Bisikan Pohon Randu


Pontianak, 2002 – Sore Menjelang Magrib

Sinar matahari sore di pedalaman Pontianak mulai meredup, menyisakan warna keemasan yang menari di permukaan Sungai Kapuas Kecil. Sungai itu membelah desa kecil yang tenang, hanya sesekali dilewati perahu kayu dengan suara dayung yang lambat. Di tepinya, berdiri sebuah pohon randu tua, batangnya menjulang tinggi dengan akar menonjol seperti urat besar di tanah. Pohon itu sudah ada bahkan sebelum orang tua di desa lahir, dan bagi banyak orang, randu itu bukan sekadar pohon—ia menyimpan cerita. Cerita yang lebih sering dibungkus dengan ketakutan.

Namun bagi anak-anak, pohon itu adalah sasaran ejekan. Seolah-olah dengan melempari batangnya dengan batu, mereka bisa menantang rasa takut, atau sekadar membuktikan diri di hadapan teman-teman.

“Cepat, ambil batu yang lebih besar, Ren!” teriak Erwin, bocah bertubuh agak gempal dengan wajah selalu penuh kenakalan. Tangannya cekatan meraup batu kecil di tepi jalan tanah yang membentang tak jauh dari sungai.

“Ayo, lempar lebih tinggi, sampai kena rantingnya!” seru Rendy, matanya menyipit menahan semangat.
Rafli, yang lebih kalem, ikut-ikutan saja. Tangannya meraba kerikil lalu melemparkannya ke batang pohon. “Tok!” suara batu memantul, membuat mereka semua tertawa.

Di belakang mereka, seorang bocah berusia delapan tahun berdiri dengan wajah muram. Andre namanya. Tubuhnya kurus, kulitnya putih pucat, dan sorot matanya lebih dewasa dibanding anak-anak seusianya. Ia menggenggam ranting kecil di tangan, tapi bukan untuk melempar—melainkan untuk menahan kegugupan.

“Berhenti!” teriak Andre tiba-tiba. Suaranya memecah tawa.

Ketiga temannya menoleh bersamaan, ekspresi mereka penuh tanda tanya. Erwin yang paling berani langsung mendengus.

“Kenapa, Ndre? Kau takut, ya? Jangan-jangan kau percaya pohon ini ada penunggunya?”
Tawa mereka pecah lagi.

Andre melangkah maju, berdiri di hadapan pohon randu seakan hendak melindunginya dengan tubuh kecilnya.

“Jangan dilempari! Pohon ini nggak salah apa-apa. Kalau kalian kena lempar batu, kalian juga sakit, kan? Pohon juga bisa merasa!”

Ucapan itu membuat mereka terdiam sejenak. Anak-anak seusia mereka jarang bicara begitu. Rendy, yang biasanya keras kepala, menyeringai ragu.

“Halah, kau aneh, Ndre. Itu kan cuma pohon. Mana bisa dia sakit?”

Andre menatap mereka satu per satu. Matanya berkilat, penuh keyakinan.

“Kalau kau disakiti, kau marah. Kalau pohon ini disakiti, dia juga bisa marah. Kau tak tahu saja bagaimana dia menahan sakitnya.”

Rafli menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Tapi… kalau benar ada yang tinggal di pohon ini?” bisiknya, separuh takut.

“Ya! Katanya ada kunti!” Erwin cepat menyambar, mencoba menakut-nakuti. “Kau nggak dengar cerita orang kampung? Rambutnya panjang, bajunya putih. Suka tertawa tengah malam. Hiii…” Ia membuat suara melengking palsu.

Rendy dan Rafli terkekeh, tapi dengan nada setengah menahan takut. Mereka saling dorong lalu bersiap pergi.

Andre menghela napas. Ia memandang pohon itu lagi, lalu berbicara pelan, seolah untuk dirinya sendiri, seolah untuk pohon itu:

“Tenang saja… aku tidak akan biarkan mereka sakiti kau lagi.”

Angin sore tiba-tiba berembus lebih kuat dari biasanya, membuat daun-daun randu bergetar. Sejenak anak-anak itu membeku. Rendy langsung menepuk lengan Erwin.

“Sudahlah, ayo pulang! Sudah hampir magrib. Nanti orang tua marah kalau kita masih main di sini.”

Erwin mendengus, tapi wajahnya mulai kehilangan keberanian. “Huh, baiklah. Besok kita main bola saja.” Ketiganya lari meninggalkan Andre yang masih berdiri di bawah randu tua itu.

Andre menatap batang pohon yang penuh goresan bekas lemparan batu. Ia mengusap kulit batangnya dengan telapak kecilnya.

“Maaf ya, aku nggak bisa hentikan mereka lebih cepat,” bisiknya.

Ia tersenyum samar, lalu berlari menyusul teman-temannya.

Dari balik batang pohon, seolah ada yang menyimak dengan diam. Aini, sosok perempuan berambut panjang yang sudah lama mendiami pohon randu itu, mendengar dengan jelas kata-kata Andre. Biasanya, suara anak-anak hanya berupa tawa, ejekan, dan ketakutan. Tak pernah ada yang berbicara padanya dengan rasa hormat, apalagi dengan pembelaan.

Selama bertahun-tahun, Aini terbiasa dengan kesepian. Ia hanya hadir sebagai bisik di telinga orang yang lewat, sebagai bayangan putih di antara daun randu, atau sekadar teriakan histeris dalam cerita rakyat. Ia tak pernah dianggap nyata, kecuali sebagai sosok untuk menakuti.

Namun sore itu, seorang bocah kurus bernama Andre mengubah segalanya.

“Pohon ini bisa merasa.” Kalimat itu sederhana, tapi menghantam hatinya yang beku.

Bagi Aini, itu seperti pengakuan pertama bahwa ia ada. Bahwa keberadaannya bukan sekadar bayangan. Ia merasa hangat untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

Dari balik pohon, ia memandangi langkah kecil Andre yang menjauh. Ada keinginan yang aneh, halus, tapi kuat: untuk selalu dekat dengannya.

Dan sejak sore itu, Andre tak pernah benar-benar sendirian lagi.

Setiap kali ia berjalan di tepian Kapuas, bermain dengan teman-temannya, atau sekadar termenung di halaman rumahnya, selalu ada hembusan angin berbeda, selalu ada bayangan samar di ujung matanya.

Aini mulai mengikutinya.

Tak pernah menampakkan diri, tak pernah bersuara keras.

Hanya diam, hanya mengawasi.

Seolah ikatan itu sudah terbentuk—ikatan antara bocah kecil yang membela pohon, dan penghuni pohon yang akhirnya merasa dirinya diakui.

Andre sudah tertidur di rumah kayu sederhana milik orang tuanya. Suara jangkrik dari kebun belakang bercampur dengan desir sungai di kejauhan. Di kamar gelap yang hanya diterangi lampu minyak kecil, Andre menggeliat, lalu bergumam dalam tidurnya:

“Jangan takut… pohon itu baik.”

Di luar, angin malam berhembus pelan. Daun randu tua di tepi Kapuas kembali bergoyang. Dari antara bayangan, suara lirih nyaris tak terdengar menggema:

“Terima kasih…”

Namun Andre tak pernah tahu. Tidak malam itu, tidak juga di tahun-tahun berikutnya. Yang ia tahu, sejak sore itu, hatinya selalu merasa ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Sebuah perasaan hangat yang tak sepenuhnya manusiawi, tapi juga tak menakutkan.

Dan bagi Aini, malam itu menjadi awal dari sebuah kisah panjang: kisah mengikuti seorang anak manusia yang tanpa sadar sudah membuatnya kembali percaya bahwa ia bukan sekadar bayangan.

 

Pontianak, 2008 – Malam Awal Musim Hujan

Hujan baru saja reda di pedesaan pinggiran Pontianak, meninggalkan aroma tanah basah yang pekat. Air sisa hujan menetes perlahan dari atap seng rumah-rumah kayu, menimbulkan bunyi ritmis yang menemani malam. Sungai Kapuas Kecil di kejauhan berkilau samar terkena pantulan lampu perahu nelayan yang melintas.

Di sebuah rumah sederhana bercat biru pudar, seorang remaja berusia empat belas tahun duduk di tepi jendela kamarnya. Tubuhnya lebih tinggi dari dulu, wajahnya mulai memperlihatkan garis-garis kedewasaan, namun sorot matanya tetap sama: penuh rasa ingin tahu dan kesunyian yang lebih dalam dibanding teman-teman sebayanya.

Andre menatap jauh ke arah pohon randu tua di tepi sungai. Pohon itu terlihat hitam pekat diterpa cahaya bulan setengah. Daunnya bergoyang pelan diterpa angin, meski udara di sekitar terasa nyaris diam.

Ia tidak tahu persis mengapa kebiasaannya ini terbentuk. Sejak kecil, ia selalu merasa ada sesuatu di pohon randu itu—sesuatu yang bukan sekadar kosong. Setiap kali ia berbicara, selalu ada jawaban tak langsung: entah hembusan angin tiba-tiba, dedaunan yang gugur perlahan, atau sekadar ketenangan aneh yang membuat dadanya lebih ringan.

Malam itu, ia membuka sebuah buku tulis yang kertasnya mulai menguning. Tangan kirinya menahan ujung halaman, sementara tangan kanannya memegang bolpoin hitam. Ia membaca pelan tulisan yang baru saja ia buat:

“Jika sepi adalah teman, maka rinduku adalah sungai.

Kau tak melihat wujudnya, tapi kau dengar alirannya.

Dan aku, entah mengapa, selalu ingin percaya—

bahwa ada yang mendengarkan, meski tanpa balasan nyata.”

Andre berhenti sejenak, menarik napas panjang. Ia merasa bodoh menulis kata-kata begitu. Teman-temannya sibuk bermain bola di lapangan tanah dekat sekolah atau nongkrong di warung kopi kecil sambil menonton TV, sedangkan ia malah membaca puisi ke arah pohon.

Namun, setiap kali ia melakukannya, hatinya terasa lebih tenang. Ia tak merasa sendirian.

Di luar, daun randu tua tiba-tiba gugur perlahan, melayang ke tanah, tepat setelah ia mengucapkan bait terakhir. Andre tersenyum kecil. “Kau jawab, ya?”

Di balik batang pohon, Aini menyimak.

Enam tahun sudah berlalu sejak sore pertama ia mendengar suara bocah kecil bernama Andre. Enam tahun ia mengawasi dalam diam, tanpa pernah menampakkan diri. Ia menyaksikan Andre tumbuh, dari anak kurus yang sering dibully, menjadi remaja yang lebih tenang, lebih banyak merenung.

Setiap kata yang keluar dari bibir Andre, setiap keluhan kecil tentang sekolah, tentang teman yang tak mengerti, tentang rasa sakit karena ayahnya jarang di rumah, semuanya Aini simpan dalam hatinya yang tak berdetak. Ia tidak pernah bisa membalas, hanya memberi tanda sederhana—hembusan angin, daun gugur, atau getaran lembut di ranting.

Namun, bagi Aini, itu sudah cukup. Ia takut jika ia menampakkan diri, Andre akan lari, menjerit, lalu membencinya. Maka ia memilih menjadi bayangan, menjadi pendengar abadi.

Malam itu, Aini ingin meraih wajah Andre, ingin menyapu rambut hitamnya yang sedikit basah oleh uap hujan. Tapi tangannya hanya menembus angin. Ia tersenyum getir.

Beberapa hari kemudian

Andre duduk sendirian di bawah pohon randu. Buku tulisnya terbuka, coretan kata-kata memenuhi halaman. Kadang ia mengerutkan dahi, kadang ia menulis cepat lalu mencoretnya lagi.

“Aku capek, pohon…” katanya pelan, menyandarkan kepala di batang. “Teman-temanku bilang aku aneh. Mereka nggak suka aku menulis puisi. Katanya, cowok seharusnya main bola, berantem, atau minimal jago bercanda. Aku… nggak bisa.”

Angin bertiup lembut, menyapu rambutnya. Daun-daun randu berdesir, seolah memberikan jawaban.

Di antara semak-semak dekat akar, Aini berjongkok diam, tak berkedip menatapnya. Hatinya dipenuhi perasaan aneh: bahagia karena Andre mempercayainya, tapi juga sedih karena ia tidak bisa benar-benar hadir.

Malam Hari, Andre kembali duduk di jendela, menatap ke arah randu tua yang samar. Ia membawa gitar kecil, memetik senar seadanya. Nadanya sederhana, namun suara lirihnya menusuk malam.

“Kalau aku bisa terbang,

aku ingin hinggap di bahumu.

Kalau aku bisa menghilang,

aku ingin jadi bisikan di telingamu.”

Andre berhenti, tersenyum getir. “Hah… lagu ini jelek sekali. Tapi, setidaknya, aku bisa bilang ke seseorang—meski dia mungkin cuma bayangan.”

Tepat setelah itu, angin masuk lewat jendela, meniup rambutnya dengan lembut. Sehelai daun randu yang terbawa angin jatuh ke pangkuannya. Andre terdiam, memungut daun itu. Bibirnya bergetar, lalu tersenyum.

Dan malam demi malam berlalu.

Andre remaja tumbuh bersama “sesuatu” yang tak pernah ia lihat, tapi selalu ia rasakan. Ia bercerita tentang nilai sekolah, tentang gadis bernama Widia yang duduk di kelasnya, tentang mimpinya suatu hari menulis buku.

Dan Aini, dari balik bayangan, mendengarkan semuanya. Ia tahu, cepat atau lambat, Andre akan jatuh cinta pada manusia lain. Tapi untuk saat itu, ia puas hanya dengan menjadi pendengar setia.

Di hatinya yang tak lagi berdetak, Aini tahu satu hal: ia mulai mencintai bocah manusia itu. Cinta yang tumbuh dari diam, dari bisikan angin, dari daun randu yang jatuh di pangkuan.

 

Empat tahun telah berlalu sejak Andre remaja sering duduk di jendela kamarnya, membaca puisi dan melantunkan nada kecil untuk pohon randu tua di tepi Sungai Kapuas Kecil. Kini ia sudah beranjak dewasa. Tubuhnya lebih tegap, wajahnya mulai menampakkan ketampanan muda yang sering membuat orang menoleh dua kali. Namun sorot matanya masih sama—sorot mata yang selalu menyimpan sesuatu di dalam diam.

Andre sudah 18 tahun dan duduk di bangku SMA kelas akhir. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan buku, catatan puisi, atau gitar tua yang setia menemaninya. Teman-temannya tak lagi mengejeknya sekeras dulu. Mereka tahu Andre berbeda, dan meski tetap dianggap “aneh,” diam-diam mereka kagum pada keberanian Andre untuk tetap menjadi dirinya sendiri.

Namun, di balik itu semua, satu hal baru tumbuh dalam hatinya: cinta pertama.

Cahaya bulan purnama menyoroti batang pohon randu yang semakin renta. Akar-akarnya yang menonjol semakin dalam mencengkeram tanah, seolah melawan waktu. Andre berdiri di bawah pohon itu dengan kertas di tangannya. Nafasnya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena perasaan yang menumpuk di dada.

Ia membuka lipatan kertas dan mulai membaca. Suaranya pelan, namun penuh rasa.

“Aku melihatmu di tepi jalan,

senyum sederhana yang menyalakan dunia.

Matamu—sejernih sungai di pagi hari,

membuatku ingin berenang dan tak kembali.”

Ia berhenti sejenak, menatap ke arah langit. Lalu melanjutkan lagi dengan nada yang lebih dalam.

“Namamu bergetar di dadaku,

seperti doa yang tak henti kupanjatkan.

ah, mungkinkah kau mendengar?

Puisi ini hanyalah pintu yang kutempa dari kata-kata,

berharap suatu hari kau membukanya.”

Andre menutup kertas itu, menatap pohon randu dengan mata berbinar. “Bagus juga, ya? Semoga dia suka.”

Dari balik bayangan, Aini terdiam.

Sejak sore enam tahun lalu, ia selalu mendengarkan setiap keluh kesah Andre. Ia menyimpan setiap kata, setiap bait, setiap nada gitar sederhana. Malam itu, ketika Andre melafalkan puisi dengan penuh rasa, hatinya bergetar. Ia merasa hangat, seolah cinta itu akhirnya dibalas.

“Akhirnya…” bisiknya pada dirinya sendiri. “Akhirnya kau katakan padaku.”

Aini menutup mata, membiarkan dirinya terhanyut dalam rasa yang sudah lama ia simpan. Ia membayangkan Andre melihat ke arahnya, mengulurkan tangan, lalu berkata bahwa semua puisi itu ditulis untuknya.

Namun bayangan itu buyar seketika.

Andre menyebut nama lain, nama seorang gadis desa “Widia”.

Aini membeku. Dadanya yang hampa terasa lebih kosong. Perasaan hangat yang baru saja muncul mendadak berubah jadi dingin.

“Widia…” ia mengulang nama itu dengan lirih, hampir seperti erangan.

Beberapa hari kemudian, Andre berdiri di depan kelas dengan tangan gemetar menggenggam selembar kertas. Suasana kelas yang biasanya riuh mendadak hening karena rasa penasaran.

Dengan suara bergetar namun penuh tekad, ia mulai membaca bait puisinya. Kata-kata cinta mengalir, sederhana tapi tulus, ditujukan kepada satu nama yang membuat dadanya bergetar setiap kali terucap.

Akhirnya, ia menatap lurus ke arah bangku deretan tengah.

“Widia,” ucap Andre dengan berani, “semua puisi ini… hanya untukmu.”

Sejenak kelas terdiam.

Namun tawa pecah beberapa detik kemudian.

“Ya ampun, Ndre! Seriusan?” teriak salah satu teman.

“Hahaha! Puitis banget, kayak di sinetron!”

Andre mencoba mengabaikan ejekan itu. Pandangannya tak lepas dari Widia, berharap ada sedikit senyum, atau setidaknya tatapan hangat.

Tapi Widia menegang, wajahnya berubah merah bukan karena terharu, melainkan malu dan jijik.

“Ndre… jangan gila deh,” ucapnya pelan tapi tajam, cukup keras untuk didengar seisi kelas.

Suara tawa makin membahana. Ada yang bersiul, ada yang menepuk-nepuk meja.

Andre berdiri kaku, wajahnya memanas, tenggorokannya tercekat. Kata-kata Widia menusuk lebih dalam dari semua ejekan teman-temannya.

Ia mencoba tersenyum kecil, tapi bibirnya hanya bergetar. Hatinya hancur, seolah dunia benar-benar runtuh di hadapannya.

Malam di Andre duduk di bawah Pohon Randu, menatap kertas yang diremas di tangannya. “Aku… salah ya? Aku pikir, kalau aku tulis puisi, orang bisa mengerti apa yang aku rasakan. Tapi ternyata mereka cuma ketawa.”

Angin berembus. Daun randu gugur perlahan, jatuh di pangkuannya.

Andre mengangkat kepalanya, tersenyum samar. “Kau masih dengar aku, kan? Kau satu-satunya yang nggak ketawain aku.” Katanya kepada Pohon.

Aini mendidih di dalam diam.

Ia melihat Andre ditertawakan, cintanya diremehkan. Ia melihat Widia, gadis itu, hanya tertawa pelan alih-alih membela.

“Aku yang mendengarkanmu sejak kecil… aku yang menjaga setiap malammu… kenapa bukan aku?” Suaranya bergetar, meski tak ada manusia yang bisa mendengarnya.

Untuk pertama kalinya dalam sekian tahun, Aini merasa cemburu. Perasaan asing itu menusuk hatinya lebih tajam daripada kesepian yang ia alami sebelumnya.

Ia ingin tertawa seperti manusia, namun suaranya pecah menjadi isak. Ia ingin memeluk Andre, namun tangannya hanya menembus udara.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya juga, wajahnya yang biasanya teduh berubah muram. Aini mulai bertanya dalam dirinya: apakah cinta manusia selalu berakhir dengan luka—baik bagi yang hidup maupun bagi yang terperangkap di balik dunia yang berbeda?

Larut Malam Andre kembali ke kamarnya, duduk di jendela, menatap randu. Ia menggenggam kertas puisinya yang sudah kusut. “Aku nggak akan berhenti, pohon. Mungkin mereka ketawa, tapi aku yakin, suatu hari nanti, ada yang bisa menghargai.”

Ia lalu tertidur di kursi, kepalanya bersandar pada bingkai jendela.

Di luar, Aini berdiri di balik bayangan, menatap wajahnya yang damai. Ia ingin berkata bahwa puisinya sudah dihargai—oleh dirinya, pendengar abadi yang selalu ada. Namun ia tahu, meski Andre mengaku berbicara dengan pohon, cintanya kini sudah tertambat pada manusia.

Malam itu, Aini berjanji pada dirinya sendiri: jika Andre terus disakiti karena cintanya, ia tidak akan tinggal diam.

Namun jauh di lubuk hatinya, ia juga tahu, cemburu bisa membuatnya kehilangan dirinya sendiri.

 

Andre berdiri di bawah pohon randu tua. Kertas lusuh tergenggam erat di tangannya. Matanya menatap kosong ke arah Sungai Kapuas Kecil yang mengalir tenang, namun di dalam dadanya, badai tak kunjung reda.

Ia menulis lagi. Puisi-puisi cinta, sederhana tapi penuh kerinduan. Dan semuanya masih tentang Widia. Gadis yang ia kagumi sejak lama. Gadis dengan rambut panjang hitam pekat, kulit sawo matang, dan tawa yang kadang membuat Andre lupa akan sunyinya dunia.

Sore itu, ia berjanji pada dirinya: ia harus mencoba sekali lagi. Walaupun dulu Widia menolaknya, meski ia ditertawakan, ia tak ingin menyerah. “Kalau aku nggak bilang sekarang, aku bakal nyesel seumur hidup,” gumamnya pada diri sendiri.

Keesokan harinya di sekolah, suasana kelas riuh oleh obrolan remaja menjelang kelulusan. Andre berdiri di depan pintu, napasnya pendek-pendek. Ia menatap ke arah Widia yang duduk bersama teman-temannya, Erwin dan Rafli ikut mengobrol di barisan belakang. Rendy melirik Andre dengan tatapan penasaran.

Andre melangkah pelan menuju meja guru yang kosong, lalu menepuk-nepuk kertas di tangannya. “Aku… mau baca sesuatu,” ucapnya lirih.

Teman-temannya langsung bersorak. “Wah, si penyair datang lagi!” teriak seseorang. Suara tawa menggema, membuat wajah Andre merona, tapi ia mencoba menahan rasa malu.

Ia mulai membaca. Suaranya serak tapi mantap, mengalirkan bait-bait yang penuh perasaan. Tentang hujan yang jatuh di sore hari, tentang hati yang tak pernah jemu menunggu, tentang seorang gadis yang jadi alasan ia menulis.

Mata Andre menatap Widia. Di bait terakhir, ia memberanikan diri. “Dan semua ini… aku tulis untukmu, Widia. Aku suka sama kamu.”

Kelas hening sesaat. Semua mata memandang ke arah Widia, menunggu jawabannya.

Widia mengerjap, wajahnya kaget, lalu tawa kecil lolos dari bibirnya. “Andre…” katanya pelan, namun suaranya terdengar jelas di ruangan yang tegang itu. “Kamu pikir ini romantis? Ini malah bikin aku malu. Kamu aneh, tahu nggak?”

Tawa teman-temannya meledak lagi, lebih keras dari sebelumnya. “Hahaha! Kasian banget, ditolak lagi!” seru seorang murid. Ada yang menirukan gaya Andre membaca puisi dengan nada berlebihan.

Widia menutupi wajahnya, tapi bukan karena terharu. Ia menunduk, menertawakan Andre di depan semua orang. “Serius, Ndre… jangan bikin aku jadi bahan gosip. Aku nggak suka sama kamu, apalagi dengan cara begini. Puisi? Itu norak banget.”

Andre terpaku. Kata-kata itu menghantam dadanya lebih keras daripada ejekan yang lain. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Tangannya gemetar, kertas puisi itu akhirnya jatuh ke lantai.

Ia mencoba tersenyum pahit, namun tak ada yang bisa menyembunyikan luka di matanya. “Oh… iya, maaf,” katanya singkat, lalu bergegas keluar kelas. Tawa teman-temannya masih menggema hingga ke lorong sekolah.

Malamnya, Andre kembali duduk di bawah pohon randu. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan gerimis tipis yang turun dari langit. Ia meremas tanah, berusaha menahan rasa sakit di dadanya. “Kenapa harus seburuk ini?” bisiknya.

Dari balik pohon, ada angin yang berputar pelan. Daun-daun bergerak meski udara malam begitu tenang. Aini ada di sana, mendengarkan setiap keluhan Andre. Ia merasakan luka itu, luka yang sama pernah ia rasakan sebelum menjadi sosok tak kasatmata.

Rasa iba berubah menjadi amarah. Baginya, Andre adalah satu-satunya manusia yang pernah menganggap keberadaannya nyata. Ia tak rela cintanya dipermainkan, meski oleh seorang gadis biasa bernama Widia.

Malam-malam setelahnya, Widia mulai diganggu. Saat hendak tidur, ia mendengar bisikan samar di telinganya. “Kamu menertawakan dia…” Suaranya pelan, tapi menusuk. Widia membuka mata, namun tak ada siapa-siapa.

Di malam berikutnya, ia bermimpi dikejar bayangan perempuan berambut panjang. Saat terbangun, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia tak berani bercerita pada siapapun.

Di sekolah, tatapannya sering kosong. Setiap kali melihat Andre, ia merasa seperti ada sosok lain yang ikut memperhatikan, dari sudut mata yang tak bisa ia jelaskan.

Andre sendiri semakin larut dalam kesepian. Ia berhenti menulis puisi. Setiap kali menatap kertas kosong, ia hanya melihat wajah Widia yang menunduk sambil menertawakannya. Luka itu menempel seperti duri yang tak bisa dicabut.

Namun di balik sunyi, ada satu yang setia: Aini. Ia tidak pernah menampakkan wujud, namun kehadirannya semakin nyata. Angin yang selalu datang saat Andre menangis, dedaunan yang berguguran ketika ia termenung, semuanya adalah tanda bahwa ia tidak sendirian.

Hanya saja, Andre tidak pernah tahu bahwa kesetiaan itu datang bersama murka. Murka yang kini pelan-pelan membayangi Widia, mengintainya di setiap mimpi, menjeratnya dengan rasa takut yang semakin dalam.

Dan sejak malam itu, cerita cinta Andre tidak lagi sekadar tentang puisi dan tawa, melainkan juga tentang bisikan samar yang tak henti mengikuti mereka semua.

 

Malam itu Sungai Kapuas Kecil mengalir perlahan, seperti pita hitam yang diam-diam menelan cahaya bulan. Airnya memantulkan kilau pucat, di sela-sela kabut tipis yang menggantung rendah. Di tepi sungai, Andre berdiri dengan jaket lusuh menempel di tubuhnya, wajahnya pucat dan matanya kosong.

Sudah berhari-hari ia tidak tidur nyenyak. Sejak kejadian di sekolah, dunia serasa menutup pintu untuknya. Teman-temannya menjauh, bahkan Erwin dan Rendy mulai jarang menyapanya. Widia pun tak pernah lagi menatapnya, seolah Andre tak pernah ada. Luka yang dulu hanya menggores kini menjadi lubang besar yang menganga.

Andre menatap air sungai yang tenang. “Aku capek…” gumamnya. Ia melangkah lebih dekat ke tepian, ujung sepatunya menyentuh lumpur basah. Suara air yang memukul batang pohon randu di dekat situ terasa seperti bisikan yang mengundangnya untuk melompat.

Di balik bayangan pohon itu, Aini memperhatikan. Sosoknya samar, seperti kabut yang mengambil bentuk tubuh perempuan. Rambut panjangnya tergerai, gaun putihnya berkibar oleh angin malam. Matanya redup, penuh kebimbangan.

Sejak Andre kecil, ia hanya menjadi pengamat, pelindung diam-diam yang tidak pernah berani menampakkan diri. Tapi malam ini, ada dorongan asing di dalam dirinya. Dorongan yang jahat. “Kalau dia mati sekarang… aku bisa bersamanya. Tak ada lagi dunia yang memisahkan,” bisik hatinya.

Ia melangkah pelan mendekat. Kabut di sekitar Andre terasa makin tebal. Angin berputar, daun-daun randu jatuh bertubi-tubi. Andre mengangkat wajahnya, merasakan hawa dingin yang menusuk tulang.

Bayangan samar itu muncul di hadapannya. Mata hitam besar, rambut panjang tergerai, wajah cantik namun pucat seperti porselen yang retak. Itu pertama kalinya Aini berani memperlihatkan dirinya, meski hanya sekejap.

Andre terdiam, jantungnya berdetak cepat. Ada rasa takut yang aneh bercampur dengan ketenangan. Sosok itu tidak mengancam, hanya menatapnya. Aini mengulurkan tangan samar yang tak bisa disentuh. “Aku di sini…” bisiknya lirih, suara yang selama ini hanya berupa hembusan angin. Lalu menghilang lagi.

Dalam hatinya, keinginan gelap berdesir lagi. Ia bisa menarik Andre sedikit saja, membiarkannya jatuh ke sungai. Lalu selesai. Ia akan mendapatkan Andre selamanya. Tapi bersamaan dengan itu, rasa bersalah yang telah lama ia kubur bangkit, menjeratnya.

Sementara itu, di rumahnya, Widia tidak tidur. Sudah seminggu ini ia dihantui suara-suara yang datang dari kegelapan. Bisikan perempuan di telinganya, tangisan samar di sudut kamarnya. Mimpi-mimpi buruk terus datang: ia melihat wajah perempuan berambut panjang, matanya tajam, gaunnya berlumur bayangan.

Suatu malam, Widia terbangun dan mendapati sosok itu berdiri di pojok kamarnya. Samar tapi jelas. Perempuan berambut panjang, pucat, dengan mata yang berkilau marah. Widia berteriak, tubuhnya gemetar hebat.

Sosok itu — Aini — tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap tajam, seolah ingin menanamkan rasa takut paling dalam. Piring di meja jatuh sendiri, pintu berderit meski tertutup rapat. Widia menjerit, memeluk dirinya, tubuhnya limbung antara sadar dan tidak.

Hari-hari setelahnya, Widia tampak linglung di sekolah. Matanya merah, wajahnya pucat. Ia mulai mengigau di kelas, kadang menoleh seperti melihat sesuatu yang orang lain tak lihat. Rafli berbisik pada Rendy, “Dia kenapa, ya? Kok kayak gitu?” Rendy hanya mengangkat bahu.

Aini merasa puas untuk sesaat. Murkanya tumpah, dan Widia kini hampir gila. Tapi kepuasan itu segera berubah jadi kehampaan. Ia melihat Andre makin hancur, makin terasing. Dan Widia yang ia sakiti bukanlah jawaban.

Kembali di tepi Sungai Kapuas Kecil, Andre berdiri di ujung tepian. Tangannya gemetar, wajahnya basah oleh air mata. “Aku cuma pengen semuanya berhenti…” bisiknya. Pandangannya kosong menembus ke dalam air gelap yang berputar pelan, seolah menantinya.

Dalam keheningan itu, tiba-tiba ada suara samar yang menyusup ke dalam pikirannya. Bukan dari luar, melainkan dari dalam kepalanya sendiri. Suara lembut, lirih, seperti desir angin malam. “Jangan…”

Andre terkejut. Ia menoleh ke kiri dan kanan, tapi tak ada siapa-siapa. Hanya suara air dan gesekan dedaunan. Namun suara itu kembali terdengar, lebih jelas. “Kamu nggak sendirian… jangan lakukan ini.”

Dadanya berguncang. Andre menahan napas, merasa seolah ada sesuatu yang menahan kakinya. Angin tiba-tiba berhenti berhembus, dan daun-daun randu jatuh pelan ke tanah, seperti air mata yang menetes dari langit.

Andre mundur satu langkah dari tepian, tubuhnya gemetar. Ia tidak tahu dari mana suara itu berasal, apakah halusinasinya, ataukah sekadar bayangan dari pikirannya yang kusut. Tapi satu hal pasti: suara itu membuatnya menunda langkah terakhirnya.

Aini mundur perlahan, tubuhnya kembali menyatu dengan kabut. Murkanya pada Widia menghilang, tergantikan rasa bersalah yang berat. Ia tahu ia telah menakuti gadis itu, ia tahu ia hampir saja membiarkan Andre mati. Tapi ia juga tahu, ia tidak sanggup melihat kematian Andre.

Malam itu, Andre duduk bersandar pada batang pohon randu, menangis dalam diam. Aini tetap di sana, tak kasatmata, hanya angin yang mengusap wajahnya. Di hatinya, ia berjanji: ia tak akan mengganggu Widia lagi. Ia juga tak akan menyeret Andre ke dalam dunianya.

Ia hanya akan jadi bayangan, seperti semula. Menemani dari kejauhan, tanpa pernah benar-benar memiliki. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Aini merasa ia sedang belajar mencintai dengan cara yang paling menyakitkan — melepaskan.

 

Malam bergeser menuju dini hari. Kabut sungai makin tebal, menyelimuti tepian Kapuas Kecil. Andre masih berdiri limbung, napasnya tersengal setelah hampir saja melangkah ke dalam air yang pekat. Kakinya lemas, pikirannya penuh gema suara samar yang baru saja menahannya.

Tangannya meraba saku jaket, dan tanpa sadar ia mengeluarkan buku kecil yang selalu ia bawa: buku puisinya. Kertasnya sudah kusam, banyak coretan tinta yang tidak rapi. Begitu jatuh ke tanah, buku itu terbuka sendiri, terbawa angin yang tiba-tiba berembus. Halamannya berhenti pada sebuah puisi lama—puisi yang ia tulis di bawah pohon randu bertahun lalu.

“Tentang cinta yang tak terlihat… tapi nyata,” Andre membaca pelan, suaranya parau. Jari-jarinya bergetar menyentuh huruf-huruf yang dulu ia tulis dengan polos. Air matanya menetes, membasahi kertas.

Seakan ada yang mengatur, halaman itu seolah menjadi jawaban. Andre terdiam. Dadanya sesak, tapi bukan hanya karena sakit—melainkan karena perasaan hangat yang tiba-tiba muncul, perasaan bahwa sejak dulu ada sesuatu yang menemaninya, mendengar keluh kesahnya, meski ia tak pernah tahu wujudnya.

Ia menutup wajah dengan kedua tangan. Tangisnya pecah. “Aku nggak sendirian… aku nggak pernah sendirian…”

Sementara itu, di balik kabut, Aini berdiri diam. Rambut panjangnya melayang pelan, gaun putihnya nyaris menyatu dengan udara. Ia tahu Andre tidak melihatnya, tidak akan pernah melihatnya. Tapi cukup baginya mendengar isakan itu berubah jadi rasa lega, cukup baginya melihat Andre memilih bertahan.

Langit mulai berpendar biru pucat. Suara azan subuh dari surau kecil di seberang sungai terdengar lirih, dibawa angin pagi. Andre duduk lemas di bawah pohon randu, menatap sungai yang kini perlahan diterangi cahaya fajar. Ia menatap batang pohon itu, lalu mengusapnya pelan.

“Terima kasih… karena selalu mendengar aku,” ucapnya dengan suara serak. Senyum tipis muncul di bibirnya, meski matanya masih sembab.

Dari kabut, Aini menatap Andre dengan mata basah. Ia ingin menyentuh, ingin merengkuh, ingin mengatakan bahwa dialah yang selama ini mendengar, yang selama ini menjaga. Tapi ia tahu batas antara dunia mereka tak akan pernah bisa ditembus.

Maka ia hanya berbisik lirih, begitu halus sehingga hanya angin yang mengerti: “Cinta tidak harus memiliki… cukup menjadi alasan seseorang bertahan.”

Andre menatap pohon randu sekali lagi, seakan mendengar sesuatu, lalu menarik napas panjang. Ada keheningan yang menenangkan, bukan lagi kosong.

Fajar pun datang sepenuhnya, mengusir kabut malam. Pohon randu berdiri kokoh di tepi sungai, menjadi saksi dari cinta yang tak pernah terlihat, tapi nyata adanya.

Dan Aini, dengan senyum tipis penuh kepasrahan, menerima takdirnya: bahwa mereka tak bisa bersama, karena dunia mereka berbeda. Namun cintanya—seperti angin yang berhembus di sela dedaunan randu—akan tetap abadi dalam diam.

Share: