenti.
“Serius lo, Ky?” suaranya pecah.
“Gue gak cukup lucu, ya, sampai lo perlu nyari yang lain lagi?”
aku terdiam.
Dicia hanya tertawa pelan, berdiri,
mengenakan pakaiannya kembali, lalu berkata dingin,
“Cinta lo crash, bro.”
Dan pintu tertutup dengan bunyi
yang terlalu keras untuk ukuran malam itu.
Chua menangis — cepat, meledak, seperti hujan yang datang tiba-tiba di tengah panas. Ia memukul dadaku, berkata sesuatu yang tidak lagi terdengar jelas. Lalu pergi.
Beberapa hari kemudian, Chua
kembali.
Bukan karena lupa, tapi karena
tidak bisa benar-benar marah lama.
“Gue benci lo,” katanya di depan
pintu.
“Gue tahu.”
“Tapi gue juga gak bisa tenang
tanpa lo.”
Aku menatapnya lama, lalu membuka
pintu.
Kami duduk di balkon, menatap
Jakarta malam. Cahaya gedung berkedip seperti detak jantung yang tak teratur. Chua
bersandar di bahuku.
“Lo janji gak main-main lagi?” Aku
tersenyum samar.
“Janji,” kataku pelan, tanpa suara
di hati yang benar-benar percaya.
Karena di ponselku, notifikasi baru
muncul: Dian: Kamu masih bangun? Aku butuh bicara.
Waktu berjalan seperti grafik yang
datarnya menipu. Dari luar, hidupku tampak stabil — tiga wanita, tiga gaya
hidup, tiga peran yang ku mainkan dengan terampil. Aku tahu cara bicara yang
tepat untuk tiap orang:
Untuk Chua — tawa.
Untuk Dian — diam.
Untuk Dicia — diskusi.
Aku bukan lagi lelaki yang jatuh
cinta, tapi manajer emosi yang lihai. Belajar menahan, mengatur, bahkan
memprediksi fluktuasi perasaan.
“Ini bukan soal siapa yang paling
penting,” kataku pada diri sendiri, “tapi bagaimana semua bisa berjalan tanpa
kehilangan kendali.”
Namun suatu malam, ketika aku
sendirian, kota terasa terlalu terang. Lampu-lampu gedung menyala tapi tak
memberi hangat. Aku duduk di tepi ranjang, menatap ponsel yang sunyi.
Tak ada pesan.
Tak ada suara.
Aku sadar — semua yang ku bangun
hanyalah sistem pengaman. Aku tidak mencintai siapa pun, bahkan diriku sendiri.
“Cinta, rupanya, bisa diukur dalam
bentuk eksposur.”
Aku tertawa pelan. Tawa yang dingin,
panjang, dan tidak punya gema. Karena di balik semua strategi, aku tetap sama: seorang
lelaki yang tidak ingin kehilangan — hanya mengambil keuntungan dari setiap takdir yang datang.
Dan di luar sana, kota terus
berdetak, cepat dan terang. Seolah tidak ada yang pernah benar-benar jatuh.
Hanya berganti posisi.
Jakarta, awal 2025.
Musim hujan datang seperti jeda dari hiruk kehidupan. Langit sering kelabu, dan dari jendela apartemen di lantai dua puluh satu, Aku menatap kota dengan tatapan yang tidak lagi haus — hanya lelah. Aku jarang keluar malam sekarang. Bar terasa bising. Musik, terlalu familiar.
Namun di tengah redup rutinitas itu, dua nama baru muncul, seperti kode baru di
layar lama: Claudia dan Corrin Qoinna.
Mereka berdua datang bersamaan —
seperti sepasang komet muda yang melintasi orbit kehidupannya. Sahabat sejak
kuliah, lulus bersama, kini bekerja di firma kreatif baru yang sedang naik
daun.
Claudia — lembut, logis, punya cara
bicara seperti menulis puisi di udara.
Corrin — dinamis, spontan, seperti
petir yang menari di langit mendung.
Aku mengenal mereka di acara
pameran startup, tanpa niat apa pun, tapi percakapan kecil di sana menjadi
percikan yang sulit padam.
“Mas kayaknya gak asing,” kata
Claudia waktu itu, tersenyum kecil.
“Mungkin pernah lihat di ruang
tunggu dunia yang sama,” balasku ringan.
Corrin tertawa keras,
“Kedengarannya kayak gombalan versi LinkedIn.”
Tiga tawa. Tiga gelas kopi. Dan
sore yang sederhana berubah jadi sesuatu yang memantul lama di kepalaku.
Minggu-minggu berikutnya berjalan
cepat. Kami sering bertemu di kafe dengan interior putih dan jendela besar,
tempat para pekerja muda menatap layar sambil berharap hidup berubah lewat
notifikasi. Aku mulai merasa sesuatu yang dulu tak ku rasakan lagi:
ketertarikan yang tidak disertai nafsu untuk memiliki.
Claudia berbicara tentang masa depan dengan cara yang membuat dunia terasa baru lagi.
“Menurutku, hidup itu soal arah, bukan tujuan,” katanya suatu sore. “Kalau kita
tahu ke mana cahaya bergerak, kita gak perlu takut gelap.”
Ia mengenakan baju panjang biru
muda, rambut pirangnya jatuh pelan ke bahu, dan aroma lavender samar-samar
keluar setiap kali ia menunduk.
Corrin, di sisi lain, rambut merah
berani dengan kepang dikanan dan kiri, gaya berpakaian seperti menyukai musik
rock and roll dan hidup seperti roller coaster. Ia bisa tertawa keras dalam
satu menit, lalu diam total di menit berikutnya. Kadang matanya memantulkan
kilatan aneh — seperti tiba-tiba melonjak tanpa alasan.
“Gue gak percaya yang stabil-stabil
gitu,” katanya.“Hidup tuh harus berfluktuasi. Kalo gak, ya mati rasa.”
Aku menatap dua kutub ini — satu
lembut, satu meledak — dan aku merasa berada di tengah-tengah seperti sumbu
lilin yang mulai mencair.
Hari berganti dengan cepat. Aku mulai terbiasa dengan rutinitas baru: pagi bersama Claudia di kafe yang tenang, malam bersama Corrin di lounge berlampu neon. Claudia suka bicara pelan, tentang rencana masa depan, tentang bagaimana ia ingin menulis buku kecil suatu hari nanti.
Corrin suka membahas hal-hal yang belum selesai: ambisi, drama, dan dunia yang
terlalu sempit untuknya.
Suatu kali Claudia menatapku lama.
“Mas, kamu gak pernah cerita masa
lalu.”
Aku hanya tersenyum, mengaduk kopi.
“Karena sebagian besar masa laluku bukan cerita, tapi peringatan.”
Claudia mengangguk. Ia tidak
menekan lebih jauh. Ia tahu, beberapa hal lebih baik dibiarkan tetap misteri.
Namun Corrin berbeda.
Ia menuntut jawaban, kadang tanpa
alasan.
“Lo ini maunya apa sih, Ky? Gue gak
ngerti lo.”
“Gue juga gak ngerti diri gue
sendiri,” balasku suatu malam di mobil, lampu jalan menembus kaca seperti riak
cahaya di air hitam.
Corrin menatapku, lama, kemudian
tersenyum getir. “Lo bukan gak ngerti. Lo cuma gak mau milih.”
Aku tidak menjawab, hanya
menatap jalan, dan entah kenapa, suara hujan malam itu terdengar seperti tawa
orang yang sudah pernah kalah berkali-kali.
Beberapa minggu kemudian, sesuatu
mulai terasa salah. Kedekatan dengan Claudia dan Corrin semakin dalam — tapi
juga semakin tumpang tindih.
Pagi diisi dengan pesan dari
Claudia: “Sarapan udah, Mas?”
Malamnya, notifikasi lain muncul: “Lo
di mana? Gue kangen.” — dari Corrin.
Ini bukan pertama kalinya aku bermain di dua sisi. Namun kali ini, rasanya berbeda. Claudia terlalu tulus.
Corrin terlalu liar. Dan aku terlalu penakut untuk jujur.
Satu malam, semua garis yang ku jaga runtuh. Claudia datang tanpa kabar ke apartemenku, membawa buku yang baru ia beli. Aku panik — di dalam, Corrin sedang duduk di ruang tamu, hanya mengenakan bra putih dan hotpantsnya, menonton film dengan ekspresi santai.
Suara pintu terbuka.
Tatapan yang saling bertemu.
Keheningan yang menusuk.
Claudia mematung, buku jatuh dari
tangannya. Corrin berdiri, memandangnya dengan senyum tipis.
“Oh, jadi ini ‘temen kerja’ yang
sering lo ceritain?” katanya dingin.
Tak ada teriakan. Tak ada air mata.
Hanya keheningan yang panjang, seperti kehidupan yang tiba-tiba anjlok tanpa
sinyal.
Aku mencoba menjelaskan — tapi
kata-kataku kehilangan nilai. Claudia menatapku dengan air mata yang mengalir, namun
tidak marah, tapi kecewa yang dalam.
“Aku kira kamu udah berubah,”
katanya pelan. “Ternyata kamu cuma ganti strategi.”
Ia pergi malam itu, langkahnya ringan, tapi udara di sekitarku terasa berat, menekan, menyalip napas. Corrin menatapku sebentar, mengenakan pakaiannya, lalu pergi juga tanpa menoleh.
Hanya layar TV yang masih menyala — menampilkan film yang sudah kehilangan
suara.
Beberapa hari kemudian, hujan turun
terus-menerus. Aku tidak keluar dari apartemen. Kopi dingin di meja, dan ponsel
tidak merengek seperti biasanya, tanpa pesan. Aku membuka galeri — ada
foto-foto lama: senyum Chua, mata dingin Dian, tawa Dicia di pantai, dan kini
wajah Claudia serta Corrin.
Aku menggulir layar seperti melihat
grafik hidupku sendiri — naik, jatuh, naik lagi, lalu jatuh di titik yang sama.
“Semua ini cuma siklus, gue gak
pernah belajar apa pun, cuma ganti pemain.”
Aku menatap jendela. Kota di luar
masih hidup, sibuk, berganti arah setiap menit. Di layar ponsel, notifikasi
muncul:
Claudia: Semoga kamu baik-baik aja mas.
Beberapa detik kemudian:
Corrin: Gue gak marah. Tapi gue gak
bisa balik lagi.
Dua pesan. Dua nada. Dua kehilangan
yang sama.
Malamnya, aku berdiri di balkon
apartemen. Lampu gedung menari di bawah, seperti ticker yang terus bergulir
tanpa henti. Nama-nama itu muncul dalam kepalaku, satu per satu — Una. Pani. Byanca. Chua. Dian. Dicia. Claudia. Corrin. Semua seperti
potongan kode dari sistem yang sama, mengulang, mengulang, mengulang.
Aku menyalakan rokok terakhir. Asap
naik perlahan, hilang di udara lembab.
“Gue pikir bisa jadi lebih bijak, tapi
mungkin, yang berubah cuma caranya.” aku bicara dikepalaku sendiri.
Aku menatap kota sekali lagi. Jakarta
tetap gemerlap, tetap bergerak. Dan di dalam diriku, sesuatu akhirnya tenang —
bukan karena selesai, tapi karena sadar bahwa mungkin tidak semua kehilangan
perlu disembuhkan. Beberapa hanya perlu diterima sebagai ritme yang akan
datang lagi, dengan nama berbeda, wajah berbeda, tapi rasa yang sama.
Hidup ternyata bukan soal memilih
yang benar, tapi menerima bahwa setiap pilihan bisa salah di waktu yang
berbeda. Claudia dan Corrin adalah dua bab terakhir dari kisah yang sudah
terlalu panjang. Aku tidak lagi mencari cinta — hanya ketenangan di antara
fluktuasi yang tak pernah berhenti.
Dan saat ponselku menyala sekali
lagi, menampilkan nama baru — aku tersenyum lemah. Karena di dunia yang
bergerak cepat, bahkan luka pun kini punya versi berikutnya.
Malam di Jakarta, Agustus 2025.
Gedung-gedung memantulkan cahaya
seperti lilin di kuburan pasar — tinggi, dingin, rapi. Aku berdiri di tepi
balkon apartemenku, memandangi lampu yang berkedip tanpa pola yang jelas.
Seolah sebuah chart yang naik-turun sendiri, tanpa peduli siapa yang melihatnya.
Aku menatap refleksiku di kaca
jendela. Tapi yang kulihat bukan wajahku sendiri. Aku melihat garis-garis
tipis, angka di pinggir layar, dan bayangan mereka semua — Una, Pani, Byanca,
Chua, Dian, Dicia, Claudia, Corrin — siluet yang datang dan pergi seperti
tickers dalam timeline yang tak pernah berhenti.
Aku berpikir: mungkin cinta
hanyalah versi lembut dari spekulasi. Aku pernah percaya bahwa satu wanita
cukup. Aku pernah percaya bahwa satu nilai cukup. Tapi akhirnya, semua menjadi
portofolio yang retak. Aku sadar — hidup mungkin hanyalah chart yang bergerak
tanpa makna, kita hanya menatapnya dari tepi sambil berharap naik.
“Aku tak tahu apakah aku kehilangan mereka… atau hanya kehilangan diriku di antara mereka,” gumamku.
Ada malam-malam ketika musik kota terlalu keras, suara kendaraan terlalu
banyak, dan aku tetap diam. Karena diamku adalah harga materi yang tak bisa
dijual: kesepian.
Lampu kota berkedip.
Satu gedung mati sebentar, lalu
menyala. Lagi. Lagi.
Seolah dunia sedang di-refresh.
Seolah kita diberi kesempatan ulang untuk membeli pola yang sama, pada harga
yang sama — tapi risiko tetap sama.
Aku menutup mata, tersenyum tipis. Untuk
pertama kalinya, tanpa ekspektasi apa pun. Tidak menunggu panggilan, tidak
menunggu pesan, tidak menunggu rasa-rasa. Kota tetap berjalan. Aku tetap
berdiri. Di antara cahaya-dan-bayangan.
Dan mungkin, suatu saat nanti, aku
akan berhenti menjadi playboy. Ketika aku menemukan seorang wanita yang pas
untuk merajut masa depan dan menua bersama, serta mendapatkan keturunan darinya;
bukan hanya bersanding karena cantiknya saat ini, tapi karena bersama
menghitung hari. Tapi bukan saat ini.
Aku masih terhubung dengan Chua, Claudia,
juga masih menyapa Corrin Qoinna dalam pesan yang tak penting, dan masih
menggulir notifikasi dari nama-nama baru seperti Anatasya Melanie, Tara Paige,
dan Tina Selena — mereka wanita-wanita yang sedang naik daun, memberi sinyal
dan opsi, sementara aku masih menimbang risiko.
Aku katakan pada diriku: ini adalah eksperimen terakhir. Tapi jujur, aku takut. Karena dalam dunia yang bergerak cepat, kita lupa kapan untuk menahan klik. Aku masih bermain. Masih melihat tickers nama yang berputar. Dan mungkin, ketika lampu kota perlahan redup, aku akan memutus sakelar itu.
Tapi bukan sekarang.
Sekarang aku masih menunggu, peluang baru.
