Malam di kota Edo, tahun 1605 M.
Dari pelataran kuil Zōjō-ji,
lampu-lampu lentera tampak seperti bintang yang jatuh ke tanah — bergetar
lembut di antara embun dan bau dupa yang mengapung dari aula utama. Udara
dingin, namun mengandung keheningan yang padat, seolah setiap napas adalah bagian
dari doa yang belum selesai.
Di bawah langit itu, berdirilah
seorang lelaki berpakaian kimono hitam yang warnanya nyaris menyatu
dengan malam. Di pinggangnya tergantung dua katana, lambang kehormatannya yang
masih melekat meski tuannya telah lama tiada. Hayato Kuroda, samurai dari klan
kecil yang ditelan api perang Sekigahara — perang terakhir yang mengakhiri
kekacauan dan melahirkan kedamaian di bawah satu nama: Tokugawa Ieyasu.
Ia datang terlambat malam itu.
Upacara peringatan bagi para daimyo yang gugur sudah hampir selesai.
Lentera-lentera telah padam satu per satu, dan suara gong dari dalam kuil
menggema seperti gema doa yang tertinggal di balik pintu kayu besar. Di anak
tangga batu, biksu-biksu berjubah cokelat melangkah perlahan, membawa baki dupa
yang masih mengepul.
Hayato berhenti di ujung pelataran.
Cahaya obor menyentuh sebagian wajahnya — cukup untuk memperlihatkan guratan
yang belum hilang sejak perang berakhir. Ia menatap ke arah aula utama, tempat
Shogun Ieyasu berdiri diam, tubuhnya tegap bagai batu di tengah dupa.
Ada sesuatu yang menusuk dalam dada
Hayato. Ia pernah melihat lelaki itu — dulu, di medan perang. Ia ingat jelas
bagaimana panji-panji Tokugawa berkibar di antara hujan panah, dan bagaimana
suaranya menggema memberi perintah yang mengubah nasib ribuan prajurit. Kini,
lelaki yang dulu menjadi musuh tuannya berdiri sebagai penguasa tertinggi
Jepang.
Hayato menunduk, tapi di hatinya,
amarah yang lama terkubur mulai mengalir lagi seperti darah yang hangat.
“Berdoalah untuk mereka yang telah
gugur,” kata salah seorang sohei dengan suara lembut, seolah angin yang
lewat.
Hayato hanya mengangguk. Namun
setiap kali asap dupa menyentuh wajahnya, ia merasa bukan kedamaian yang
datang, melainkan bayangan wajah tuannya — Daimyo Matsunaga — yang tewas
di Sekigahara, dadanya tertembus tombak dengan mata yang masih terbuka menatap
langit.
Di sekeliling pelataran, suara
sandal kayu bersentuhan dengan batu basah. Para samurai dari berbagai
klan berbaris, memberi hormat, lalu pergi satu per satu. Hanya sedikit yang
mengenali Hayato, dan mereka yang mengenal pun pura-pura tidak melihatnya. Di
masa damai, nama Kuroda tidak lagi berarti apa-apa. Seorang rōnin tanpa
tuan hanyalah bayangan yang memantul di permukaan air — tak punya bentuk yang
nyata.
Ketika lonceng kuil berdentang tiga
kali, sisa dupa di pelataran habis terbakar. Angin dari arah sungai Sumida
membawa suara seruling yang lembut, panjang, dan ganjil — bukan shamisen, bukan
suling istana. Nada itu turun naik seperti napas orang yang tengah berdoa, lalu
terhenti tiba-tiba, seolah menunggu jawaban.
Hayato menoleh. Di sisi gerbang
timur kuil, berdiri seorang lelaki memakai caping anyaman bambu — tengai,
penutup kepala khas pengembara komusō. Tubuhnya dibungkus kimono kasar
warna abu-abu, dan di tangannya tergenggam sebuah shakuhachi — seruling
bambu Zen. Tak ada yang tahu wajahnya, hanya suaranya yang menembus kabut
seperti arwah yang menolak tenang.
Hayato mendengarkan. Setiap nada shakuhachi
itu menembus jantungnya lebih dalam dari doa mana pun yang ia dengar malam itu.
Musik itu mengalir pelan, menirukan suara napas panjang yang patah-patah, lalu
melengkung dalam nada rendah yang seolah berkata: semua yang hidup telah
tiada; semua yang mati belum pergi.
Ia melangkah mendekat. Batu-batu
pelataran berembun, pantulan lentera menari di bawah kakinya. Komusō itu tetap
meniup serulingnya, seolah tak menyadari kehadiran siapa pun. Hayato berdiri
tak jauh darinya, menatap tengai yang menutupi wajah sang pengembara.
“Lagu apa itu?” tanya Hayato pelan.
Nada shakuhachi berhenti
seketika. Dari dalam tengai terdengar suara berat, nyaris seperti bisikan:
“Itu bukan lagu, itu doa bagi
mereka yang tak sempat didoakan.”
Hayato menatap seruling itu. Bambu
tua, retak di ujungnya, namun suaranya masih penuh tenaga.
“Kau meniupnya untuk siapa?”
Komusō mengangkat kepalanya
sedikit, tapi wajahnya tetap tersembunyi di balik anyaman.
“Untuk dunia yang sudah kehilangan katananya.”
Jawaban itu membuat Hayato terdiam.
Dunia tanpa katana — dunia yang kini dijaga oleh hukum shogun, di mana
kehormatan ditentukan oleh pena dan izin, bukan oleh keberanian di medan
perang.
Ia berpaling ke arah aula utama. Di
sana, Shogun Ieyasu telah pergi, diikuti oleh para pengawalnya. Hanya sisa dupa
yang masih membara di altar, menandai berakhirnya upacara.
Hayato berlutut perlahan di
pelataran yang kini sunyi. Ia menunduk dalam, menatap bayangan katananya di
permukaan batu yang basah. Dalam cahaya samar lentera, bayangan itu tampak
seperti tubuh orang lain — lebih panjang, lebih gelap.
Ia teringat kata-kata terakhir
tuannya di Sekigahara:
“Jika aku jatuh, jangan buru-buru
mati. Lihatlah bagaimana dunia memperlakukan kehormatan.”
Sejak hari itu, Hayato tidak pernah
tahu apakah perintah itu adalah berkat atau kutukan. Ia hidup, tapi setiap hari
terasa seperti kematian yang tertunda.
Di langit, bulan separuh muncul di
balik awan. Cahaya putihnya menimpa punggung Hayato, lalu mengenai katananya.
Ia mengangkat kepala, memandang langit yang sama yang dulu disaksikan tuannya
dalam pertempuran terakhir.
Ia menatap kembali ke arah komusō
itu, tapi lelaki itu telah pergi — hanya suara shakuhachi yang memudar
di kejauhan, seperti doa yang tertiup angin.
Hayato berdiri. Tangannya menyentuh
gagang katana. Dingin. Diam. Dalam hatinya, suara seruling itu masih berputar,
bercampur dengan kenangan tentang darah dan api. Ia berbisik pada dirinya
sendiri:
“Jika kehormatan tak dapat
ditegakkan, maka biarlah namaku terkubur bersama angin.”
Suara itu nyaris tak terdengar,
tapi cukup bagi para roh di malam itu untuk berhenti sejenak. Seekor gagak
terbang dari atap kuil, meninggalkan bayangan hitam di atas kepala Hayato.
Ia berjalan perlahan menuruni
tangga batu, melewati taman kecil yang dipenuhi lentera padam dan sisa dupa
yang hangus. Di bawah sana, rumah-rumah para samurai terlihat bagai bayangan di
balik tirai hujan tipis.
Setiap langkahnya bergema pelan —
tak lagi langkah seorang prajurit, tapi bukan pula langkah seorang pengemis.
Antara keduanya, ia seperti suara seruling itu sendiri: bukan musik, bukan doa,
hanya napas yang menolak berhenti.
Di luar gerbang kuil, seekor kuda
lewat perlahan. Penunggangnya mengenakan pakaian resmi shogun, lambang Tokugawa
di dadanya memantulkan cahaya lentera. Hayato menunduk, tapi dalam hatinya
terasa gemetar kecil yang tak bisa ia kendalikan. Ia tahu, suatu hari nanti, ia
harus memilih — apakah menjadi angin yang menghapus jejak masa lalu, atau katana
yang kembali berkarat oleh darah.
Namun malam itu belum ada
keputusan. Ia berhenti di bawah pohon cemara tua, memandang ke arah langit Edo
yang berat dan rendah. Di kejauhan, shakuhachi itu terdengar lagi —
jauh, samar, seperti datang dari dalam bumi.
Hayato menutup matanya. Dalam
gelap, ia masih melihat wajah tuannya, tangan yang menunjuk ke depan, suara
yang memerintah tanpa ragu.
“Jangan buru-buru mati,” suara itu berkata lagi dalam
pikirannya.
Hayato membuka matanya. Angin dari
utara berhembus, membawa bau asin dari Teluk Edo. Ia menarik napas panjang.
Kabut menelan bayangannya, lalu hilang bersama malam.
Di belakangnya, kuil Zōjō-ji
berdiri tegap, hitam melawan langit. Dupa terakhir padam tepat ketika lonceng
tengah malam berdentang. Suaranya memantul di dinding kayu, melewati taman,
menembus jalan batu, lalu hilang ke arah sungai.
Bagi orang lain, malam itu hanyalah
malam peringatan. Tapi bagi Hayato Kuroda, malam itu adalah permulaan dari
sesuatu yang lain — sesuatu yang lahir dari keheningan, dari luka yang tidak
pernah sembuh, dan dari suara bambu yang meniupkan kabar kepada angin: bahwa
kehormatan, sekali jatuh, hanya bisa ditebus dengan kematian atau penebusan
yang lebih sunyi dari maut itu sendiri.
Angin dari Teluk Edo berhembus
lembut ketika fajar menyingkap kabut di sepanjang jalan Tōkaidō. Jalan besar
yang menghubungkan ibu kota baru dengan barat negeri itu kini ramai oleh
pedagang, ronin, dan para biksu pengembara. Di sepanjang tepian jalan, lentera
kertas bergoyang di depan rumah teh dan penginapan, memantulkan cahaya temaram
ke atas lumpur yang masih basah oleh hujan malam sebelumnya.
Hayato Kuroda berjalan perlahan di
antara mereka, mengenakan hanten lusuh dan topi jerami yang menutupi
sebagian wajahnya. Di pundaknya tergantung kantung kecil berisi satu-satunya
peninggalan masa lalu: katana tuannya yang telah tumpul dan sebuah gulungan
kain bertuliskan sumpah klan yang kini telah lenyap dari peta negeri.
Ia tidak lagi memakai kamon,
lambang keluarga. Ia adalah bayangan yang terlepas dari garis keturunan, dari
kehormatan, dari sejarah.
Setiap langkah di jalan Tōkaidō
terasa seperti langkah menuju penghapusan diri. Edo semakin jauh di
belakangnya—dan bersama itu, segala bentuk nama dan kebanggaan yang dulu ia
junjung. Namun, di dalam dadanya, sesuatu masih berdenyut: sebuah bara kecil yang
belum padam.
Ketika matahari menanjak di langit,
Hayato berhenti di tepi hutan pinus. Di sana, di bawah naungan batang-batang
tinggi, duduk seorang lelaki berpakaian aneh. Tubuhnya diselimuti jubah hitam
longgar, dan wajahnya tertutup sebuah tengai—keranjang anyaman besar
yang menutupi seluruh kepala, hanya menyisakan lubang kecil untuk bernapas.
Dari celah tengai itu keluar
suara seruling bambu. Nada-nadanya panjang, berliku, seperti desir angin yang
tersesat di antara pegunungan.
Hayato tertegun.
Nada itu bukan lagu kemenangan,
bukan pula lagu duka. Seperti suara seseorang yang telah menyerah kepada dunia,
namun masih menolak untuk berhenti bernapas.
Ketika lagu berhenti, lelaki
bertopi keranjang itu menunduk ke arahnya.
“Jalanmu panjang,” katanya dengan
suara yang dalam dan bergetar. “Kau berjalan seperti orang yang kehilangan
nama.”
Hayato menatapnya tajam. “Kau
siapa?”
“Seorang komusō,” jawabnya,
perlahan. “Kami pengembara dari kuil Fuke. Kami meniup shakuhachi bukan
untuk hiburan, melainkan untuk menyucikan jiwa—karena setiap nada bambu adalah
napas yang mendekatkan diri pada kekosongan.”
Ia menunduk sedikit, lalu
mengangkat serulingnya. “Kau punya mata seorang samurai yang telah melepaskan katana.
Apakah kau mencari jalan keluar dari darah?”
Hayato tidak menjawab. Angin
berhembus melewati rambutnya yang berdebu. Di dalam dirinya, suara itu bergema:
jalan keluar dari darah.
Ia menunduk, lalu berkata, “Aku
mencari cara agar katanaku berhenti bergetar di dalam hati.”
Komusō itu menatap lama. “Maka,
tiupkan napasmu ke bambu ini. Biarkan amarahmu menjadi udara. Jika suaramu
jernih, mungkin rohmu akan tenang.”
Ia menyerahkan shakuhachi
bambu yang sudah menguning. Hayato menerimanya dengan ragu, memandang alat itu
seperti memandang seekor ular tidur. Ia menempelkan ujungnya ke bibir, meniup
perlahan.
Suara yang keluar sumbang, patah,
seperti helaan napas orang yang baru saja menangis.
Komusō itu tidak tertawa. “Bagus,”
katanya pelan. “Bahkan suara terburuk pun adalah suara kebenaran, bila datang
dari hati yang tulus.”
Hari-hari berikutnya mereka
berjalan bersama menuju arah selatan, melewati sawah dan desa-desa yang baru
dibangun kembali setelah perang besar Sekigahara. Di setiap tempat
persinggahan, sang komusō mengajarinya meniup nada-nada pendek, mengenali
pernapasan, dan mendengarkan keheningan di antara dua nada.
Namun setiap kali bambu itu ditiup,
Hayato masih merasakan sesuatu menggumpal di dada—sebuah bayangan dari masa
lalu, dari wajah-wajah yang jatuh di bawah katana sekutu Tokugawa.
Suatu senja, mereka tiba di sebuah
rumah teh kecil di pinggir jalan, di dekat jembatan kayu yang menyeberangi
sungai kecil menuju Kamakura. Lentera merah tergantung di pintunya, dan dari
dalam terdengar denting shamisen. Nada-nadanya lembut, seperti rintik
hujan di atas tatami.
Komusō itu menatap Hayato.
“Berhentilah malam ini. Dengarkan dunia, bukan dirimu. Kadang musik orang lain
bisa membuka pintu yang bahkan bambu tak bisa ketuk.”
Hayato melangkah masuk. Aroma sake
dan asap arang menyambutnya. Di dalam, beberapa pedagang dan ronin duduk
bersandar di dinding, tertawa pelan. Di sudut ruangan, di bawah cahaya lentera
kertas, duduk seorang perempuan muda memainkan shamisen.
Rambutnya disanggul sederhana, dan
wajahnya dipoles putih dengan sapuan tipis merah di bibir. Tapi matanya—mata
itu—tidak ikut tersenyum bersama lagunya.
Ketika lagu usai, perempuan itu
menatap Hayato yang berdiri di ambang pintu. “Tamu baru dari utara?” tanyanya
dengan suara lembut.
“Aku hanya pengembara,” jawab
Hayato.
Ia tersenyum samar. “Semua yang
datang ke sini adalah pengembara. Hanya saja sebagian tak tahu apa yang mereka
cari.”
Hayato duduk. Haru—begitu ia
memperkenalkan diri—menuangkan teh panas untuknya. Saat ia hendak pergi, Hayato
mengeluarkan shakuhachi dan mulai meniup perlahan. Nada yang keluar
tidak teratur, tetapi mengandung ketegangan yang aneh—seperti katana yang belum
menembus daging, namun sudah mencium darah.
Haru berhenti di tempat. Ia
menatapnya lama, lalu berkata dengan suara hampir berbisik,
“Nada bambumu bergetar seperti katana
yang belum puas menebas.”
Hayato menatap ke bawah, matanya
redup. “Mungkin karena katana itu belum menemukan leher yang tepat.”
Haru terdiam. Ia menatap wajah
Hayato, mencari sesuatu di balik tenangnya raut itu—mungkin duka, mungkin dosa.
Akhirnya ia berkata pelan,
“Jika demikian, berhati-hatilah.
Kadang leher itu milik diri sendiri.”
Angin malam berembus masuk melalui
tirai bambu, memadamkan sebagian cahaya lentera. Musik, teh, dan napas
bercampur jadi satu aroma sunyi. Di luar, suara komusō tua itu terdengar
kembali, meniup lagu yang sama seperti saat mereka bertemu di hutan: panjang,
berat, dan nyaris tanpa ujung.
Hayato menatap seruling di
tangannya. Di bambu itu, ia melihat bayangan dua dunia—yang satu penuh darah,
yang satu penuh keheningan. Namun keduanya berputar seperti dua sisi mata uang
yang dilempar ke udara, tak pernah benar-benar jatuh di satu sisi saja.
Malam itu, di rumah teh pinggir
jalan Tōkaidō, ia sadar bahwa jalan menuju sunyi tidak selalu bebas dari gema
masa lalu. Dan bahwa di balik setiap nada shakuhachi, masih ada bayangan
katana yang menunggu waktu untuk berbicara.
Tahun 1606 M. Musim semi datang
lebih cepat dari biasanya. Pohon-pohon sakura di sepanjang jalan Tōkaidō telah
mekar sempurna, kelopaknya berputar di udara, menari di atas atap genteng tua
yang basah oleh embun pagi. Burung-burung kembali bersuara di antara ranting,
dan kota kecil itu seolah menghela napas lega setelah tahun-tahun panjang
peperangan.
Namun bagi sebagian orang,
kedamaian adalah bentuk kesunyian yang lain—lebih tajam, lebih sulit
ditanggung.
Hayato Kuroda tiba di Suruga
menjelang senja. Ia kini mengenakan jubah hitam sederhana dan tengai—keranjang
anyaman yang menutupi wajahnya, tanda seorang komusō sejati. Di
tangannya hanya ada shakuhachi bambu yang kini mulai retak di ujungnya,
seperti menua bersama napas pemiliknya.
Ia berjalan di antara para peziarah
dan pedagang, melewati papan kayu bertuliskan kata-kata baru: “Zaman damai
di bawah Shogun Tokugawa Ieyasu.”
Kata “damai” itu membuat langkahnya
berhenti sesaat. Di balik tengai, matanya menatap tulisan itu lama-lama,
seolah setiap hurufnya adalah luka yang belum sembuh. Ia tahu, damai yang
dimaksud bukan untuk semua orang. Beberapa nama, seperti nama tuannya, sudah
lama dihapus dari catatan, seolah tak pernah ada.
Malam itu ia berhenti di sebuah
rumah teh di tepi jalan, di mana suara shamisen mengalun lembut di
antara bau sake dan tatami basah. Ia duduk di sudut, menundukkan kepala, meniup
seruling pelan untuk mengiringi musik dari dalam.
Nada-nadanya pelan, penuh udara.
Satu-dua tamu menoleh, bertanya-tanya siapa komusō itu yang meniup
dengan suara seperti arwah laut.
Kemudian tirai bambu diangkat dari
dalam, dan seseorang keluar membawa nampan teh.
Langkahnya ringan, namun ketika ia berhenti di depan Hayato, udara seolah
menegang.
“Sudah lama, pengembara bambu,”
suara itu berbisik.
Hayato mengangkat kepalanya
sedikit. Di bawah cahaya lentera, wajah itu tampak—Haru.
Rambutnya kini disanggul lebih rumit, dengan tusuk rambut berhiaskan perak.
Kimono-nya berwarna biru malam, dan gerakannya halus seperti air. Tapi di balik
senyum yang sama, matanya menyimpan sesuatu yang lebih berat: pengetahuan.
“Kau masih di jalan yang sama,”
katanya. “Aku sudah mendengar nada serulingmu sebelum kau menyeberang
jembatan.”
Hayato menunduk. “Nada itu hanya
untuk diri sendiri.”
“Tidak ada suara di dunia yang
tidak didengar seseorang,” jawab Haru pelan. “Bahkan diam sekalipun.”
Ia menuangkan teh, duduk berlutut
di depannya. “Aku bekerja di sini sekarang,” katanya. “Banyak tamu dari kastil
Sunpu datang. Kadang mereka menyebut nama-nama besar: Honda Tadakatsu, Ii
Naomasa, para tangan kanan Shogun.”
Nama itu menusuk seperti bilah
kecil yang diselipkan di antara tulang rusuk. Tadakatsu.
Haru melihat perubahan kecil di
bahu Hayato. Ia menunduk lebih dalam. “Kau mengenalnya.”
Hayato menatap permukaan teh yang
bergetar di cawan. “Ia adalah orang yang menebas tuanku di Sekigahara. Ia
berdiri di atas tubuhnya, menancapkan panji Tokugawa di dada yang masih
hangat.”
Ia menarik napas panjang. “Dan
kini, dunia menyebutnya ‘pahlawan damai’.”
Haru tidak menjawab seketika. Dari
dalam rumah, suara shamisen lain mulai dimainkan—cepat, riang, seolah
menertawakan pembicaraan mereka. Setelah beberapa detik, ia berkata, “Hayato…
dunia telah berubah. Shogun Ieyasu telah menutup pintu perang. Tidak ada lagi
kehormatan di ujung katana, hanya kematian yang sia-sia.”
Hayato tersenyum getir. “Kau
berkata seperti seorang biksu.”
“Tidak,” Haru menggeleng pelan.
“Aku hanya melihat terlalu banyak pria yang mati dengan nama mulia tapi mata
kosong. Kau punya kesempatan untuk hidup, bahkan setelah kehancuran.”
Hayato menatapnya lama, kemudian
berkata lirih,
“Kedamaian ini dibangun dari tulang
tuanku. Aku hanya ingin menagih harga itu.”
Keheningan jatuh di antara mereka.
Dari luar, angin membawa guguran sakura menembus tirai bambu.
Kelopak-kelopaknya jatuh ke lantai seperti salju, lembut namun dingin.
Haru memandangi kelopak itu. “Kau
tahu arti bunga sakura bagi kami?” tanyanya pelan. “Ia mekar di puncak
keindahan, hanya untuk mati esok pagi. Karena itu orang Jepang menyebutnya
bunga kehormatan.”
“Dan aku,” jawab Hayato, “telah
kehilangan kehormatan bahkan sebelum bunga pertama mekar.”
Haru menunduk, menutup wajahnya
dengan kipas. Dalam napasnya terdengar isak kecil yang segera ditelan oleh
suara shamisen dari dalam.
Saat itu, seseorang mendekat.
Seorang lelaki tua dengan tengai besar di kepala—komusō yang dulu
menemaninya di perjalanan. Ia berdiri di ambang pintu, seruling bambu di
tangan.
“Hayato,” katanya dengan suara
berat. “Angin dari masa lalu mulai meniupmu lagi.”
Hayato tidak menjawab.
Komusō itu melangkah masuk, duduk
di sebelahnya. “Aku mendengar namanya—Tadakatsu. Ia kini menjadi penjaga utama
di Sunpu, di bawah Shogun. Tapi jangan biarkan amarah menggali kuburmu
sendiri.”
Hayato memalingkan wajah. “Jika aku
mati menebasnya, itu bunuh diri yang layak.”
“Tidak,” sang komusō menatap lurus
ke depan. “Bunuh satu orang, maka seribu roh akan mengikuti. Kau pikir dendammu
akan selesai di satu kepala? Tidak. Kau akan menjadi arwah gentayangan di
antara roh mereka.”
Hayato menatap tanah. “Mungkin aku
sudah gentayangan sejak tuanku mati.”
Komusō itu terdiam lama. Di luar,
hujan mulai turun tipis-tipis, menimpa atap bambu dan menyisakan suara seperti
langkah hantu di malam sunyi.
Akhirnya, ia berkata, “Aku dulu
juga punya nama, Hayato. Aku juga pernah membawa panji perang. Aku meniup shakuhachi
bukan karena damai—tapi karena aku tak mampu lagi mendengar jeritan katanaku
sendiri.”
Ia berdiri, menatap ke arah jalan
yang mulai basah oleh hujan. “Jika kau masih ingin membalas dendam, lakukanlah.
Tapi ketahuilah: bahkan setelah darah menetes, bambu ini tetap akan menuntutmu
untuk meniup nada berikutnya.”
Komusō itu pergi tanpa menoleh
lagi, meninggalkan jejak langkah yang cepat hilang di antara hujan dan kelopak
sakura yang berguguran.
Haru menatap Hayato. “Kau masih
bisa memilih. Kau bisa berjalan menjauh dari semua ini.”
Hayato berdiri perlahan. “Dan
membiarkan namanya hidup, sementara tuanku hilang tanpa batu nisan?”
Haru menatapnya dengan mata yang
bergetar. “Kadang keadilan hanya bisa hidup dalam diam.”
Hayato menatap ke luar rumah teh.
Di sana, langit malam berwarna abu-abu muda, penuh kelopak sakura yang
beterbangan. Ia mengangkat tangan, menangkap satu kelopak, menatapnya lama
sebelum membiarkannya terbang lagi.
“Lihatlah, Haru,” katanya perlahan.
“Bahkan bunga pun memilih jatuh.”
Ia melangkah pergi, meninggalkan
rumah teh tanpa menoleh. Haru berdiri di ambang pintu, menyaksikan bayangannya
menjauh, lalu hilang di balik hujan dan cahaya lentera yang redup.
Di kejauhan, suara shakuhachi
terdengar lagi—bukan lembut seperti biasa, melainkan berat dan terputus-putus,
seperti napas seseorang yang menahan amarah terlalu lama.
Dan malam itu, di kota kecil
Suruga, kelopak-kelopak sakura terus berguguran tanpa henti, seperti salju yang
lahir dari dendam.
Malam turun di Sugura seperti tirai
tinta yang menutup langit. Hujan rintik-rintik turun dari atap genting,
menimbulkan suara ritmis yang seakan menandai langkah waktu. Di antara kabut
dan bau tanah basah, sosok berjubah jerami melangkah pelan, membawa shakuhachi
bambu di tangan — seorang komusō, pengembara tanpa nama, wajahnya tersembunyi
di balik topi anyaman. Tapi di balik ketenangan itu, di hati orang itu, bara
dendam telah lama menyala. Namanya Hayato — mantan samurai klan Kuroda, murid
terakhir dari seorang daimyo yang mati di tangan pengkhianat: Tadakatsu.
Ia tahu kabar itu dari rumah teh
kecil di tepi jalan Tōkaidō beberapa minggu lalu. Tadakatsu, yang dulu
membantai tuannya di malam itu, kini hidup nyaman — diangkat menjadi pejabat
kehormatan di bawah Shogun. Kedamaian yang dibangun di atas darah.
Kini Hayato datang untuk menagih
harga itu.
Langkahnya berhenti di depan
gerbang Sunpu-jō, istana kecil di bawah pengawasan Tokugawa. Lampu-lampu minyak
bergetar di tengah hujan. Ia menunduk, pura-pura sebagai pengemis biar lewat
penjaga malam, lalu menghilang ke gang sempit di belakang dinding batu.
Nafasnya diatur pelan, tiap tarikan seperti doa.
Dalam diam, tangan kanannya meraba
gagang katana di bawah jubah. Bilah itu sudah berkarat di pangkalnya, tapi
diasah tajam di ujung — seperti tekadnya: tua oleh waktu, tapi masih haus
darah.
Ia menyusup lewat lorong belakang,
meniti atap rumah kayu, melewati jendela-jendela yang meneteskan cahaya lilin
dari perjamuan di dalam. Dari celah itu, ia mendengar suara musik shamisen,
tawa pejabat, denting cawan sake.
Dan di sana — di tengah ruangan
besar dengan tirai emas — duduk Tadakatsu, kini berpakaian sutra indigo,
wajahnya licin, mata sipit tajam seperti dulu. Di sisinya, seorang perempuan
berkimono merah lembut memainkan shamisen sambil tersenyum manis.
Haru.
Hayato menahan napas, menyandarkan
punggung ke dinding. Matanya bergetar antara amarah dan getir. Namun ia tahu —
malam ini bukan untuk mengenang. Malam ini untuk menuntaskan.
Ia menuruni atap, berbaur di antara
pelayan yang keluar-masuk. Dalam samaran komusō, tak ada yang memandang dua
kali pada pengemis pengelana yang membawa shakuhachi. Ketika pintu ruangan
perjamuan terbuka, ia melangkah masuk, menunduk, dan berdiri di sudut.
Tadakatsu mengangkat kepala, melihatnya sejenak. “Ah, pengemis biarawan.
Bagaimana kau bisa masuk kesini?” Tanyanya dalam keadaan mabuk “Lupakan... Tiupkan
sesuatu, buat malam ini lebih hangat,” katanya dengan tawa serak.
Haru memandang sekilas — matanya
melebar. Dalam sekejap, ia tahu siapa di balik topi jerami itu. Tapi wajahnya
tetap datar; jari-jarinya hanya bergetar sedikit di senar shamisen.
Hayato mengangkat shakuhachinya.
Nafasnya dalam, lalu ia meniup. Nada pertama keluar — rendah, serak, seperti
keluhan bumi. Shamisen Haru menjawabnya dengan nada tinggi, bergetar seperti
tetes air di atas baja. Suara keduanya berpadu, menciptakan melodi aneh — indah
tapi menekan dada, seperti percakapan rahasia dua jiwa yang terpenjara.
Tadakatsu menepuk tangan, tertawa
keras.
“Musik yang muram! Apakah semua
pengemis seburuk ini dalam membawa kegembiraan?” Ia meneguk sake, lalu meludah.
“Aku lebih suka lagu kemenangan. Seperti malam saat klan Kuroda dibakar. Ya,
malam itu indah—samurai mereka berlutut dan menangis, seperti tikus di bawah
sepatu!”
Haru berhenti memetik. Jemarinya
membeku.
Nada terakhir melayang dan mati di
udara.
Dalam detik itu, Hayato menunduk.
Tangan kirinya menyentuh gagang katana yang tersembunyi dibalik jubahnya. Dunia
seakan berhenti — hanya suara hujan di luar dan dengung darah di telinganya.
“Orang seperti kau,” Tadakatsu
lanjut, “tidak tahu harga kedamaian. Kadang satu pengkhianatan lebih bernilai
dari seribu kesetiaan.”
Satu hembusan napas.
Shakuhachi jatuh ke lantai.
Bunyi kayu pecah.
Kilatan baja muncul dari balik
jubah jerami — katana Hayato menebas udara, memantulkan cahaya obor. Tadakatsu
terkejut, bangkit, namun telat. Tebasan pertama menggores bahu kirinya,
menumpahkan darah ke tatami.
“Hayato!” seru Haru, nyaris tanpa
suara.
Tadakatsu menghunus katana pendek
dari pinggang. “Jadi kau masih hidup, anjing Kuroda!”
Mereka berhadapan — dua arwah dari masa perang, kini berdiri di dunia damai
yang tak menerima mereka lagi.
Pertarungan meledak seperti badai
dalam ruangan sempit itu.
Tebasan pertama — clang! — baja
bertemu baja.
Tebasan kedua — percikan api, obor
bergoyang.
Hujan di luar semakin deras,
suaranya bercampur dengan deru napas dan teriakan.
Hayato menekan maju, tekniknya
cepat dan kasar, bukan duel kehormatan — ini pembunuhan. Tapi Tadakatsu masih
samurai terlatih. Ia berputar, menangkis, memotong arah serangan. Katana mereka
menari seperti kilat, tiap hentakan menimbulkan suara tatami yang robek, darah
menetes di bilah.
“Tuanku mati karena
pengkhianatanmu,” desis Hayato.
“Tuanmu mati karena lemah!”
Tadakatsu membalas, menebas dari kanan.
Hayato menunduk, bilah katana musuh
lewat di atas kepala, memotong sebagian topi jeraminya. Ia berputar, menebas
dari bawah — Tadakatsu menahan dengan suara logam panjang, namun tangannya
bergetar.
Tebasan, tangkisan, denting.
Dunia di sekitar mereka menghilang
— hanya dua bayangan dalam cahaya obor yang gemetar, dua jiwa yang tersisa dari
masa samurai yang sekarat.
Haru berdiri di sudut, shamisen-nya
jatuh. Matanya basah — bukan karena ketakutan, tapi karena ia tahu: tak ada
kemenangan dalam duel ini.
Hayato melompat mundur, lalu maju
lagi.
Ia menebas diagonal — Tadakatsu
menahan, tapi Hayato mengganti arah di tengah tebasan, mengunci bilah musuh
dengan gerakan jigen-ryū, lalu memutar pergelangan tangan dan — tsskk! — katananya
menembus dada Tadakatsu.
Darah menyembur.
Tadakatsu terhuyung, memegangi luka
di dadanya.
Matanya menatap Hayato dengan
kemarahan bercampur penyesalan.
“Kau… membunuh… kedamaian…”
“Tidak,” jawab Hayato pelan, “aku
hanya menebas kehormatan yang palsu.”
Tadakatsu jatuh ke lantai, tubuhnya
menabrak meja perjamuan, menumpahkan sake dan darah menjadi satu warna.
Sunyi.
Hanya ada suara hujan.
Dan di tengah tatami yang berlumur
darah, Hayato berdiri diam. Nafasnya berat. Matanya kosong — tak ada kepuasan.
Dendam yang dipuaskan, tapi tidak menyembuhkan.
Pintu geser terbuka. Suara
langkah-langkah tergesa di luar — penjaga mendekat. Haru berlari menghampiri,
menarik tangan Hayato.
“Cepat! Mereka akan datang!”
“Pergilah, Haru. Aku sudah selesai
di dunia ini.”
“Tidak! Kalau kau mati sekarang,
semua sia-sia!”
Ia meraih shakuhachi yang pecah,
meletakkannya di tangan Hayato. “Pergilah ke arah utara, lewat taman belakang.
Aku akan menahan mereka.”
Hayato memandangnya — mata dua
orang yang saling mengenal tapi tak punya masa depan.
Ia mengangguk pelan, lalu melangkah
ke pintu belakang.
Ketika para penjaga berlari masuk,
Haru berteriak — “Tuan Tadakatsu! Dia dibunuh! Aku tak tahu siapa penyerangnya!
Dia lari ke arah selatan!”
Suara itu menggema di koridor. Para
samurai segera berlari ke arah yang ditunjuknya.
Sementara di luar, di tengah taman
yang diselimuti hujan, Hayato melangkah di bawah pohon sakura. Bunga-bunga yang
belum sempat gugur jatuh perlahan, menempel di darah di bahunya. Ia berjalan
dalam diam, melewati gerbang belakang yang terbuka setengah.
Shakuhachi di tangannya gemetar. Ia
meniup satu nada — pelan, sendu, seperti ratapan bumi. Nada itu terbang bersama
hujan, hilang di langit yang kelam.
Di dalam ruangan, Haru berdiri di
sisi jenazah Tadakatsu. Penjaga-penjaga berlarian, menjeritkan perintah. Ia
menatap darah di tatami — jejak yang akan segera disapu pagi.
“Hayato…” bisiknya.
Matanya menatap jendela tempat
sakura berjatuhan. “Kau baru saja menebas kehormatanmu sendiri.”
Angin malam masuk, meniupkan sisa
lilin, memadamkan cahaya terakhir.
Malam itu, di Suraga bahkan hingga
ke Edo, kabar beredar: seorang komusō membunuh pejabat tinggi di tengah
perjamuan. Dunia samurai berguncang. Shogun memerintahkan pengejaran. Nama
Hayato menjadi kutukan yang dibisikkan di jalanan, dan Haru menghilang dari
daftar geisha istana.
Tapi bagi mereka berdua, malam itu
bukan sekadar darah — melainkan awal dari kutukan panjang: antara kehormatan
dan dosa yang tak dapat ditebus.
Dan di jalan Tōkaidō yang jauh dari
hiruk pikuk Edo, suara shakuhachi kadang terdengar di antara kabut pagi. Lagu
tanpa nama, lagu seorang pengembara yang kehilangan arah antara penebusan dan
pembalasan. Lagu yang selalu berakhir di satu nada — seolah bumi sendiri
menghela napas dan berkata:
“Bunuh satu orang, maka seribu roh
akan mengikuti.”
Fajar di Kamakura datang seperti
bisikan — lembut, nyaris tak terdengar. Kabut turun dari pegunungan,
menyelubungi hutan bambu di sekitar Kuil Hōkoku-ji. Daun-daun basah bergoyang
pelan, dan setiap hembusan angin menimbulkan suara seperti seruling yang ditiup
oleh tangan tak terlihat.
Di jalan batu menuju kuil,
langkah-langkah seorang pengembara terdengar samar. Jubah dan jeraminya basah
oleh embun, wajahnya letih dan penuh bayangan. Di punggungnya tergantung katana
yang kini tak lagi berkilau — hanya sisa karat dan darah yang telah mengering.
Hayato.
Sejak malam, ia menjadi buronan.
Setiap kota menutup pintu baginya; setiap penjaga memiliki lukisan wajahnya di
papan pengumuman. Tapi yang lebih berat dari kejaran manusia adalah kejaran
batin — bayangan Tadakatsu yang datang di setiap tidur, dan suara shamisen Haru
yang masih terngiang di telinga.
Kini, ia mencari tempat untuk
bersembunyi, atau mungkin tempat untuk mengakhiri segalanya.
Gerbang kayu kuil berdiri di ujung
jalan berbatu, sederhana tapi megah dalam kesunyian. Di atasnya, daun maple
berguguran pelan. Hayato berhenti, menatap papan bertuliskan kaligrafi tua:
“Kuil Hōkoku-ji — Jalan menuju kekosongan sejati.”
Ia melangkah masuk.
Di halaman, seorang biksu tua
sedang menyapu dedaunan. Wajahnya dipenuhi keriput, tapi sorot matanya jernih
seperti permukaan kolam di musim semi. Ia menatap Hayato tanpa terkejut, seolah
sudah menunggu kedatangannya sejak lama.
“Angin membawa bau darah,” katanya
pelan. “Dan langkahmu berat seperti orang yang menanggung roh.”
Hayato menunduk. “Aku hanya mencari
tempat untuk beristirahat.”
“Tak ada istirahat bagi orang yang
masih membawa katana,” jawab sang biksu. “Tapi masuklah.
Di sini, bahkan bayangan bisa
belajar diam.”
Kuil itu sederhana: ruang meditasi
dari papan kayu, altar kecil dengan patung Buddha yang tersenyum samar, dan
suara air mengalir dari pancuran batu di luar. Di kejauhan, hutan bambu
bergoyang seperti lautan hijau.
Hayato duduk di serambi, menatap
kabut yang perlahan menipis.
“Dunia luar begitu bising,” katanya
lirih.
“Aku lupa seperti apa bunyi sunyi.”
Biksu tua duduk di sampingnya,
membawa secawan teh hijau.
“Sunyi bukan tanpa bunyi,” ujarnya.
“Sunyi adalah ketika bunyi tak lagi
menyentuh batinmu.”
Hayato menatap tangan tuanya.
“Aku telah menumpahkan darah. Aku
telah melanggar sumpah komusō. Aku membunuh bukan demi kebenaran, tapi demi
bayangan masa lalu.”
Biksu itu menyesap teh, diam
sejenak.
“Kau datang bukan untuk menyesal,
tapi untuk dimengerti. Katakan, untuk apa kau meniup serulingmu di malam itu?”
Hayato memejam mata.
“Untuk menghapus dosa… mungkin.
Atau menenggelamkan jeritan orang yang kubunuh.”
Biksu itu menatapnya lama, lalu berkata pelan,
“Mungkin keduanya adalah hal yang
sama.”
Hari berganti. Hayato membantu
biksu-biksu muda menimba air, menebang bambu, dan menyalakan lentera saat malam
turun. Ia tak lagi menyentuh katananya. Ia menggantungkan shakuhachi yang patah
di dinding kuil, seperti tulang masa lalu yang tak ingin dipelihara.
Namun di malam-malam tertentu, saat
angin bertiup dari arah selatan, ia mendengar suara samar — shamisen Haru,
dimainkan jauh di kejauhan. Dan bersama melodi itu, bayangan Tadakatsu muncul
di pikirannya, menatapnya tanpa kata, menanyakan makna pembalasan.
Dalam mimpinya, Hayato sering
melihat darah yang berubah menjadi bunga sakura, menutupi seluruh Edo dengan
kelopak putih. Tapi setiap kali ia mencoba memetik satu bunga, tangannya
berubah menjadi baja — katana yang tak bisa berhenti menebas.
Ia terbangun berkeringat, dan
selalu mendapati biksu tua itu duduk di serambi, bermeditasi dalam cahaya
bulan.
Suatu malam, Hayato menghampirinya.
“Sensei,” katanya, “aku membunuh
karena aku percaya dunia membutuhkan keadilan. Tapi setelah darah tertumpah,
aku hanya menemukan kehampaan. Apakah itu berarti dunia memang tak membutuhkan
keadilan?”
Biksu tua membuka mata. “Keadilan
manusia hanyalah bayangan dari dendam yang diberi nama indah. Kau menyebutnya
benar, tapi hati menyebutnya haus. Keadilan sejati tak menuntut korban — hanya
pemahaman.”
Hayato terdiam. Angin melewati
bambu, membuat bunyi seruling tanpa pemain.
“Lalu apa makna kehormatan bagi
seorang samurai yang telah kehilangan segalanya?”
Biksu itu tersenyum samar. “Kehormatan
sejati bukan yang dibela dengan katana, melainkan yang tetap hidup saat katana
telah diletakkan.”
Beberapa hari kemudian, hujan
turun. Bambu-bambu menunduk, dan udara beraroma tanah basah. Hayato duduk
sendirian di aula meditasi. Di depannya, lilin kecil bergetar, cahayanya menari
di permukaan dinding kayu.
Ia mengambil kuas, mencelupkannya
ke tinta, dan menulis perlahan di papan bambu kuil — tanka terakhirnya:
Dalam bambu sunyi,
bayanganku lenyap perlahan—
suara tak berakhir,
meski napas berhenti nanti,
katana dan seruling menyatu.
Ia menatap tulisan itu lama. Lalu
menunduk, dan tersenyum kecil — senyum yang tak pernah ia rasakan bahkan saat
memenangkan duel. Ia mengangkat shakuhachi yang patah, menempelkannya ke bibir,
dan meniup.
Nada yang keluar nyaris tak
terdengar, hanya hembusan udara yang mengguncang debu di sekitar. Tapi dalam
sunyi itu, sesuatu di dalam dirinya ikut runtuh — dinding amarah, dendam, dan
kebencian yang selama ini menopang hidupnya.
Ketika fajar datang, Hayato
berjalan ke hutan bambu di belakang kuil. Ia berhenti di antara batang-batang
hijau yang menjulang tinggi, tempat cahaya matahari menembus seperti katana
lembut.
Di sana ia berlutut.
Ia meletakkan katananya di tanah,
menatap pantulan wajahnya di bilah baja yang telah berkarat.
Wajah yang bukan lagi samurai, bukan lagi pembunuh — hanya manusia yang letih.
“Sensei,” bisiknya, “aku telah
menebas kehormatan palsu. Kini aku ingin menebas egoku sendiri.”
Ia menutup mata. Angin berhembus
pelan, membawa suara seruling dari kejauhan — entah dari siapa. Mungkin dari
roh-roh yang telah dimaafkan. Atau mungkin dari dirinya sendiri, yang akhirnya
mampu meniup shakuhachi dengan hati kosong.
Beberapa minggu kemudian, biksu tua
menemukan katana Hayato tertancap di tanah bambu, shakuhachi patahnya bersandar
di samping, dan di atasnya selembar kain putih berisi tanka yang sama. Tak ada
tubuh, hanya jejak kaki menuju ke arah hutan yang lebih dalam, lalu lenyap di
kabut. Biksu itu tersenyum kecil.
“Dia akhirnya memahami Zen,”
gumamnya. “Karena hanya yang benar-benar hilang yang bisa disebut damai.”
Sejak hari itu, di Kuil Hōkoku-ji,
setiap kali angin bertiup di antara bambu, terdengar nada lembut seperti
shakuhachi — kadang tinggi, kadang lirih.
Para biksu muda menyebutnya “Napas
dari Hayato.”
Mereka percaya, itu adalah roh
seorang samurai yang akhirnya meletakkan katananya dan menemukan jalan pulang —
bukan ke rumah, tapi ke dirinya sendiri.
Senja turun di atas jalan Tōkaidō,
membentang panjang di antara hamparan sawah dan laut yang berkilau merah
tembaga. Langit berganti warna perlahan—dari jingga lembut menjadi ungu
kehitaman, seperti tinta yang menetes di kertas sutra. Angin dari Teluk Suruga
bertiup pelan, membawa aroma garam, bambu, dan debu perjalanan.
Di kejauhan, seorang pengembara
berjalan sendirian.
Jubahnya compang-camping, wajahnya
terlindung oleh tengai—keranjang anyaman para komusō. Di pinggangnya tak
tergantung katana, hanya sepotong shakuhachi dari bambu yang kusam warnanya.
Ia melangkah perlahan, setiap
langkah disertai napas berat yang terdengar seperti desah orang yang sudah lama
berdamai dengan dunia.
Hayato.
Namanya kini hanya hidup dalam
bisik-bisik penjaga pos dan laporan pasukan shogun:
“Samurai pembunuh… komusō berwajah bayangan… pengkhianat yang melanggar
kedamaian Ieyasu-sama.”
Namun bagi dirinya, semua nama itu
sudah mati sejak malam darah di Sugura.
Angin sore menyapu debu dari jalan,
membawa bayangan burung camar yang melintas di langit. Di tepi jalan, daun
kering berputar pelan seperti arwah menari. Hayato berhenti di bawah pohon
pinus tua, menatap cakrawala yang mulai memudar.
Ia mendengar suara samar—mungkin
hanya gema dari masa lalu—suara shamisen, lembut dan sendu. Ia menutup mata.
Dalam gelap, wajah Haru muncul: seulas senyum yang tak pernah ia pahami, mata
yang selalu menyimpan duka lebih dalam dari laut.
“Dalam hidup yang sunyi,” gumamnya,
“aku menemukan musik yang lebih keras dari perang.”
Ia menurunkan tengai-nya perlahan.
Wajahnya pucat, rambutnya sudah
mulai dipenuhi uban halus. Tapi di matanya, tak ada lagi kebencian—hanya
ketenangan yang aneh, seperti orang yang telah melewati neraka dan menemukan
maknanya.
Suara kaki kuda memecah kesunyian.
Dari ujung jalan, barisan prajurit
shogun muncul: baju zirah berkilau, tombak di tangan, panji Tokugawa berkibar
di angin senja. Mereka berhenti beberapa langkah di hadapan Hayato.
“Komusō bernama Hayato Kuroda!”
seru pemimpin mereka. “Atas perintah Shogun, kau dituduh menumpahkan darah
seorang pejabat tinggi. Menyerahlah, dan mungkin jiwamu akan diampuni.”
Hayato menatap mereka diam.
Ia menurunkan shakuhachi dari
pinggangnya, memegangnya dengan kedua tangan seolah itu katana lama yang telah
dijernihkan.
“Aku sudah menyerah,” katanya
perlahan. “Bukan pada kalian, tapi pada diriku sendiri.”
Prajurit itu maju satu langkah,
menghunus katananya. “Ada kata-kata terakhir?”
Hayato mengangguk. “Hanya
satu—dengarkan.”
Ia menutup mata dan meniup
shakuhachi-nya.
Nada pertama keluar lembut, nyaris
tak terdengar. Tapi udara di sekitar seolah berhenti bergetar. Burung-burung
yang hinggap di pohon pinus mendadak diam. Nada itu bergerak naik turun seperti
ombak—kadang lembut seperti doa, kadang tajam seperti pisau di leher.
Suara bambu itu bukan lagu, tapi
perjalanan: Tentang perang yang sia-sia, tentang tuan yang gugur di Sekigahara,
tentang dendam yang berubah menjadi aib, dan tentang sepotong cinta yang lahir
di antara darah dan musik.
Para prajurit terpaku. Bahkan
kuda-kuda menundukkan kepala. Angin berhenti. Senja menahan napasnya.
Di tengah kesunyian itu, Hayato
menurunkan serulingnya. Ia tersenyum kecil—senyum yang mengandung segala
kepasrahan dan pembebasan. Lalu ia duduk bersila di tanah, membuka jubahnya
perlahan.
Dari pinggangnya, ia mengeluarkan tantō—pisau
pendek yang dulu ia sembunyikan bukan untuk bertarung, melainkan untuk menepati
janji terakhir seorang samurai. Bilahnya dingin di bawah cahaya senja, berkilau
seperti embun di ujung daun bambu.
Hayato menatap langit. “Dalam
sunyi,” bisiknya, “kehormatan lahir kembali.”
Lalu dengan gerakan tenang dan
pasti, ia menusukkan pisau itu ke perutnya. Nafasnya tertahan, tapi matanya
tetap terbuka. Darah mengalir, menodai shakuhachi di pangkuannya.
Sementara di kejauhan, terdengar angin berdesir — membawa gema nada yang baru
saja ia tiup, melayang perlahan di udara sore.
Para prajurit tak sempat bergerak.
Mereka hanya menatap diam, terpaku oleh keheningan yang lebih mengerikan
daripada jeritan perang. Pemimpin mereka menunduk, menutup helmnya, dan
berbisik, “Semoga arwahmu menemukan jalannya, samurai.”
Beberapa saat kemudian, derap
langkah kaki kecil terdengar tergesa di ujung jalan. Siluet seorang perempuan
muncul dari arah timur, kain kimononya berkibar dalam angin. Di tangannya, ia
membawa shamisen. Nafasnya terengah, wajahnya penuh debu dan air mata.
Haru.
Ia menunggu hingga langkah para
prajurit menjauh, menyisakan satu orang penjaga di sisi jasad Hayato. Angin
senja membawa debu di antara bambu, menutup jejak darah yang mulai mengering.
Dengan wajah tenang namun mata bergetar, Haru mendekat — seolah seorang
perempuan yang hanya ingin memberi penghormatan terakhir.
“Tolong... Tuanku di kedai teh... Dia
diserang bandit gunung,” katanya tergesa-gesa, suaranya setipis asap dupa.
“Ia memerlukan bantuan segera.”
Prajurit itu ragu, menatap tengai
yang tergeletak di tanah, lalu kembali pada wajah Haru yang tampak tulus dan
letih.
“Jika kau mau, aku akan menjaga
jasad ini sampai kau kembali,” bisiknya.
Dan dalam kebodohan yang lahir dari
rasa iba, sang prajurit pun meminta petunjuk jalan dan berlari meninggalkannya.
Ia berhenti ketika melihat tubuh
itu di bawah pohon pinus. Shakuhachi tergeletak di tanah, berlumur darah. Ia
berlutut, memegang seruling itu, menatap wajah Hayato yang kini tampak damai —
seolah sedang tertidur di tengah perjalanan panjang.
“Hayato…” bisiknya.
Air matanya jatuh di permukaan
shakuhachi, bercampur dengan darah yang mulai mengering.
Suara angin bertiup, membawa
dedaunan kering menari di sekitar mereka. Haru menatap langit senja yang kini
berubah menjadi keemasan, lalu menutup mata Hayato dengan ujung selendangnya.
“Dalam hidupmu, kau menebas
bayangan,” katanya lirih. “Dalam matimu, kau menyalakan cahaya.”
Ia menatap jalan panjang Tōkaidō
yang membentang ke arah Edo. Di sana, asap masih mengepul dari kota yang penuh
intrik dan ambisi. Ia duduk di samping tubuh Hayato, memeluk shakuhachi itu ke
dadanya, lalu mulai memainkan shamisen-nya perlahan. Nada yang keluar
sederhana, seperti lagu pengantar tidur. Tapi di antara setiap petikan senar,
ada gema shakuhachi yang samar—entah dari ingatan, entah dari roh Hayato yang
belum jauh pergi.
Malam turun perlahan. Cahaya
terakhir matahari terpantul di darah di tanah, mengubahnya menjadi warna
tembaga yang hangat. Para prajurit berdiri jauh, menundukkan kepala; mereka
tahu, yang mereka saksikan bukan sekadar kematian, tapi upacara terakhir
seorang samurai yang menemukan makna kehormatannya sendiri.
Ketika langit benar-benar gelap,
angin bertiup dari arah laut. Ia melewati tubuh Hayato, melalui bambu dan
pinus, membawa melodi yang nyaris tak terdengar—sepotong napas dari shakuhachi
yang kini diam. Nada itu mengalun perlahan di sepanjang jalan Tōkaidō, menembus
rumah teh, kuil, dan pos jaga, sampai hilang di kejauhan yang gemerlap.
Haru menatap ke arah angin itu, dan
tersenyum samar di balik air mata.
Ia berbisik pelan, “Dalam sunyi,
kehormatan lahir kembali.”
Beberapa hari kemudian, rumor
menyebar di antara para pengembara: bahwa di jalan Tōkaidō, saat senja, kadang
terdengar suara seruling yang lembut, seperti dihembuskan oleh roh yang sudah
damai. Tak ada yang tahu dari mana datangnya, tapi mereka yang mendengarnya
berkata — suara itu membuat hati terasa ringan, seolah beban hidup ikut menguap
bersama angin.
Mereka menyebutnya “Angin Hayato.”
