Langkah Terakhir Robert



Omaha, Nebraska 2011

Udara mengiris kulit, menyisakan embun tipis di kaca jendela sekolah Ben High. Di lapangan parkir, suara mesin mobil para orang tua perlahan menjauh, meninggalkan aroma bensin yang menggantung di udara beku.

Lorong sekolah masih lengang. Hanya suara langkah sepatu — tap… tap… tap… — bergema pelan dari ujung koridor. Langkah itu ritmis, tenang, hampir seperti detak jam tua di ruang kepala sekolah. Robert. Tubuhnya kurus, bahunya membungkuk sedikit karena beban ransel hitam di punggung. Ia berjalan lurus, tanpa tergesa, tanpa ragu.

Cahaya neon di langit-langit berkelip, menimbulkan bayangan panjang di lantai licin. Matanya kosong — bukan tatapan dingin, tapi tatapan orang yang sudah tidak di sini. Tangannya bergetar halus, tapi ia genggam erat tali ransel, seolah menggenggam kendali terakhir atas sesuatu yang akan segera hilang.

Bel sekolah berbunyi.

Jerit besi dari speaker tua itu memantul di dinding, memecah kesunyian. Suara pintu-pintu kelas terbuka, langkah-langkah riuh, tawa, percakapan remaja. Lorong tiba-tiba hidup. Seolah dunia masih normal.

Robert berhenti sejenak di depan loker nomor 312.

Di dinding atasnya ada tulisan spidol: “LOSER.”

Ia menatapnya lama. Nafasnya berat, lalu tenang kembali. Ia menurunkan ransel, membuka resleting perlahan.

Beberapa siswa lewat, tak memperhatikan. Seorang gadis sempat meliriknya — hanya sebentar, lalu berlalu dengan headphone di telinga. Musik bocor samar: Pumped Up Kicks terdengar lirih.

Robert membuka ranselnya sepenuhnya. Suara logam bergesek halus. Sesuatu yang dingin dan berat.

Lalu — DOR!

Satu letusan memecah udara, bergema keras di antara locker. Beberapa siswa menoleh, bingung. Teriakan pertama terdengar lima detik kemudian — seorang anak laki-laki jatuh, darah menetes dari bahunya.

Lorong yang tadi penuh tawa berubah jadi jeritan dan langkah panik. Buku-buku beterbangan, pintu-pintu kelas dibanting.

“Ada penembak! ADA PENEMBAK!”

Suara-suara tumpang tindih. Seseorang memukul alarm kebakaran, sirene melolong panjang. Robert bergerak maju, tenang seperti sedang berjalan di mimpi. Ia menembak lagi. Sekali. Dua kali. Setiap dentuman terdengar seperti retakan di kaca besar.

Tiga anak laki-laki dari tim basket — Travis, Jake, dan Derek — berlari ke arah tangga. Robert mengangkat senjatanya, menembak tanpa bicara. Tubuh Travis terpental ke belakang, darah menodai dinding. Jake mencoba menolong, tapi peluru kedua menghentikannya. Derek berlari zig-zag, tapi tersandung troli pembersih. Letusan ketiga — hening sejenak, lalu jatuh.

Suara tangisan terdengar dari ruang kelas 2B. Guru sejarah, Mrs. Lillian, menahan napas di balik pintu sambil menekan mulut murid-muridnya agar tidak bersuara. Langkah kaki Robert mendekat. Bayangannya melintas di bawah celah pintu — perlahan, lalu berhenti. Hanya bunyi pernapasan di luar. Seseorang di dalam menahan isak.

Robert menembak gagang pintu. Pintu terbuka setengah, suara teriakan pecah seperti kaca. Ia menatap sebentar, lalu menembak sekali lagi ke arah papan tulis. Kapur dan debu beterbangan seperti salju putih. Ia berbalik tanpa bicara, melanjutkan langkahnya.

Lorong kini penuh asap tipis dari bubuk mesiu. Lantai licin oleh darah dan air dari sprinkler yang otomatis menyala. Sinar lampu merah berkedip dari sirene kebakaran — menimbulkan ilusi dunia berdenyut, seolah sekolah itu hidup dan sekarat sekaligus.

Di ruang kantin, puluhan siswa berdesakan di bawah meja. Ada yang menelpon 911 sambil gemetar, ada yang hanya memeluk lutut, bibirnya berkomat-kamit memanggil nama ibu. Di luar jendela, cahaya biru dari mobil polisi mulai menembus kabut.

Suara di pengeras sekolah berderak hidup:

“Ini bukan latihan. Semua siswa diminta bersembunyi dan menjauh dari jendela. Ini bukan latihan—”

Suara itu terpotong oleh letusan dari arah lorong timur.

Di aula, seorang guru laki-laki, Mr. Connor, mencoba menarik beberapa siswa keluar lewat pintu darurat. Robert muncul di ujung koridor. Tatapan mereka bertemu sesaat. Tidak ada kata. Tidak ada amarah. Hanya sepi.

Letusan keempat — Mr. Connor jatuh. Satu siswa berteriak, lalu ditarik kembali oleh teman-temannya. Pintu darurat terbuka setengah, udara dingin menerpa masuk.

Dunia seperti berhenti beberapa detik. Hanya detak sepatu Robert dan gemericik air dari sprinkler yang masih menetes di lantai.

Ia melangkah ke ruang seni. Lukisan-lukisan siswa menggantung di dinding — potret keluarga, pemandangan, gambar kartun. Satu peluru nyasar menembus kanvas bergambar langit biru, meninggalkan lubang hitam di tengah matahari.

Suara sirene semakin dekat. Helikopter mulai terdengar di atas gedung. Robert berhenti di tengah koridor. Ia memejamkan mata. Di kejauhan, suara siswa menjerit, “Dia di sini! Dia di sini!”

Tangannya perlahan menurunkan senjata. Nafasnya berat, napas yang penuh debu, keringat, dan logam. Ia melangkah menuju pintu keluar depan.

Di luar, jalan sudah dipenuhi mobil polisi. Lampu-lampu merah dan biru berputar di udara berkabut. Angin dingin memukul wajahnya, membawa aroma besi dan mesiu.

Robert berhenti di tangga sekolah, menatap dunia yang hening di depannya.

Kemudian — ia meletakkan senjatanya di lantai, mengangkat kedua tangannya. Tak ada perlawanan. Tak ada kata.

Polisi berteriak, “Tiarap! Letakkan senjata!”

Tapi ia sudah melakukannya sebelum diperintah.

Satu per satu, petugas mendekat, menekuk tubuhnya ke tanah, memborgol tangannya. Kamera berita dari jauh menangkap momen itu: seorang remaja berwajah pucat, mata kosong yang dingin dan beku. Di belakangnya, sekolah Ben High terbakar oleh lampu darurat dan tangisan. Dan di udara, sirene masih melolong — panjang, menusuk, seolah kota itu menjerit bersama mereka.

 

Lampu neon di langit-langit mendengung pelan, seperti suara lebah yang terjebak di dalam toples kaca. Cahayanya putih, dingin, tak bersahabat. Dinding ruangan berwarna abu-abu pucat; catnya mulai mengelupas di beberapa sisi, meninggalkan bekas lembap seperti peta yang tak ingin dibaca siapa pun.

Suara tetesan air dari pendingin udara terdengar di sudut ruangan — tik… tik… tik… — membentuk ritme yang konstan, tak pernah berhenti. Di tengah ruangan, ada meja besi dengan dua kursi berhadapan. Satu diisi oleh Detektif Harold McLean, pria berusia lima puluh-an, wajahnya keras dan letih, jari-jarinya mengetuk meja tanpa sadar. Di seberangnya duduk Robert.

Anak itu masih mengenakan pakaian saat tragedi itu berlangsung — kaos putih dengan jaket abu-abu, noda darah di bagian lengan, dan wajah tanpa ekspresi. Tangannya diborgol, namun ia duduk tenang, matanya menatap kosong pada titik di dinding yang entah apa. Tidak kejam. Tidak menyesal. Hanya… hampa.

Detektif McLean membuka map berisi foto-foto dari lokasi kejadian. Ia menatapnya sejenak, lalu menutupnya perlahan.

“Kenapa kau melakukannya, Robert?”

Tak ada jawaban. Hanya suara napas mesin pendingin yang berat, dan tetesan air yang terus jatuh.

Detektif mencondongkan tubuh. “Tiga temanmu tewas. Dua lainnya sekarat. Seorang guru tak akan bisa berjalan lagi seumur hidup. Jadi aku tanya lagi—kenapa?”

Robert menatapnya pelan. Di matanya, ada sesuatu yang samar—bukan kesedihan, bukan kemarahan, tapi seperti bayangan lama yang baru saja menampakkan diri. Ia mengedip sekali, dan dunia seolah meluruh.

Kilas balik.

Rumah itu bergetar oleh suara hujan. Tahun 2004. Malam pekat, jam menunjukkan hampir tengah malam. Robert kecil, usia 10 tahun, terbangun dari kamarnya di lantai dua, dengan selimut tipis di bahunya. Televisi di ruang tamu masih menyala tanpa suara. Ia menatap ke bawah, mendengar suara aneh dari kamar ibunya.

Suara desah samar dan bunyi tempat tidur berderit.

Robert menelan ludah. Ia berjalan mendekat, berhenti di depan pintu yang sedikit terbuka. Dari celah itu, ia melihat punggung seorang pria — bukan ayahnya — dan ibunya yang sedang terengah-engah. Cahaya lampu meja menyoroti kulit mereka, membuat semuanya terlihat seperti mimpi yang tak pantas untuk ditonton anak seusianya.

Pintu mendadak terbuka lebar. Didorong ayahnya yang tiba-tiba muncul di samping robert, wajah merah padam, napas memburu.

“APA INI?!”

Jeritan itu memecah malam. Pria bernama Eric buru-buru menarik celananya, melompat lewat jendela samping. Ibunya menjerit, menarik selimut menutupi tubuhnya. Robert membeku di tempat, tangannya gemetar.

Ayahnya menoleh padanya — tatapan itu tajam, penuh rasa malu dan kebencian yang bercampur.

“Masuk ke kamarmu!”

Robert tidak bergerak. Ia hanya memandangi ibunya yang menangis. Ayahnya mendekat, menampar wajahnya keras. “Kau dengar, hah?! Masuk ke kamar!”

Ia berlari menaiki tangga. Tapi dari atas, ia masih bisa mendengar suara pertengkaran yang makin brutal — piring pecah, jeritan, suara pintu dibanting keras.

Lalu hening.

Hanya hujan yang menetes di luar jendela.

Pagi harinya, ibu pergi. Kamar berantakan. Tak ada surat. Tak ada pesan.

Beberapa minggu setelah itu, ayahnya jarang pulang. Kadang muncul tengah malam dalam keadaan mabuk, membawa bau alkohol yang menusuk. Di tangan kirinya selalu ada botol bir, di tangan kanan — sabuk kulit.

Suatu malam, Robert memecahkan gelas ketika sedang mencuci piring. Pecahan kaca kecil melukai jarinya, darah menetes ke lantai. Ayahnya datang dengan langkah berat.

“Apa ini?”

“Maaf, aku—”

“Kau pikir uang jatuh dari langit, hah?”

Tangan besar itu menampar pipinya. Sekali, dua kali. Robert terhuyung.

“Kau mirip ibumu,” kata sang ayah dengan suara serak. “Lemah. Pengecut.”

Malam itu, Robert menangis diam-diam di kamar. Ia menatap langit-langit yang retak dan berpikir betapa sunyinya dunia ini ketika orang yang seharusnya melindungi justru jadi monster dalam bayangan lampu malam.

 

Suara detektif menariknya kembali ke masa kini.

“Kau tahu apa yang kau lakukan itu salah, kan?”

Robert masih menatap titik di dinding. Tangannya yang diborgol sedikit bergerak — tidak untuk melawan, tapi seperti ingin mengingat sesuatu yang dulu pernah ia genggam: mungkin tangan ibunya.

“Mereka bilang kau pendiam di sekolah,” lanjut detektif. “Tidak pernah bikin masalah. Tidak ada catatan buruk. Lalu kenapa hari itu kau bawa senjata dan menembak teman-temanmu sendiri?”

Robert menunduk. Suaranya pelan, hampir seperti gumaman yang terbang bersama dengung lampu.

“Karena mereka tidak tahu.”

Detektif mengernyit. “Tidak tahu apa?”

Robert mengangkat kepalanya perlahan. Untuk pertama kalinya, matanya berisi sesuatu — campuran getir antara kesadaran dan kehancuran.

“Tidak tahu rasanya jadi aku.”

Keheningan panjang. McLean menatapnya, mencari sedikit penyesalan, tapi yang ia temukan hanya kelelahan. Seolah anak itu telah menghabiskan seluruh tenaganya hanya untuk duduk di kursi itu, menghadapi pertanyaan yang sudah tak berarti.

Robert menatap langit-langit. Cahaya putih lampu neon membuat wajahnya tampak pucat seperti kapur. Dalam pantulan cahaya di matanya, ada bayangan masa kecil yang jauh — ruang tamu berantakan, hujan, ayah yang berteriak, ibu yang pergi.

“Aku tidak pernah ingin jadi seperti mereka,” katanya lirih. “Tapi mereka terus membuatku seperti ini.”

Kata-kata itu jatuh pelan, tapi menusuk.

McLean menatap anak itu lama, kemudian menutup map di hadapannya. Ia mematikan perekam suara, berdiri tanpa berkata apa pun.

Suara pintu besi berderit saat ia keluar. Robert tetap duduk. Tetap menatap dinding kosong.

Lampu di atas kepalanya terus berdengung. Tetesan air masih jatuh perlahan dari AC.
Dan di luar ruangan itu, dunia berjalan seperti biasa — tak menyadari betapa sunyinya kepala seorang anak yang baru saja menghancurkan segalanya hanya untuk membuat dunia mendengarnya sekali saja.

 

6 Bulan sebelum tragedi.

Langit Omaha tampak seperti lembar kertas abu-abu kusam pagi itu. Embun menempel di kaca jendela kelas seni, memburamkan dunia di luar. Di dalam ruangan, aroma cat air dan debu pensil bercampur dengan bau kertas basah. Suara gesekan arang di atas kertas terdengar lembut, hampir seperti bisikan.

Robert duduk di pojok ruangan, di meja paling dekat dengan dinding. Ia menggambar sesuatu—bukan wajah, bukan pemandangan, tapi bentuk-bentuk abstrak seperti pusaran angin. Sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh orang yang terlalu sering tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Guru seni, Mrs. Harper, sedang berjalan memeriksa hasil kerja siswa. Ketika ia berhenti di meja Claire Hudson, semua mata menoleh. Claire dikenal hampir semua orang: rambut pirang keemasan, kacamata hitam tipis, cara bicara yang lembut tapi tegas. Ia bukan tipe gadis populer yang sombong—lebih seperti seseorang yang tulus, namun tak sadar betapa terang cahayanya di ruangan yang kusam.

Pensil Robert terjatuh ke lantai dan berguling ke bawah meja Claire. Ia berjongkok pelan hendak mengambil, tapi lebih dulu tangan lain menyentuh pensil itu. Claire menunduk, tersenyum kecil sambil menyerahkan benda itu.

“Ini punyamu, kan?”

Robert hanya mengangguk, jantungnya berdetak cepat entah kenapa.

“Terima kasih,” ucapnya pelan.

Claire tersenyum. “Sama-sama.”

Itu saja.

Tapi bagi Robert, itu seperti seseorang menyalakan lampu kecil di ruang gelap yang selama ini ia tempati sendirian.

Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, sudut bibirnya sedikit terangkat.

Travis Nichols, yang duduk di sisi lain ruangan, memperhatikan semuanya. Kapten tim basket, rambutnya dipotong rapi, senyum sok ramah yang sering membuat para guru percaya ia “anak baik.” Tapi di baliknya, Travis terbiasa mengatur siapa boleh dekat dengan siapa, dan siapa “sampah.”

Ia melihat cara Robert menatap Claire. Ia tidak suka. Ia bersiul pelan ke arah teman-temannya — Jake dan Derek — lalu menirukan gaya Robert dengan wajah dibuat kikuk.

“Hei Claire,” katanya dengan nada melambai, meniru suara lembut Robert. “Mau ikut dengar lagu sedihku sambil gambar pusaran hitam?”

Tawa kecil terdengar dari pojok kelas. Robert menunduk, wajahnya memanas. Claire menatap Travis kesal, tapi tidak berkata apa-apa.

Hari-hari berikutnya, ejekan kecil itu tumbuh seperti jamur di musim hujan. Di kantin, di lorong, di lapangan.

“Si penyendiri naksir Claire!”

“Lihat, Romeo versi gagal!”

Kadang Robert mencoba tidak peduli, menatap lantai, berjalan cepat. Tapi suara mereka terus mengikuti, seperti gema di kepala yang tidak bisa dimatikan.

Benjamin—satu-satunya teman yang ia punya—sering menemaninya duduk di bawah pohon dekat lapangan, makan siang sambil membaca buku komik. Benjamin bukan anak yang populer juga, tapi punya keberanian sederhana yang kadang jadi pelindung bagi Robert.

Suatu sore, ketika Travis dan gengnya lewat sambil tertawa, Benjamin berdiri.

“Kalian nggak capek ngelakuin itu terus?” katanya lantang.

Travis menatapnya dengan senyum miring.

“Capek? Belum, Ben. Masih seru.”

Jake mendorong bahu Benjamin ringan—cukup membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Derek merekam adegan itu dengan ponsel lipat kecil, merekam wajah Robert yang menunduk dan Benjamin yang berusaha menahan marah.

“Lihat kamera dong, Freak!” seru Jake. “Katakan: Aku cinta Claire, tapi Claire cinta Travis!”

Tawa mereka pecah.

Benjamin menarik tangan Robert dan pergi. Robert tak berkata apa-apa sepanjang jalan pulang, hanya mengepalkan tangan di dalam saku.

Malamnya, Benjamin mengirim pesan lewat SMS pendek:

“Udah, Rob. Mereka nggak pantas kamu pikirin. Fokus aja ke gambar atau musikmu.”

Robert menatap layar ponselnya lama, lalu meletakkannya di meja. Musik, ya…
Satu-satunya hal yang bisa menenangkan pikirannya.

Ia menekan tombol on/off di PC, menancapkan headset yang kabelnya terkelupas. Layar monitor menampilkan MySpace—dunia virtual tempat ia sering mendengarkan lagu-lagu indie atau berbagi karya sketsa digital. Lagu “Pumped Up Kicks” dari Foster The People baru saja viral tahun itu; iramanya ringan, tapi liriknya gelap—tentang anak yang menyimpan sesuatu berbahaya di kepalanya.

Robert mendengarkannya berulang kali. Entah kenapa, ada bagian yang terasa terlalu dekat:

“All the other kids with the pumped up kicks, you’d better run, better run, outrun my gun…”

Ia tidak berpikir untuk menyakiti siapa pun. Tidak saat itu. Tapi kalimat itu menempel di pikirannya, seperti bekas luka yang belum sembuh.

Keesokan harinya di sekolah, semua orang menatap Robert. Bisik-bisik di lorong, senyum sinis. Ia tahu sesuatu terjadi sebelum seseorang bahkan memberitahunya.

Di dinding loker ada tulisan spidol:

“THE FREAK LOVES CLAIRE.”

Benjamin berusaha membersihkannya, tapi terlalu banyak coretan.

Sore itu, saat Robert sampai rumah, ia membuka MySpace seperti biasa. Di halaman depan, ada tautan baru dari akun anonim: benhighfunnyvids. Judul videonya: “Si Freak dari Ben High.”

Klik.
Layar menampilkan video pendek: cuplikan dari kelas, rekaman saat Benjamin berteriak dan Robert menunduk. Potongan suaranya dibuat ulang, diedit dengan efek tawa latar, dan teks besar di bawahnya bertuliskan:

“FREAK IN LOVE.”

Komentar di bawahnya ratusan.

“Kasihan banget, suruh dia cari pacar di bawah meja aja.”

“Dia kayak psycho!”

“Claire better watch out!”

Robert membaca semuanya satu per satu. Tidak ada amarah di wajahnya, hanya kesunyian. Matanya kosong seperti saat menatap jendela ketika kecil dulu, mendengar pertengkaran orang tuanya.

Benjamin menelepon malam itu, tapi Robert tidak menjawab. Ia duduk di depan layar komputer, hanya mendengarkan suara kipas CPU yang berputar pelan. Cahaya monitor memantul di wajahnya yang pucat.

Sebuah lagu kembali berputar otomatis—Pumped Up Kicks.

Ketika bagian reff mengalun lagi, Robert menatap layar yang dipenuhi hinaan, lalu berbisik pelan,

“Mereka benar… aku memang aneh.”

Ia mematikan monitor. Kamar menjadi gelap. Dari luar, suara truk melintas di jalan beku.
Dari dalam, hanya ada napas tertahan yang lama… dan keheningan yang perlahan berubah jadi dingin.

Lampu kamar padam.

 

Rumah di ujung blok itu seperti tubuh tua yang sudah kehilangan napasnya. Cat dinding mengelupas, atap bocor, dan suara tikus kadang terdengar dari loteng. Tapi yang paling memekakkan bukan suara dari atas rumah — melainkan dari dalamnya sendiri.

Suara botol kaca yang dibanting. Suara langkah kaki berat. Dan teriakan nama yang tak lagi dijawab.

“Linda! Di mana kau, hah?!”

Suara itu menggelegar di ruang tamu. Lelaki setengah baya dengan kemeja lusuh berdiri terpaku di depan televisi yang suaranya sudah mati sejak musim panas lalu. Wajahnya merah, mata buram oleh alkohol. Tangannya gemetar memegang botol whisky yang tinggal setengah.

Di dapur, Robert mematung. Ia sudah menyiapkan makan malam sederhana — macaroni keju instan dan sedikit salad — sesuatu yang ia pikir cukup hangat untuk menenangkan ayahnya malam ini. Tapi begitu ia menaruh piring di meja, suara keras itu datang lagi.

“Apa ini, hah? Kau pikir kau bisa memperbaiki ini dengan makanan murahan?”

Robert menunduk, menahan napas.

Piring itu melayang — pecah di lantai.

Cipratan saus oranye menodai lantai dan celana panjangnya. Suara itu menggema dalam kepalanya lebih lama dari seharusnya. Tak ada yang berkata apa-apa setelah itu. Hanya bunyi tetesan air dari kran rusak dan desahan napas berat ayahnya yang mencoba membuka botol lagi.

Robert perlahan memunguti pecahan piring satu per satu. Jemarinya berdarah karena serpihan kecil. Tapi ia tetap melanjutkan — tenang, seolah sudah terbiasa.

Di luar jendela, cahaya lampu jalan masuk tipis ke ruang tamu. Di bawah sinar itu, wajah ayahnya tampak seperti bayangan seseorang yang tak lagi punya bentuk manusia — hanya kebencian yang tersisa.
Dan Robert, di sisi lain ruangan, berdiri tanpa kata. Ia tahu, apapun yang ia ucapkan hanya akan memperpanjang malam.

Beberapa hari kemudian, Benjamin datang. Teman satu-satunya yang masih berani mampir ke rumah itu.

Ia duduk di tangga depan dengan sekotak CD dan dua kaleng soda.

“Bro, aku dapat CD baru — My Chemical Romance. Dengerin, lagunya keren banget.”
Robert hanya mengangguk. Ia mengambil satu kaleng soda, menatapnya sebentar sebelum membuka.
“Teenagers, ya?”

Ben tertawa. “Kau tahu, liriknya agak mirip kau, Rob. Tentang dunia yang nggak ngerti remaja seperti kita.”

Robert tersenyum kecil. Hanya sedikit, tapi itu sudah langka. Mereka berdua duduk lama di tangga itu. Udara sore terasa lembap, bau asap rokok dari tetangga bercampur dengan tanah basah.

“Bagaimana sekolah?” tanya Ben.

“Biasa,” jawab Robert singkat.

“Travis masih nyusahin?” Robert diam. Ia mengangkat bahu.

“Aku nggak peduli lagi.”

Ben menatapnya lama.

“Kau masih suka Claire?”

Robert menatap langit, tidak menjawab seketika. “Mungkin. Tapi dia tak akan pernah melihatku.”
Suaranya datar, tapi di baliknya ada sesuatu yang rapuh — seperti kaca tipis yang retak pelan.

Malamnya, Robert duduk di kamarnya yang hanya diterangi lampu meja kecil. Di atas meja, tumpukan CD, beberapa coretan lagu, dan potongan kertas dengan lirik yang ia coba tulis sendiri.
Ia menyalakan komputer tua yang berdengung pelan. Layarnya bergetar menampilkan halaman MySpace.
Di pojok, playlist-nya berisi lagu-lagu yang hanya ia dengarkan seorang diri — The Kill, Welcome to the Black Parade, Smells Like Teen Spirit. Setiap lagu terdengar seperti jeritan dalam dirinya yang tak bisa keluar lewat kata.

Di bawah meja, seekor kecoak melintas. Ia tak peduli. Kepalanya berat, tapi musik membuatnya tetap sadar — seolah setiap nada bisa menahan dirinya untuk tidak meledak.

Ia memejamkan mata, membayangkan dunia lain di mana tak ada teriakan, tak ada ejekan, tak ada rumah yang berbau alkohol.

Namun suara itu kembali memecah keheningan.

“ROBERT!”

Ia berlari kecil ke ruang tamu. Ayahnya berdiri dengan botol di tangan, wajah merah padam.
“Kau pikir aku tak tahu apa yang kau dengarkan? Lagu-lagu setan itu!” Robert tidak menjawab. Ia hanya berdiri, wajahnya pucat.

“Lihat kau sekarang — seperti ibumu! Lemah, pengecut!”

Kata-kata itu seperti pisau dingin yang menembus langsung ke dada. Robert memandang ayahnya lama — untuk pertama kalinya tanpa ketakutan, hanya dingin.

“Dia pergi karena kau,” bisiknya, hampir tak terdengar.

Ayahnya membeku sejenak, lalu mendorong Robert hingga jatuh menabrak dinding.
Suara keras, kaca foto pecah — foto lama keluarga, diambil sebelum segalanya runtuh.
Wajah ibunya tersenyum dari balik pecahan itu.

Robert menatapnya lama. Sesuatu di dalam dirinya perlahan padam.

Keesokan harinya, Ben datang lagi. Tapi Robert tak keluar dari kamarnya. Pintu terkunci, tirai tertutup rapat. Ben mengetuk.

“Hei, Rob, aku bawa komik baru!”

Tak ada jawaban.

Di dalam, Robert menatap bayangannya di cermin. Bibirnya kering, mata bengkak karena kurang tidur. Ia menyentuh pipinya — masih ada bekas luka kecil di dekat rahang. Ia menatap dirinya lama, seperti sedang melihat seseorang yang asing.

Musik dari Teenagers diputar pelan dari speaker. “When the teenagers scare the living shit out of me…”
Ia tersenyum tipis. Ada sarkasme di sana, tapi juga semacam kenyataan pahit yang ia terima begitu saja. Suara dari luar kamar terdengar lagi — ayahnya berteriak memanggil nama ibunya, Linda, di antara isak mabuk. Robert menatap langit-langit.

“Kapan ini berhenti,” gumamnya.

Suatu malam, listrik rumah padam. Hujan turun deras, menetes dari atap bocor.
Robert menyalakan lilin, duduk sendirian di ruang tamu. Di luar, gemuruh petir menyambar.
Ayahnya tertidur di sofa dengan botol di tangan.

Robert menatapnya lama — lama sekali.

Wajah itu kini tampak rapuh, namun tetap penuh kebencian bahkan saat terlelap.
Robert berpikir, mungkin ayahnya takkan pernah berubah. Dan mungkin, ia sendiri juga sedang berubah — ke arah yang ia tak mengerti.

Lilin di meja perlahan mengecil, cahaya memantul di mata Robert yang kosong.
Ia mengambil potongan kaca dari bingkai foto yang dulu pecah, menatap pantulan dirinya di sana.
“Lihat kau,” bisiknya, suaranya pelan dan dingin. “Kau bahkan mulai mirip dia.”

Lilin padam.

Hujan masih turun.

Rumah itu kembali gelap, seperti hati seseorang yang perlahan kehilangan bentuknya.

 

Lorong di sekolah itu selalu dingin.

Cat dindingnya memudar, lampu neon berkelip, dan di ujungnya, poster kegiatan sekolah tertempel setengah lepas. Bau susu asam dan pembersih lantai bercampur, membentuk aroma yang hanya dimiliki tempat-tempat di mana tawa sering berubah jadi ejekan.

Robert berjalan perlahan melewati deretan loker. Langkahnya tenang, tapi matanya gelap — menatap lantai seperti sedang menghitung retakan ubin satu per satu. Ia ingin segera keluar dari sini, menyeberang halaman, lalu duduk di belakang perpustakaan tempat dunia sedikit lebih sunyi.

Namun, tiga sosok sudah menunggunya di ujung lorong.

Travis, dengan kaos lengan panjangnya yang digulung sampai siku dan senyum yang tidak pernah berarti baik.
Dua kawannya, Derek dan Jake, berdiri di samping loker seperti penjaga gerbang neraka kecil.
Mereka sudah melihat Robert sejak jam makan siang.

Travis melipat tangannya. “Hei, si jenius. Ke mana buru-buru? Claire lagi nunggu kamu?”
Robert berhenti. Tidak menatap. Tidak menjawab.

Travis melangkah mendekat, menepuk bahunya dengan cara yang pura-pura bersahabat.
“Kau tahu, kadang aku heran... kenapa orang seperti kau masih datang ke sekolah ini? Tak ada yang suka kau, Bro.”

Robert menelan ludah. Suaranya nyaris tak terdengar. “Aku cuma ingin lewat.”
Travis tertawa pelan, nada rendah tapi tajam. “Lewat, ya? Lewat aja udah salah di sini, freak.”

Seketika, Jake membuka kotak makan siangnya — segelas susu cair dingin — dan tanpa aba-aba menumpahkannya ke baju Robert. Susu itu mengalir di kerah dan dadanya, dingin, lengket.
Mereka tertawa. Tawa yang bukan manusiawi — tawa yang membuat udara di lorong itu ikut menyesak.

Robert berdiri diam. Air menetes dari dagunya ke lantai. Ia tidak bereaksi.
Itu yang paling mereka benci — wajah tanpa ekspresi, seolah tak bisa disentuh.

“Lihat, dia bahkan nggak marah!” seru Travis sambil menendang kotak susu yang tergeletak.
Derek mendekat. “Atau mungkin dia udah gila, Trav.”

Tiba-tiba, langkah kaki lain terdengar dari arah tangga. Benjamin datang. Nafasnya sedikit tersengal, membawa buku di tangan.

“Cukup, Travis! Sudah.”

Suara Ben keras, tapi terdengar gemetar.

Travis menoleh perlahan.

“Wah, pahlawan datang menyelamatkan freak-nya!”

Ia mendorong Ben ke dinding. Buku-buku jatuh berserakan di lantai. Ben mencoba menepis, tapi pukulan pertama sudah mendarat di pipinya.

Dentum kecil, lalu darah dari sudut bibir.

“BERHENTI!” teriak Robert akhirnya.

Tapi itu justru membuat tawa mereka makin keras.

“Lihat, si diam akhirnya bicara!”

Robert melangkah maju, mendorong Travis dengan bahu. Tapi tubuhnya lebih kecil, lebih ringan. Sekali dorong balik, ia jatuh ke lantai basah. Kepalanya hampir membentur loker.

Mereka pergi setelah puas — meninggalkan tawa dan bau susu basi. Lorong kembali sunyi, hanya tersisa napas dua remaja yang terengah.

Ben duduk di lantai, memegangi pipinya.

“Kau... nggak apa?” katanya pelan.

Robert tidak menjawab. Ia hanya menatap titik kosong di lantai, di mana tetesan susu bercampur dengan darah Ben. Warnanya aneh — seperti simbol yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang pernah terluka dan diam terlalu lama.

Sepuluh menit kemudian, langkah sepatu terdengar mendekat. Guru olahraga, Mr. Davis, muncul di ujung lorong. Matanya menyapu tempat itu, melihat noda susu, darah di lantai, dan dua siswa yang masih duduk terdiam. Ia berhenti beberapa detik, lalu melanjutkan langkah — berpura-pura tidak melihat apa-apa.

Tidak satu kata pun keluar darinya.

Robert menatapnya pergi. Ada sesuatu di dalam dadanya yang bergetar pelan — bukan marah, bukan takut, tapi kesadaran dingin: dunia memilih diam.

1 Jam kemudian, Robert dipanggil ke ruang kepala sekolah. Ruang itu wangi parfum murah dan penuh sertifikat penghargaan. Kepala sekolah, Mr. Grayson, duduk di balik meja dengan ekspresi formal seperti sedang membaca laporan keuangan.

“Robert,” katanya tanpa menatap. “Beberapa guru mengkhawatirkan perilakumu belakangan ini. Kau sering sendirian. Tidak mudah bergaul.”

Robert menatap karpet di bawah kursinya. “Saya tidak melakukan apa-apa, Pak.”

Grayson mendesah, membuka berkas. “Justru itu masalahnya. Kau terlihat... provokatif. Seolah menantang orang lain.”

“Provokatif?
“Kau tahu, remaja lain bisa salah paham kalau kau terus bertingkah seperti itu.”

Kata-kata itu menggantung seperti pisau tumpul — tak menembus kulit, tapi meninggalkan nyeri dalam.
Robert mencoba bicara, tapi tenggorokannya kering.

“Travis—”
“Sudah, Robert. Kami tidak bicara soal siswa lain.”

Nada Grayson berubah menjadi dingin dan administratif.

“Aku ingin kau menulis esai tentang ‘bagaimana menjadi bagian dari komunitas’. Itu bisa membantu memperbaiki citramu.”

Citra.
Kata itu menggema dalam kepala Robert, memantul di ruang kosong di dadanya.

Ia mengangguk perlahan, berdiri, lalu keluar tanpa bicara lagi. Pintu menutup di belakangnya — dan di saat itu, sesuatu di dalam dirinya juga menutup.

Di toilet sekolah, ia berdiri di depan wastafel, menatap bayangannya di cermin.
Bajunya masih lembap, sedikit bau susu yang tak hilang. Ia menyalakan keran, mencuci wajahnya, tapi airnya terasa seperti dingin logam.

“Provokatif,” gumamnya pelan.

Ia menatap matanya sendiri — sepasang mata yang mulai kehilangan batas antara marah dan mati rasa.
“Jadi salahku, ya?”

Pintu toilet terbuka. Beberapa siswa masuk, tertawa, bercanda, tanpa sadar ia ada di sana.
Robert diam saja. Mereka lewat seperti bayangan.

Setelah mereka pergi, ia mengeluarkan sesuatu dari saku — CD lama dari Ben, yang sudah tergores di tepinya.

Ia memegangnya erat, lalu memejamkan mata. Musik, satu-satunya hal yang masih membuat dunia terasa sedikit masuk akal. Tapi bahkan lagu-lagu itu kini mulai terdengar berbeda — bukan lagi penghiburan, tapi gema dari sesuatu yang mendidih di bawah permukaan.

Sore harinya, Robert dan Ben duduk di halaman belakang sekolah. Ben masih memegang es batu di pipinya.

“Mereka nggak akan berhenti,” katanya pelan.

Robert menatap jauh ke lapangan yang kosong. “Aku tahu.”

“Lalu apa yang akan kita lakukan?”

Robert tidak menjawab. Hanya tatapannya yang berubah — dingin, terfokus, seperti seseorang yang mulai melihat dunia bukan sebagai tempat tinggal, tapi medan perang.

Malam itu, di rumah, suara hujan turun tipis.

Robert duduk di meja kecilnya, menulis sesuatu di kertas bekas:

“Ada dua jenis orang di dunia — yang menyakiti, dan yang diam.”

Tangannya berhenti.

Lalu ia menulis lagi satu baris:

“Kadang diam itu juga dosa.”

Ia menatap kalimat itu lama sekali.

Lampu kamar bergetar pelan.

Di luar, petir menyambar, menyorot wajahnya yang kini tak lagi sama — bukan anak yang takut, tapi seseorang yang sedang belajar cara membalas.

 

Malam di Omaha turun seperti kabut yang menutup pelan seluruh kota. Udara musim dingin merayap dari jendela yang retak, menyusup ke dalam kamar kecil dengan cat dinding yang mulai mengelupas. Di luar, lampu jalan berkelip, seperti mata yang menatap tanpa tidur.

Robert duduk di kursinya. Jam di dinding menunjukkan pukul 23.47. Di meja, hanya ada segelas air dingin, buku catatan lusuh, dan ponsel tua dengan layar pecah di ujungnya. Tangannya gemetar kecil, bukan karena takut, tapi karena kesunyian yang terlalu panjang.

Ia membuka pesan singkat dan mengetik perlahan:

“Ben… jangan datang ke sekolah besok.”

Kursor berkedip.

Ia menatap kalimat itu lama sekali, seolah menimbang apakah masih ada alasan untuk menghapusnya.
Tidak ada.

Pesan terkirim.

Tanda centang muncul.

Lalu sunyi lagi.

Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar.

Ben: “Apa maksudmu? Kau baik-baik saja?”

Robert menatap layar itu tanpa menjawab.

Ponselnya bergetar lagi — panggilan masuk. Ia menatap nama di layar, Benjamin, lalu menekan tombol diam.

Panggilan berhenti.

Suara detik jam terdengar makin keras.

Dengan langkah kaki yang pelan ia menuju kamar ayahnya, ia membuka lemari di sudut kamar. Pakaian tergantung tidak rapi, sebagian masih berbau alkohol dan asap rokok. Di rak paling bawah, di balik tumpukan koran lama, ia menemukan kotak kayu yang sudah berdebu.

Ia tahu kotak itu — milik ayahnya.

Gesper logam di kotak berkarat. Butuh dua kali tarikan untuk membukanya.
Di dalamnya, lapisan kain flanel abu-abu membungkus sesuatu yang dingin, berat, dan berkilau samar di bawah cahaya lampu.

Tangannya menyentuh logam itu perlahan, seperti menyentuh sesuatu yang hidup.
Ia tidak tersenyum. Tidak juga takut.

Hanya menatap — lama, penuh rasa pasrah yang aneh.

Ia menaruh benda itu di atas meja, tepat di samping foto ibunya. Dalam foto itu, wanita berambut pirang muda sedang tersenyum di taman, memeluknya yang masih kecil. Senyumnya hangat, tapi matanya tidak menatap kamera; seolah sedang melihat ke tempat lain.

Robert duduk.

Ia menatap foto itu.

“Kenapa kau pergi?” tanyanya lirih, nyaris tanpa suara.

Tidak ada jawaban.

Hanya bunyi mesin pemanas tua yang berdengung di sudut ruangan.

Ia mengambil buku catatannya — halaman terakhir yang penuh coretan. Tulisan-tulisan itu campur aduk: potongan lagu, kalimat tak selesai, dan satu paragraf yang digaris tebal:

“Kadang, satu-satunya cara membuat dunia mendengar adalah dengan bunyi yang tak bisa mereka abaikan.”

Ia membaca kalimat itu beberapa kali. Tidak ada kebencian di wajahnya. Tidak ada amarah besar.
Hanya ketenangan yang aneh — seperti seseorang yang sudah berdamai dengan keputusan paling gelap dalam hidupnya.

Di pojok meja, ponselnya masih menyala. Lagu yang pernah disarankan Ben, “Pumped Up Kicks,” ada di playlist lama.

Ia menekan play.

Nada pertama terdengar — ringan, ritmis, nyaris ceria.

Ironis.
Suara vokalnya bergema pelan di kamar kecil itu:

“All the other kids with the pumped up kicks…”

Robert menutup mata.

Nada-nada itu seperti ironi yang menertawakan dirinya.

Ia membiarkan lagu itu terus berjalan, sementara pikirannya perlahan hanyut.

Sekitar pukul 01.00, ayahnya pulang.

Suara langkah kaki berat terdengar dari ruang depan, diikuti bunyi botol jatuh.
Robert mematikan musik, menatap pintu kamar.

“ROBERT!” suara ayahnya serak, mabuk. “Kau masih bangun?”

Robert diam.

Pintu diketuk keras, dua kali.

“Kau dengar aku, hah?”

Robert berdiri, mendekati pintu. Ia tidak membukanya. Dari luar, suara ayahnya melemah, berubah menjadi gumaman tak jelas.

Lalu hening.

Robert menempelkan dahinya ke pintu, mendengarkan napas berat itu hingga perlahan menghilang.
Ada saat-saat di mana ia masih berharap semuanya bisa diperbaiki. Tapi malam ini bukan salah satunya.

Pagi datang lambat.

Udara terlalu dingin untuk bulan Maret. Robert berpakaian rapi: kaos putih, jaket abu-abu, celana jeans hitam, sepatu yang sedikit rusak di ujungnya. Ia memasukkan buku catatan, sebotol air, dan sesuatu yang berat ke dalam ransel. Menutup ritsleting perlahan, seperti ritual yang harus dilakukan dengan tenang.

Sebelum keluar kamar, ia menatap dirinya di cermin. Bayangan yang kembali menatap bukan lagi remaja. Ada sesuatu yang mati di matanya — tapi juga sesuatu yang baru, dingin, stabil.

Ia mengambil foto ibunya dari meja. Menyelipkannya ke saku jaket.

“Setidaknya kau akan  bersamaku hari ini,” bisiknya.

Langkahnya di koridor rumah nyaris tak bersuara. Ayahnya masih tertidur di sofa. Robert berhenti sebentar, menatap sosok itu dari jauh. Dalam cahaya samar, wajah ayahnya tampak tua, kalah oleh hidup. Untuk sesaat, Robert hampir ingin membangunkannya.
Tapi tidak.

Ia melangkah keluar, menutup pintu perlahan. Udara luar menampar wajahnya. Lampu jalan di depan rumah tampak seperti titik cahaya yang terperangkap.

Ia berjalan menyusuri trotoar. Tasnya terasa berat, tapi langkahnya ringan. Setiap derap sepatunya terdengar jelas di jalan yang sepi.

Beberapa burung melintas di atas. Mobil-mobil melaju pelan; dunia masih seperti biasa. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang curiga.

Di kejauhan, gedung Omaha Ben High mulai terlihat — siluet kelabu dengan bendera Amerika yang menggantung lesu di tiang depan. Angin bertiup, membuat kain itu berkibar setengah hati.

Robert berhenti di seberang jalan. Ia menatap gedung itu lama sekali. Sebuah sekolah yang sama seperti kemarin — tapi tidak akan sama setelah hari ini.

Ponselnya bergetar lagi.

Pesan dari Benjamin.

“Kau di mana? Aku serius, Robert. Jawab aku.”

Ia membaca pesan itu.

Lalu menekan tombol off.

Layar ponsel mati.

Robert memasukkan ponsel ke sakunya, lalu melanjutkan langkahnya melewati gerbang sekolah.
Tidak ada amarah di wajahnya, hanya tatapan kosong yang sulit ditebak: antara tenang dan kehilangan arah.

Suara bel pertama terdengar dari kejauhan — denting panjang yang menandai dimulainya hari pelajaran baru.

Semuanya tampak biasa.

Ia membuka pintu sekolah. Udara hangat dari dalam menyambutnya. Lorong yang pernah jadi tempat penghinaan, tawa ejekan, dan diam panjang — kini terasa seperti panggung terakhir yang menunggunya.

Robert menarik napas panjang di depan loker nomor 312. Tangannya perlahan meraih sesuatu diranselnnya.

Ia melangkah ke dalam, melewati suara langkah-langkah siswa lain yang belum sadar akan apa yang akan terjadi.

Lalu — dari kejauhan, suara pertama terdengar.

Letupan pendek, memantul di dinding lorong sekolah.

Satu. Dua.

Teriakan pertama pecah di lorong sekolah.

 

September 2011

Televisi menyala di ruang tamu rumah keluarga Hudson. Gambar berganti cepat—sirine polisi, garis kuning membentang di depan gedung sekolah, wajah-wajah murid berlari ketakutan. Di pojok layar, tulisan putih bergetar: “Penembakan di Omaha Ben High School menewaskan tiga orang, dua lainnya kritis, pelaku adalah …”

Benjamin tak bergeming. Matanya merah, ponsel di tangan bergetar karena panggilan yang tak berani ia jawab. Di layar, foto Robert muncul—foto buku tahunan junior high school yang dulu mereka ambil bersama. Senyum kaku, rambut berantakan, tatapan kosong yang kini jadi wajah “pelaku tragedi.”

Reporter perempuan berbicara cepat:

“Robert Miller, 17 tahun, ditangkap di lokasi kejadian setelah menyerahkan diri tanpa perlawanan…”

Benjamin menatap layar itu lama. Dadanya sesak. Ia teringat pesan singkat semalam — “Besok… jangan datang ke sekolah.”

Waktu itu ia kira Robert hanya ingin bolos.

Di luar, hujan turun pelan. Aroma tanah basah bercampur dengan bau asap dari sisa lilin-lilin memorial di depan sekolah. Anak-anak menaruh bunga, boneka, dan surat-surat pendek di pagar kawat. Seseorang menulis dengan spidol hitam:

“Kami seharusnya mendengarmu, Rob.”

Ayah Robert duduk di ruang tamu yang berantakan. Botol bir kosong berjejer di meja. Televisi menyiarkan berita yang sama, berulang-ulang, tapi ia hanya menatap kosong ke layar.
Ketika foto anaknya muncul, sesuatu di wajahnya retak. Tangannya yang kasar bergetar. Ia berbisik pelan, hampir tak terdengar:

“Apa yang sudah kau lakukan, Rob…”

Ia mematikan televisi, tapi pantulan layar hitam memperlihatkan wajahnya sendiri—mata merah, kulit pucat, dan bayangan anaknya di kursi seberang. Dalam mabuk samar itu, ia merasa Robert masih duduk di sana, diam seperti dulu setiap kali piring melayang di meja makan.

“Aku cuma ingin kita makan malam,” katanya, tapi udara tidak menjawab.

Tangannya menekan wajahnya sendiri. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, pria itu menangis.

Penjara remaja di pinggiran kota Omaha terasa dingin. Dinding putih pucat tanpa suara.
Robert duduk di kursi logam, tangan terikat borgol tipis. Baju abu-abu menggantikan jaket abu-abu yang dulu ia kenakan. Di depan meja besi, seorang wanita dengan clipboard memperhatikannya. Seorang konselor—usia empat puluhan, suara lembut namun tegas.

“Robert,” katanya pelan. “Kau tahu kenapa aku di sini?”

Robert tak menjawab. Matanya menatap ke jendela kecil di atas tembok—garis langit abu-abu yang nyaris tak terlihat.

Konselor menarik napas.

“Banyak orang yang ingin tahu… kenapa kau melakukannya.”

Ia mengangguk pelan, menulis sesuatu di catatannya. “Kau menyesal?”

Hening.
Suara jam berdetak di ruangan itu terasa sangat keras. Robert perlahan menoleh, menatap mata wanita itu dengan tenang, tanpa amarah, tanpa tangis.

Ia hanya berkata pelan, datar, seolah sedang menyebut fakta cuaca:

“Tidak.”

Wanita itu menatapnya lama, mencari sisa empati, tapi yang ia temukan hanyalah kehampaan—ketenangan yang menakutkan.

Malamnya, di sel kecil itu, Robert berbaring menatap langit-langit. Dari jauh, ia mendengar suara televisi di ruang penjaga—berita yang sama, wajahnya yang sama. Ia memejamkan mata. Dalam pikirannya, musik itu kembali terdengar samar: All the other kids with the pumped up kicks…

Ia tersenyum tipis. Entah kenapa, lagu itu tak lagi terdengar seperti lagu yang ia sukai. Sekarang, hanya gema kosong—sebuah lagu dari dunia yang telah hancur. Di pikirannya, ia melihat Claire di ruang seni, tersenyum sambil memungut pensilnya. Cahaya sore di wajahnya.

Dan untuk sesaat, sebelum tidur, Robert ingin percaya bahwa semuanya belum terjadi. Bahwa besok masih ada sekolah, Benjamin masih menunggunya di gerbang, dan hidup masih bisa diperbaiki.

Tapi dunia sudah lewat dari titik itu.

Share:

Delusi Kasih Ibu

 


Kuala Lumpur, 2004

“Hurry, Amirul… nanti bas sekolah lambat lagi,” suara lembut itu menggema dari dapur kecil rumah papan di Jalan Pudu Lama, tak jauh dari deretan kedai lama yang mulai berkarat.
Aroma sambal tumis dan santan memenuhi ruangan sempit, bercampur bau hujan yang menetes dari atap bocor. Dari kamar depan, suara langkah kecil terdengar berlari, lalu tawa riang menyahut.

“Mak, saya dah siap! Tengok—” katanya bangga, menenteng tas sekolah biru lusuh. “Saya gosok rambut, saya sikat gigi sendiri.”

“Ha, pandai anak Mak,” kata Salmah sambil menoleh, senyum tulus mengembang di wajahnya yang kelelahan. Ia mengusap kepala anaknya, menata poni yang selalu berantakan. “Kalau ayah tengok, mesti bangga. Hari ni Amirul nampak macam budak bijak betul.”

Anak itu terkekeh, lalu duduk di kursi rotan reyot, menunggu sarapan. Salmah meletakkan piring nasi lemak hangat di depannya, bersama telur rebus yang kuningnya sedikit pecah. “Makan cepat, nanti hujan makin lebat. Bas datang sekejap lagi.”

Dari luar jendela, langit kelabu menekan atap rumah-rumah lama. Suara air menetes dari talang rusak, ritmis seperti jam berdetak. Udara pagi berembun dan berat. Salmah memandang sebentar ke arah dinding tempat jam bulat tua menggantung — jarumnya sudah melambat, tapi ia masih bergantung pada bunyinya, seolah waktu masih bisa ia kendalikan.

“Mak,” kata Amirul pelan sambil menyuap nasi. “Mak rasa hujan ni lama ke?”

“Tak apa. Hujan ni rahmat, sayang. Kalau Amirul rajin belajar, nanti Mak doakan Tuhan kirimkan hari yang cerah untuk Amirul selalu.”

Anak itu tersenyum. Lalu, dengan polosnya, ia bertanya, “Kalau hari yang cerah tak datang-datang, maknanya apa, Mak?”

Salmah terdiam sebentar. Pertanyaan itu terasa menggigit sesuatu di dalam dirinya. Tapi ia segera tersenyum lagi. “Maknanya Tuhan nak bagi kita sabar sikit lagi, sayang.”

Suasana dapur itu seperti waktu yang beku — seakan hari tak bergerak. Hujan di luar terus turun, tidak deras, tapi cukup untuk menutup semua suara lain. Hanya detak jam, dan suara piring yang disentuh sendok kecil.

Beberapa menit kemudian, Salmah menurunkan payung dari gantungan dekat pintu.
“Jom, Amirul. Bas dah nak sampai,” katanya sambil melangkah keluar ke halaman kecil yang berlumpur.
Udara pagi dingin menusuk tulang. Dari kejauhan, suara mesin bus sekolah yang berat terdengar, diselingi klakson parau. Salmah membuka payung, menggandeng tangan kecil anaknya, melangkah perlahan di antara genangan.

Bus kuning itu berhenti di tepi jalan. Pintu terbuka dengan bunyi decit logam. Pemandangan yang biasa — anak-anak berlarian masuk sambil tertawa, seragam putih mereka basah di ujung celana.
Salmah membungkuk sedikit, merapikan krah Amirul, menepuk pipinya dengan lembut. “Belajar elok-elok. Jangan lari masa rehat, nanti jatuh lagi.”

“Baik, Mak,” jawabnya, senyum manis merekah. “Nanti Amirul belikan Mak aiskrim.”

Salmah tertawa kecil. “Mak tak suka aiskrim.”

“Tapi Amirul nak belanja juga.”

Anak itu menaiki tangga bus, melambaikan tangan. Wajahnya setengah tertutup embun di kaca jendela. Salmah berdiri di bawah payung, menatap bus perlahan menjauh, lalu lenyap di tikungan. Ia terus berdiri di sana — bahkan ketika suara bus sudah hilang. Hujan makin deras. Angin meniupkan aroma tanah basah, daun pisang bergetar di halaman.

Salmah menatap jalanan kosong di depannya. Lalu tiba-tiba, ia mengerutkan dahi.
Bus itu… seharusnya berhenti di depan rumah seperti biasa. Tapi tak ada bekas roda, tak ada cipratan air, tak ada tawa anak-anak yang biasa menggema di lorong itu.
Ia menatap ke ujung jalan — hanya ada kabut putih menggantung rendah.

Ia kembali ke dalam rumah, payung basah menetes di lantai semen. Di meja dapur, piring nasi lemak kedua masih utuh. Sendok kecil di sampingnya tetap bersih. Salmah terdiam, menatap kursi yang kosong.

“Laju betul Amirul makan tadi,” gumamnya perlahan, meski tak ada siapa-siapa di sana. Ia duduk di kursi seberang, mengelus meja dengan ujung jari. “Mak suka tengok cara Amirul suap nasi. Comel sangat.”

Hujan menitik dari atap, menimpa ember yang diletakkan di bawah bocoran — bunyinya “tik… tik… tik…” Ia menatap suara itu lama sekali, seolah ada irama yang ia pahami.

Di sudut dapur, tergantung foto lama dalam bingkai kayu: Salmah, suaminya Razak, dan Amirul kecil. Warna fotonya sudah pudar, tapi senyum mereka masih utuh. Salmah memandang foto itu, lalu berbisik, “Nanti bila Amirul balik sekolah, kita makan bertiga, ya.”

Waktu berjalan pelan, siang terasa tak bergerak. Salmah mencuci piring, menyapu lantai, menggantung pakaian yang sudah kering. Setiap gerakannya hati-hati, teratur — seperti seseorang yang takut mengacaukan kenangan. Sesekali ia menoleh ke jendela, memastikan anaknya benar-benar pulang nanti.

Menjelang tengah hari, suara azan Zuhur dari surau kecil di hujung jalan terdengar lirih di antara bunyi hujan. Salmah berhenti sejenak, menatap luar jendela: jalan masih basah, bas belum juga lewat.

“Bas sekolah hari ni lambat betul,” katanya sambil tersenyum kecil. “Mungkin hujan buat jalan sesak.”

Ia menyapu meja lagi, lalu berdiri memandang kursi kosong di depan televisyen.
“Amirul mesti lapar. Mak dah simpan lauk goreng bilis kesukaan Amirul.”

Tapi matanya tiba-tiba basah. Ia tak tahu kenapa. Dadanya sesak, tapi bibirnya tetap memaksa senyum.
Ia berjalan ke kamar anaknya — membuka pintu perlahan. Di dalam, suasana hening. Bau bedak bayi dan kain lembap masih tertinggal. Di atas katil kecil, seragam sekolah putih tergantung rapi, topinya masih ada di gantungan, belum tersentuh.

Salmah duduk di tepi katil, jari-jarinya menyusuri lipatan kain yang halus. Ia bisa bersumpah semalam anaknya tidur di situ, berselimut kartun Doraemon yang kusam. Ia menutup mata, mendengar kembali suara kecil itu: “Mak, saya sayang Mak.”

“Mak pun sayang Amirul,” jawabnya lirih, hampir tanpa suara.

Sore datang dengan langit yang masih kelabu. Dari luar, terdengar suara anak-anak bermain genangan air, berteriak riang. Salmah membuka jendela sedikit, menatap mereka — mencari wajah yang ia kenal. Tapi tak satu pun menyerupai Amirul. Ia menatap hujan yang turun miring, mengguyur genting rumah dan pepohonan. Bau tanah basah membuat dadanya makin berat.

“Mak tunggu Amirul balik,” katanya lembut, separuh senyum di bibir. Ia tetap berdiri di jendela, menatap jalan sepi yang tertutup kabut.

Hujan turun semakin deras — tapi Salmah tak beranjak. Di luar, langit kelam menelan suara, dan di dalam rumah kecil itu waktu berhenti berjalan.


Keesokan harinya.

“Mak, aku lapar…”

Suara itu begitu jelas hingga Salmah refleks menoleh. Sendok kayu di tangannya berhenti mengaduk bubur. Dapur rumah kecil itu diterangi cahaya kuning keemasan dari lampu gantung yang menggantung rendah. Hujan baru saja berhenti, menyisakan embun di jendela kaca dan aroma tanah basah yang meresap dari halaman. Dari tempatnya berdiri, Salmah bisa melihat meja makan — dua piring tersusun rapi, satu berisi bubur ayam dengan suwiran halus, satu lagi masih kosong.

“Amirul, sabarlah… Mak tengah masak ni,” katanya lembut sambil tersenyum.

Ia menoleh ke arah kursi di ujung meja. Kosong. Tapi bibirnya tetap tersenyum seperti biasa, seolah sosok kecil berkaus biru itu benar-benar sedang duduk di sana, menggoyangkan kaki mungilnya yang belum sampai ke lantai.

Setiap pagi kini dimulai seperti itu. Suara, bayangan, kadang aroma khas bedak bayi yang samar. Semuanya datang dan pergi seperti kabut di halaman belakang rumah mereka. Rumah itu berdiri di deretan perumahan sederhana, berpagar hijau tua, dengan suara azan subuh yang masih menggema dari surau kecil di ujung jalan.

Salmah menuang bubur ke mangkuk kecil bergambar dinosaurus, mangkuk yang dulu selalu dipilih Amirul. Ia menatap uap panas yang naik perlahan, seperti napas lembut dari masa lalu.

“Mak masukkan telur rebus sikit, ya? Amirul suka yang kuningnya lembut,” gumamnya.

Ia berbicara dengan nada lembut, seperti ibu mana pun yang tengah meladeni anaknya. Namun di antara jeda suaranya, ada keheningan aneh — keheningan yang begitu pekat sampai suara detak jam dinding terdengar seperti palu di dadanya.

Setelah bubur siap, Salmah duduk di kursi seberang. Ia tersenyum, menunggu. Lama.

“Amirul?” bisiknya.

Hanya suara kipas angin yang berputar.

Ia menghela napas. “Mungkin masih ngantuk,” katanya sendiri.

Lalu ia berdiri, mengambil buku kecil bersampul merah muda di atas kulkas. Di sampulnya tertulis dengan spidol: Diari Mak & Amirul. Tulisan tangan itu mulai pudar di ujung-ujungnya.

Ia membuka halaman terakhir, lalu menulis dengan rapi:

Isnin, 25 Oktober.

Amirul sudah makin rajin. Hari ni cikgu puji sebab dia pandai baca doa sebelum makan. Mak bangga betul. Dia kata nak belikan cikgu bunga minggu depan.

Tinta pena hitam mengalir perlahan di atas kertas. Ia tersenyum puas, menatap tulisannya lama-lama, lalu menutup buku itu dengan hati-hati — seolah menyimpan sesuatu yang suci.

Di meja, selembar kertas lain tertindih mug teh. Salmah menariknya pelan. Di atasnya tertulis, “Surat dari Cikgu Fatimah”. Ia membacanya dengan penuh perhatian, matanya berkilat bangga.

Puan Salmah, Amirul semakin ceria dan aktif di kelas. Dia suka membantu teman-teman, terutama bila waktu seni.

Ia tersenyum kecil, lalu menempelkan surat itu di dinding dekat kulkas dengan magnet berbentuk bintang. Namun jika seseorang melihat lebih dekat, yang tertempel di sana hanyalah selembar kertas kosong. Tak ada tulisan, tak ada tinta. Hanya putih polos.

Di luar, suara langkah seseorang terdengar di lorong rumah. Salmah menoleh. “Abang?” panggilnya lembut.

Tak ada jawaban.

Ia berjalan perlahan ke ruang tamu. Kursi rotan di sana masih di tempatnya, kipas gantung berputar malas. Di atas meja, ada foto keluarga — dirinya, Amirul, dan lelaki yang berdiri di belakang mereka. Senyumnya tajam, tapi matanya kosong.

“Abang, Amirul makin rajin sekarang…” katanya pelan sambil menatap foto itu.

Dalam bayangannya, suara berat seorang pria menjawab dari balik ruangan. “Itu bagus, Salmah. Kau ibu yang kuat.”

Ia menoleh, tersenyum, tapi ruang tamu kosong. Tak ada siapa-siapa. Hanya suara televisyen lama yang menyala sendiri, menayangkan berita sore tanpa gambar.

Ia kembali ke dapur, merasa dingin menjalari jemarinya.

Suara langkah kecil kembali terdengar. Tep. Tep. Tep. Suara sandal plastik bergesek dengan lantai keramik. Ia berhenti, menatap ke arah lorong.

“Amirul?”

Tidak ada jawaban. Tapi sesaat, ia bersumpah mendengar tawa kecil — renyah, seperti yang dulu sering mengisi rumah ini.

Salmah menatap ke cermin di samping kulkas. Di sana, pantulan dirinya berdiri sendirian di dapur gelap, rambutnya kusut, bibirnya pucat. Tapi di belakangnya, di bayangan cermin, tampak sesosok kecil berlari sebentar lalu lenyap.

Ia tersenyum pelan. “Nakal betul kamu ni…”

Malam itu hujan kembali turun. Salmah duduk di kursi rotan dengan lampu remang, menatap televisyen yang hanya menampilkan salju statis. Di tangannya, ia menggenggam sebuah pensil warna biru muda — pensil milik Amirul.

Ia berbicara pelan, seperti sedang menenangkan seseorang di pangkuannya. “Mak tahu Amirul penat sekolah, ya? Mak dah siapkan susu. Minum dulu…”

Ia mengangkat cangkir kosong, mendekatkannya ke udara, lalu menatapnya seolah ada bibir mungil yang meneguk dari situ.

Ketika jam berdentang pukul sembilan malam, Salmah memejamkan mata, mendengarkan hujan yang mengetuk atap.

“Mak takkan biarkan kamu kesejukan, sayang,” bisiknya.

Ia merasa bahu kirinya hangat, seperti ada kepala kecil yang bersandar. Ia tersenyum — senyum lembut seorang ibu yang menemukan dunia sendiri di antara reruntuhan kenyataan.

Namun di luar rumah, seorang tetangga yang baru pulang dari surau berhenti di depan pagar. Melalui jendela yang terbuka sedikit, ia melihat Salmah duduk sendiri di ruang tamu, berbicara pada udara kosong sambil mengayunkan tangan ke arah cangkir yang tak berisi.

Tetangga itu menarik napas panjang, lalu menunduk. “Kasihan Salmah…” gumamnya. “Masih belum dapat terima.”

Di dalam rumah, Salmah tertawa pelan. “Abang, dengar tak? Amirul cakap dia nak dapat bintang dari cikgu minggu depan.”

Bayangan lelaki di sudut ruangan tampak samar — berdiri, lalu mengangguk pelan, sebelum menghilang di balik tirai.

Salmah menatap kursi kosong di hadapannya. “Mak janji akan masakkan ayam goreng kesukaan Amirul besok,” katanya lagi, dengan suara yang bergetar lembut seperti doa yang tak akan pernah dijawab.

Dan di balik suara hujan, terdengar lagi langkah kecil di dapur. Tep. Tep. Tep.
Seolah anak kecil itu benar-benar masih di sana.

 

Suara bola memantul di jalan kecil depan rumah membangunkan Salmah dari lamunan siangnya. Dari jendela, ia melihat seorang anak laki-laki berlari mengejar bola, tertawa kecil ketika nyaris tersandung batu. Wajahnya bulat, kulitnya sawo matang, rambutnya agak ikal. Ia mengenakan baju sekolah rendah — putih dan biru muda — sama seperti yang dulu dipakai Amirul.

Salmah menatap lama. Nafasnya tercekat.

“Amirul…” bisiknya hampir tak terdengar.

Anak itu berhenti di depan pagar rumahnya, menunduk mengambil bola yang terlempar ke halaman. “Maaf, makcik,” katanya sopan. Suaranya lembut, tapi jernih, seolah bergema di dada Salmah.

Salmah tersenyum, menelan perih yang datang tiba-tiba. “Tak apa, nak. Nama kamu siapa?”

“Aqil, makcik.”

Ia mengangguk pelan, menatap anak itu dengan pandangan penuh rindu yang tak bisa ia sembunyikan. “Aqil… nama yang baik.”

Sore itu, ketika anak-anak lain sudah pulang, Salmah masih duduk di kursi rotan dekat jendela, menatap halaman rumah sebelah. Di sana, suara tawa Aqil terdengar samar, disertai nyanyian ibunya yang menjemur pakaian. Rumah itu baru saja ditempati dua minggu lalu oleh keluarga muda dari Johor. Salmah belum sempat berkenalan dengan mereka — atau mungkin belum berani. Tapi hari itu, ada sesuatu yang bergerak di dalam dirinya, sesuatu yang sudah lama beku.

Keesokan harinya, Salmah berdiri di dapur menyiapkan kue yang manis. Ia menata adonan dengan hati-hati, lalu menaruhnya di piring kecil bergambar bunga. Setelah dingin, ia keluar ke halaman, menatap rumah sebelah.

Aqil sedang duduk di tangga, menggambar sesuatu dengan krayon.

“Aqil!” panggilnya lembut. Anak itu menoleh, tersenyum. “Ya, makcik?”

Salmah mendekat, menunduk sedikit agar sejajar dengannya. “Mak cik buat kuih ni. Cuba rasa, ya?”

Anak itu mengambil satu, menggigit perlahan, lalu matanya berbinar. “Sedapnya!”

“Amirul pun suka kuih ni…” gumam Salmah tanpa sadar.

“Siapa Amirul, makcik?”

Pertanyaan itu membuatnya terdiam sejenak. Ia menatap jauh ke jalan, seolah mencari seseorang di ujungnya. “Anak mak cik… dia dah besar sekarang.” Senyumnya melunak, tapi matanya tak benar-benar menatap Aqil — melainkan menembus masa lalu yang tak bisa kembali.

Hari-hari berikutnya, Aqil sering datang ke rumah Salmah. Kadang hanya duduk di tangga sambil mendengar cerita, kadang membantu menyiram bunga di halaman. Salmah menyiapkan sirup dingin, menaruhnya di gelas kaca, dan setiap kali Aqil datang, rumah itu terasa hidup kembali.

“Mak Salmah, tengok ni!” seru Aqil suatu sore sambil menunjukkan gambar yang baru digambarnya — dua orang, satu besar, satu kecil, sedang memegang tangan. “Ini saya dengan makcik.”

Salmah menatap gambar itu lama, lalu menutup mulutnya, menahan isak yang nyaris pecah. “Cantik sangat, Aqil… cantik…”

Anak itu tertawa kecil. “Mak Salmah suka, kan?”

Ia mengangguk cepat, lalu memeluknya tanpa sadar. “Mak Salmah suka, sayang. Terima kasih…”

Sejak hari itu, nama “Mak Salmah” melekat di bibir Aqil. Ia memanggil dengan lembut setiap kali melintas di depan pagar. Kadang sore-sore, mereka duduk bersama di teras, menatap langit jingga sambil memakan pisang goreng. Di sela tawa Aqil, Salmah mulai merasa tenang — seolah luka yang dulu dalam perlahan menutup.

“Mak Salmah, besok saya bawa mainan, ya?” kata Aqil sambil melambai pulang.

Salmah tersenyum, melambaikan tangan. “Hati-hati jalan, Amirul…”

Anak itu sempat menoleh, keningnya berkerut. “Saya Aqil, makcik…”

Salmah mengangguk cepat, tertawa kecil menutupi gugupnya. “Ya, ya… Aqil, maksud mak cik.”

Tapi setelah anak itu masuk ke rumahnya, Salmah masih berdiri lama di depan pagar, menatap pintu yang tertutup. Di kepalanya, nama “Aqil” perlahan memudar. Yang tersisa hanya “Amirul” — nama yang terus menggema di pikirannya.

Malam itu, Salmah duduk di ruang tamu, membuka diarinya lagi.

Selasa, 25 Oktober.

Amirul makin rajin main dengan mak sekarang. Dia kata suka tolong siram bunga. Dia panggil mak “Mak Salmah.” Kelakar sungguh.

Tangannya bergetar sedikit, tapi ia tetap tersenyum. Ia menatap cermin di seberang ruangan. Dalam pantulan itu, ia melihat bayangan kecil Amirul duduk di lantai, menggambar dengan krayon — sama seperti Aqil tadi.

“Aqil pun suka warna biru, kan?” katanya pelan. Tapi di pantulan cermin, yang menjawab adalah suara Amirul.

“Mak, saya lukis kita berdua!”

Ia tertawa kecil, air matanya menetes tanpa ia sadari. “Cantik, sayang… cantik sekali…”

Keesokan paginya, Salmah melihat Aqil di depan rumah sedang bersiap ke sekolah. Ia membawa kotak bekal. Entah kenapa, rasa sayang itu kembali menyesakkan dada. Ia keluar cepat, memanggil dari balik pagar. “Aqil, sini dulu.”

Anak itu berlari kecil menghampiri. “Ya, makcik?”

Salmah menunduk, menyelipkan sebatang pensil warna ke tangannya. “Ini punya Amir— punya makcik dulu. Kamu pakai ya, untuk lukis yang cantik-cantik.”

Aqil tersenyum. “Terima kasih, mak Salmah.”

“Bagus, anak baik…”

Dari kejauhan, seseorang menatap mereka — perempuan muda berhijab merah muda, wajahnya kaku, tegang. Ibu Aqil. Ia berdiri di halaman rumah, membawa payung, tapi matanya tak lepas dari Salmah.

Sore harinya, Aqil kembali datang, membawa gambar baru. “Mak Salmah, tengok! Ini Amirul!” katanya polos.

Salmah tercekat. “Kamu tahu Amirul?”

“Saya jumpa nama dia dekat buku makcik.”

Ia menatap anak itu dengan campuran gentar dan tak percaya. “Aqil… kamu nampak Amirul, ya?”

Anak itu menatapnya, bingung. “Err… saya cuma lukis saja.”

Tapi Salmah sudah menatap ke arah lain, ke sudut ruang tamu yang kosong. Bibirnya bergetar. “Mak tahu kamu di situ, sayang…”

Aqil menoleh ke arah yang sama, tapi hanya melihat kursi kosong dan cangkir teh yang dingin. Ia bergidik pelan.

Beberapa menit kemudian, suara langkah terburu-buru terdengar dari luar. “Aqil!” suara seorang perempuan memanggil keras. Ibu Aqil berdiri di gerbang, wajahnya tegang.

“Mak, saya di sini—”

Namun perempuan itu cepat datang, menarik tangan anaknya dengan gemetar. “Kamu jangan main di sini lagi,” katanya dengan nada bergetar.

Salmah berdiri, bingung. “Kenapa, puan? Saya cuma—”

Pandangan mata ibu Aqil tajam, tapi ada ketakutan di baliknya. “Tolong jangan dekati anak saya lagi.”

Ia lalu menyeret Aqil menjauh, tanpa menoleh.

Salmah berdiri di depan pagar, diam. Hujan rintik mulai turun, menyentuh pipinya perlahan.

Dari balik jendela rumah sebelah, Aqil menatap sejenak, wajahnya sedih. Ia sempat melambai pelan, tapi ibunya menutup tirai dengan cepat.

Salmah masih berdiri di sana lama, menatap rumah itu dengan mata basah. Lalu ia tersenyum kecil, seolah mencoba menenangkan diri.

“Tak apa, Amirul… kawan kamu dah balik. Esok dia datang lagi, kan?”

Namun tak ada suara menjawab. Hanya rintik hujan yang perlahan berubah menjadi deras, menenggelamkan kata-katanya — bersama harapan semu yang baru saja lahir, lalu hancur sebelum sempat tumbuh.

 

Matahari pagi menyelinap lembut melalui celah tirai renda yang sudah pudar, menimpa meja makan yang tersusun rapi. Piring-piring porselen putih, sendok berkilau, dan semangkuk lauk sayur lemak labu yang masih mengepul. Di tengahnya, bunga kertas merah muda yang sudah setengah layu diletakkan dalam gelas kaca, seolah menjadi saksi kecil dari hari yang sempurna.

Salmah berdiri di depan meja, menatap semuanya dengan senyum yang jarang sekali terlihat. Tangannya menggigil pelan saat ia mengatur sendok di sisi kanan piring kecil. “Kita mesti nampak cantik hari ni, Amirul. Ayah kamu nak makan sama-sama,” katanya dengan nada penuh semangat.

Dari ruang tamu, terdengar suara anak kecil berlari. “Mak! Saya lapar!”

Salmah tertawa kecil, wajahnya bersinar. “Ha, datanglah sini, Amirul. Tangan dah basuh?”

“Dah!”

Anak kecil itu berlari ke meja makan, duduk di kursi kecil di ujung meja. Bajunya biru muda, rambutnya rapi disisir ke samping. Senyumnya merekah, pipinya sedikit berdebu karena tadi sempat bermain di luar.

Tak lama kemudian, suara pintu depan terbuka. Langkah berat, lalu suara seorang lelaki memanggil pelan, “Salmah?”

Ia menoleh, matanya berbinar. “Razak! Kamu balik awal hari ni!”

Lelaki itu tersenyum, menanggalkan kasut dan masuk. “Hari ni saya nak makan di rumah. Rindu masakan kamu.”

Salmah tertawa kecil, lalu menoleh ke Amirul. “Dengar tu, ayah kamu rindu kita.”

Anak itu mengangguk cepat. “Ayah, saya dapat markah tinggi untuk karangan hari ni!”

“Hebat, anak ayah.” Razak duduk di kursi, meraih kepala anaknya dan mengacak rambutnya penuh kasih. “Ayah tahu kamu budak pandai.”

Suasana di meja makan menjadi hangat. Radio kecil di sudut dapur memutar lagu lama — suara P. Ramlee mengalun lembut, bercampur dengan aroma sambal tumis dan suara sendok beradu pelan.

Salmah duduk, menatap keduanya dengan hati yang mengembang bahagia. Ia tertawa kecil ketika Amirul mulai bercerita tentang guru barunya, tentang teman yang suka meniru suaranya saat membaca puisi. Razak ikut tertawa, meneguk teh panas yang disajikan istrinya.

“Lama tak begini, kan, bang?” bisik Salmah pelan.

Razak menatapnya dengan senyum lembut. “Saya tahu kamu rindukan masa macam ni.”

Ia mengangguk, matanya berkaca-kaca tapi penuh cahaya. “Saya cuma nak kita macam dulu, bahagia macam ni selalu.”

“Dan kita akan, Salmah.”

Ia menggenggam tangannya, hangat dan meyakinkan.

Amirul menepuk meja kecilnya, menuntut perhatian. “Mak, lepas makan kita main congkak, ya?”

Salmah tertawa, “Boleh! Tapi kamu mesti tolong kemas pinggan dulu.”

“Baik!” serunya riang.

Tawa mereka memenuhi rumah. Udara yang tadi lembab kini terasa hidup; cahaya mentari menari di dinding, memantulkan warna keemasan di wajah-wajah mereka.

Namun sesuatu perlahan berubah.

Suara radio mulai berderak, seperti pita yang kusut. Lagu P. Ramlee yang tadi lembut kini terdengar lebih jauh, serak, seperti berasal dari ruang lain.

Salmah menatap sekeliling, dan sejenak, matanya menangkap sesuatu yang janggal — kursi di seberang Razak kosong. Ia mengerjap, mencoba mengabaikannya. Tapi saat pandangannya turun ke meja, piring Amirul tampak tak tersentuh. Sendoknya bersih.

“Amirul… makanlah, sayang,” katanya pelan.

Anak itu mengangguk, tapi tangannya hanya melayang-layang di udara, seolah mengambil makanan yang tidak ada.

Salmah memandangi tangannya sendiri. Di depannya, sendoknya juga tidak bergerak. Ia hanya menatap mereka berdua, Razak dan Amirul, yang terus berbicara, tertawa, bercanda — tapi tanpa suara. Hanya gerakan bibir yang berulang, seperti film bisu.

Suaranya mulai bergetar. “Kamu… kamu dengar saya, kan?”

Razak menatapnya, masih tersenyum, tapi senyum itu tak berubah sedikit pun. Matanya kosong, seolah dicetak dari kenangan.

“Bang?”

Tak ada jawaban.

Ia menoleh ke arah Amirul, tapi kursi itu kosong. Piringnya tetap bersih, dan hanya bayangan kecil di dinding yang masih bergerak.

“Amirul?”

Suara langkah anak kecil terdengar dari koridor, cepat dan ringan. “Mak! Mak, saya di sini!”

Salmah berdiri, mengikuti suara itu. “Amirul! Jangan lari, sayang!”

Ia berjalan ke ruang tamu, tapi ruangan itu kosong. Hanya tirai yang bergoyang perlahan ditiup angin, dan bayangan yang menari di lantai.

Suara anak itu kini terdengar di belakangnya, lalu di dapur, lalu di luar rumah. “Mak, saya di sini!”

Salmah berlari ke arah suara, membuka pintu belakang, menatap halaman yang diterpa cahaya sore. Tidak ada siapa-siapa. Hanya daun mangga bergoyang pelan, dan piring-piring di meja makan yang sudah mulai dingin.

Suara tawa Amirul tiba-tiba menggema, tapi samar, seperti dari dalam dinding. Ia menutup telinganya, tubuhnya gemetar. “Cukuplah… jangan main-main, sayang. Mak rindu…”

Tiba-tiba suara pintu berderit di belakangnya. Ia menoleh cepat. Razak berdiri di ambang pintu, wajahnya datar.

“Salmah.”

Ia berlari ke arahnya, memeluknya erat. “Bang! Saya takut! Dia main-main lagi, saya tak nampak dia!”

Tapi tubuh yang dipeluknya terasa dingin. Kaku.

Salmah mendongak, dan wajah di hadapannya bukan lagi Razak — hanya bayangan samar, tak punya mata, tak punya suara.

Ia terjatuh ke lantai, menatap ke atas dengan pandangan kabur. Di sekelilingnya, suara tawa dan percakapan tadi kembali terdengar — tapi kini bergema, berlapis-lapis, seperti dari ratusan mulut tak terlihat.

“Mak… sini, Mak…”

“Salmah, masakannya sedap…”

“Mak Salmah, kita main lagi, ya?”

Suara-suara itu terus berputar, memenuhi ruangan, sampai ia menutup telinganya. Namun di antara semua gema itu, satu suara terdengar paling jelas:

“Mak, saya lapar…”

Salmah menatap ke meja makan — dan kini Amirul duduk di sana, tersenyum, menatapnya dengan mata bening.

Ia bangkit perlahan, mendekat, lalu duduk di seberangnya. “Kamu lapar, sayang?”

Anak itu mengangguk. “Mak masak sedap. Saya suka.”

Ia tersenyum lega, mengambil sendok dan menyuapkannya perlahan. “Nah, makan ya. Amirul mesti kuat, jangan sakit lagi…”

Anak itu memakan suapan itu, tersenyum manis. “Terima kasih, Mak.”

Salmah menatapnya, lalu menatap ke arah Razak di ujung meja. Ia juga tersenyum, mengangguk tenang.

Radio kembali menyala, suara P. Ramlee mengalun lembut seperti semula. Rumah kembali terasa hangat.

Sinar matahari perlahan meredup, tapi Salmah tak beranjak. Ia tertawa kecil, berbicara tentang sekolah, tentang cuaca, tentang hari-hari yang katanya akan lebih baik.

Dan ketika malam tiba, hanya satu piring di meja yang kotor — piring Salmah.

Dua piring lain tetap bersih, tanpa sentuhan apa pun. Namun Salmah terus tersenyum, berbicara dengan hangat, seperti ibu yang bahagia menikmati hari yang paling indah dalam hidupnya.

Di luar rumah, angin malam berhembus lembut. Dari jendela, bayangan tiga orang terlihat duduk bersama di meja makan — dua di antaranya samar, seperti cahaya yang pelan-pelan memudar di ujung hari.

 

Hujan turun sejak sore, mula-mula hanya gerimis ringan yang menimpa atap rumah Salmah, tapi menjelang malam, langit seolah pecah. Air tumpah dari langit dengan suara keras, menelan bunyi dunia di sekitarnya. Dalam rumah kecil di tepi kampung itu, Salmah duduk sendirian di ruang tamu. Lampu neon di langit-langit berkelip-kelip, kadang terang, kadang nyaris padam. Bau lembap meresap ke dinding, bercampur aroma tanah basah yang menyelinap lewat jendela.

Ia memeluk bantal kecil bergambar kereta api—bantal milik Amirul, yang dulu selalu ia letakkan di pangkuan setiap kali hujan turun. Malam itu, entah mengapa, ia merasa hujan membawa sesuatu bersamanya. Ada denting aneh di dada, seperti firasat yang lama ia kenal tapi telah lama ia tolak.

“Mak... Amirul suka hujan, kan?” suara kecil itu bergema di kepalanya.

Salmah tersenyum samar, bibirnya bergetar. “Ya, sayang... Amirul selalu cakap begitu.”

Ia menatap jendela. Di luar sana, kilat menyambar sebentar—terang sekali—menyilaukan mata. Dalam pantulan kaca, seolah ia melihat sosok kecil berlari di halaman. Kaos putihnya basah, celananya melekat di kaki mungilnya.

Ketika kilat padam, bayangan itu menghilang.

Salmah berdiri perlahan, menapaki lantai yang dingin. Suara hujan menampar genting, diselingi gelegar petir yang membuat kaca jendela bergetar. Ia menatap ke pintu depan.

Tok. Tok. Tok.

Suara ketukan itu datang tiba-tiba—pelan tapi tegas. Salmah tertegun. Hatinya berdebar. Ia menahan napas, menunggu. Ketukan itu datang lagi.

Tok. Tok. Tok.

“Mak... Amirul dah balik.”

Suara itu. Suara yang ia hapal, bahkan dalam tidur sekalipun. Lembut, sedikit serak, dan manja.

Air matanya jatuh sebelum ia sempat berpikir. Ia berlari ke pintu, membuka kunci dengan tangan gemetar.

Di luar sana, berdiri seorang anak kecil. Tubuhnya kuyup, rambutnya menempel di dahi, air menetes dari ujung bajunya ke lantai. Ia menatap Salmah dengan mata besar yang mengandung campuran takut dan rindu.

“Amirul...” bisik Salmah. Ia menutup mulutnya, tak percaya. “Amirul, sayang, itu kamu?”

Anak itu mengangguk perlahan. “Mak... saya kesejukan.”

Tanpa berpikir panjang, Salmah menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. “Masuk, sayang, cepat masuk. Mak dah tunggu lama.” Ia memeluk anak itu erat-erat, begitu erat sampai tubuhnya bergetar. Air matanya bercampur dengan air hujan di bahu anak itu.

Ia membawanya ke ruang tamu, menurunkannya di sofa. “Tunggu sini, Mak ambil tuala, ya?” katanya terburu-buru.

Namun ketika ia kembali membawa handuk, anak itu menatapnya dengan tatapan aneh. Kilat menyambar lagi—dan di wajah anak itu, dalam sepersekian detik, bukan Amirul yang ia lihat. Itu Aqil. Anak dari rumah sebelah.

Salmah terpaku. Nafasnya tercekat. Tapi sekejap kemudian, wajah itu kembali menjadi Amirul. Senyum kecil terbit di bibir anak itu.

“Mak... Amirul lapar.”

Kata-kata itu seperti mantra yang membuatnya lupa segalanya. Ia tertawa kecil—suara yang lama tak keluar dari tenggorokannya. “Ya Allah, tentu, tentu. Mak masak nasi panas-panas, ya. Amirul tunggu di sini.”

Ia berlari ke dapur. Kompor tua dinyalakan, air mendidih, aroma sambal sardin memenuhi udara. Ia menyiapkan piring dua orang—satu untuk dirinya, satu untuk anak itu. Hatinya dipenuhi kehangatan aneh. Dunia seperti normal lagi.

Tapi dari ruang tamu, terdengar suara langkah. Pelan. Menjauh.

“Amirul?” panggilnya. Tak ada jawaban.

Salmah berjalan ke ruang tamu. Kosong. Sofa lembap oleh air hujan, tapi anak itu tak ada. Ia mencari ke ruang depan, ke kamar Amirul—tempat yang sudah lama ia biarkan tertutup.

Pintu kamar terbuka sedikit. Cahaya kilat menyorot dinding, memperlihatkan mainan-mainan lama di rak, dan foto Amirul tersenyum di meja belajar. Di atas tempat tidur, ia melihat sesuatu bergerak. Tubuh kecil meringkuk di sana.

“Amirul...?”

Anak itu menoleh pelan. “Mak jangan marah...” suaranya nyaris tenggelam oleh hujan di luar. “Saya cuma nak tidur di sini...”

Salmah tersenyum. Ia duduk di tepi ranjang, membelai rambut anak itu. “Mak tak marah, sayang. Tidurlah. Amirul dah balik, kan? Tak apa... Mak jaga.”

Ia menyelimuti anak itu, membetulkan posisi bantal. Anak itu tersenyum, menutup mata.

Namun kilat berikutnya menyambar begitu dekat, cahayanya menembus tirai, dan dalam cahaya putih itu, wajah anak itu berubah lagi. Kali ini jelas—itu Aqil, bukan Amirul.

Salmah terlonjak mundur, terdiam. Hujan di luar semakin keras, menelan seluruh bunyi di dunia. Ia menatap ranjang. Anak itu kini tak bergerak. Pucat.

“Amirul?”

Ia mengguncang bahunya. Tak ada respon.

“Sayang?”

Suara petir menggema. Dalam ketakutannya, Salmah memeluk tubuh itu. Ia menangis tersedu, suaranya tenggelam di antara guntur dan hujan. “Mak dah jumpa Amirul... Mak takkan lepaskan lagi...”

Lampu kamar padam tiba-tiba. Rumah tenggelam dalam gelap. Hanya suara hujan yang tersisa, dan desah napas tertahan dari seorang ibu yang menolak melepaskan apa yang telah lama pergi.

Di luar rumah, lampu dari rumah sebelah menyala. Seorang wanita muda—ibu Aqil—berlari di bawah hujan, menjerit-jerit memanggil nama anaknya.

Namun di dalam rumah Salmah, hanya ada keheningan.

Dan di antara setiap gelegar petir, samar-samar terdengar suara seorang anak kecil berbisik:

“Mak... saya dah balik.”

 

Pagi itu turun dengan lembut, seolah langit sendiri enggan membuat suara. Hujan malam telah reda, meninggalkan embun di rumput dan aroma tanah yang segar. Dari rumah kecil di ujung jalan, asap tipis mengepul dari dapur—pertanda kehidupan masih ada di dalamnya.

Salmah menyapu halaman perlahan, langkahnya tenang, berirama dengan desir angin. Di ujung sapu lidi, daun-daun basah menempel, menggumpal kecil seperti kenangan yang enggan dilepaskan. Bajunya sederhana, kain batik pudar dengan corak bunga kecil. Rambutnya disanggul rapi. Wajahnya tenang, hampir damai.

Burung murai menjerit pelan di dahan jambu. Salmah mendongak sebentar, lalu tersenyum kecil. “Amirul suka bunyi burung tu, kan?” gumamnya lembut, seolah berbicara pada seseorang yang berdiri di dekatnya. Tak ada jawaban. Tapi di matanya, jelas—ia mendengar sesuatu.

Selesai menyapu, ia menepuk-nepuk tangannya, memandang langit. “Hari yang baik, sayang. Kita makan sama-sama, ya?”

Ia masuk ke dapur. Dindingnya lembap, tapi dapur itu tampak rapi. Di atas meja, dua piring nasi lemak sudah tersaji. Telur rebus dibelah dua, sambal merah menggoda di sisi piring. Ada juga cawan teh tarik yang masih berasap tipis, dan satu lagi cawan kecil di sebelahnya.

“Amirul, turun... Mak dah siapkan sarapan.”

Suara itu meluncur lembut ke seluruh rumah. Tak ada suara langkah, tapi Salmah menoleh ke arah tangga seolah mendengar seseorang turun. Senyumnya merekah perlahan. “Laju-laju nanti nasi sejuk.”

Ia duduk di kursi kayu tua, di hadapan piring pertama. Kursi di seberangnya kosong. Tapi di kaca jendela di belakang meja, pantulan samar memperlihatkan sesuatu—bayangan kecil duduk di seberang, tangannya terulur mengambil sendok.

Salmah tertawa pelan, seperti seorang ibu yang bahagia melihat anaknya makan dengan lahap. “Pelan-pelan, Amirul. Nanti tersedak.”

Dari luar, suara ayam berkokok bersahutan. Dunia berjalan seperti biasa. Tapi di jalan depan rumah, beberapa orang mulai berkumpul. Suara mereka berbisik-bisik, gelisah.

“Anak siapa yang hilang?” tanya seseorang.

“Anak Kak Rohani. Aqil,” jawab seorang lelaki. “Malam tadi belum balik.”

“Dah cari seluruh kampung?”

“Dah. Tak jumpa. Cuma jumpa selipar dia... dekat sungai.”

Bisik-bisik itu bergulung seperti kabut pagi. Namun rumah Salmah tetap sunyi, tertutup. Hanya sesekali terdengar suara piring beradu dari dalam.

Seorang jiran, Mak Minah, melangkah mendekat ke pagar. Ia mengetuk perlahan. “Salmah? Kau okey, kah?”

Tak ada jawaban.

Dari balik tirai, sosok Salmah tampak samar. Ia berdiri memandang keluar, matanya kosong tapi senyumnya tetap hangat. Ia melambaikan tangan perlahan, seolah menyapa teman lama. “Pagi, Minah. Cantik paginya, kan?”

Mak Minah menggigil kecil. Suara itu... terlalu tenang. Ia hanya mengangguk canggung. “Ya... cantik.”

“Amirul baru habis makan. Dia suka nasi lemak Mak Minah bagi minggu lepas,” kata Salmah lembut, matanya bersinar kecil.

Mak Minah membuka mulut, ingin berkata sesuatu—tapi berhenti. Ia hanya menatap wajah Salmah yang tampak bahagia, lalu mundur perlahan. Ada sesuatu yang aneh di balik ketenangan itu.

Dari rumah sebelah, tangis seorang perempuan terdengar lagi. “Aqil... anak mak...”

Salmah menutup jendela perlahan. Dunia di luar menghilang. Ia kembali duduk di meja makan.

Piring di depannya kini kosong. Piring di seberang juga kosong—nasi hilang, sambal pun bersih. Ia tersenyum lega, menatap kursi di seberang dengan penuh kasih. “Amirul makan habis, kan? Pandai anak Mak.”

Ia mengelus meja pelan, seperti membelai kepala anak. Matanya berkaca, tapi bukan karena sedih. Ada semacam rasa puas, rasa damai yang ganjil.

“Mak tak keseorangan lagi, kan?” suaranya nyaris berbisik.

Hening.

Hanya suara jam dinding berdetak pelan—detik demi detik, seperti menahan napas. Di luar, sinar matahari mulai menyelinap lewat sela jendela, menimpa wajah Salmah dan membuatnya tampak bersinar lembut.

Dari pantulan kaca jendela, tampak bayangan dua orang: Salmah dan seorang anak kecil duduk berhadapan, tertawa samar. Tapi jika seseorang masuk dan memandang langsung ke meja itu, hanya akan melihat seorang wanita duduk sendirian di ruang makan.

Beberapa menit berlalu.

Dari luar rumah, suara derap langkah ramai mendekat. Warga kampung berbisik, polisi datang, garis polisi digantung di tepi jalan.

Mak Minah menatap rumah itu dari jauh, dadanya berat. “Dia... dia tak tahu apa-apa, kan?” bisiknya pada lelaki di sebelah.

Lelaki itu menggeleng. “Entahlah. Kadang aku rasa dia tahu... cuma dia pilih untuk tak tahu.”

Dalam rumah, Salmah mulai bernyanyi kecil—lagu nina bobo yang dulu sering ia dendangkan untuk Amirul sebelum tidur. Suaranya lembut, nyaris seperti doa.

“Tidurlah, sayang... tidurlah, Amirul...”

Dari jendela, bayangan anak kecil itu tampak menunduk di pangkuannya. Hening.

Lalu, perlahan-lahan, udara di dapur berubah hening sekali. Suara dunia di luar memudar, hanya ada desau angin yang menyentuh tirai.

Dan ketika matahari akhirnya muncul sepenuhnya di langit, rumah kecil itu tampak damai. Terlalu damai.

Asap teh tarik yang tinggal sedikit uapnya melayang di udara. Dua piring kosong di meja. Satu sendok jatuh perlahan ke lantai—bunyi kecil, nyaris tak terdengar.

Lalu semuanya berhenti.

 

Epilog – Dalam Kepala Salmah

Di sebuah ruang kecil di Hospital Kuala Lumpur, seorang perempuan duduk di dekat jendela yang berjeruji. Cahaya matahari jatuh di wajahnya, menyingkap kulit yang pucat dan mata yang tak lagi tahu perbedaan antara siang dan malam. Ia mengenakan baju batik lusuh, rambutnya disanggul seadanya. Di pangkuannya, sebuah foto lama — seorang anak lelaki tersenyum dengan gigi ompong di tengah, berseragam sekolah biru putih.

“Amirul nampak comel, kan?” katanya perlahan, kepada udara. Ia tersenyum lembut. “Dia selalu cakap, nanti besar nak jadi cikgu. Rajin budak tu.”

Perawat yang lewat hanya melirik sebentar, menggeleng pelan. Mereka sudah hafal cerita itu. Tiap pagi, Salmah akan duduk di tempat yang sama, menunggu “anaknya pulang sekolah.”

Kenyataannya, Amirul meninggal enam tahun lalu. Bus sekolah yang ia naiki tergelincir di tikungan Jalan Tun Razak, menghantam tiang lampu sebelum terbalik ke parit. Dari dua puluh penumpang, empat tak selamat. Salah satunya Amirul — anak tunggal Salmah.

Sejak hari itu, dunia di kepalanya perlahan retak. Jenazah Amirul dikuburkan, Salmah menangis menjerit-jerit; jeritannya perlahan berubah menjadi tawa hangat, lalu kembali menjadi tangis tersedu, kemudian diam termenung, dan akhirnya tersenyum seperti biasa. Hal itu berlangsung berhari-hari, hingga air matanya habis dan ia tak lagi menangis. Ia menjalani hari-harinya seperti orang kebanyakan—dengan senyum di wajah, meski sesekali air mata menetes tanpa alasan, seolah kenangan masih hidup di balik senyumnya. Sejak saat itu, ia selalu berdiri di depan pagar rumah, menunggu bus yang tak akan pernah kembali—seolah ingin menghapus kenyataan bahwa Amirul telah dikuburkan bersama ingatan yang tak sempat ia lepaskan. Suaminya, Razak, tak sanggup menghadapi rumah itu lagi. Ia pergi ke Johor mencari kerja, berjanji akan pulang setelah keadaan membaik. Tapi ia tak pernah kembali.

Hari berganti tahun. Surat-surat tak dijawab. Rumah makin sepi, hingga akhirnya Salmah dibawa ke tempat ini — tempat sunyi yang katanya “aman.” Namun bagi Salmah, tempat ini hanyalah rumah baru yang menunggu anaknya pulang.

Ia menatap keluar jendela, melihat halaman tempat beberapa pasien berjalan perlahan ditemani petugas. Bibirnya bergerak pelan, seperti berbicara kepada seseorang di sampingnya.

“Mak janji, lepas makan kita main kat luar, ya?” katanya. Ia tersenyum, dan matanya berbinar kecil — indah, tapi kosong.

Di kaca jendela, pantulan samar menampilkan dua sosok: Salmah dan seorang anak kecil berdiri di sampingnya. Tapi jika seseorang lewat dan menatap langsung, hanya akan ada Salmah sendirian, menatap langit biru yang hening.

Di kepalanya, Amirul masih hidup. Di dunia nyata, hanya kesunyian yang menjawab.

Share: